° 13. Sial °

Hari pertama masuk sekolah usai dua hari terkurung di rumah membawa semangat tersendiri bagi Hansa. Meski belum bisa berangkat dengan kendaraan sendiri karena kondisi kaki yang belum membaik, tetapi Hansa merasa cukup bersyukur bisa menghabiskan pagi hari bersama sang ayah.

Saat kedua kakinya menginjak halaman depan gerbang, beberapa pasang mata telah tertuju padanya. Hansa tidak tahu apa arti tatapan itu. Entah karena dirinya yang berjalan dengan tongkat, atau rumor itu semakin menyebar. Dia tak ingin terlalu ambil pusing dan memilih untuk mempercepat langkah menuju kelas. Satu-satunya tempat yang Hansa rasa paling nyaman.

“Bisa nggak? Sini gue bantu.”

Kemunculan Eric sedikit mengejutkan Hansa ketika tengah berusaha menaiki tangga. Posisi kelas sebelas yang berada di lantai dua ternyata menjadi cukup sulit untuk dicapai pada kondisinya saat ini. Padahal di situasi biasa, ia dan Aaron sering berlarian ketika menaiki tangga hingga tak jarang mendapat teguran dari guru yang kebetulan lewat.

“Boleh. Tolong pegangin lengan gue aja. Takut jatuh, haha.”

Sans.” Tanpa menunggu instruksi lagi, cowok dengan pipi tembam itu meraih lengan Hansa dan membantunya menapaki anak tangga.

“Cederanya separah itu sampai-sampai kemarin lo nggak masuk?” Eric yang tak bisa terlalu lama terjebak dalam diam selama mereka menyusuri lorong menuju kelas akhirnya membuka suara.

“Aaron bilang si Angga itu sengaja dorong lo sampai jatuh. Anak kelas mana, sih, itu? Pengen gue samperin terus geplak kepalanya,” geram bocah itu yang hanya mengundang tawa dari sosok di sampingnya.

“Namanya juga olahraga, wajar kalo tiba-tiba cedera. Lagian ini keseleonya nggak parah. Dua minggu juga sembuh, jangan dibikin ribut.”

Mendengar penuturan santai yang Hansa layangkan, Eric berdecak. “Halah ... lo mah selalu gitu. Sekali-kali marah, kek. Jangan baik terus, nanti orang pada ngelunjak. Contohnya yang fitnah lo di mading sekolah itu.”

“Baik boleh, tapi perlu batasan juga. Karena kenyataannya, nggak semua kebaikan dibalas kebaikan juga. Manusia nggak sesuci itu.”

Tak hanya Eric, semua orang di kelas pun tahu bagaimana sifat Hansa. Sudah diberkati dengan wajah tampan, hati anak ini juga seperti malaikat. Baik, bahkan terlampau baik sampai-sampai dengan mudahnya membagikan jawaban ulangan tanpa diminta. Tak ada siswa di kelas yang iri dengan peringkat satu yang Hansa sandang sejak kelas satu, karena menurut mereka, ia layak.

“Han! Tugas Bahasa Inggris minggu kemarin udah ngerjain belum?”

Inilah salah satu contoh dari kebaikan tak selalu dibalas dengan kebaikan pula. Baru saja menginjakkan kaki di kelas, keduanya sudah dihampiri oleh Andrew, anak bandel yang menjadi ketergantungan menyalin tugas Hansa.

“Udah.” Mengabaikan Eric yang melayangkan tatapan sengit pada bocah bergigi gingsul di depannya, Hansa mengangguk tanpa ragu. “Bukunya gue taruh loker, tunggu bentar gue ambil dulu.”

“Tugas Bahasa Inggris aja nyalin. Ngerjain sendiri ‘kan bisa. Lo nggak segoblok itu sampai nggak bisa Bahasa Inggris, ‘kan?” sewot Eric ketika Hansa lebih dulu berjalan ke arah loker yang terletak di bagian belakang kelas.

Cowok lebih tinggi beberapa senti itu menatap Eric dengan sebelah alis terangkat. Sedikit terusik dengan kalimat ketus yang bocah tembam itu layangkan.

“Lha, kok, ngamuk? Orang Hansa yang dipinjemin aja santai aja, tuh.”

