° 1. Selalu Salah °
Hujan deras baru saja mengguyur kota kala sosok berkaus putih dengan celana pendek selutut itu beranjak dari kasurnya dan bergerak menyibak tirai jendela. Rintik yang memercik pada kaca mengaburkan pandangan dari dalam, tetapi memberi kesan indah dan bernilai estetika yang cukup untuk membuat sosok itu terkagum beberapa saat.
Ini adalah hujan pertama di bulan Oktober, dan Hansa sangat antusias untuk menanti aroma petrichor yang akan menguar setelahnya. Sebuah aroma yang hanya bisa ia nikmati seusai tanah diguyur air hujan. Ketenangan yang dialirkan selalu saja sulit untuk dijelaskan, tetapi yang paling didambakan.
Tak mau berlama-lama terpaku pada kaca jendela, remaja itu berbalik. Mengenakan jaket denim kesayangannya dan menyambar kunci motor yang diletakkan di atas meja belajar, lantas mulai melangkah keluar dari ruangan bercat beige itu.
Kaki jenjangnya terayun ke arah dapur, di mana sosok berambut sebahu tengah berkutat dengan loyang berisi adonan kue. Terlampau fokus hingga tak menyadari kehadiran pemuda itu.
“Bun,” panggilnya pelan.
Sedikit terkejut, sosok itu mendongak dan menatap Hansa sekilas kemudian kembali pada adonan di depannya.
“Aku mau keluar sebentar buat print tugas. Bunda mau titip sesuatu nggak?” Dia mematung cukup lama untuk menanti jawaban sang bunda.
Hingga akhirnya sosok dengan apron merah muda itu mendongak menatapnya dan berujar tak acuh, “Nggak, pergi aja.”
Sebuah jawaban yang harusnya Hansa maklumi.
“Oke, assalamualaikum.” Cowok itu berbalik dan mulai berjalan menjauh usai mendengar balasan dari salamnya.
Setelah mengenakan helm hitam yang baru dibelikan sang ayah bulan lalu, Hansa menuntun motor matic kesayangannya hingga di luar gerbang. Bukan karena terlalu sopan, dia melakukan itu semata-mata karena tidak ingin si bungsu mendengar suara mesin motornya dan merengek ingin ikut. Padahal kondisi jalan seusai hujan cukup licin dan mengkhawatirkan. Dan Hansa tidak ingin ambil risiko apabila terjadi sesuatu ketika bocah enam tahun itu ikut.
“Makasih, Bang.” Dia menyodorkan uang berwarna hijau pada pria di depannya dan mengambil kantong plastik berisi tugas sekolah yang waktu pengumpulannya masih cukup lama.
Sebenarnya, mencetak tugas hanya sejumput alasan agar ia bisa keluar rumah dan menikmati suasana jalanan sesudah hujan. Aroma tanah basah yang disiram air hujan adalah hal yang ingin Hansa nikmati diam-diam. Berkendara pelan sembari menyenandungkan lagu apa saja yang terlintas di pikiran sudah cukup untuk membuat suasana hatinya membaik sekian persen. Ya, sesederhana itu.
Walaupun tidak dipinta, Hansa tetap membelokkan roda motornya ke sebuah supermarket dan membeli beberapa camilan untuk adiknya. Terutama si bungsu yang siang tadi merengek ingin permen. Niat hati ingin memberi kejutan, tetapi hanya raut masam yang diperoleh. Sebab bunda kini merampas makanan berperisa manis itu sembari melotot.
“Kamu nggak lihat adikmu batuk begitu? Malah beli permen.” Bunda melempar kantong plastik yang didapat dari si sulung ke dalam tong sampah. Makanan itu masih utuh, lengkap dengan struk belanja yang Hansa selipkan karena malas mengantongi.
“Maaf, Bun. Aku lupa. Tadi karena nggak sengaja inget Hasan minta permen, aku refleks beli. Lupa kalau batuknya belum sembuh.” Hansa menunduk sembari menggaruk tengkuknya kikuk.
“Lain kali kalau mau beli jajanan dipikir, kira-kira bagus nggak buat kesehatan adiknya. Kalau mereka sakit, siapa yang repot? Bunda juga. Udah gede, tuh, akalnya dipakai. Jangan apa-apa harus dikasih tahu baru paham,” sembur wanita itu kemudian melenggang pergi. Meninggalkan Hansa yang kini makin dilanda rasa bersalah.
Sial, padahal dia ingin menyenangkan sang bunda karena sudah mengingat adik-adiknya setiap jajan sesuatu. Namun, bukannya pujian yang didapat, dia malah melakukan kesalahan dan membuat bundanya kesal.
“Ck … kenapa bego banget, sih?” runtuknya pada diri sendiri.
Dia memungut kantong plastik yang dibuang Bunda di tempat sampah lantas berjalan gontai kembali ke kamarnya. Menjatuhkan tubuh ke kasur dan menutup kedua matanya dengan lengan kemudian menghela napas pelan. Ternyata hujan tidak terlalu membantu, dia masih saja merasa sesak.
