° 11. Bukan Pilih Kasih °
Gedung megah dengan lapangan berukuran 18 x 9 meter di tengahnya kini dipenuhi dengan keriuhan dan kegembiraan saat para penonton berkumpul untuk menyaksikan pertandingan yang dinanti-nantikan. Suara sorak sorai dan tepuk tangan mengisi udara, menciptakan atmosfer yang penuh semangat dan kegirangan.
Berdiri di sisi lapangan sembari melakukan pemanasan bersama anggota tim lainnya, Hansa memandang sekeliling lapangan dengan binar penuh kekaguman, menyerap energi positif yang terpancar dari keramaian di sekitarnya. Di antara kerumunan penonton yang bersemangat, dia melihat sesosok yang sangat dia kenal: Ayah.
Hatinya berdesir gembira saat menyadari bahwa sang ayah datang untuk menontonnya bertanding. Pria itu bahkan beberapa kali mengangkat kedua tangan untuk memberi semangat pada si sulung. Sebuah tindakan yang berhasil memompa semangat Hansa.
Meski di sisi lain, ada sekelumit kecewa sebab bundanya tak ada di sana karena harus mengurus Hasan yang terkena demam akibat bermain air hujan. Bahkan walau tak ada alasan lain, wanita itu tetap tidak pernah suka dengan kegiatan ekstrakulikuler yang Hansa gemari. Menurut Bunda, hal semacam ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga.
"Wih, Om Imam dateng juga?" Di sampingnya, Aaron tampak antusias begitu melihat kehadiran Imam di antara ratusan penonton yang hadir.
Hansa mengangguk, sedikit bangga ketika sang kawan juga menyadari kehadiran Imam. "Iya. Katanya kalo nggak sibuk, weekend ini Ayah bakal nonton pertandingan kita. Gue juga nggak nyangka beliau dateng beneran."
"Tapi, kok, Tante Lina nggak ikut? Ke mana? Hasna sama Hasan juga nggak ada. Padahal 'kan ini hari libur."
Senyum yang semula menghiasi wajah Hansa seketika sirna usai pertanyaan itu terlontar. Sepasang netra hitamnya tertuju pada tiap penonton yang datang. Di mana kebanyakan dari mereka hadir bersama keluarga atau temannya untuk memberi dukungan pada tim andalan.
Bahkan keluarga Aaron yang terdiri dari kakaknya beserta istri dan anak hadir untuk menyemangati Aaron. Sedangkan Ayah hanya duduk sendiri di bangkunya, tak ada Bunda maupun adik-adiknya di sana. Walau terlihat sederhana, nyatanya Hansa iri. Sebab hal sesederhana itu pun cukup sulit untuk ia miliki.
Panggilan dari sang pelatih yang mengintruksikan agar semua anggota berkumpul menyelamatkan Hansa dari pertanyaan Aaron yang cukup rumit untuk dijawab.
"Oke, tiga menit lagi pertandingan dimulai. Tetap rileks dan jangan gugup. Anggap aja ini seperti latihan yang biasa kita lakukan. Tapi dengan satu tujuan yaitu, kita harus unggul dari tim lawan. Paham?" Pria dengan kaus polo berwarna hitam-merah itu berujar tenang, berusaha untuk menghapus rasa gugup di antara anak didiknya.
Dengan garis putih yang membagi lapangan menjadi dua bagian. Pemain-pemain voli berdiri tegak di sisi lapangan mereka masing-masing, siap untuk memulai pertandingan yang akan menentukan. Rei, sebagai kapten, lagi-lagi memberi semangat serta mengingatkan tentang strategi yang telah disusun selama latihan.
Wasit bersiap untuk memulai pertandingan, sementara sorak sorai penonton semakin membesar. Suasana tegang terasa di udara, tetapi juga penuh semangat dan antusiasme. Bola voli dilemparkan ke udara, dan pertandingan dimulai. Pemain-pemain bergerak dengan lincah, berusaha untuk mengontrol bola dan mengirimnya ke sisi lawan dengan kekuatan dan presisi yang tepat.
Tepukan tangan dan teriakan sorak sorai memenuhi lapangan setiap kali satu tim berhasil mencetak poin. Setiap gerakan dipantau dengan cermat oleh para penonton yang duduk di bangku-bangku penonton.
Tiga puluh menit berlalu, dan tim SMA Nusa Pelita unggul enam poin dari tim lawan. Jika mereka bisa mempertahankan selisih itu hingga menyentuh angka 25, maka kemenangan babak pertama berada di genggaman. Dan selama itu pula, Hansa selalu menjadi yang terdepan untuk menghatam bola ke dalam area lawan.
