° 3. Jangan Sakit °
Gumpalan mendung menyelimuti
kota dengan kelembutan meski disertai gerimis ringan. Setiap tetes gerimis seolah menciptakan lagu kesedihan di atas kepalanya. Semua bermula saat ia terbangun untuk menunaikan salat Subuh, Hansa merasa tubuhnya berat dan lelah. Rasanya dia ingin kembali meraih selimut hangatnya dan kembali bergelung di kasur empuknya. Namun, Hansa tahu bahwa ia harus pergi ke sekolah.
Setelah bersusah payah mengumpulkan niat, cowok itu duduk di ujung tempat tidur, menatap keluar jendela dengan pandangan sayu. Desiran angin dingin menerpa wajahnya yang pucat melalui sela teralis jendela yang memang sudah ia buka sejak tadi.
"Jangan sakit, dong," bisiknya pada diri sendiri.
Meski matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, Hansa seolah telah menghabiskan sepanjang malam dalam pertarungan melawan kelelahan. Tidurnya tidak nyenyak, dan lebih banyak terbangun karena kepala yang semakin pusing ketika ia memejamkan mata. Beruntung ada obat sakit kepala yang tersimpan di laci meja dan berhasil meredakan sakit usai meminumnya.
Dengan semangat yang dipaksakan, laki-laki itu bangkit dan melangkah gontai menuju kamar mandi. Hari ini akan ada dua ulangan harian sekaligus, dan dia tidak boleh sampai melewatkannya. Bahkan meski dengan kondisi tubuh yang meronta ingin kembali ke buaian mimpi.
Menu sarapan pagi ini tidak banyak, hanya dua lembar roti dengan segelas susu hangat yang selalu dibuat Bunda kala Ayah tidak di rumah. Karena hanya ada Hansa dan Hasna yang akan berada di meja makan. Sementara Bunda akan sibuk dengan cucian dan juga si bungsu yang selalu sulit dibangunkan padahal dia sudah duduk di bangku Sekolah Dasar.
Hansa mencuri pandang pada sang adik yang tengah duduk anteng di seberang. Memainkan gawai sembari mengunyah roti perlahan tanpa memedulikan keberadaan Hansa di sana. Gadis itu masih kesal dengan sang kakak pasca percakapan semalam. Jika sudah begini, Hansa memilih untuk tidak menyapa hingga rasa kesal di hati anak itu reda. Ya, sesimpel itu untuk mengatasi satu-satunya anak gadis di rumah ini.
"Jas hujannya dipakai, Ron. Gerimisnya emang nggak deres, tapi kalau sampai sekolah juga bakal tetep basah," tegurnya ketika sang sahabat muncul dari balik gerbang hanya dengan stelan seragam sekolah.
"Iya, iya. Bentar gue ambil dulu," sahut si lawan bicara kemudian berbalik dan berlari kecil memasuki rumah.
Aaron bisa dikatakan sebagai sahabat sekaligus teman kecil Hansa. Rumah cowok hiperaktif itu berada tepat di depan bangunan rumah Hansa, hanya sepetak jalan yang menjadi pembatas.
Berangkat sekolah bersama sudah mnjadi rutinitas mereka setiap hari sejak awal masuk SMA. Jika ditanya soal alasan, Hansa punya banyak penjelasan. Namun, hanya akan ada satu kalimat yang akan dia lontarkan untuk memotong rasa ingin tahu orang-orang.
"Sekalian aja, orang kita satu kelas juga. Aaron gampang nyasar kalau dibiarin berangkat-pulang sendiri."
Waktu masih cukup pagi ketika pemuda berbalut jas hujan berwarna biru itu mulai memacu sepeda motornya membelah kota yang semakin sibuk meski terselimuti mendung. Terpaan angin yang mengenai wajah membuat tubuhnya semakin menggigil. Akan tetapi, Hansa tetap berusaha fokus pada laju kendaraannya dan berharap hari ini bisa berlalu dengan cepat.
~•~
Saat kedua kakinya melangkah ke halaman sekolah, hujan yang semula lembut kini berubah menjadi guyuran deras. Padahal dia sengaja sedikit berlama-lama di parkiran guna mengendalikan rasa letih yang kian menjadi.
Namun, ketika berniat untuk keluar dari area parkir, tetes-tetes air seakan ingin menyusup ke setiap pori tubuhnya, membuat baju yang semula kering kini sedikit basah. Langkahnya terhenti sejenak, dan rambutnya yang basah menempel di wajahnya yang semakin terlihat pucat.
Setibanya di depan kelas, Hansa mengerjap sejenak dan memukul kedua pipinya pelan hingga menghasilkan rona merah yang berhasil menyamarkan pucatnya. Lantas dengan wajah tegar dan usaha untuk menyembunyikan rasa lelah yang menyiksa, Hansa melangkah masuk ke dalam kelas dengan langkah hati-hati.
Aaron sudah duduk di bangkunya, lengkap dengan buku catatan yang tengah dibaca dan dihafalkan dengan mulut komat-kamit layaknya dukun yang membaca mantra. Begitu menyadari kehadiran Hansa, dia berdecak pelan.
"Tadi nyuruh gue buat pakai jas hujan biar nggak basah. Sendirinya malah hujan-hujanan," protesnya ketika menyadari rambut basah Hansa yang jatuh menutupi sebagian mata pemuda itu.
Dengan tawa renyah, Hansa menyahut, "Hujannya dadakan banget kayak tahu bulat."
