° 9. Awal dari Neraka °

“Hansa, fokus! Astaga, kamu ini dari tadi saya perhatikan sering gagal terima toss dari Leo. Kenapa, sih?”

Teriakan dari sosok yang duduk di bangku tepi lapangan itu menembus gendang telinga Hansa ketika ia beberapa kali kehilangan fokus saat latihan berlangsung. Alhasil beberapa operan dari Setter yang seharusnya berhasil ia terima dan pukul ke area lawan justru melenceng.

“Maaf, Pak.” Cowok itu mengusap wajahnya kasar kemudian menghela napas pelan. Ia dihinggapi rasa bersalah karena beberapa tatapan kecewa yang kini mengarah padanya.

Break dulu, lanjut kalau udah stabil lagi,” titah pria berkumis tipis itu sembari meniup peluit yang terkalung di lehernya.

Beberapa decak sebal terlontar karena permainan dihentikan sebelum pemenang muncul.

“Lo kenapa, sih, Han? Baru kali ini gue lihat lo latihan kayak gini. Tuh, si Angga uring-uringan sendiri gara-gara stop di tengah-tengah permainan,” celetuk Rei menunjuk pada cowok dengan bandana hitam yang kini tengah meneguk air minum dengan mata yang terarah padanya.

Remaja itu menggeleng lemah. “Sorry, Bang. Gue emang lagi nggak fokus,” sahutnya.

“Kenapa? Gara-gara masalah itu?” Lagi, Rei melontarkan pertanyaan. Cowok bermata sipit itu tampak masih belum puas dengan jawaban yang anak buahnya berikan.

Mau tak mau Hansa mengangguk. “Mungkin karena itu juga.”

Di samping itu, Hansa merasa akhir-akhir ini tubuhnya selalu merasa lelah meski ia sudah berusaha untuk tidur lebih awal. Dia juga sudah makan tepat waktu agar sakitnya tak kambuh. Namun, tak bisa dipungkiri jika pikirannya masih saja berisik dengan masalah yang silih berganti.

“Jangan terlalu dibawa stres. Inget dua hari lagi kita tanding. Bukannya mentingin tim daripada lo, tapi kenyataannya peran lo di tim kita itu penting, Han. Jadi gue harap lo bisa ngerti,” ucap Rei mendaratkan tepukan pelan di bahu Hansa.

“Dan gue ada di pihak lo. Jadi kalo butuh bantuan buat selesain case ini, lo bisa bilang ke gue. Tahu maksud gue, ‘kan?”

Ketika Rei berkata demikian, Hansa jelas tak memandang sebelah mata. Semua orang di sekolah tahu siapa Rei, dan sebesar apa pengaruh keluarganya dalam keberlangsungan hidup sekolah ini. Namun, Hansa bukanlah orang yang akan memanfaatkan posisi orang lain untuk kepentingannya sendiri. Cowok itu hanya menggumamkan kata terima kasih ketika Rei menawarkan bantuan.


~•~


“Gue ke toilet bentar, ya, Ron. Lo tunggu di sini aja,” tukasnya ketika mereka tiba di area parkir.

Latihan berjalan lancar usai Hansa berhasil fokus dan melakukan tugasnya dengan maksimal. Pelatih bahkan memujinya karena mampu mengembalikan semangat berlatih timnya. Suasana lapangan yang semula suram juga kembali cerah ketika salah satu pemainnya bersemangat.

Akan tetapi, semangat yang semula membara saat di lapangan kini menguap entah ke mana. Tergantikan dengan mual yang lagi-lagi menyerang hebat.

“Muka lo pucet, Han. Lo kenapa?” Aaron yang sudah menangkap gelagat aneh kawannya lantas menatap Hansa penuh khawatir.

Hansa menggeleng cepat. “Nggak kenapa-kenapa, cuma mules aja. Pokoknya lo tunggu di sini aja. Gue nggak akan lama, kok. Oke?” pungkasnya meyakinkan sang kawan.

Meski tak begitu pas dengan jawaban yang Hansa berikan, Aaron akhirnya mengangguk. “Ya udah, nggak usah buru-buru. Gue tunggu di sini sambil nonton, deh.”

Hansa melambaikan tangan pada Aaron sebelum berlari menuju toilet dengan langkah yang agak terhuyung. Begitu tiba di depan pintu toilet, dia dengan cepat masuk ke dalam. Suara muntahannya yang cepat dan terputus-putus menggema di ruang toilet, meninggalkan Hansa dengan perasaan lemah dan terpapar.

