Trauma
Perlakuanmu membuat luka untuk kami.
.
.
.
Jam dinding berdetak dengan lambat. Tapi rasa sedih semakin membuat gadis yang meringkuk dalam selimut itu semakin sesak. Hatinya tidak kuat menerima semuanya. Ketakutan yang mendalam menjadi penyebabnya seperti ini. Menangis tanpa suara dan sesenggukan dalam selimut tebal yang membungkus dirinya. Berkali-kali mencoba untuk menguatkan diri sendiri, namun nyatanya tidak bisa. Semua itu gagal. Ia tetap menangis tanpa suara dengan tangan yang semakin meremas bajunya untuk mengurangi rasa sesak di dada.
Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Ini terlalu sakit.
Wanita itu menghapus air matanya dengan selembut mungkin. Menekankan air hangat pada luka lebam yang dia dapat di pipi kanannya. Rasa sakit di dadanya lebih terasa daripada sakit di pipinya. Memandang luka itu dengan miris. Wajahnya benar-benar mengerikan. Baru kemarin ia mendapatkan luka lebam di pipi kiri, sekarang mendapatkan luka di pipi kanan. Mengoleskan salep penghilang lebam di pipinya dengan gerakan selembut mungkin. Menghela napas sejenak untuk mengurangi rasa sesak. Membereskan segala obat dan mangkuk yang ia gunakan tadi. Ia harus menengok anak semata wayangnya itu di kamar. Tidak ingin terjadi sesuatu pada anaknya. Belum sempat ia melangkahkan kakinya menaiki tangga, suara bariton memanggil namanya.
"Mau ke mana kamu?" tanya lelaki yang telah melukai dirinya.
"Mau lihat Haura, Mas," jawabnya tanpa memandang wajah lelaki itu.
"Masuk kamar, layani aku sekarang!" titahnya tanpa bantahan.
Lelaki itu menarik paksa istrinya dengan kasar. Ia tidak mempedulikan bagaimana perasaan istrinya saat ini. Istri? Pantaskah dia memanggil perempuan yang baru saja dilukainya itu istri. Istrinya hanya diam dan menerima segala perlakuan dari suaminya. Dari awal dia lembut, namun ujung-ujungnya selalu mendapatkan kekerasan. Perempuan itu hanya menangis dalam hati. Luka wajahnya belum sembuh seutuhnya, sekarang luka batin ia dapatkan dari suaminya. Seseorang yang seharusnya melindungi dirinya, malah membuatnya terluka dalam.
***
Suasana pagi ini terasa dingin. Tidak ada lagi kehangatan yang terjalin di keluarga ini. Acara sarapan saat ini terasa menyesakkan bagi Haura. Ia harus melihat luka lebam dan beberapa luka lain di tubuh ibunya. Ibunya hanya tersenyum ramah seperti biasa tanpa keluhan rasa sakit atau apapun itu pada Haura.
"Mau tambah susunya, Sayang?" pertanyaan itu membuat Haura menitikkan air matanya tanpa suara. "Kenapa, Nak?"
Perempuan itu menghampiri Haura dan memeluknya erat. Mengusap punggung Haura naik turun, agar anak semata wayangnya ini tenang. Dia ingin melihat wajah bahagia pada Haura, bukan tangisan pilu seperti ini.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya ayahnya.
Haura tetap bungkam, hanya air mata yang turun dari pipinya dengan bebas. Meremas baju bagian belakang ibunya dengan erat. Haura tidak dapat mengatakan rasa sakit yang menyerang dadanya saat ini. Hanya melihat bagaimana wajah ibunya sendiri, ia benar-benar tidak becus menjadi seorang anak. Tidak dapat melindungi ibunya yang terus menerus terluka.
"Reta, kamu tanya kenapa Haura seperti ini. Kalau ada temannya yang melukai dirinya, kamu bilang aku," Reta mengangguk. "Aku pergi dulu."
Bagus menghampiri Haura dan mengusap lembut rambut anak semata wayangnya. Ia akan menjaga anak semata wayangnya itu dari seseorang yang ingin melukai anaknya. Anaknya tidak boleh dilukai oleh siapapun itu. Haura harus benar-benar bahagia bagaimanapun caranya.
"Kalau ada teman yang melukaimu, ayah siap untuk membuatnya menyesal," ucap Bagus tanpa dosa.
Yang melukaiku, ayah sendiri. Apa yang akan ayah lakukan? Batin Haura.
Bagus pergi dari hadapan kedua perempuan berbeda usia itu. Mereka bahkan mendengar suara laju mobil yang masuk ke indera pendengaran mereka. Haura semakin menangis dengan kencangnya dalam pelukan Reta.
"Harusnya ... Bunda pergi aja dari ayah, aku bisa bantu," pinta Haura.
