° 16. Mulai Retak °
Sudah lima menit berlalu sejak remaja itu berdiri di depan cermin. Menatap pantulan dirinya yang hari ini tampak menyedihkan. Matanya sembab, serta ada lingkar hitam yang menghiasi. Tangis singkat semalam ternyata meninggalkan bekas yang cukup jelas. Tenggorokannya juga terasa sakit karena mengisap setengah bungkus rokok sekaligus. Dan yang terpenting adalah, perutnya sakit. Lagi.
Hansa tidak tahu, apakah sebab sakit kali ini adalah karena dirinya yang tak menghabiskan makan malamnya, atau karena bergadang dan baru bisa tidur lewat tengah malam. Namun, yang lebih mengganggu pikirannya saat ini justru bagaimana ia harus bersikap di depan Bunda usai pertikaian semalam.
Sejujurnya, dia tidak sanggup jika kembali dihujani dengan rentetan kalimat tajam seperti semalam. Apalagi adik-adiknya pasti ikut hadir di meja makan menyantap sarapan. Dia tidak siap dengan reaksi apa yang akan mereka beri. Namun, arah jarum jam di dinding memaksanya untuk mengakhiri kegiatan berkaca menuju sarapan pagi yang selalu menjadi rutinitas.
Satu helaan napas lolos, usai memastikan tak ada perlengkapan yang tertinggal, Hansa akhirnya mengangguk sembari menepuk dadanya pelan.
“Harus siap, Tam. Jangan lemah, lo pasti bisa,” ucapnya bermonolog.
Biasanya, sarapan pagi akan terasa ramai dengan keberadaan Ayah. Pria itu selalu bisa menghidupkan suasana dengan beragam topik yang membuat semua orang tidak bisa hanya diam dan mendengar. Akan tetapi, kali ini justru pria itu malah disibukkan dengan kegiatan menata roti yang baru keluar dari panggangan. Dia menyiapkan sarapan.
“Eh, Bang. Ayo duduk dulu. Tunggu Ayah bikinin sandwich buat sarapan,” panggilnya ketika menyadari kedatangan Hansa.
“Bunda ke mana? Kok, Ayah yang bikin sarapan?”
Mengabaikan perintah untuk duduk, bocah itu justru melangkah ke area dapur dan mengambil piring untuk lembaran roti yang Ayah siapkan. Menatanya berjajar sedemikian rupa agar sang ayah bisa lebih mudah menyiapkan sarapan.
Segaris senyum terukir di bibir pria yang masih fokus pada sandwich-nya itu. “Bunda lagi nggak enak badan. Jadi hari ini menu sarapannya simpel aja, ya?”
Tak lagi bertanya, Hansa pun mengangguk dan memilih untuk fokus membantu sang ayah menyiapkan sarapan. Akan tetapi, dalam hati dia menerka, mungkinkah Bunda tengah menghindarinya? Sangat wajar jika Bunda menghindar usai mencecarnya semalam. Wanita itu pasti tidak sudi untuk sekarang bertatap muka dengannya, si pembawa sial.
“Ini kunci motormu, nanti pulang sekolah kalau nggak ada kepentingan lain langsung pulang, ya? Ayah siap kasih penjelasan kalau kamu juga udah siap buat denger,” ucap Ayah usai menata empat potong sandwich ke dalam piring.
“Iya, Yah,” jawab Hansa singkat.
Dia memang sangat butuh penjelasan. Meski kemarahan Bunda kemarin telah memberi sedikit gambaran tentang apa yang terjadi di masa lalu, tetapi Hansa ingin mendengar langsung secara detail tentang bagaimana semua bermula. Walau akhirnya, tak ada hal baik yang Hansa dapat selain luka.
~•~
Jika ditanya satu hal yang paling diinginkan akhir-akhir ini, maka jawaban Hansa hanya dua. Pertama, fakta bahwa dia adalah anak yang tak diinginkan itu hanya kebohongan semata. Dan yang kedua adalah memiliki kehidupan sekolah yang normal seperti semula. Seperti saat sebelum kekacauan yang entah sejak kapan terjadi, dan kehidupan sekolahnya mulai tak tenang.
Lembar permintaan maaf dari klub Mading sudah tertempel di papan mading pagi ini. Namun, tak banyak yang berubah. Dia masih mendapat tatapan penuh penghakiman tiap kali berjalan entah ke mana pun itu. Beberapa ujaran negatif bahkan sering terlontar dengan gamblang. Hari ini pun lokernya masih terisi dengan kepingan sampah yang masih tak bisa ditemui siapa si pelaku.
Keinginan untuk mendapat sedikit rasa tenang dengan membolos dan mengisap sebatang rokok di sudut tersepi sekolah pun sirna begitu saja. Kemunculan sosok Darel dengan dua anteknya membuat Hansa kini justru terpojok.
“Bisa nakal ternyata,” ujar cowok yang saat ini mewarnai rambut dengan highlight kepirangan itu.