Lagi, dia memuntahkan makan siangnya yang seharusnya sudah tercerna. Sensasi panas di tenggorokan membuat remaja itu sedikit tersengal. Rasa sakit yang menyerang perut juga menyerang hingga Hansa nyaris tak bisa berdiri. Namun, mengingat Aaron yang menunggunya di area parkir mengharuskannya untuk menyudahi rasa sakit itu dengan cepat.

Ia berdiri di depan wastafel kemudian berkumur dan membasuh wajahnya. Dia menangkap pantulan dirinya yang pucat dari cermin kemudian menghela napas. Sejak kapan ia tampak selemah ini? Hingga Aaron yang biasanya tidak peka terhadap hal-hal kecil sampai menyadari keanehan itu. Padahal Hansa paling tidak suka jika sang kawan melihat sisi dirinya yang lemah.

“Jangan manja, Han,” gumamnya bermonolog.

Cowok itu baru saja membalik badan dan akan kembali ke tempat parkir ketika dua orang siswa berdiri di depan pintu. Menghalangi jalan Hansa untuk keluar dari toilet.

“Tolong minggir, gue mau lewat,” ujarnya ketika dua orang itu tak kunjung memberi jalan.

“Ya udah, lewat aja,” sahut yang tertinggi di antara mereka.

“Tapi kalian ngalangin jalan.” Netra hitam Hansa menatap tajam pada sosok arogan itu, kemudian berdecak pelan. Ayolah, ia sangat tidak ingin membuat keributan yang hanya berakhir merepotkan.

Cowok berambut cokelat itu terkekeh. “Oh, gue lupa. Nggak ada jalan buat orang yang hamilin cewek.”

Hansa belum sempat bereaksi ketika sosok bertubuh tegap itu mendorongnya hingga tersungkur ke lantai toilet. Tangannya yang basah tergelincir ketika berusaha untuk menopang tubuh agar tidak menghantam keramik dingin di bawahnya.

“Lo apa-apaan?!” pekiknya, terlalu terkejut dengan tindakan tiba-tiba dari orang yang bahkan tidak ia ketahui namanya.

Melihat mereka berdiri di depan pintu hingga menghalangi jalan keluar, seharusnya Hansa paham dengan maksud dari tindakan itu. Namun, ia yang tidak pernah mengalami hal seperti ini berusaha untuk menepis pikiran negatif itu hingga akhirnya menyadari, jika dia tengah berhadapan dengan seorang penindas.

Si pelaku yang mendorongnya hingga terjatuh itu berjalan mendekat dan berjongkok di depan Hansa.

“Gue bilang, nggak ada jalan buat orang yang hamilin cewek,” ucapnya dengan senyum miring.

Mata Hansa tertuju pada badge nama di dada kanan cowok itu, kemudian sekilas ingatan membuat Hansa seketika menegang. Darel Emilio, meski tak pernah berhadapan langsung, Hansa sedikit banyak tahu seperti apa watak orang ini dari apa yang anak-anak kelasnya bicarakan. Siswa kelas dua belas yang haus pengakuan, dan bertindak sesuai kemauan.

“Gue udah penasaran, kayak gimana rupa Hansa, yang akhir-akhir ini jadi trending topic di sekolah. Eh, ternyata kayak bencong gini,” tukasnya mentertawakan wajah Hansa yang tampak seperti laki-laki yang tak bisa berkelahi.

“Jadi … gimana rasanya having sex waktu masih awal puber? Enak?” tanyanya yang berhasil membuat Hansa yang semula berusaha untuk menekan emosi akhirnya terpancing.

Tanpa sadar, tangannya yang terkepal erat telah mendaratkan satu pukulan ke wajah Darel hingga sosok yang semula berjongkok itu kini terduduk sembari memegangi pipinya.

“Anjing, berani juga lo, ya?” umpat cowok itu, mengusap pipinya yang kini terasa nyeri.

“Sikat aja, Rel,” timpal sosok yang sedari tadi berdiri di belakang Darel.

Ketika dua orang itu berdiri di depannya, Hansa akhirnya menyadari. Jika ia telah terlibat dengan tipe orang yang paling ingin dihindari.

Update yaaa

Btw, seperti yang udah aku infokan kemarin. Kalo Noktah update lebih awal di Wacaku.

Buat yang udah mampir, jangan lupa tinggalin jejak yaw. Kasih rating sama like, dan masukin ke bookmark/favorit juga supaya notifikasi masuk.

Sekian and see you next part~

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top