"Hati-hati nanti sakit. Bentar lagi kita tanding, loh. Kalau lo nggak masuk, siap-siap gue yang bakal gantiin posisi lo," lontar Aaron diiringi tawa jahat yang dibuat-buat.
Pasalnya sejak awal masuk klub voli, bocah itu sudah mengincar posisi Spiker yang bisa mencetak skor ke area lawan sekaligus menjadi sorotan para penonton. Namun, tubuh dan kemampuannya sama sekali tak mendukung dan berakhir menjadi seorang Libero. Meski tak membenci posisi itu, tetapi seringkali terbesit rasa iri karena Hansa yang tidak terlalu menyukai voli justru dengan mudah mendapatkan posisi impiannya.
"Gue nggak akan segampang itu sakit, tenang aja," sahut Hansa.
Ia pun ikut mengeluarkan buku serta alat tulisnya dan mulai melakukan hal yang tak jauh berbeda dari sahabatnya. Dan tak lama kemudian, bel tanda dimulainya jam pelajaran berdering. Tidak butuh waktu lama hingga guru pengajar memasuki kelas dan mulai membagikan kertas berisikan soal ulangan.
Dari tempat duduknya, Hansa berusaha memfokuskan pikiran pada soal-soal di depannya, dan perlahan menggoreskan tinta pulpen setiap kali jawaban ditemukan. Namun, derap hujan di atap kelas terasa semakin berat di telinganya. Keringat dingin menetes di dahi remaja itu, dan setiap gerakan kepala terasa seperti menghantam tembok.
Pandangan Hansa mulai kabur, dan deru napasnya menjadi lebih cepat. Bibir yang biasanya berwarna cerah, kini tampak pucat dan gemetar. Dia mencoba menahan rasa sakit yang merayap di sekujur tubuhnya, tetapi setiap gerakan kecil tampak seperti usaha besar.
Hansa berusaha menyembunyikan keadaannya, dan berniat untuk menyelesaikan ulangan. Akan tetapi, pandangan yang terkadang memburam serta bibir yang seringkali merintih pelan mengungkapkan kesulitan yang tidak bisa lagi disembunyikan. Hal itu menarik atensi Aaron, yang kini mulai terusik dengan gelagat aneh sang kawan.
"Han, lo nggak apa-apa?" bisik cowok itu yang kini tengah menatap penuh khawatir padanya.
"H-hah? Iya, gue baik-baik aja. Lo fokus aja ke soal, keburu habis waktunya," balas Hansa yang masih berusaha untuk terlihat sehat.
"Tapi muka lo pucet banget. Gue bilang ke Pak Heru, ya? Biar lo bisa ke UKS. Kalau sakit 'kan boleh absen dulu dari ulangan." Aaron bersikeras. Dia memang sedikit lambat berpikir, tetapi jika menyangkut Hansa, dia tidak pernah salah. Sahabatnya jelas-jelas sedang menahan sakit.
Bocah itu baru saja akan membuka mulut, ketika Hansa mencengkeram erat lengannya.
"Jangan, Ron. Biar gue selesaiin ini dulu. Nanti gue ke UKS sendiri," tolaknya tegas.
Meski sebenarnya enggan, Aaron akhirnya menurut dan mengikuti ucapan Hansa. Dia kembali fokus pada soal ulangan yang baru dua soal berhasil terjawab. Pun dengan Hansa, meski sekujur tubuh telah dibasahi keringat dingin, cowok itu tetap berusaha untuk menyelesaikan ulangan.
Empat puluh menit yang digunakan untuk mengerjakan soal terasa lebih lama bagi Hansa. Hingga akhirnya ketukan di papan tulis sebagai tanda berakhirnya waktu mengerjakan ulangan berhasil membuat remaja itu menarik napas lega.
"Ayo, berhenti mengerjakan dan kumpulkan ke depan. Setelah itu kita pakai sisa waktu untuk bahas materi berikutnya," tukas Pak Heru yang kemudian dihadiahi dengan keluhan dari beberapa siswa yang merasa belum siap untuk mengumpulkan kertas ulangan.
Pada akhirnya satu persatu mereka maju dan mengumpulkan kertas di meja guru. Tak terkecuali Hansa yang juga bangkit dari tempat duduknya dan siap menyerahkan lembar jawabannya.
Namun, ketika melangkah menuju meja guru untuk menyerahkan kertas, dunia di sekitarnya mulai terasa tidak stabil. Setiap langkah terasa berat, dan pusing yang semakin menggila membuatnya merasa seolah-olah melayang di antara mimpi dan kenyataan. Beberapa murid di sekitarnya mulai memperhatikan gelagatnya yang jelas tidak terlihat baik-baik saja.
Belum usai bisik-bisik tentang betapa pucat wajahnya, kaki Hansa tergelincir dan tubuhnya limbung. Pandangan yang redup kini memudar sepenuhnya, dan kemudian, dengan setetes kegagalan terakhir, dia roboh ke lantai. Ruangan pun seketika menjadi hening, hal terakhir yang berhasil ditangkap oleh rungu Hansa ialah suara langkah-langkah panik dan ketakutan kemudian teriakan seseorang agar menolongnya. Lantas semua menjadi gelap.
Berhubung chap ini agak pendek, jadi aku cepet update 🙃
Jangan lupa ramaikan, follow and enjoy😗
Salam
Vha
(28-12-2023)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top