° 12. Saat Sakit °
Matahari sudah setinggi tombak ketika sosok yang masih bergelung di balik selimut itu akhirnya melakukan pergerakan. Dengan napas sedikit terengah, Hansa menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dan berupaya untuk duduk.
"Ssshh ...." Desis pelan terlontar saat pening yang cukup hebat menyerang.
Telapak tangannya terangkat memijit pelipis, dan sedikit terkejut ketika suhu tubuhnya terasa lebih tinggi dari biasa. Plester penurun panas juga telah tertempel rapi di keningnya. Masih ada sensasi dingin yang mengalir, pertanda jika plester itu baru saja ditempelkan.
Hansa tak begitu ingat apa yang terjadi semalam. Usai tengelam dalam rumitnya pikiran, ia jatuh terlelap begitu saja. Samar, ia mendengar suara sang ayah yang mengajaknya untuk makan malam. Namun, entah jawaban apa yang Hansa lontarkan, dia lupa. Kepalanya terlampau pusing untuk mengingat apa yang terjadi semalam.
Ketukan pintu diiringi kemunculan gadis berkaus motif bunga mengusik fokus remaja itu. Hasna muncul dengan nampan berisi semangkuk bubur yang masih menguarkan kepulan asap.
"Udah bangun," celetuk gadis itu sembari meletakkan nampan ke atas nakas.
"Kamu nggak sekolah, Dek?" Alis Hansa mengernyit heran dengan kehadiran sang adik yang seharusnya berada di sekolah, bukan datang ke kamarnya membawakan bubur.
"Ini 'kan tanggal merah. Sekolah liburlah. Ayah aja yang masih masuk kerja gara-gara ada meeting dadakan," sahutnya.
Jawaban yang terdengar ketus, tetapi Hansa yang sudah terlampau paham dengan kepribadian sang adik tak begitu mempermasalahkan. Cara berbicara Hasna yang tegas dan blak-blakan mirip dengan Bunda, tetapi di balik itu semua, Hasna sendiri sangat perhatian dan peka terhadap sekitar. Satu hal yang seringkali membuat Hansa gemas karena terkadang ucapan Hasna sering berkebalikan dengan perasaannya.
"Buburnya dimakan, loh, Bang. Tadi Ayah udah bilang ke aku supaya Abang habisin buburnya terus minum obat," papar Hasna sembari menirukan raut sang ayah ketika memberikan wejangan padanya yang bahkan belum mencuci muka setelah bangun tidur.
"Iya, nanti."
"Sekarang, mumpung masih anget."
"Abang baru bangun, belum cuci muka juga. Nih, masih ada beleknya." Cowok itu menunjuk sudut mata yang sebenarnya bersih dari kotoran apa pun. Hanya saja, melihat sang adik yang bertingkah seperti seorang ibu membuatnya nyaris memekik gemas.
Gadis itu berdecak pelan. "Ya udah pokoknya aku harus lihat Abang habisin buburnya. Biar Ayah juga percaya kalo Abang makan," tukasnya kemudian beranjak dan duduk di kursi belajar Hansa sembari memainkan gawai.
Jika sudah seperti ini, Hansa tak bisa mengelak. Adiknya tidak akan meninggalkan kamar sebelum melihat dia menyantap makanan dengan kedua matanya.
Alhasil, Hansa pasrah. Ia menggeser posisi duduknya hingga ke tepi kasur. Meraih gelas berisi air putih dan meneguknya seperempat kemudian beralih pada mangkuk bubur yang masih terasa hangat. Perlahan, suap demi suap bubur itu berpindah ke mulutnya. Tak banyak bicara, Hansa menyantap hidangan bertekstur lembek itu hingga tersisa setengah.
Selama itu juga, Hasna mengamati setiap gerakan sang kakak dalam diam. Ada desir aneh ketika dia menatap wajah yang selalu tampak teduh itu. Sosok kakak yang selalu banyak bicara jika itu menyangkut apa yang terbaik untuk sang adik ternyata tak mengerti bagaimana memberi yang terbaik untuk diri sendiri.
Terbukti dengan demam yang menyerang semalam, jika bukan Ayah yang selalu perhatian, mungkin seisi rumah tak ada yang tahu jika Hansa jatuh sakit. Fokus semua orang sedang tertuju pada si bungsu, yang juga terkena demam karena bandel ingin main air hujan.