"Satu poin lagi, Han!" teriak Rei begitu papan skor menunjukkan angka 24, itu berarti hanya membutuhkan satu angka lagi untuk mencapai kemenangan babak ini.
Kepercayaan yang diberikan, membuat stamina Hansa kembali terpompa. Cowok itu mengangguk mantap dan menatap ke arah Setter agar memberi bola padanya. Kerja sama yang terjalin dengan baik merupakan salah satu alasan kemenangan, dan itu tak diragukan lagi.
Seperti adegan slow motion, Hansa bisa melihat bagaimana bola datang menghapiri. Dia mengatur dirinya dengan tepat, mengukur jarak dan sudut dengan presisi yang sempurna. Setelah memperkirakan ke mana bola itu akan mendarat, hanya tinggal satu lompatan serta pukulan sekuat tenaga, dia bisa bisa mencetak kemenangan untuk timnya.
Debum keras yang muncul membuat suasana gedung yang semula riuh kini sunyi. Namun, bukan pukulan kuat atau skor kemenangan yang menjadi penyebab. Melainkan sosok berbalut kaus voli yang kini terbaring di lantai lapangan sembari merintih berhasil menyita atensi semua orang. Tak berselang lama usai keheningan melanda, salah satu di antaranya berteriak.
"Hansa!"
Aaron menjadi orang pertama yang tersadar dari keterkejutan. Cowok dengan warna kaus berlawanan dari anggota timnya itu berlari menghampiri Hansa dan membantu bocah itu duduk.
"Lo apa-apaan, sih, Ngga?! Udah tahu Hansa mau ambil bolanya, ngapain lo juga maju?" geramnya pada si pelaku.
Semua orang tahu, Rei telah memberikan kesempatan terakhir mencetak skor pada Hansa. Jadi hanya Hansa yang boleh bergerak untuk menerima bola dari sang Setter serta melayangkan smash ke area lawan. Namun, Angga yang berdiri tak jauh dari Hansa tiba-tiba bergerak seolah merebut bola itu. Bahkan walau samar, Aaron melihat anak itu seperti bergerak mendorong Hansa. Alih-alih mengejar bola, Angga justru menargetkan Hansa.
Permainan terhenti sesaat, kemudian pergantian pemain terpaksa dilakukan karena Hansa yang masih kesakitan ketika dipapah menuju tepi lapangan. Sensasi nyeri yang hebat menyerang pergelangan kakinya, dan ruam kebiruan dengan cepat muncul. Menandakan jika kakinya jelas terluka.
"Bang! Astaga, sampai kayak gini."
Kemunculan Ayah yang secara tiba-tiba cukup mengejutkan tim medis yang tengah berusaha untuk memberikan pertolongan pertama pada cedera Hansa. Pria itu memaksa masuk begitu melihat putranya dipapah keluar dari area pertandingan. Beberapa petugas yang berjaga pun tak bisa mencegah ketika tahu Ayah adalah orang tua dari si pemain yang terluka.
"Nggak papa, Yah. Ini udah disemprot pakai cooling spray sama orang medisnya. Nggak terlalu sakit lagi." Cowok itu meringis pelan ketika sang ayah justru menyentuh pergelangan kakinya.
Ayah menggeleng tegas. "Nggak. Kita ke rumah sakit aja, biar lebih jelas penanganannya. Biar Ayah izin sama gurumu dulu."
Tanpa menanti persetujuan Hansa, pria itu bangkit dan menghampiri pelatih yang kini kembali fokus pada pertandingan. Berbincang sebentar, kemudian berbalik dan kembali pada Hansa.
"Ayah udah dapet izin. Sekarang ayo kita ke rumah sakit. Masih bisa jalan pelan-pelan, 'kan? Sini Ayah bantu." Ayah meraih lengan Hansa hingga cowok itu berdiri sempurna.
Sedikit tertatih, ayah dan anak itu mulai melangkah meninggalkan gedung yang kembali hingar-bingar. Ditatapnya wajah si sulung dari sudut mata, dapat Ayah lihat ada segores gusar di wajah teduh itu. Tanpa perlu bertanya pun Ayah paham bahwa Hansa tengah kecewa pada diri sendiri. Dia sudah berlatih dengan keras beberapa minggu terakhir, tetapi satu babak pertandingan bahkan tidak bisa ia lewati.
~•~
"Ayo, pelan-pelan aja, Bang. Sini tasnya biar Ayah yang bawa." Ayah meraih tas yang tersampir di bahu Hansa menuntun anak itu turun dari mobil dengan hati-hati.