“Ya, lo harusnya tahu dirilah, njing. Tiap hari nyalin tugas dia, padahal Hansa sendiri ngerjain pakai otak. Terus gunanya lo sekolah apaan? Nyimeng?” Eric balas menyalak, semakin kesal dengan jawaban yang Andrew beri.

“Eh, ini masih pagi, ya. Jangan bikin orang naik darah. Mau gue gampar, hah? Lo—“

Oh, My God!

Pekikan nyaring dari salah seorang siswi membungkam Andrew, pun dengan Eric yang sudah mengepalkan tangan dan siap melayangkan pukulannya jika bocah itu kelewat batas. Tak hanya mereka, seluruh penghuni kelas pun sama, matanya tertuju pada satu titik di mana Hansa berdiri.

Di dalam loker tempat Hansa menyimpan beberapa buku dan kaus olahraga, kini dipenuhi sampah dan bangkai seekor tikus yang mulai menguarkan bau tak sedap ketika pintu loker terbuka. Suatu pemandangan tak biasa yang berhasil menarik perhatian seisi kelas. Begitu juga Eric yang kini sudah berdiri di samping Hansa.

Syiett! Ini apaan?!” Bukan Hansa, melainkan Eric-lah yang bereaksi heboh ketika melihat isi loker anak itu.

“Gila, udah kayak di drakor-drakor. Loker anak yang kena bully isinya sampah,” celetuk salah seorang siswi.

Bisik-bisik mulai terlontar dari beberapa bibir yang tak tahan untuk mengutarakan isi pikiran. Meski tak bisa ditampik jika Hansa adalah orang yang sangat berjasa pada kelangsungan nilai mereka, tetapi rumor yang beredar juga tak memungkiri bahwa sebagian anak menaruh curiga pada Hansa. Beberapa dari mereka bahkan yakin dan percaya jika rumor itu benar, dan menganggap jika kebaikan Hansa selama ini hanya bentuk kamuflase untuk menutupi sisi busuknya.

Seiring dengan bising yang mulai berkuasa, sosok Ezra—si ketua kelas—muncul dengan pembawaan tegas seperti biasa.

“Udah, udah. Jangan pada ribut. Mending yang udah dateng bantu Hansa bersihin loker sebelum bel masuk. Biar gue ambil foto sebagai bukti ke wali kelas nanti.”

“Hansa, lo duduk aja di situ. Kaki lo masih sakit, nggak usah ikut bersih-bersih,” titahnya pada Hansa yang masih mematung di depan lokernya tanpa bersuara.

Wajah pemuda itu tampak lebih pucat dari sebelumnya. Ekspresi terkejut yang tak bisa disembunyikan membuat beberapa siswa merasa iba.

“Ayo, duduk, Han. Minum juga, nih, biar agak tenang.”

Salah seorang siswi dengan hijab menarik lengan Hansa untuk mundur dan duduk di bangkunya. Kemudian tanpa ragu menyerahkan botol tumbler bermotif karakter anime kesukaannya pada Hansa. Membiarkan anak itu menenggak air secara perlahan tanpa berniat mengganggu.

Kini, semua orang sibuk bekerja sama membersihkan lokernya. Bahkan Andrew yang nyaris adu jotos dengan Eric pun turut serta mengambil kantong plastik untuk membungkus bangkai tikus itu tanpa rasa jijik. Hanya Hansa yang masih membeku di tempat duduk, menyaksikan teman-temannya bekerja untuknya.

Sungguh, ini adalah hal mengerikan pertama yang terjadi di masa sekolahnya yang selalu damai. Dan saat ini Hansa tak tahu harus bereaksi apa pada kekacauan yang terjadi. Pikirannya buntu, dan satu kekhawatiran kini mulai muncul. Apakah setelah ini semua akan baik-baik saja?


~•~


Angkasa sore ini sudah sepenuhnya gelap, dengan berselimut mendung yang siap menumpahkan rintik kapan saja ia bersedia. Sedangkan remaja ber-hoodie hitam itu masih belum beranjak dari halte kosong tempatnya menunggu jemputan seperti yang ayahnya janjikan.

