Lelaki garang
Hati ini beku. Karena tidak ada kehangatan dalam bentuk cinta.
.
.
.
.
Lelaki berpakaian biru itu berlari mengelilingi lapangan, usai melakukan pemanasan sebentar. Berhenti sejenak untuk memandang jam di tangan kekarnya, ia memutuskan untuk kembali ke mess. Ia harus pergi ke suatu tempat lebih dulu, sebelum melakukan apel pagi. Berganti dengan pakaian dinas lapangan, lelaki itu menaiki motor kesayangannya menuju gerbang. Dua penjaga memberikan hormat padanya yang dibalas dengan anggukan.
Melajukan motor kesayangannya menuju sebuah warung makan. Ia berhenti dan menyapa seorang lelaki tua penjual bubur. Membawa beberapa mangkuk bubur ke orang-orang yang duduk tak jauh darinya.
"Masnya, anak si bapak?" tanya seorang perempuan yang berdiri di depannya.
"Iya. Kenapa, Mbak?" Ekor matanya memandang perempuan itu tajam.
"Nggak papa. Besok mau ke sini lagi kalau ada Masnya. Pak, saya mau bayar."
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Sejujurnya Ia risih jika ada wanita seperti tadi menatapnya secara terang-terangan atau memujanya. Ia menumpuk semua mangkuk yang telah kosong ke dekat ember, kemudian menumpuk kembali kursi yang tidak terpakai. Ia memilih duduk di dekat lelaki tua penjual bubur untuk memulai bercengkrama.
Sebuah motor matic berhenti di dekat motornya. Seorang gadis turun untuk melepas helmnya, tapi tetap mengenakan masker.
"Mbah, saya pesan bubur dua, ya. Nggak pakai ayam, kacangnya aja dibanyakin sama kerupuk," lelaki tua itu mengangguk. "Mbah, maaf, dibungkus aja ya, saya buru-buru."
"Iya Neng, duduk dulu," lelaki tua menunjuk kursi di sebelah lelaki yang telah membantunya.
"Enggak Mbah, berdiri aja saya. Kuat kok," ucap gadis yang memakai masker itu.
Pesanan bubur telah selesai, gadis itu membayar dengan uang lebih dan kembali menaiki motor putihnya. Melaju dengan kecepatan standar.
"Jangan pasang wajah garang atuh Sep, jadi takut itu si enengnya, " ucap lelaki tua.
"Wajah saya udah seperti ini, Pak. Biarkan aja dia lari, toh saya nggak berniat mengejar," angkuhnya.
"Suatu saat nanti, Kasep bakalan kejar si eneng itu. Nanti kalau beneran ngejar si neng, ajak ke mari ya," ucap lelaki tua itu kembali.
Belum pernah ia terpikir untuk mengejar cinta seorang gadis muda. Menurutnya sangat memusingkan. Gadis itu terlihat sangat labil. Terbukti sekali jika tadi ia pesan bubur, lalu tiba-tiba minta dibungkus secepatnya. Labil, bukan tipenya.
***
"Gantikan saya mengajar untuk sementara waktu. Karena saya akan pergi ibadah haji," ucap lelaki yang pernah menjadi dosennya.
"Tapi Pak, mengapa harus saya?"
"Saya memilih kamu, Haidar. Saya juga sudah ajukan kamu ke kesatuan," balasnya telak. Haidar tidak dapat membantah.
Jika sudah mendapatkan izin dari kesatuan, ia bisa apa selain menerima. Haidar diam, ia menerima segala buku tebal untuk dipelajari. Ia sudah larut dalam buku tebal yang membawanya kembali ke masa kuliahnya dulu.
Haidar menutup buku itu dan pamit undur diri. Ia harus menyiapkan segalanya untuk besok. Menjadi dosen dadakan tidaklah mudah. Ia harus kembali belajar. Membuka beberapa buku yang telah disimpan rapat di kardus bawah ranjang kamarnya.
