° 17. Gundah °

“Siapa orangnya?”

Hening.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir yang salah satu sudutnya kini digores memar sebagian. Berpura-pura mengabaikan pertanyaan yang tertuju padanya, Hansa menatap gadget di genggaman dan sesekali menggerakkan jari lincahnya pada layar benda pipih itu.

“Sa!”

“Aw, sakit, Ri!”

Cowok itu meringis kesakitan ketika pipinya yang terluka justru ditekan cukup keras oleh Riri, sosok yang beberapa saat lalu ia hubungi. Kini, keduanya telah berada di kediaman gadis itu. Duduk di salah satu sofa ruang tamu dengan Riri yang sibuk mengobati luka di wajah Hansa.

“Ya, lo gue tanya dari tadi malah diem aja. Jawab, Sa,” desak gadis itu, tak menyerah meski sang sepupu secara jelas memberi isyarat jika dia tak ingin menjawab pertanyaan yang ia lontarkan.

“Bukan siapa-siapa, Ri. Cuma salah paham aja, nggak lebih. Jadi nggak usah diperpanjang, oke?” balas Hansa masih tenang.

“Nggak.” Gadis itu menggeleng tegas lantas mengambil salep dari dalam kotak obat.

“Mana mungkin gue diem aja, sementara saudara gue di sekolah jadi bulan-bulanan karena berita nggak jelas? Lo sadar nggak, sih, kalo nama lo jadi jelek gara-gara tulisan di papan mading itu? Sementara si Fanya berkeliaran kayak nggak ada dosa. Padahal cewek gila itu yang mulai semua ini,” celotehnya sembari mengoleskan salep pada luka hansa yang sebelumnya telah dibersihkan.

Gadis yang dulu sempat menjalin hubungan kekasih dengan sepupunya itu bahkan ikut memberikan tanggapan tentang rumor yang beredar. Alih-alih mencoba meluruskan, Fanya justru menumpahkan minyak pada api yang menyala. Membuat semakin banyak orang beranggapan negatif pada Hansa meski tak saling kenal.

Riri yang satu kelas dengan Fanya pun muak melihat tingkah gadis itu. Akan tetapi, dia juga tidak bisa berbuat banyak karena Hansa yang melarangnya untuk ikut campur. Fakta bahwa mereka adalah sepupu saja sudah memberi afeksi negatif pada Riri, apalagi kalau sampai ia membela Hansa? Masalah mungkin bisa melebar hingga keluarga besar tahu.

“Justru dengan lo diem kayak gini, itu udah bantu gue, Ri. Karena kalo sampai Ayah tahu gue dipukuli, masalah lainnya muncul. Gue nggak mau Ayah lagi-lagi harus repot gara-gara gue.” Hansa menyambar salep dari tangan Riri dan mulai mengobati lukanya sendiri.

“Gue nggak layak dapet perhatian sebesar itu,” lirihnya yang masih dapat terdengar oleh si lawan bicara.

“Maksud lo?” Riri sepenuhnya menatap Hansa ketika kalimat tersebut selesai terucap dari bibir cowok manis itu.

“Wajar bangetlah, kalo semisal orang tua keluar effort demi anaknya. Kenapa harus sungkan?” tukasnya kemudian.

Terdiam, Hansa menatap Riri beberapa saat sebelum desahan pelan akhirnya terlontar selaras dengan tatapan matanya yang meredup.

“Gue bukan anaknya, Ri,” katanya dengan senyum getir. 

“Bunda sendiri yang bilang tadi malem. Kelahiran gue, tuh, bahkan nggak pernah diinginkan. Bikin hancur hidup Bunda doang.”

Sembari merutuki diri sendiri, tanpa sadar Hansa membeberkan apa yang terjadi semalam. Tentang bagaimana keributan dimulai, hingga saat fakta yang seharusnya dipendam itu terungkap akibat emosi yang meluap.

Keresahan malam itu bahkan dapat dirasakan oleh gadis dengan sweater hijau itu meski ia tak ada di sana. Sebab apa yang tergambar di wajah Hansa cukup untuk membuatnya paham apa yang kini tengah menghinggapi benak saudaranya ini.

