° 4. Kecewa °
Saat membuka mata, Hansa mendapati dirinya sudah terbaring di ranjang UKS. Pandangan yang masih sedikit kabur menangkap dua wajah yang kini menatapnya penuh cemas.
“Gue udah bilang kalau nggak enak badan ke UKS aja, jadinya pingsan, ‘kan?” Aaron menyeletuk. Meski berusaha untuk terlihat kesal, nyatanya wajah yang sarat akan kekhawatiran tak bisa disembunyikan.
“Lagian lo ngapain aja, sih? Tumben banget bisa sampai pingsan, mana di sekolah,” timpal sosok yang berdiri tak jauh dari Aaron. Itu Riri, sepupunya, yang entah kenapa bisa ada di UKS padahal mereka berbeda kelas.
Melihat betapa khawatirnya mereka, diam-diam Hansa merasa sungkan. Bagaimana tidak? Andai saja tadi ia tak bersikeras untuk tetap melanjutkan ulangan, mungkin dia tidak akan merepotkan teman-teman. Meski sakit, dia bisa mengatasinya lebih awal sebelum menjadi lebih parah.
“Iya. Sorry udah bikin kalian repot. Lain kali nggak lagi, deh,” pungkas Hansa pada akhirnya.
Aaron menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak, bukan karena ngerepotin. Gue lebih nggak suka lo mentingin ulangan daripada kesehatan. Kata Mbak Sasa, kesehatan itu lebih penting dibanding pelajaran. Makanya kalau emang sakit, ya, nggak usah berangkat. Kayak gue,” ucapnya yang dibalas dengan deham pelan dari sosok di sampingnya.
“Itu, mah, elo aja yang males masuk sekolah,” timpal Riri. Gadis itu beralih menatap Hansa.
“Badan lo nggak panas, tapi muka masih pucet gitu. Gimana kalau pulang aja? Biar gue minta Pak Anwar buat anter lo,” tawarnya.
Pak Anwar adalah sopir yang biasanya mengantar-jemput Riri ke sekolah. Pria dengan rambut yang dipenuhi uban itu juga sudah tidak asing bagi Hansa. Mereka sempat beberapa kali bertegur sapa ketika tanpa sengaja berpapasan saat pria itu sedang menunggu Riri di depan gerbang sekolah.
“Oke. Gue juga ngerasa nggak bisa fokus selama pelajaran. Kayaknya perlu istirahat dulu, daripada besok nggak masuk.” Hansa mengangguk setuju. Sudah kepalang tanggung begini, dia tak ingin menolak kebaikan kawannya dan membuat Riri kecewa.
Hanya butuh waktu tidak lebih dari dua puluh menit hingga sopir pribadi Riri tiba. Usai mendapat izin untuk tidak melanjutkan pelajaran, Hansa dibantu Aaron mengemasi barang-barangnya. Bocah setinggi dagunya itu juga mengantar Hansa hingga ke depan gerbang sekolah.
“Pak.” Hansa menyapa pria dengan seragam hitam yang telah berdiri sigap di depan pintu mobil.
Melihat sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul, Pak Anwar lantas membukakan pintu mobil dan menuntun Hansa untuk masuk.
“Nanti minta tolong bilang ke Pak Dodit, ya, Ron. Titip motor gue dulu di sekolah. Soalnya Ayah baru pulang nanti malem. Sorry juga gue nggak bisa anter lo,” pesan cowok itu sebelum menutup pintu.
Aaron berdecak. “Iya. Lagian gue bukan anak kecil. Nggak lo anter juga gue masih bisa pakai ojol.”
Bukan karena apa, Aaron hanya kesal melihat Hansa yang masih saja memikirkan orang lain padahal dirinya sendiri kesulitan untuk berjalan tegak. Padahal dari awal semester bocah itu sudah merengek ingin berangkat ke sekolah sendiri dan meminta sang kakak dibelikan motor. Akan tetapi, Hansa justru lebih dulu mengatakan pada Ardan—kakak Aaron—bahwa kemampuan naik motor Aaron sangat payah, alhasil permintaannya ditolak oleh sang kakak dan berakhir dia yang masih bergantung pada Hansa. Ah, jika mengingat waktu itu, rasanya jadi makin kesal.