Padahal jika mau, dia sudah sampai di rumah saat Aaron menawarinya tumpangan karena sang kakak yang juga datang menjemput. Namun, lagi-lagi demi tak ingin menyusahkan orang lain dan juga menghargai sang ayah, Hansa menolak. Dan berakhir dengan tetesan gerimis yang kini menjadi teman menunggu.

Arloji di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul empat sore, lima belas menit lebih lambat dari apa yang Imam sampaikan dalam pesan balasan yang pria itu kirim saat bel tanda selesai jam pelajaran berdering. Siswa terakhir yang duduk di sampingnya untuk menunggu jemputan pun sudah pergi sejak beberapa saat lalu. Hanya tersisa Hansa dan rinai hujan yang kian deras.

Terjebak dalam sunyi, ingatan Hansa kembali pada kejadian yang sempat membuat heboh pagi tadi. Setelah seluruh sampah dan bangkai disingkirkan, seisi kelas kembali disibukkan dengan saling tuduh tentang siapa dalang di balik hal gila itu. Bahkan Ezra menjadi tersangka utama, karena cowok itulah yang membawa kunci cadangan semua loker di kelas itu.

Hansa ingat bagaimana Aaron yang baru saja tiba lantas panik dan kebingungan bagaimana semua benda itu bisa masuk ke dalam loker sahabatnya. Sedangkan Eric yang paling cepat berpikir jernih berusaha untuk menenangkan kericuhan yang nyaris pecah. Beruntung, salah seorang temannya menghubungi wali kelas dan situasi kembali kondusif. 

Masalah loker telah diserahkan ke pihak sekolah dan dalam proses penyelidikan. Setidaknya, itu cukup untuk membuat Hansa lega meski tidak tahu apakah pihak sekolah anak benar-benar mengambil tindakan atas teror yang menimpanya. Sebab, sekolah tak sebersih yang digambarkan. Ada banyak permainan kotor yang dikendalikan oleh orang-orang dewasa yang tak bisa dipahami oleh anak-anak sepertinya.

Getaran halus dari ponsel yang sedari tadi berada dalam genggaman mengusik lamunan. Nama ‘Ayah’ tertera pada bagian layar, dan tanpa menunggu lama, jemari Hansa menggeser ikon hijau hingga panggilan terhubung.

“Halo, Yah. Aku masih ada di halte bus, neduh karena hujan. Ayah sampai sini jam berapa? Aku—“

“Maaf, Bang. Kayaknya Ayah nggak bisa jemput. Kamu pulang pakai ojol aja, ya? Kerjaan Ayah masih belum selesai, kayaknya harus lembur juga ini.” Imam menyela ucapan si sulung sebelum bocah itu menyelesaikan kalimatnya.

“Kamu nggak papa, ‘kan? Kalau kesusahan naik motor, pesen yang mobil aja,” imbuhnya.

Tidak bohong, sebenarnya ia kecewa. Namun, Hansa tak ingin bersikap manja dan mengganggu pekerjaan sang ayah.

“O–oh, gitu, ya. Ya udah, nggak papa, Yah. Aku bisa pesen ojol, Ayah bisa lanjut kerja aja.”

Setelah mendengar beberapa kali maaf dari Imam, panggilan berakhir. Keinginan untuk segera bergelung dalam hangat selimut sepertinya harus tertunda sedikit lebih lama, karena mobil yang dipesan tengah terjebak macet dan Hansa tidak tega untuk membatalkan pesanan.

Sementara langit semakin gelap dan hujan yang kian deras membuat remaja itu merapatkan jaketnya. Berharap itu bisa sedikit menghalau hawa dingin yang perlahan menjalar. Beruntung atap halte di atasnya masih kokoh, sehingga dia masih terlindungi dari percikan air hujan.

Dingin dari embusan angin yang menerpa wajah memancing kantuk yang sedari tadi ditahan. Lima menit berlalu, dan sudah dua kali pemuda itu nyaris terlelap. Dia harus mengubah posisi duduk beberapa kali agar tetap terjaga dari lelah yang menggerogoti.

“Wow, ini kebetulan banget apa gimana? Kita bisa ketemu di sini.”

