° 5. Badai °

“Apa masih nggak enak badannya, Bang? Perlu ke rumah sakit buat pemeriksaan lebih lanjut?”

Ayah tiba setelah jam makan malam usai. Pria pertengahan empat puluhan itu juga sudah mendengar kabar jika si sulung pulang lebih awal karena sakit. Mengabaikan rasa lelah usai mengemudi selama hampir tiga jam, pria itu langsung bertolak ke kamar Hansa untuk mengecek kondisi  putranya.

“Udah mendingan, Yah. Cuma asam lambung yang naik, nggak perlu sampai ke rumah sakit.” Hansa mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk ketika sang ayah mendekat dan duduk di tepi ranjang.

“Asam lambung bukan penyakit sepele, loh, Nak. Semua penyakit juga bergitu, nggak boleh disepelekan,” timpal Ayah diiringi helaan napas pelan.

“Padahal udah lama banget kamu nggak kambuh begitu. Seinget Ayah mungkin waktu kamu masih kelas delapan. Tapi kenapa tiba-tiba banget kambuh lagi? Kamu ada masalah apa?”

Meski tak banyak tahu tentang ilmu kesehatan, tetapi Ayah sudah cukup paham detail sebab-sebab dari penyakit yang dulu pernah menyiksa putranya. Hansa bukan tipe anak yang akan melewatkan waktu makan karena dulu bocah itu sudah tahu akibat dari kelalaiannya. Dan di antara banyak kemungkinan, hanya satu hal yang terlintas di benak Ayah.

“Apa ada hal yang lagi kamu pikirin? Coba cerita ke Ayah, jangan dipendam aja. Akibatnya bisa sampai begini.” Imam menyibak helai rambut yang jatuh di dahi Hansa. Meski samar, ia dapat melihat gurat lelah di wajah anak itu.

Hansa menggeleng dan tersenyum tipis. “Aku nggak mikirin apa-apa, Yah. Mungkin karena kecapekan aja. Lain kali aku bakal lebih hati-hati, biar nggak bikin repot Bunda sama Ayah juga,” sahutnya.

“Ehh … maksud Ayah bukan begitu.” Ayah mengusap pelan lengan Hansa yang berada di luar selimut.

“Ayah mau kamu berbagi ke Ayah kalau ada hal yang sekiranya nggak bisa kamu atasi sendiri. Entah itu urusan pelajaran, temen sekolah, pacar atau lainnya. Jangan selalu bilang ‘nggak apa-apa’, atau ‘semua baik-baik aja’. Padahal beban itu cukup berat buat kamu tanggung sendiri.”

“Tapi aku beneran nggak apa-apa, Yah. Mending Ayah istirahat aja. Pasti Ayah juga capek habis dari perjalanan jauh,” sahut remaja itu.

Ia bahkan tak tahu harus beralasan apa begitu mendengar kalimat itu terlontar dari bibir sang ayah. Sederhana, tetapi entah mengapa cukup untuk menghadirkan sensasi nyeri di dada. Di mana dia sering berharap jika sang bunda juga bersikap seperti ini padanya.

“Bang ….” Ayah menatap sepasang manik kelam sang putra, berharap jika Hansa akan terbuka padanya.

Mendapat tatapan seperti itu, Hansa akhirnya luluh. Pemuda itu mengalihkan pandangan ke arah tirai yang menutupi jendela kemudian kembali menatap sang ayah.

“Kalau gitu, aku tanya sesuatu boleh?”

Dengan mantap Ayah mengangguk. “Boleh, tanya apa?”

“Menurut Ayah, aku kurang apa?”

“Maksudnya? Ayah nggak paham maksud kamu tanya begitu.” Pertanyaan yang Hansa lontarkan cukup untuk membuat dahi pria itu mengernyit.

“Mungkin ada hal yang harus diperbaiki dari aku. Kayak sikapku yang kurang sopan, otakku yang nggak begitu cerdas, atau mungkin aku kurang rajin? Yang menurut Ayah kurang apa?”

“Nggak.” Ayah menggeleng pelan. “Nggak ada yang kurang. Kamu sudah melakukan semuanya secara maksimal. Jadi Ayah rasa nggak ada yang perlu diperbaiki dari semua itu.”

“Tapi kalau disuruh buat perbaiki salah satu, Ayah minta kamu lebih terbuka, ya. Jangan keseringan pendam masalahmu sendiri, Bang. Kalau mau cerita, ada Ayah di sini,” lanjutnya dan dibalas anggukan kepala dari si lawan bicara.

“Oh, oke.” Hansa manggut-manggut.

“Tapi kenapa Bunda sering marah sama aku, ya, Yah? Padahal aku ngerasa udah lakuin semua yang aku bisa. Apa mungkin Bunda benci aku?” celetuk cowok itu dan sukses membuat Imam tercekat.

“Hush! Jangan berpikir aneh-aneh. Mana mungkin Bunda benci kamu,” sanggah Ayah tepat setelah Hansa menyelesaikan ucapannya.