Haidar melajukan motornya menuju sebuah rumah minimalis yang satu bulan lalu ia kunjungi. Jarak rumah dengan messnya hanya satu jam, tapi ia jarang pulang ke rumah, bahkan hampir tak pernah pulang jika bukan ibunya yang menelpon. Ia tidak begitu dekat dengan ayah tirinya. Lelaki yang menikahi ibunya setelah kematian ayahnya. Hatinya belum bisa menerima kematian ayah kandungnya, yang belum juga ditemukan jasad beliau. Haidar memandang tajam wajah bahagia ayah tirinya, saat ia datang ke rumah. Mengucapkan salam walaupun dengan kaku. Ia masuk begitu saja tanpa berbasa-basi dengan ayah tirinya. Menyalami ibunya yang berada di dapur, ia melangkah menuju kamar, mencari semua buku yang dibutuhkan.
"Haidar, nginap di sini?" tanya ayah tirinya.
"Tidak. Permisi," ucapnya berlalu begitu saja.
Ia tidak pernah merestui pernikahan ibunya dengan Yos, ayah tirinya. Hatinya masih berharap ayah kandungnya akan datang dan membubarkan semuanya. Nyatanya selama ia menunggu dua tahun, ayahnya tidak kunjung datang. Ayahnya benar-benar meninggal dunia. Haidar memilih menghindari Yos, tidak ingin ada pertengkaran antara dirinya dengan Yos jika satu atap. Pergi untuk kebaikan adalah hal yang terbaik. Haidar masih terus mencari kebenaran tentang kematian ayahnya. Dan sejuta ulasan tentang ayahnya.
"Haidar, tunggu!" teriakan Yos, menghentikan langkah Haidar. "Ayah kamu sendiri yang meminta saya untuk menikahi ibumu, karena saya sudah jatuh cinta dari awal, ya, saya terima tanpa penolakan."
Bedebah. Umpat Haidar.
***
Berjalan dengan gagahnya, lelaki bertubuh tegap itu memasuki kelas. Memandang beberapa wajah asing selama tiga detik. Kemudian berjalan dengan langkah lebar, menuju kursi yang berada tepat di depan semua mahasiswa-mahasiswi. Membuka buku absen dan memandang kembali wajah-wajah di depannya. Mata elangnya memandang arah pintu yang masih dia biarkan terbuka. Suara langkah dengan kecepatan tinggi memasuki indera pendengarannya. Wajah lelah karena berlari, tampak pada gadis yang memakai masker biru, kini berdiri di ambang pintu dengan napas berat. Ia menandang ke arah Haidar.
"Maafkan saya, Pak," ucapnya, klau membungkukkan badannya.
Mengamati wajahnya yang tertutup masker, kini berjalan cepat menuju mejanya. Lelaki itu memandang kembali wajah mahasiswa-mahasiswi di depannya dan mulailah ia memperkenalkan diri.
"Nama saya, Haidar. Saya yang akan menggantikan Pak Joko untuk beberapa waktu ke depan," suara beratnya saat memperkenalkan diri, mampu membuat kaum hawa memuji dirinya. Tapi itu tidak berlaku pada gadis yang datang terlambat tadi. Ia memilih menjauh dari segala macam lingkaran cinta yang ada. Tidak ingin bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Menjaga hatinya dengan aman dan nyaman. Bahkan ia membekukannya agar kehangatan sebuah cinta tidak masuk ke dalamnya.
Gadis itu memejamkan matanya, kala rasa pening melanda. Tiba-tiba kegelapan menyeretnya. Pekikan seseorang di samping gadis bermasker itu, membuat Haidar sigap untuk segera membawanya ke klinik kesehatan. Ia tak ingin mahasiswinya terjadi sesuatu. Dibantu oleh petugas perempuan, Haidar merebahkan gadis yang ia gendong tadi di atas brankar. Menarik sedikit masker yang melekat di wajah manis gadis itu. Haidar sedikit tercengang, kala sebuah luka lebam tersemat di pipi kanan gadis itu, ia menutup kembali masker itu. Tidak ingin ikut campur, tapi hatinya meradang kala seorang wanita harus mendapatkan luka seperti itu.