“Pokoknya begitu sampai rumah lo harus minum obat terus istirahat. Gue nggak mau diboncengin sama orang sakit, nanti kecelakaan,” imbuh Aaron dan sukses membuat dua orang di dalam mobil tergelak.
Usai berpamitan dengan Aaron dan melemparkan sedikit candaan, Hansa menutup pintu mobil dan menyandarkan kepala pada headrest. Ketika di ruang kesehatan, dia sudah meminum obat dari perawat yang bertugas. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun, mual dan gejolak dalam perut masih terus mengusik. Satu hal yang ingin Hansa lakukan saat ini adalah, segera tiba di rumah dan berlari ke kamar mandi.
~•~
Begitu kendaraan roda empat yang mengantarnya berhenti di depan gerbang rumah, Hansa buru-buru membuka pintu dan melompat keluar. Mengabaikan panggilan Pak Anwar tentang tas yang masih tertinggal. Hansa mendobrak pintu depan hingga mengejutkan sang Bunda yang tengah bersantai di ruang tengah. Masih tak peduli dengan kegaduhan yang dibuat, remaja itu berjalan terburu-buru menuju kamarnya.
Membiarkan pintu ruangan itu terbuka lebar, Hansa memilih berlari ke kamar mandi dan berjongkok di depan kloset. Rasa mual yang sedari tadi memenuhi perut, membuatnya berharap untuk mendapatkan kelegaan secepat mungkin. Namun, ketika mencoba muntah, hanya kosong yang dihasilkan. Tidak ada yang keluar selain cairan kuning dengan rasa asam bercampur pahit. Lemas dan ketidaknyamanan menyelimuti tubuh sosok yang masih lengkap dengan seragam sekolah itu.
Tubuhnya luruh dan menghantam lantai dingin kamar mandi. Dengan susah payah ia menyandarkan punggungnya pada dinding, mencoba mengatasi gelombang mual yang tidak kunjung mereda. Hansa merasakan dingin di tulang belakangnya dan setiap denyut nadi yang semakin terasa berat. Kesadaran akan keadaan tubuh yang tidak kooperatif menciptakan rasa frustrasi dan keputusasaan yang selalu Hansa benci.
“Tama!”
Teriakan yang berasal dari luar kamar mandi diiringi ketukan tak berirama membuat pemuda itu tersentak. Dan seketika tersadar dengan aksinya barusan.
“Iya, Bun. Bentar,” sahutnya parau.
Dengan langkah diseret, Hansa berusaha bangkit sembari bertumpu pada dinding. Tubuhnya seperti lumpuh, dan setiap gerakan seperti usaha yang melelahkan. Suara ketukan pintu yang semakin keras dari Bunda membuat Hansa mempercepat gerakannya.
“Kamu ngapain, sih, dateng-dateng langsung lari kayak orang kesetanan gitu? Bapak itu sopirnya Riri, ‘kan? Kenapa bisa kamu diantar beliau? Motormu mana? Dan kenapa jam segini udah pulang?”
Serentetan pertanyaan langsung menghujani telinga Hansa begitu pintu terbuka. Sosok Bunda sudah berdiri di depannya dengan wajah yang menggambarkan amarah. Namun, begitu menyadari ada yang janggal pada putranya, raut wanita itu sedikit melembut.
“Kamu kenapa?” tanyanya ketika melihat wajah Hansa yang tampak pucat hingga nyaris kehilangan rona.
Cowok itu menggeleng pelan. “Nggak tahu, Bun. Rasanya mual banget, tapi pas muntah nggak keluar apa-apa. Cuma cairan doang.”
Jawaban yang terlontar mengudang decak pelan dari sang ibu.
“Itu tandanya asam lambungmu naik.” Wanita itu membalik badan dan meletakkan tas sekolah si sulung ke meja belajarnya.