Saat berusaha memberitahu sang bunda tentang kondisi kakaknya, wanita itu malah pura-pura tidak dengar dan berkutat dengan sup ayam yang memang menjadi kesukaan bungsu mereka.
'Angetin aja bubur sisa sarapan Hasan tadi. Masih banyak,' katanya. Meski sedikit malas, akhirnya Hasna-lah yang turun tangan untuk menghangatkan bubur dan mengantarnya ke kamar Hansa.
"Tadi Bang Aaron ke sini." Gadis itu meletakkan ponselnya dan membuka obrolan. "Dia khawatir banget sama Abang, tapi sama Ayah nggak dibolehin masuk. Soalnya Abang masih tidur."
"Oh, ya?" Bibir Hansa terbuka sesaat kemudian meletakkan mangkuk ke dalam nampan dan ganti menyambar ponsel. "Eh, iya, bener. Banyak banget chat dari Aaron dan beberapa anak voli. Abang belum sempet buka hape juga, sih, dari semalem," gumamnya.
Cukup terpana dengan deretan pesan yang sebagian besar mengutarakan kekhawatiran. Wajar, sebab kemarin dirinya pergi ketika pertandingan masih berlangsung dan tak sempat berpamitan. Ditambah dengan Hansa yang tak mengecek ponsel sejak malam, anak-anak klub pasti semakin dibuat penasaran dengan seberapa parah lukanya.
"Kok, nggak habis, sih? Masih sisa banyak, padahal Abang semalem nggak makan." Hasna yang semula masih duduk di kursi belajar tiba-tiba sudah berdiri di depan Hansa sembari memeriksa isi mangkuk yang masih menyisakan banyak bubur.
"Habisin, Bang. Kata Ayah harus makan dulu baru boleh minum obat," desak gadis itu, kembali mengambil mangkuk dan menyerahkannya pada sang kakak.
Heran. Dari yang Hasna amati, akhir-akhir ini porsi makan kakaknya semakin menyusut. Meski tidak terlalu kentara, tetapi Hasna bisa tahu dari seberapa banyak sisa makanan di piring orang yang selalu mengambil porsi secukupnya. Sebab Hansa bukan tipe yang tega menyisakan makanan. Mubazir, katanya.
"Udah cukup, Dek. Kenyang." Hansa menolak halus mangkuk yang diulurkan sang adik. "Habis ini Abang minum obat. Kamu bawa nampannya aja nggak papa. Nanti gelasnya biar Abang yang bawa ke dapur."
Melihat abangnya yang tampak benar-benar tak ingin menuntaskan sarapannya, Hasna berdecak pelan. "Ya udah. Pokoknya habis minum obat, Abang istirahat lagi. Awas aja kalo main ke kebun belakang," ancam gadis itu.
Hansa tergelak. "Iya, Abang tidur, nggak ke kebun belakang."
Setelah benar-benar memastikan Hansa mengambil obatnya, gadis berambut sepanjang siku itu mengambil nampan dan beranjak keluar kamar. Meninggalkan Hansa dengan beberapa butir pil di genggaman yang ditelannya dalam sekali tegukan air. Membuang napas berat, tangan bocah itu terangkat meremas perut.
"Ughh ...." rintihnya ketika berusaha untuk kembali berbaring dan bersembunyi di balik selimut.
Sejujurnya, Hansa suka dengan bubur hangat buatan Bunda, pun dengan segala masakan yang wanita pemilik jari lentik itu buat. Alasan tidak menghabiskan bubur juga bukan karena kekenyangan, tetapi karena nyeri yang hebat tiba-tiba menyerang perutnya. Sensasi yang akhir-akhir ini sering menghinggapi usai menyantap makanan membuat anak itu tak bisa menandaskan isi piring.
Jika saja bukan karena sang adik yang bersikeras untuk melihatnya makan, mungkin Hansa sudah berlari ke kamar mandi dan memuntahkan apa yang ditelan. Rasanya, dia lebih baik kelaparan daripada harus merasakan sakit.
~•~
Berbeda dengan beberapa hari belakangan, sore kali ini tampak lebih cerah dengan bias kemerahan di sisi barat. Dedaunan yang biasanya basah karena tumpahan hujan kini terlihat kering dan tanah tak begitu basah. Sebuah suasana yang disukai kebanyakan orang, tetapi biasa saja untuk Hansa.