“Gue salah, tapi gue juga nggak siap buat dibenci, Ri. Gue takut,” pungkasnya dengan helaan napas panjang.

Mengingat bagaimana tatapan penuh kebencian yang Bunda berikan semalam sudah cukup mengikis habis nyali Hansa. Dia tidak mampu jika harus mendapatkan tatapan serupa dari kedua adiknya setelah tahu jika kakak yang selama ini selalu dibanggakan justru menjadi penyumbang terbesar luka pada kehidupan sang bunda.

“Sa ....” Gadis itu memberi jeda pada kalimatnya hingga Hansa benar-benar menatapnya.

“Kenapa malah nyalahin diri sendiri? Gue rasa ini bukan salah lo, dan selamanya nggak bakal jadi salah lo, Sa. Kelahiran kita ‘kan bukan pilihan kita,” ucap Riri. Meski sudah berusaha menyusun kata, nyatanya sangat sulit bagi mulutnya yang terbiasa melemparkan kalimat tajam.

Namun, alih-alih tersinggung dengan apa yang baru saja Riri lontarkan, Hansa justru mengulas senyum yang semakin membuatnya tampak menyedihkan.

“Lo pernah denger kalimat ini belum?” tanyanya masih dengan lekuk senyum yang tak pudar.

“Apaan?” Gadis itu menggeleng tak paham dengan pertanyaan yang tiba-tiba Hansa tujukan.

“Katanya sebelum lahir, kita udah ada perjanjian sama Allah. Kalau nggak sanggup, ya, kita nggak lahir. Tapi kalo sanggup,  hasilnya kita lahir ke dunia ini dengan segala takdir yang udah tergaris.”

Terdiam sejenak, Hansa mengembalikan salep yang digunakan untuk mengobati luka ke tempat semula. Membiarkan sang sepupu yang kini ikut terbungkam menanti kelanjutan ucapannya.

“Yang bikin gue heran, tuh, kenapa gue setuju buat lahir, ya? Gue penasaran sama janji apa yang udah Allah kasih sampai-sampai gue nggak peduli kalo kelahiran gue itu bawa luka buat Bunda. Egois banget, ‘kan?”

Berkaca-kaca, mata sipit gadis cantik itu berair usai mendengar untaian kata yang meluncur dari mulut Hansa. Bahkan dengan kalimat yang begitu menyakitkan, orang ini masih bisa mengutarakan dengan tenang. Membawa rasa pedih berkali-kali lipat bagi siapa saja yang mendengarkan.

“Bayangin kalo aja gue nggak lahir, pasti keadaan bakal jauh lebih baik. Bunda sama Ayah bisa bahagia cukup dengan Hasna dan Hasan aja. Karena gue yang jadi sumber pertengkaran mereka nggak pernah ada.” Hansa mengakhiri kalimatnya dengan senyum getir.

Sekilas bayangan tentang kehidupan tanpanya berkelebat. Sifat penyayang sang bunda yang disandingkan dengan kesabaran sang ayah pasti akan membentuk sebuah keluarga harmonis yang menjadi impian banyak orang. Hasna yang tegas cocok menjadi sosok kakak bagi Hasan si manja. Kehidupan tanpanya berjalan dengan sangat baik.

Riri yang semula diam membeku lantas buka suara. “Sa, gue ngerti pikiran lo sekarang lagi kacau. Tapi gue nggak suka kalo lo sampai mikir kayak gitu. Nggak ada yang menjamin kalo kehidupan tanpa lo bakal lebih baik. Karena keberadaan lo itu penting, Sa. Banyak orang yang bersyukur dengan kehadiran lo, dan gue salah satunya.”

“Ah!” Gadis itu menjentikkan jarinya. “Jangan lupain Aaron juga. Bocah itu ‘kan paling nggak bisa ngapa-ngapain kalo nggak ada lo. Bayangin gimana dia bisa survive kalo nggak kenal sama lo? Bisa-bisa dia nggak kenal dunia luar dan ngerasain punya yang namanya temen.”