Pria itu mengelus puncak rambut bocah di sampingnya. “Mungkin memang Bunda agak keras sama kamu karena kamu Abang. Ayah dulu juga gitu, didikan Nenek kamu lebih keras dari Bunda. Semua itu Nenek lakukan supaya Ayah jadi kakak yang bisa mengayomi adik-adik Ayah. Semata-mata demi kebaikan kita, Nak.”

“Tapi kalau kamu merasa Bunda sedikit berlebihan, nanti biar Ayah bicarakan pelan-pelan, ya. Supaya nggak terjadi salah paham kayak gini,” pungkasnya menyunggingkan senyum tipis.

Hansa terdiam sesaat usai mendengar penuturan panjang sang ayah. Namun, di detik berikutnya remaja itu mengangguk pelan. Mungkin benar kata ayahnya, Bunda hanya ingin ia tumbuh menjadi sosok kakak yang baik untuk adik-adiknya. Dan sungguh tidak pantas baginya untuk menaruh pikiran buruk pada sang bunda.

“Udah, ya? Kalau gitu kamu lanjut istirahat. Besok kalau masih nggak enak badan mending izin nggak masuk dulu. Nanti biar Ayah yang dateng ke sekolah,” pungkas pria itu kemudian memberi usapan terakhir ke kepala Hansa sebelum beranjak pergi.

Hansa masih duduk termenung di atas kasurnya bahkan setelah beberapa menit berlalu usai sang ayah keluar dari kamar. Pandangannya melayang ke arah dinding yang seakan menjadi penonton bisu dari pertarungan perasaan yang masih berkecamuk. Rintik tipis hujan di luar jendela menjadi teman setia, berbicara dalam keheningan yang mengisi ruangan.

Pikirannya melayang ke momen-momen bagaimana interaksi dengan sang bunda selama ini. Bahkan meski mencoba berlapang dada, nyatanya kata-kata tajam yang sering terlontar masih terasa menusuk hati. Setiap detik terasa berat, dan keheningan kamarnya seolah memperbesar suara pertanyaan dan kegalauan yang berkobar di dalam dirinya. Jawaban Ayah masih belum bisa meredakan gejolak yang sering kali mengusik cowok pemilik senyum manis itu.

Namun, beberapa saat kemudian Hansa terkekeh kecil.

“Jahat banget, sih, lo, Han. Bisa-bisanya nyalahin Bunda,” lirihnya bermonolog.

~•~

Akibat terlalu tenggelam dalam pikiran sendiri, Hansa berakhir hanya tidur kurang dari lima jam. Rasa kantuk melanda hebat ketika jam pelajaran pertama baru saja dimulai, hingga Aaron seringkali menepuk pundaknya agar tidak tertidur saat pembelajaran berlangsung.

“Lo bergadang atau gimana, sih, Han? Perasaan dari tadi ngantuk mulu,” tanya Eric, salah seorang teman sekelasnya yang sering bermain dengan Aaron. Cowok dengan alis seperti burung camar itu melahap potongan siomay hingga satu sisi mulutnya mengembung.

Saat ini mereka telah berada di kantin dan menyantap jajanan masing-masing. Tak terkecuali Hansa yang asyik menuangkan kuah cuko ke mangkuk berisi potongan pempek favoritnya.

“Iya, ngebut ngerjain PR dari Bu Desi. Gara-gara sorenya gue ketiduran dan lupa kalau tugas itu belum gue kerjain,” sahut Hansa tak acuh.

Setelah merasa kuah di mangkuk cukup banyak, cowok itu meletakkan botol kuah kemudian mulai menyendoki kuah cuko dan menyeruputnya seperti kuah bakso. Sebuah kebiasaan yang masih saja membuat teman-temannya geleng kepala.

Normalnya, manusia biasa akan menyantap pempek bersamaan dengan kuahnya, tetapi Hansa berbeda. Cowok itu akan menghabiskan kuahnya terlebih dulu baru isiannya. Bahkan tak jarang Hansa hanya memesan pempek demi bisa menikmati cuko pempek. Karena kebiasaan itulah, Hansa mendapat julukan cuko addict.

Btw, kemarin kenapa bisa sampai pingsan gitu? Gara-gara lo pingsan, anak-anak pada heboh. Padahal selama dua tahun sekolah, lo nggak pernah izin sakit. Apalagi pingsan.” Lagi, Eric bersuara.

Anak itu memang selalu memiliki rasa ingin tahu tinggi. Dan terkadang sebagai teman, Hansa sering kewalahan memberi jawaban. Menghadapi Eric tak ubahnya seperti berhadapan dengan Aaron, tetapi versi lebih dewasa.

“Mentang-mentang nggak pernah izin terus artinya nggak pernah sakit, gitu? Hansa ‘kan juga manusia bukan robot. Pertanyaan aneh,” celetuk Aaron yang awalnya tak tertarik dengan pembicaraan dua kawan kini ikut menimpali.

“Lagian Hansa ‘kan orangnya gitu. Suka sok kuat, padahal udah dibilangin buat istirahat dulu. Tapi hari ini ngeyel tetep masuk,” lanjutnya dengan dengkusan pelan.