Darel merebut rokok serta pemantik Hansa dan mulai membakar ujung benda bernikotin itu. Mengisapnya perlahan seolah mencoba meresapi kenikmatan yang dihasilkan.
“Enak juga yang Light, biasanya gue cuma pakai yang Merah,” tukasnya kembali mengisap rokok yang terapit di kedua sela jari itu.
Di antara semua kesialan yang terjadi, bertemu dengan Darel adalah yang paling dia benci. Tingkah laku serta watak semena-mena cowok ini selalu berhasil membuat Hansa terguncang. Ketika berhadapan dengan Darel, Hansa merasakan betapa tinggi dan jauh perbedaan di antara mereka.
Dia tak secengeng Aaron saat berhadapan dengan seorang penindas. Dan dia bisa saja melawan Darel dan menunjukkan bahwa dia bukan anak yang bisa dengan mudah dirundung. Namun, mengingat risiko akan tindakan yang gegabah lebih besar dibanding kepuasan sesaat, Hansa urung. Cukup dengan dibenci karena sebuah rumor, ia tak ingin semakin dibenci karena berkelahi dengan seorang perundung.
“Kalo enak, buat lo aja. Gue bisa beli lagi,” tukas Hansa pada akhirnya.
Tak ingin terlalu lama terjebak dengan para perundung, Hansa pun berbalik. Bersiap menjauh dan membiarkan komplotan Darel menikmati sisa rokok miliknya. Namun, belum sempat kali itu melangkah, sebuah tangan mencekal bahunya. Membuat Hansa kembali memutar tubuh dan berhadapan dengan Darel.
“Mau ke mana? Belum ada yang nyuruh lo pergi.”
“Balik ke kelaslah. Lagian ngapain lagi gue di sini? Gue bukan orang yang hobi bolos kayak lo. Gue butuh nilai bagus buat lulus, karena nggak punya duit buat nyogok sekolah,” sahut Hansa.
Entah mengapa kali ini ucapannya terdengar menantang dan menyinggung perasaan si lawan bicara. Terbukti dengan raut wajah Darel yang berubah masam dan menatapnya tajam.
“Lo nyindir gue?” Pertanyaan itu terlontar spontan dari bibir Darel, bahkan dapat Hansa lihat cowok itu sedikit terkejut dengan ucapannya sendiri.
“Ada gitu gue sebut nama lo?” Hansa semakin berani melempar jawaban.
Terkadang membalas seorang perundung seperti Darel tidak perlu dengan kekerasan. Setelah beberapa kali berhadapan, Hansa jadi sedikit paham tentang karakteristik anak ini. Hansa rasa harga diri Darel cukup tinggi. Dan daripada membalas dengan otot yang jelas dialah yang kalah, mungkin akan lebih efektif jika dia balas menyerang harga dirinya.
“Lagian, ya, Bang. Semua orang juga tahu, gimana busuknya sekolah ini. Selama lo punya duit, lo aman. Apalagi anak dari donatur kayak lo, yang tanpa adanya duit dari orang tua kalian, sekolah bisa tutup. Masuk kelas sebulan sekali juga pasti lulus, ya, ‘kan?”
Terdiam.
Tak hanya Darel, dua orang siswa yang berdiri di belakang cowok itu pun bungkam dengan pernyataan yang Hansa lontarkan. Meski tak pernah terucap, nyaris semua orang pasti akan setuju ketika mendengar kalimat itu. Dan ... ya, anak-anak donatur besar selalu mendapatkan perhatian khusus dari sekolah. Salah satunya Darel dan Rei, si kapten voli.
Tak kunjung mendapat jawaban, Hansa lanjut berujar, “Saran gue, mending lo stop ganggu anak-anak kayak gue dan mulai urus diri sendiri. Mau sampai kapan lo ngumpet di ketiak ortu?”
Satu pukulan mendarat mulus ke rahang Hansa, tepat setelah bocah itu menyelesaikan ucapannya. Darel yang semula tampak santai dengan keberanian Hansa tiba-tiba terpancing emosi. Topik perihal orang tua seolah menjadi hal yang sensitif bagi remaja itu.
“Bacot banget, bangsat!” umpat Darel, si pelaku yang baru saja melayangkan pukulan telak.
“Nggak usah lo kasih tahu juga gue udah ngerti apa yang gue lakuin. Jangan sok nasehatin kayak hidup lo udah paling bener,” lanjutnya geram.
Hansa mengusap pipinya yang kini terasa nyeri. Meski pukulan itu cukup keras, tetapi ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuh dan tidak jatuh tersungkur. Dia juga sudah memprediksi bahwa gangguan Darel tak akan berhenti di perkataan saja. Mengingat apa yang terjadi di toilet dulu, Hansa sudah bersiap untuk menerima beberapa pukulan.
“Setidaknya gue nggak bikin rusuh dan ganggu orang-orang yang nggak bersalah cuma buat kesenangan. Tingkah lo rendahan,” balas Hansa dengan tubuh gemetar.
Bukan.