Haidar memilih kembali ke kelas. Ia tidak seharusnya ikut campur dalam urusan seperti itu. Ia kembali menjelaskan mata kuliah menggantikan pak Joko.
"Pak, dia kenapa?" pertanyaan dari teman sebelahnya.
"Kecapekan. Lanjutkan saja," ucap Haidar datar.
Dalam hati ia merutuki orang yang berani dan dengan sengaja menggoreskan lebam di wajah manis gadis itu. Haidar memandang buku absen, nama Haura tersemat di baris ke lima belas. Haura Nafisah. Gadis manis itu telah berhasil membuat Haidar resah.
***
Haura membuka matanya perlahan, pertama kali yang dilihat adalah seorang lelaki muda yang menjadi dosen penggantinya. Ia termenung sejenak, menghela napas sepelan mungkin, tidak ingin lelaki di sampingnya ini tahu. Haura membuka matanya kembali, ia berusaha bangun dari tidurnya. Pergerakan kecil dirasakan oleh Haidar, dia memandang tajam Haura yang kini berusaha untuk duduk.
"Diminum dulu teh hangatnya, setelah itu bisa telepon wali kamu," ucap Haidar.
Haura termenung sejenak, mau menelpon siapa? Reta? Tidak. Dia tidak ingin membuat Reta malu karena keluar dengan wajah babak belur. Menelpon Bagus juga tidak mungkin, ayahnya itu akan menyalahkan Reta atau dirinya. Mendengarkan Reta dihina saja membuat hati Haura sakit luar biasa.
"Maaf, Pak. Saya tinggal di kos. Jadi, saya pulangnya naik taksi online saja," nego Haura.
"Terserah kamu. Jaga diri baik-baik, jangan pernah percaya pada orang lain dan jangan pernah mudah terpengaruh oleh lelaki lain," wejangan Haidar.
Memang tidak dapat dipercaya sepenuhnya lelaki. Bahkan saya sendiri tidak pernah percaya adanya cinta ataupun mencintai. Lelaki manapun sama saja. Mereka hanya bisa membuat kaum wanita terluka. Batin Haura.
Haidar mengantarkan Haura ke depan sampai gadis itu mendapatkan taksi online. Memandang gadis itu dengan mata tajamnya. Sejujurnya ia merasa khawatir luar biasa. Entah mengapa, ia ingin sekali menjaga gadis ini bagaimanapun caranya. Tak peduli jika umur mereka terpaut jauh.
***
Haura memandang rumah di depannya dengan tatapan kecewa. Dulu mereka hidup bahagia, terdengar canda dan tawa yang mampu membuat keluarga lain iri. Tapi sekarang berbeda. Semuanya berbeda. Hanya ada teriakan kesakitan ibunya setiap malam.
"Hai Nak," sapa seorang lelaki paruh baya padanya.
Haura diam, mencoba mengingat lelaki ini. Membaca nama yang tertera di identitasnya yang menggantung di dadanya.
A-n-d-i, ejanya dalam hati. Tubuhnya menegang, lelaki ini yang membuat ibunya dipukul habis-habisan oleh ayahnya. Lelaki ini yang selalu berusaha menyapa ibunya. Haura mundur beberapa langkah, ia harus segera pergi dari sini.
"Tunggu, Nak. Saya mau bertanya tentang ibu kamu," pertanyaan itu membuat Haura diam. "Saya ingin membawa ibumu pergi dari penjara tua ini. Saya mencintai ibumu."