Kemunculan sosok dengan jaket abu-abu di depannya sukses membuat Hansa tersentak. Rasa kantuk yang sedari tadi menggelayuti mata lantas sirna begitu saja, digantikan dengan degup jantung yang mulai berpacu tak karuan.

Di sekian banyak kesempatan, mengapa ia harus bertemu dengan Darel di situasi seperti ini?

Hujan masih turun, dan kakinya yang masih terluka seolah tak memberi kesempatan bagi untuk lari. Anak itu hanya bisa pasrah dan diam sembari mengalihkan pandangan pada layar ponselnya, berharap mobil yang ditunggu segera tiba.

“Woi! Gue ngomong sama lo. Budek, ya?”

Merasa diabaikan, cowok berhidung bangir itu melayangkan tendangan ke kaki Hansa yang berhasil membuat bocah yang masih duduk di bangku halte itu meringis. Pasalnya, kaki yang Darel tendang adalah kaki Hansa yang cedera, dan demi apa pun itu sakit!

“Mau lo apa?” Tak ingin berbasa-basi, Hansa menjawab ketus ucapan sosok yang berdiri menjulang di depannya.

Mendapati si lawan bicara tampak tidak takut dengan gertakannya, Darel terkekeh pelan. Ia menatap sepasang manik hitam itu cukup lama, sebelum akhirnya merebut tongkat yang bersandar tak jauh dari tempat Hansa duduk. Hal itu cukup untuk membuat Hansa terbelalak, sebab dia tahu harga tongkat itu cukup mahal dan dibelikan sang ayah sebagai alat bantu berjalannya.

“Lo apa-apaan? Balikin nggak?!” Mengabaikan nyeri yang menjalar di kaki akibat berdiri secara tiba-tiba, Hansa mencoba merebut tongkat yang kini berada di genggaman Darel.

Eits!” Dengan gesit Darel menghindari Hansa yang berusaha mendekatinya dengan terpincang. “Gue cuma mau pinjem, pelit amat jadi orang.”

Meski area halte tidak terlalu luas, tetapi gerakan lincah Darel yang terus menghindar berhasil membuat Hansa kewalahan. Rasa nyeri semakin menyiksa setiap kakinya menginjak ubin di bawahnya. Hingga setelah lima kali berusaha, bocah itu pun menyerah.

Please, balikin, Bang,” pintanya kini mengiba.

Sejenak, cowok itu tersenyum dan mengangguk. Tangannya terulur menyerahkan tongkat yang sedari tadi menjadi perebutan. Dan dengan mata berbinar, Hansa turut menerima uluran tangan itu. Berharap hal usil kekanakan ini berakhir dan Darel menyingkir dari hadapannya tanpa ada pertikaian tak berarti.

“Waduh!” Cowok itu memekik. “Sorry, tangan gue kepeleset,” ucapnya.

Alih-alih mengembalikan tongkat pada pemiliknya, pemuda itu justru melemparnya ke bawah deras hujan. Tindakan itu sontak membuat kedua mata sipit Hansa terbelalak. Tanpa berpikir panjang, cowok itu mendorong tubuh di depannya dan berjalan terpincang memungut tongkatnya. Mengabaikan tetesan air yang beramai-ramai mengguyur tubuh, serta ejekan dari Darel yang mengatainya bodoh karena begitu panik hanya demi sebuah tongkat.

“Syukurlah nggak rusak,” gumamnya begitu memastikan tak ada kerusakan serius pada tongkat itu.

Kembali berteduh, Hansa tak lagi mendapati keberadaan Darel di halte. Ia melihat cowok itu sudah berlari menghampiri sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari mereka. Meninggalkan Hansa yang kini basah kuyup, dan lagi-lagi harus kembali menunggu karena driver dari aplikasi tempatnya memesan kendaraan telah membatalkan pesanan secara sepihak.

Tampaknya, hari ini semesta sedang tak ingin memihak pada Hansa.

(Sebut saja Darel)

Update ya sayang 👁️🫦👁️

Seperti biasa, bab baca duluan ada di Wacaku. Bisa tengok di part Slight Info~

Sekian, enjoy dan jangan lupa selalu tinggalkan vote + komentar biar rame 😌

Salam

Vha
(22-12-2024)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top