Hasil dari pemeriksaan di rumah sakit menjelaskan jika pergelangan kaki kiri Hansa terkilir. Tidak parah, tetapi cukup untuk membuat anak itu meringis kesakitan ketika sang dokter meraba pergelangan kakinya untuk menentukan bagian yang mengalami cedera.
Awalnya, dokter menyarankan agar dilakukan pemasangan gips, tetapi Hansa menolak dengan alasan itu tidak nyaman. Alhasil kini dia perlu menggunakan tongkat untuk mempermudahnya berjalan.
"Maaf, ya, Yah. Bukannya bikin tim menang, aku malah bikin repot," celetuk Hansa ketika keduanya berjalan memasuki rumah.
Alis Ayah berkerut, dibuat heran dengan permintaan maaf si sulung. "Kenapa minta maaf? Itu kecelakaan, Bang. Lagian Ayah lebih peduli sama keselamatan kamu daripada pertandingannya."
"Dan kalau aja Ayah tahu kamu bakal cedera begini, lebih baik kamu nggak ikut pertandingan," lanjutnya.
"Nggak boleh ikut voli berarti?"
"Bukan itu, maksudnya kalau tahu hari ini kamu bakal cedera gara-gara ikut pertandingan. Lebih baik kamu nggak ikut pertandingan hari ini. Pertandingan yang lain bolehlah. Tapi yang namanya musibah, mana ada di kalender, ya, 'kan?" Gemas, Ayah mengacak puncak kepala Hansa hingga berhasil mengundang kekeh pelan dari anak itu.
Langkah keduanya terhenti ketika sosok Bunda berdiri tak jauh dari mereka. Wanita itu menatap tajam Hansa dari atas hingga terpaku beberapa saat pada tongkat yang terapit di antara lengan kirinya. Kemudian, pandangan beralih pada sang suami.
"Hasan lagi sakit, tapi kamu malah pilih buat nonton pertandingan nggak jelas itu. Dari tadi dia nangis, nyariin ayahnya. Sedangkan kamu aku telpon berulangkali nggak diangkat. Maumu apa, sih, Yah?" Suara Bunda sedikit tercekat ketika kedua matanya bertatapan dengan Ayah.
Ada kekecewaan serta kemarahan dalam getar ucapannya, yang berhasil membuat Ayah seketika diliputi rasa bersalah. Pria itu melepas pegangannya pada lengan Hansa dan bergerak mendekati sang istri.
"Maaf, Bun. Tadi suasana gedung emang lagi ramai banget. Dan setelah itu Tama cedera, jadi aku fokus nyetir mobil ke rumah sakit. Aku udah baca semua chat kamu, makanya setelah dari RS langsung pulang."
Pria itu mendekat, bermaksud untuk mengusap bahu sang istri. Namun, dengan cepat ditepis oleh Lina. Membawa efek kejut yang juga bisa dirasakan oleh Hansa, padahal ia berdiri cukup jauh dari mereka.
"Alesan," tampiknya. "Padahal sebelum pergi juga aku udah bilang, Hasan sakit. Kamu sendiri tahu kalau anak itu sakit, pasti yang dicariin ayahnya. Minta digendong, atau diusap kepalanya. Tapi apa? Kamu tetep pergi."
"Kamu bilang supaya aku adil ke anak, tapi kamu sendiri selalu lebih mementingkan dia daripada yang lain. Apa sikapmu itu adil?" Lagi, Bunda menghujani Ayah dengan pertanyaan yang sukses membuat pria itu terbungkam.
Menyadari atmosfer yang semakin memanas, Hansa menelan ludahnya susah payah. Tahu, dia tahu jika hadirnya sang ayah pada pertandingan kali ini bisa saja memancing keributan dengan sang bunda. Namun, dia masih saja bersikap tak tahu diri dan justru merasa bangga ketika melihat Ayah duduk di kursi penonton.
"T–tolong jangan marah sama Ayah, Bun. Ini salahku karena kemarin minta Ayah buat nonton pertandinganku." Sedikit terbata, remaja itu akhirnya turut buka suara.
Tatapan Bunda langsung beralih pada sosok yang sempat terlupakan keberadaannya. Anak itu berdiri canggung ketika sang bunda melayangkan tatapan tajam seolah akan mengikutinya, tetapi tak ada kalimat yang kunjung terlontar.
"Aku ... aku minta—"
"Jangan minta maaf, Bang. Kamu nggak berbuat salah," sela Ayah ketika tahu Hansa lagi-lagi mengutarakan maaf.
"Ayah nonton kamu itu wujud dukungan Ayah buat anaknya. Lagian ini baru pertama kali aku lihat Tama main di lapangan, Bun. Jangan langsung bilang seolah-olah aku pilih kasih. Padahal selama ini, justru Tama yang jarang dapat perhatian."