Tidak
Haura memilih pergi, ia mengunci pintu segera. Mencari ibunya yang sedang berkutat di dapur. Haura memeluk ibunya dengan erat, menangis tanpa sebab.
"Ada apa? Kenapa nangis?" tanya ibunya khawatir.
"Lelaki di depan itu, ingin bawa Bunda pergi."
"Bunda tetap di sini sayang, bunda bersama Haura," ucapnya menenangkan.
Suara ketukan pintu membuat keduanya diam. Reta menghapus air mata di wajah Haura, melepaskan masker yang tersemat di wajah anak gadisnya ini.
"Janji sama bunda, Haura jangan bicara apapun mengenai lelaki itu di depan ayah." Haura mengangguk. "Sekarang, kamu buka pintunya, bunda mau melanjutkan masaknya."
Haura mengangguk, ia berjalan menuju pintu. Tangannya menggantung di udara saat akan membukanya. Ia mengintip sedikit dari jendela, ternyata ayahnya sudah pulang. Haura membuka pintunya.
"Sudah pulang?" Haura mengangguk. "Bunda kamu di mana?"
"Dapur. Ayah bawa apa?" Haura memandang kotak merah di tangan ayahnya.
"Bukan apa-apa. Sana mandi," titah ayahnya.
Haura pergi ke kamarnya, ia tidak ingin membantah perkataan ayahnya. Bagus berjalan menuju dapur, mengamati Reta yang menata beberapa hidangan khusus untuk merayakan ulang tahun Haura. Bagus memeluk Reta dari belakang, sedikit meringis kesakitan karena luka dipunggungnya tertekan.
Bagus meletakkan kue dan memandang wajah pucat Reta. Beberapa lebam di wajah Reta sedikit memudar, tapi luka cambukan yang ia toreh belum kering. Hatinya benar-benar terluka, melihat wajah wanita yang dicintai harus seperti ini.
"Maaf," ucapnya. Reta hanya mengangguk sekilas.
Reta mengetahui satu rahasia yang terjadi, jika Bagus mengidap bipolar. Suaminya bisa bahagia bersamanya, bisa juga ia melakukan kekerasan tanpa sebab yang pasti. Reta memilih menutupi semuanya. Karena seorang istri adalah pakaian bagi suaminya.
Haura turun dan memandang takjub deretan makanan favoritnya tersedia di meja makan,beserta kue ulang tahun bertuliskan namanya. Ia memeluk kedua orang tuanya erat. Merapalkan kata terima kasih berulang kali. Ingin rasanya keluarga ini kembali utuh dan bahagia seperti ini selamanya.
"Ingat selalu kebahagiaan ini, sayang. Jika nanti Haura merasa sedih. Ada bunda dan ayah yang akan menjadi sandaran dan keluh kesah kamu," ucapan itu membuat Haura menangis terisak-isak di pelukan Reta.
Hati Bagus rasanya sakit melihat pemandangan ini. Ua yang telah membuat Haura sedih. Ia pula yang melukai Reta dan membuatnya malu untuk keluar rumah. Pantaskah dia disebut suami dan ayah yang baik? Rasanya tidak. Ia hanya lelaki bodoh dan jahat.
Bagus memeluk Haura, sedangkan Haura berusaha untuk melepaskan pelukan ayahnya. Ia takut sekali jika Bagus akan tiba-tiba menamparnya seperti kemarin. Haura meronta, ia menangis karena takut. Bagus melepaskan pelukannya. Ia melihat Haura bersembunyi di belakang tubuh Reta.
"Haura," panggil Bagus.
Haura menggeleng takut. "Enggak, Haura sama Bunda aja."
"Kenapa?" tanya Bagus.
"Ayah ... jahat."
Satu kalimat itu berhasil membuat Bagus benar-benar kalut. Haura takut padanya. Ia tak tau harus berbuat apa. Tak berani jika ia memaksa Haura untuk menyukainya, akan sangat percuma. Ia benci pada dirinya sendiri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top