Reta menggelengkan kepalanya pelan. Dia tidak bisa meninggalkan suami yang telah tega melukai dirinya. Mungkin suaminya khilaf. Mungkin suaminya sedang ada masalah di kantornya. Selalu berpikir positif yang ia ajarkan pada anak semata wayangnya itu. Masa remaja Haura masih jauh, dia ingin Haura mempunyai keluarga yang utuh. Jangan sampai dia dihina teman-temannya karena keluarga broken home. Jangan pernah seperti itu. Reta sayang sekali dengan Haura. Semuanya sudah digariskan oleh Tuhan. Reta menerima semuanya dengan lapang dada dan ikhlas. Tuhan sayang pada umat-Nya. Tidak ada yang dia bantah apapun itu.
"Sekarang, Haura harus berangkat kuliah. Jadilah anak yang pandai, Sayang. Suatu saat nanti, kamu akan menolong bunda keluar dari sini," ucapan itu bagaikan semangat bagi Haura.
Haura menghapus air matanya kasar. Mencuci wajahnya di wastafel segera. Merapikan kembali penampilannya yang berantakan secepat kilat. Ia harus menimba ilmu dengan baik. Mengesampingkan urusan ibunya sesaat. Ia harus segera menyelamatkan ibunya segera.
Tuhan, jaga selalu bunda dalam lindungan-Mu. Aku sayang bunda, Tuhan.
***
Haura tergesa-gesa saat pulang kuliah. Perasaannya kali ini tidak enak, takut ibunya melakukan hal yang mampu melukai dirinya sendiri. Tadi ia melihat ibunya berlari mengejar sang ayah menuju parkiran, saat Haura pergi ke toko buku. Entah apa yang ibunya lihat saat itu, Haura tidak tahu.
Pintu terbuka dan menampilkan wajah pilu sang ibu. Ayahnya telah melakukan kekerasan kembali pada ibunya. Haura dapat melihat hidung ibunya mengeluarkan darah segar dan pelipisnya robek. Haura berlari dan memeluk sang ibu dalam dekapannya. Andaikan Tuhan mengijinkan, ia ingin menggantikan posisi ibunya saat ini. Ia rela menerima setiap pukulan ayahnya, asalkan ibunya selalu bahagia. Haura benci melihat ibunya terus menderita seperti ini.
"Ayah kamu selingkuh," ucap Reta lirih.
"Omong kosong," geram Bagus. Gesper di tangannya kembali bertindak, dia memecut kaki lemah Reta yang mengeluarkan bekas luka.
"Ayah berhenti! Ini sudah keterlaluan. Ayah sudah menyakiti Bunda," isak Haura pilu, ia memeluk ibunya kembali, mengusap kaki yang dilukai oleh ayahnya.
"Nggak usah ikut campur kamu! Ibu kamu ini gila! Dia yang selingkuh, tapi ayah yang dituduh," elak Bagus. "Masuk kamar kamu sekarang Haura!"
Bagus menarik paksa tangan Haura untuk masuk ke kamarnya, mengunci pintu itu rapat agar Haura tidak dapat menghentikan aksinya kembali. Bagus segera kembali dan menarik paksa Reta ke kamar mereka. Kembali melakukan pergulatan panas dan kasar. Tidak mempedulikan Reta yang menangis kesakitan akibat ulahnya. Bagi Bagus, hasratnya harus terpuaskan. Tidak peduli bagaimana Reta tersakiti. Yang terpenting hanya dirinya sendiri.
berkali-kali Bagus melakukannya dan membuat Reta lemas. Setelahnya dia menyambar gesper itu kembali, menyiksa Reta. Dari punggung hingga kaki, Reta merasakan kesakitan luar biasa. Ia tidak berani mengeluarkan suara kesakitannya karena ia tahu, Haura dapat mendengarkannya. Reta memilih menggigit bibir bawahnya untuk meredam isak tangisnya. Bagus belum berhenti di situ saja, dia menarik rambut Reta kuat, mendorongnya keras hingga kepala Reta terantuk dinding kamar mereka. Reta meringis kesakitan, ketika darah segar kembali membasahi pelipisnya. Semuanya ia terima dengan rasa ikhlas, sebelum kegelapan menyeretnya. Bagus menepuk pipi Reta pelan, hatinya dirundung khawatir luar biasa. Bagus menggendong Reta ke kasur, menyelimutinya dengan selimut tebal. Membenarkan surai rambut Reta yang berantakan karenanya. Ia berlalu ke kamar mandi, membawa handuk basah, guna menyeka wajah berantakan Reta. Mencium kening Reta dengan tulus, menangis terisak di depan Reta yang belum sadarkan diri.
"Maafkan aku, maaf," isaknya. "Aku tidak suka melihatmu tersenyum ramah kepada orang lain."
***
Reta memakai foundation untuk menutupi lebam di area wajahnya, juga memakai sweater rajut untuk menutupi seluruh tubuhnya yang terkena sambitan gesper oleh suaminya. Ia keluar rumah untuk berbelanja bersama ibu-ibu yang lain. Menyapa mereka dengan ramah. Reta memilih beberapa sayuran dan lauk pauk.