Hansa terkekeh melihat raut wajah Aaron yang masih kesal karena pagi tadi ia nekat berangkat sekolah dan menjemputnya seperti biasa. Padahal Aaron sudah mengabarinya lewat pesan singkat agar tak memaksakan diri.

“Ya gimana, orang gue udah nggak papa. Kemarin itu cuma asam lambung yang naik, habis minum obat yang dikasih Bunda langsung baikan. Sayang kalau hari ini absen dan ketinggalan pelajaran.”

“Si paling rangking satu emang beda. Kalau gue mah pasti udah kesempatan, mumpung sakit mending izin terus tiduran di rumah. Nyokap pasti bakal masak apa pun yang anaknya minta. Enak jadi pangeran sehari,” sahut Eric tergelak.

“Idih, najis.” Bukan Hansa, melainkan Aaron yang menimpali ucapan Eric dengan raut jijik.

Mereka semua tahu, jika Eric adalah anak bungsu yang sangat beruntung dan sering berceloteh tentang bagaimana baiknya hubungan dengan keluarga mereka. Sangat berbanding terbalik dengan dua orang di depannya. Aaron sudah kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil, sedangkan Hansa … ah, sudahlah. Dia tidak mau membandingkan nasib dengan orang lain dan berakhir tumbuh rasa iri yang tidak seharusnya ada.

“Balik kelas, yuk. Tiga menit lagi bel,” ajak Hansa kemudian lebih dulu membersikan meja serta membuang sampah makanannya ke tempat sampah.

Ajakan itu berhasil mengakhiri percakapan mereka dan ketiganya beranjak meninggalkan kantin. Berjalan beriringan menyusuri lorong hingga menuju tangga yang membawa ke lantai dua. Tempat di mana kelas tingkat sebelas berada.

Namun, sebelum mencapai tangga, langkah ketiganya terhenti karena kasak-kusuk yang menghalangi jalan. Terhitung ada belasan siswa yang tengah berkerumun di depan papan mading dan saling dorong untuk mendapat posisi terdepan dan melihat isi dari mading edisi bulan ini.

“Apaan, sih, ini calon emak-emak rempong. Ngalangin jalan aja,” dengkus Eric.

“Woi, kasih jalan, dong. Kita mau lewat. Dikira sekolah punya nenek moyang lo apa?” timpal Aaron tak sabaran.

“Udah, nggak usah ngomel. Lewat pelan-pelan aja, nanti juga sampai.”

Meski juga terganggu dengan keramaian yang menghalangi jalan, Hansa berusaha untuk tidak terpancing emosi. Remaja itu menjadi yang lebih dulu mela gkah ke depan untuk membelah keramaian serta memandu kedua temannya untuk menemukan jalan keluar.

Setiap tanggal sepuluh, area mading sekolah akan selalu ramai dengan orang-orang yang penasaran dengan informasi apa yang akan terpampang di papan berukuran 2x2 meter itu. Alih-alih mengapresiasi karya dari beberapa siswa berbakat, kebanyakan dari mereka melihat mading hanya untuk mencari tahu berita apa yang akan menjadi topik panas bulan ini.

Kebanyakan isi berita itu hanyalah tentang aib seseorang yang tidak sepantasnya dipajang. Sungguh, Hansa tidak mengerti kenapa orang-orang suka sekali mengulik keburukan orang lain? Sedangkan Tuhan sudah sangat baik dalam menutupi keburukan hamba-Nya.

“Gila, masa orang kayak gini bisa sekolah di sini, sih?” bisik salah seorang siswi yang berdiri di samping Hansa.

“Ngeri banget. Kasihan ceweknya.”

“Dih, sebejat-bejatnya gue sebagai cowok, gue nggak akan pernah paksa cewek buat gitu,” ucap laki-laki yang juga ikut berdesakan di kerumunan.

“Kenapa pakai disensor nama, sih? Bagusan juga dikasih tahu siapa, nih, orang. Biar dihujat satu sekolah.”

“Iya, aneh kalau sekolah sampai biarin orang ini lepas gitu aja,” timpal yang lainnya.

Sepertinya topik berita bulan ini cukup sensitif hingga banyak siswa yang mengutarakan kritik. Meski berusaha untuk tidak terpancing, pada akhirnya Hansa ikut mengintip tentang apa yang sebenarnya anak-anak itu bicarakan. Namun, sebuah gambar yang tertempel di antara sekian banyak informasi berhasil membuat jantung cowok itu berdetak dua kali lebih cepat.

Bahkan meski nama maupun wajah orang itu disembunyikan, dia tidak akan salah mengenali. Hanya dalam sekali lihat, tubuh, tempat dan suasananya sama sekali tidak asing. Karena sosok di dalam gambar itu tak lain adalah dirinya.

Update yaw..

Jangan lupa selalu ramaikan supaya aku semangat.

Kalo vote sama komentar dan tembus targetku, nanti aku update. Sedih soalnya banyak yang diem² bae padahal baca. Berat kali kah cuma buat kasih apresiasi? 🥹

Sekian, see you soon~

Salam

Vha
(07-01-2024)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top