Bagi remaja pemilik senyum manis itu, aroma tanah selepas hujan adalah yang terbaik. Begitu juga dengan daun yang meneteskan sisa air dari ujungnya dan menimpa rerumputan hijau di bawah adalah pemandangan indah yang bisa dilihat dari balik kaca jendela.
Cukup dengan gerutu tentang cuaca hari ini, Hansa akhirnya memutuskan untuk beranjak. Setelah seharian penuh waktunya dihabiskan untuk tidur, sekarang ia merasa jauh lebih segar. Demam yang semula menyerang sudah sirna, dan gejolak perut tak lagi terasa.
Dengan segala hal baik itu, dia berencana untuk pergi ke dapur untuk sekadar membantu sang bunda. Meski kakinya masih berdenyut nyeri, tapi Hansa rasa ia mampu jika hanya mencuci piring.
"Abang!" Pekik nyaring mengalihkan perhatian Hansa yang mulanya akan berbelok ke arah dapur.
Dari sofa ruang tengah, bocah dengan rambut seperti jamur itu melambai ke arahnya. "Sini, sini."
Tak tega menolak, Hansa pun berbalik dan melangkah mendekati si bungsu. Melihat anak itu kembali penuh energi berarti kondisinya sudah lebih sehat dari kemarin.
"Kaki Abang kenapa? Kok jalannya pakai gituan?" Sedikit terheran, bocah itu menatap tongkat yang membantu Hansa berjalan dan sang kakak secara bergantian.
Hansa menggeleng dan mengambil posisi duduk tepat di samping sang adik. "Nggak papa. Sakit dikit, sembuhnya cepet, kok."
"Beneran?"
"Iya."
Masih tampak tak percaya, bocah itu kemudian meloncat turun dari sofa dan berjongkok di depan kaki Hansa. Aksinya itu mengundang heran sang kakak.
"Kamu ngapain, Dek?"
"Kakinya lurusin ke sofa, deh," perintahnya dan lagi-lagi membuat dahi Hansa berkernyit. Namun, cowok itu juga tetap mengikuti keinginan sang adik.
Setelah menaikkan kedua kakinya di sofa, Hansa melihat si bungsu berlutut di depan kakinya. Dan tak lama kemudian, tiupan lembut keluar dari bibir mungilnya. Sangat berhati-hati sampai Hansa merasa tergelitik.
"Hush ... hush ... sakit cepet pergi, ya. Jangan lama-lama nempel di Abang. Soalnya yang boleh nempel Abang cuma aku. Hush ...."
Tertawa, Hansa tak bisa menahan gemas saat melihat bibir tipis anak itu berusaha meniup pergelangan kaki sang kakak hingga wajahnya memerah. Rasanya dia tidak bisa berhenti mengucap syukur karena sudah diberi adik yang sangat menggemaskan.
"Udah, udah." Hansa menurunkan kakinya dan meminta Hasan kembali duduk. "Makasih, ya. Sakitnya udah hilang. Hebat banget kamu, Dek."
Anak itu melipat kedua tangannya di depan dada dan berkata dengan penuh percaya diri. "Iya, dong. Bunda juga selalu begitu kalo aku sakit. Dan besoknya sembuh."
Satu usapan lembut bertengger di kepala bocah itu. Hansa hanya membalas ucapannya dengan senyum tipis. Kini, hatinya sedikit nyeri mendengar kalimat polos yang Hasan tuturkan. Sebab sejauh otaknya bisa mengingat, dia tidak pernah mendapat kelembutan yang senyaman itu.
Bunda tidak pernah memberi tiupan lembut pada lukanya. Ataupun kalimat manis nan menenangkan yang membuat si anak bersemangat untuk cepat sembuh. Sekali saja ... Hansa tidak pernah merasakan.
Halow~
Happy weekend semuanya (*˘︶˘*).。*♡
Terima kasih buat yang masih setia ngikutin cerita Hansa. Dan semoga bisa selalu di sini sampai ceritanya selesai 🥰
Seperti biasa, bab baca duluan ada di Wacaku yaa. Dan tutorial bisa dibaca di bab Slight Info.
Sekian, and see you next part🤩
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top