Kalimat itu justru membuat Bunda semakin meradang. "Iya, nggak pilih kasih. Tapi selalu dibela. Bahkan setelah tahu dia hamili anak orang, kamu masih berusaha untuk cari kebenaran," tukasnya dengan senyum miring.
Hansa yang semula menunduk, lantas mendongak saat sang bunda mengungkit tentang masalahnya. Mulutnya terbuka, hendak melempar jawaban. Akan tetapi, Ayah lebih dulu bersuara.
"Aku cari kebenaran karena aku percaya Tama nggak seperti itu. Bahkan kalau Hasna yang kena rumor gila seperti itu, aku juga akan ambil tindakan yang sama. Nggak ada yang namanya pilih kasih," tegas Ayah.
"Kenapa harus cari kebenaran? Sedangkan kalau anak ini mau buka mulut, masalah selesai."
Lagi, Bunda menatap Hansa tajam. "Kamu pikir dengan diam dan pasrah, nasalahmu bisa selesai gitu aja? Kalau memang bertanggung jawab, sekarang ceritain semua kebenarannya. Jangan bikin repot orang tua dengan bolak-balik SMP-mu dan cari tahu siapa anak gadis itu. Padahal mulutmu sehat buat ngomong."
Mendengar kalimat menghujam itu, bibir Hansa kembali terkatup. Faktanya sang ayah memang kerepotan untuk mengurus kasusnya, hingga beberapa kali harus mendatangi SMP tempatnya dulu menuntut ilmu tak bisa dibantah. Dan selama itu juga, Hansa bungkam seolah menutup mata atas perjuangan sang ayah. Dengan alasan belum siap membeberkan rahasianya, dia telah membuat kedua orang tuanya kerepotan.
"Tuh, diem lagi, 'kan? Yang begini masih aja kamu belain? Kalau memang kamu nggak pilih kasih, yang lebih tegas ke anak. Paksa dia buat ngomong jujur, dan selesaiin masalah di sekolah itu. Jangan cuma kamu yang kerepotan, sedangkan dia pura-pura bodoh," sengit wanita itu dengan napas memburu. Menahan emosi agar tidak membludak nyatanya sangat sulit jika sudah menyangkut anak ini.
Saat merasakan rasa sakit menusuk di kakinya akibat terkilir, ada kepedihan yang terasa begitu nyata. Namun, dibandingkan dengan rasa sakit hati yang tercipta oleh ucapan tajam dari ibunya, rasa sakit fisiknya hampir terasa menjadi sekadar latar belakang.
Dia tahu, dirinya salah. Akan tetapi, mendengar untaian kata tajam yang bundanya lontarkan nyatanya membuat Hansa seolah terdampar di persimpangan antara rasa sakit fisik dan emosional. Hansa merasa hancur. Rasanya seperti ditampar oleh kenyataan yang menyakitkan, dan dia tidak tahu bagaimana cara meredakan rasa sakit yang menyelubungi dirinya.
Ayah menyadari situasi akan semakin buruk jika percakapan diteruskan. Pria itu maju selangkah dan meraih pergelangan tangan sang istri dengan lembut.
"Udah, Bun, udah." Ia mengusap punggung tangan Bunda perlahan. "Kita lanjut bahas ini nanti aja. Aku mau tengok Hasan. Dan kamu bisa ke kamar sendiri, 'kan, Bang? Jangan lupa obat yang dikasih dokter tadi diminum, ya," ucapnya kini tertuju pada Hansa.
Terlihat masih tenang, tetapi Ayah tahu hati anak itu pasti terluka dengan setiap kata yang Bunda utarakan tanpa peduli perasaan yang mendengarkan.
Melihat ayahnya berusaha untuk menghentikan perdebatan yang mulai memanas, Hansa akhirnya mengangguk lesu. Tanpa berucap sepatah kata, pemuda itu melangkah menjauh dari dua orang dewasa yang masih saling melempar kata.
Memasuki kamar, Hansa langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur tanpa menyalakan lampu. Sensasi nyeri yang didapat dari luka di pergelangan kaki lagi-lagi membuat remaja itu mendesis pelan. Namun, kini luka lain juga hadir. Luka yang bahkan tidak tahu apa bisa disembuhkan hanya dengan pereda nyeri.
Update~
Seperti biasa, bab yang lebih banyak ada di Wacaku, buat yang mau mampir bisa cek di part Slight Info.
Sekian, jangan lupa ramaikan. Follow aku juga yakkk ꒰⑅ᵕ༚ᵕ꒱˖♡
Dadah babayyy~~~
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top