"Bu Reta, anaknya udah umur berapa?" tanya ibu-ibu disampingnya.
"Dua puluh tahun Bu, ada apa ya?" ibu itu menggelengkan kepalanya.
Seorang lelaki yang dikenal Reta berdiri di depannya, ikut memilih beberapa sayuran. Lelaki itu tersenyum di depan Reta, menyapanya seakan mereka telah akrab. Reta merasa canggung luar biasa, tetangga barunya adalah seseorang yang dulu pernah ada di hatinya. Namun cinta itu kandas dan hilang. Reta menelan ludahnya susah, ia tidak boleh berada di posisi ini sekarang. Harus segera pergi atau akan terkena masalah.
"Pagi Ret, belanja?" sapanya yang hanya dibalas anggukan dan senyuman tipis Reta.
Reta berhenti sejenak, memandang ibu-ibu disekitarnya yang nampak ingin tahu. "Saya dan Reta adalah teman lama, dulu kami dekat, iya, 'kan Ret?"
Reta tidak menjawab. Ia cukup tahu diri, memposisikan dirinya dalam diam adalah kunci untuk menyelamatkan dirinya dari siksaan Bagus.
"Ini Pak, uangnya. Saya duluan," Reta segera pergi dari sorotan mata lelaki yang telah menjadi masa lalunya.
Reta memasuki rumah, ia telah disambut dengan tatapan tajam Bagus. Menyeretnya untuk masuk ke kamar, Bagus mulai mengambil gesper dan memecut kembali tubuh Reta. Menerima dengan perasaan pedih. Selalu seperti ini jika ia tersenyum pada lelaki lain selain Bagus.
"Perempuan bodoh! Pelacur!" makinya di depan Reta.
"Ampun Mas, aku bahkan tidak menjawab pertanyaan dia," mohon ampun Reta.
"Dasar wanita murahan. Kamu memang tidak lebih dari pelacur!" makinya kembali.
Bagus menjambak rambut Reta dengan kuat, dia membenturkan kembali kepala Reta ke dinding hingga mengeluarkan darah. Lalu kembali meninggalkan Reta begitu saja dengan keadaan terluka. Bagus kembali dan menjambak rambut Reta, mengamati wajah lebam Reta.
"Sekali lagi aku lihat kamu tersenyum padanya, aku habisi kamu saat ini juga!" ancamnya tidak main-main.
"Bunuh saja aku sekarang Mas, lebih baik mati dari pada menderita seperti ini," jawaban Reta membuat hati Bagus tersayat.
Sejahat inikah dirinya pada Reta? Sepertinya iya.
Haura membuka secara paksa pintu kamar Reta, ia melihat jelas, Bagus menjambak rambut Reta. Berlari dan mendorong sekuat tenaga untuk membuat Bagus terjungkal. Ia menangisi ibunya yang kini terlihat lemah.
"Ayah memang nggak punya hati!" teriak Haura.
Bagus benar-benar tidak terima, dengan ucapan Haura. Ia bangkit dan menampar pipi Haura dengan keras, hingga Haura terbentur tepian tempat tidur. Menyebabkan lebam dan darah keluar dari sudut bibirnya. Reta benar-benar tidak terima, dia memeluk Haura erat, hatinya ikut terluka saat ini. Jika Haura sakit, dia akan sakit.
"Cukup, Mas! Aku saja yang kamu sakiti, jangan Haura. Jangan pernah kamu lukai dia, walau seujung kuku," ancam Reta.
"Kamu ngancam aku?"
"Iya. Aku bakalan laporin, Mas, ke polisi. Mas, gila!"
Satu tamparan lolos diberikan begitu saja tanpa beban di wajah Reta. Ia benar-benar tidak mengerti, mengapa bisa seperti ini. Melukai dua wanita yang berharga dalam hidupnya. Hanya karena rasa cemburunya pada mantan Reta yang sekarang tinggal di depan rumah mereka. Bagus cemburu luar biasa.
"Karena yang gila bukan aku, tapi kamu!" ucap Bagus.
"Kamu benar-benar keterlaluan, Mas. Lihat Haura, kamu sudah melukai anak kita. Kamu laki-laki gila!" murka Reta.
Reta memapah Haura dengan tertatih untuk keluar dari kamar ini. Ia mengajak Haura masuk ke kamar gadis itu. Mendudukkannya di tepian kasur, ia membelai rambut panjang Haura lembut.
Ia terluka melihat tamparan Bagus masih membekas di wajah putih Haura. Warna merah keunguan bukanlah hal yang bagus untuk wajah cantik Haura.
"Maafin bunda, Nak. Maaf."
***
Cerita ini diremake ulang ya, gaezzz. So jangan kaget😇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top