Ah, benar saja. Dia memang memiliki riwayat asam lambung. Akan tetapi, penyakit itu sangat jarang kambuh sampai-sampai Hansa lupa jika dirinya pernah tersiksa karenanya. Dia sama sekali tak menyangka akan mengalami sensasi ini lagi, padahal Hansa sudah berusaha untuk menjaga pola makan serta gaya hidup sehat.
“Ganti baju dulu, biar Bunda ambilin obatnya,” titah wanita itu lantas melenggang keluar kamar.
Meninggalkan Hansa yang hanya bisa mengangguk lemah sebagai jawaban dan mulai mengganti pakaian sesuai titah sang bunda. Bahkan sebelum ia selesai mengenakan kausnya, Bunda sudah kembali ke kamar dengan membawa obat serta segelas air putih.
“Kamu ngapain aja, sih, sampai asam lambung bisa kambuh lagi? Ngerepotin aja,” omelnya sembari meletakkan gelas serta kaplet obat di atas nakas.
“Aku nggak ngapa-ngapain, kok, Bun. Tadi sarapan juga habis. Nggak tahu kenapa tiba-tiba kambuh.”
“Mana mungkin asam lambung kambuh tanpa sebab. Pasti kamu semalem bergadang main game, ‘kan?” tuduh sang bunda dan sontak membuat Hansa menggeleng cepat.
“Enggak, Bun. Aku main game cuma pas waktu luang aja. Semalem juga aku tidur lebih awal karena capek dan … kerasa sedikit nggak enak badan,” sahutnya memelan di akhir kalimat.
Bunda berdecak cukup keras. “Tuh, berarti kamu aja yang cari penyakit. Udah tahu kerasa nggak enak dari malem, kenapa nggak langsung diobatin? Nunggu parah dulu biar bisa bolos sekolah?”
“Kamu kira Ayah kerja banting tulang gitu nggak capek apa, Tam? Kamu malah seenaknya gini. Nggak kasihan sama Ayah?” imbuh wanita itu yang berhasil membuat Hansa ciut dan tak berani menyahut.
“Udah, kalau gini urus aja diri kamu. Bunda nggak mau ngurusin orang yang sengaja cari penyakit. Ada obat, mau kamu minum atau enggak terserah,” pungkas Bunda sebelum berbalik dan membanting pintu cukup keras.
Hansa termenung cukup lama di sudut tempat tidur dengan tatapan kosong. Rentetan kalimat tajam dari Bunda masih bergema di ruangan, seolah berusaha mengoyak telinganya hingga menembus batas pikiran. Seberapapun dia mencoba menahan, nyatanya rasa sakit yang dihasilkan telah menghujam ulu hati.
Cowok itu menundukkan kepala, dia kecewa, dengan bagaimana sang bunda yang selalu saja berprasangka seenaknya. Akan tetapi, dia lebih kecewa pada diri sendiri yang masih saja menyalahkan Bunda atas ketidakmampuannya sebagai anak. Sesak yang menghimpit dada seakan memaksanya untuk menangis kapan saja. Meski pada kenyataannya, tangis itu hanya berhenti di tenggorokan. Tertelan bersama kekecewaan serta gundah yang kini merajai.
Bahkan untuk menangis pun menjadi hal sulit bagi seorang Hansa.
(Fungsi gambar ini kayak kamu, cuma pemanis. Tapi kalo orang di dalem gambar emang manis.)
Fyi, ya gais. Kalo ngerasa si Aaron aneh, aku mau kasih penjelasan Aaron ini emang agak 'spesial'. Sifatnya kekanakan yang terkadang bener-bener kayak bocah 10 tahun. Jadi Hansa sendiri punya posisi jadi kayak pengasuhnya Aaron, dan dapet amanah juga dari abangnya Aaron buat jaga bocah ini.
Aku nggak akan jelasin detailnya gimana dia bisa begitu, tapi kalo kalian kepo bisa baca ceritaku yang judulnya Guiltless. Karena Noktah sendiri sebenarnya spin off dari Guiltless.
Kalau semisal nggak tertarik juga nggak papa. Karena meski spin off, kalian nggak perlu baca semua serinya buat ngerti isi ceritanya. Intinya, semua cerita berdiri sendiri.
Sekian.
Salam
Vha
(31-12-2023)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top