Masih banyak lagi untaian kata yang gadis itu ucapkan demi memperbaiki suasana hati Hansa. Dan selama itu juga dia hanya membalas dengan lengkungan tipis pada bibir pucatnya, tak ingin menyela sang sepupu yang tengah berusaha menghibur.

~•~

Lembut terpa angin menyambut kulit wajah Hansa begitu jendela berbahan kusen di depannya terbuka. Taman bunga yang cukup luas disertai bunga. Di tengah taman, terdapat sebuah bangku kayu bercat putih, tempat yang sempurna untuk merenung atau sekadar menikmati ketenangan sore yang perlahan merangkak menuju petang.

Di antara bermacam bunga dan pohon, terdapat jalan setapak yang berkelok-kelok, terbuat dari bebatuan kecil yang tersusun rapi. Jalan itu seolah-olah mengajak siapa pun yang melihatnya untuk berjalan-jalan dan menikmati keindahan alam yang menenangkan jiwa. Sangat berbanding dengan pemandangan kamarnya yang hanya menunjukkan kebun kecil sekaligus merangkap sebagai taman milik Bunda.

Namun, segala keindahan itu nyatanya tak bisa meredakan gundah yang masih bersarang di dada. Tidak peduli berapa banyak kalimat motivasi yang Riri beri, ia masih saja merasa sesak.

Entah sudah berapa kali ponselnya bergetar, menampakkan deret notifikasi panggilan tak terjawab dari satu orang, ‘Ayah’. Pria itu pasti tengah gelisah karena putra sulungnya tak kunjung kembali. Hansa yakin Aaron juga sudah melapor jika dirinya ditinggalkan begitu saja di sekolah padahal mereka selalu berangkat dan pulang bersama.

“Halo, assalamualaikum, Yah ....”

Setelah mengabaikan puluhan panggilan, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk mengangkatnya. Dan seperti yang diduga, getar panik terungkap jelas di suara Imam.

“Wa’laikumsalam, Bang! Astaghfirullah ... kamu ke mana aja, sih? Kenapa bolos sekolah? Kenapa dari tadi teleponnya nggak diangkat? Kamu nggak papa, ‘kan? Kamu ada di mana sekarang? Kamu—“

“Ayah tenang dulu. Aku nggak kenapa-kenapa, Yah. Cuma mau tenangin diri aja,” sahut Hansa, memotong rentetan pertanyaan yang tertuju padanya.

“Gimana bisa tenang kalau kamu bolos terus nggak kasih kabar sampai sore?” Terdengar dengkus frustrasi di antara kekhawatiran Imam.

“Kalau dari awal kamu bilang bolos buat tenangin diri, Ayah nggak akan sekhawatir ini, Bang. Tolong lain kali jangan begini, ya?” pungkas pria itu dengan suara lebih lembut.

Sedikit samar, Hansa mengangguk. “Iya, maaf, Yah,” sesalnya.

Dialog singkat terjadi setelahnya, dan panggilan dengan sang ayah berakhir ketika azan Magrib berkumandang. Menutup jendela yang semula terbuka lebar, Hansa melemparkan gawainya ke tepi kasur dan memasuki kamar mandi.

Memutar kran perlahan dan membiarkan alirannya membasahi telapak tangan hingga seluruhnya terjangkau oleh air wudhu. Ketenangan yang dihasilkan darinya cukup untuk membuat remaja itu mengembuskan napas lega. Di saat tak ada lagi seseorang yang nyaman untuknya bercerita, maka hanya Dia-lah yang menjadi pilihan terbaik untuk menumpahkan segalanya. Dan seharusnya Dia-lah yang pertama menjadi tempat mengadu sebelum manusia-manusia ciptaan-Nya.


Khusus hari ini aku double up yaw (⁠~⁠ ̄⁠³⁠ ̄⁠)⁠~

Terima kasih buat yang masih setia mantengin Hansa sampe sekarang. Semoga kalian masih terus ngikutin kisahnya sampai selesai 🥹

Sekian, see you soon~

Salam

Vha
(12-01-2025)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top