Tubuhnya bergetar bukan karena takut dengan Darel. Namun, mual yang tiba-tiba bergejolak di perut membuat cowok itu meringis samar. Mengapa hal ini malah datang di saat yang tidak tepat?
Gelagat itu ditangkap oleh kedua manik Darel. Seolah melihat kesempatan jika si lawan tengah lengah, cowok itu melayangkan tendangan asal yang berhasil mengenai betis Hansa. Membuat bocah yang semula meremas perut itu akhirnya tumbang. Tersungkur ke tanah dengan tangan yang lebih dulu mendarat sebagai penopang
“Iya, gue rendahan. Dan selamat ... lo orang yang udah cari masalah sama orang rendahan kayak gue.” Cowok itu menyeringai ketika melihat serangannya tepat sasaran.
Setelahnya, Hansa hanya bisa pasrah ketika tubuhnya berubah menjadi samsak Darel. Cowok itu memukul, menendang, dan menginjak Hansa seolah dia bukan apa. Setiap rintihan yang terlontar dari bibir Hansa malah membuat remaja itu semakin senang. Tak ada rasa iba dan bersalah atas apa yang diperbuat. Darel senang melihat bocah yang tadi berani menyalak kini terkulai lemah di bawah kakinya.
“Udah, Rel. Nggak ngelawan anaknya.”
Laki-laki dengan rambut model under cut yang berdiri di belakang Darel menepuk bahu remaja itu. Menariknya sedikit mundur hingga tendangan Darel yang semula terarah ke kepala Hansa meleset.
“Lo apa-apaan?” Darel mendengkus geram ketika tendangannya meleset akibat ulah kawannya.
“Lo yang apa-apaan!” sahut cowok itu tak kalah berang.
“Nggak lihat itu dia udah nggak bisa gerak? Lo mau bunuh orang? Jadi kriminal?” lanjutnya yang membuat Darel tersentak.
Mendengar kalimat sarkas itu, Darel seketika terkesiap. Ia lantas menoleh, menatap pada sosok Hansa yang kini meringkuk dengan noda berbentuk sepatu menutupi sebagian besar seragam putihnya. Saat itu, barulah dia menyadari jika dirinya lepas kendali.
“Ck!” Ia berdecak sebal. “Anggep aja ini hukuman buat mulut lemes lo itu. Next time, jangan harap kehidupan sekolah lo bisa tenang. Selama gue masih ada, bakal gue kasih lihat gimana rasanya di bawah dan nggak bisa berbuat apa-apa,” ucapnya diiringi seringai culas.
Hansa tak menjawab, bocah itu masih berada di posisi semula. Meringkuk dengan napas tersengal dan berusaha untuk mempertahankan kesadaran yang ingin membawanya pergi. Mual yang semula bergejolak kini sirna, terganti dengan segala rasa nyeri dan perih di sekujur tubuh. Tanpa berkaca pun Hansa tahu seberapa buruk keadaannya saat ini.
Setelah memastikan Darel dan gerombolannya menjauh, barulah ia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Menggeser tubuh ringkihnya hingga menemukan tempat bersandar, kemudian menengadah ke langit yang kini mulai diselimuti mendung tipis.
‘Sakit,’ rintihnya dalam hati.
Jika pulang dengan kondisi seperti ini, Hansa yakin seratus persen penyakit darah tinggi sang ayah akan kambuh. Pria yang selalu peduli dengan anak-anaknya itu pasti akan sangat khawatir jika mendapati Hansa terluka karena dipukuli. Dan dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Terutama setelah tahu jika Imam bukanlah ayah kandungnya, Hansa jadi merasa sedikit sungkan.
Dibandingkan mengurus dirinya, bukankah lebih baik Ayah fokus pada kedua adiknya? Mendapat perhatian yang lebih besar dibanding dua orang itu hanya akan membuat terlena dan bergantung. Padahal harusnya ia sadar, dia bukan siapa-siapa bagi Imam.
“Halo. Iya, sorry telepon pas jam pelajaran. Btw, boleh nggak gue nginep di rumah lo? Cuma satu sampai dua hari aja, please,” lirihnya pada sosok di seberang panggilan telepon yang kini menjadi harapan terakhir Hansa untuk singgah.
“Agak susah dijelasin, nanti gue cerita. Asal lo izinin gue nginep dulu. Boleh?” Kali ini Hansa menggigit bibir bawahnya dan menanti jawaban dari si lawan bicara penuh cemas.
Setelah tercipta hening yang cukup lama, akhirnya sosok di seberang panggilan menyetujui permintaan Hansa. Membuat kedua sudut bibir remaja itu akhirnya tertarik ke atas dan mengukir segaris senyum. Setidaknya, dia masih memiliki satu orang untuk bergantung. Sosok yang selalu menjadi pendengar tanpa adanya penghakiman dan tak menilai hal dari satu sudut pandang.
(Kalo ketemu orang modelan Darel gini enaknya diapain, ya?)
.
.
Hai haiii~~
Update yaaa.. jangan sungkan ramaikan😁
And see you next part ( ╹▽╹ )
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top