~•~
“Katanya minggu depan tim voli Bang Tama mau tanding, ya, Bang?”
Sebuah pertanyaan terlontar ketika keluarga beranggotakan lima orang itu tengah berkumpul di ruang tengah dan menikmati akhir pekan sembari berbagi cerita. Kali ini, giliran Hansa yang jadi pusat perhatian. Sekadar informasi saja, Tama adalah panggilan Hansa dari orang-orang rumah untuknya. Ketika iseng bertanya pada Ayah mengapa dipanggil demikian, Ayah hanya mengatakan karena Hansa memang lahir pertama.
Kembali pada situasi di mana sebenarnya sang ayah sedang menginterogasi kehidupan sekolahnya.
“Iya, Yah. Tanding sama SMA Garda, dan insyaallah kalau lolos baru masuk semifinal,” sahut si lawan bicara yang tengah memangku si bungsu dan sigap membuka mulut tiap bocah itu menyuapinya keripik kentang.
“Kira-kira perlengkapan kamu ada yang kurang atau rusak nggak? Misal sepatu gitu. Kalau iya, bilang sama Ayah. Nanti kita beli.” Lagi, Ayah berujar.
Hansa menggeleng. “Nggak ada. Baru juga dua bulan lalu Ayah beliin aku sepatu. Masih bagus banget itu.”
Mendapat perhatian seperti ini, terkadang Hansa merasa sungkan. Padahal sang ayah hanya ingin memberikan yang terbaik untuknya. Namun, dia tidak merasa pantas karena belum bisa memberi balasan yang setimpal. Meski dia sendiri tahu, kasih sayang orang tua tidak pernah meminta imbalan.
“Aku minta beliin baju buat Abdul sama Jojo, dong, Yah. Ada model baru yang udah aku masukin keranjang,” celetuk Hasna, si tengah dan satu-satunya anak gadis yang usianya terpaut tiga tahun dengan Hansa.
“Kalau aku beliin baju buat aku, ya, Yah. Yang gambarnya Doraemon.” Kali ini si bungsu yang menyambar. Diam-diam dia ikut mendengarkan percakapan orang di sekitarnya.
“Yang ditawarin Bang Tama, kok, malah kalian yang request. Dasar,” kekeh pria itu sambil mengusap pelan bahu Hansa.
Selalu saja begitu. Putra sulungnya ini tak pernah meminta hal yang menurutnya tidak penting. Padahal sebagai seorang ayah, dia ingin memberikan kebahagiaan untuk anak-anaknya. Salah satunya ialah membelikan atau menuruti apa yang diinginkan mereka. Meski tak semua bisa langsung diwujudkan, Ayah akan cukup senang ketika hasil kerja kerasnya dihabiskan untuk keluarga.
Akan tetapi, si sulung ini sedikit unik. Dia tidak akan meminta sesuatu yang hanya digunakan untuk kepentingannya sendiri. Kebutuhan sekolah hanya dibeli secukupnya. Hal seperti pakaian sehari-hari juga dibeli dari hasilnya menabung. Padahal jika dia mau, sang ayah bisa saja langsung memberinya uang untuk membeli apa pun yang ia inginkan tanpa harus menyisihkan uang jajan. Jika dipaksa untuk mengutarakan keinginan, anak itu selalu banyak alasan.
“Punyaku masih bagus, mending uangnya buat yang lain aja.”
Itu adalah jawaban finalnya ketika tak ada alasan lain yang bisa diberikan. Alhasil, sekarang Ayah tak pernah memaksa lagi. Sebagai gantinya, dia memberi uang saku lebih kepada Hansa agar anak itu mengelola sendiri kebutuhannya.
“Hasan turun dulu, ya. Bang Tama mau cuci piring.” Di tengah perbincangan yang mulai hangat, Hansa menurunkan si bungsu dari pangkuan dan bangkit.
“Gelas kopi ayah sekalian, nanti biar Bunda yang tata ke rak,” celetuk Bunda yang masih asik dengan layar 40 inci di depannya. Dia tengah membahas pasangan kekasih di drama yang ditontonnya bersama Hasna.
Hansa tahu, bagaimana adiknya dan sang bunda menyukai drama dari Negeri Gingseng itu. Terkadang dia juga menemani Bunda menonton, karena Hansa juga suka menonton drama, dia juga memahami alur serta nama-nama pemainnya. Namun, interaksi mereka tak pernah seseru ketika Bunda bersama adik perempuannya.
Seringkali terbesit setitik iri karena sang bunda tak pernah seasyik itu ketika bersamanya. Akan tetapi, Hansa cepat tersadar bahwa dia tidak seharusnya memiliki pemikiran demikian. Apalagi dengan adik sendiri.
Dengan pikiran yang masih berkelana ke mana-mana, tangan Hansa masih lincah bergerak menggosok busa sabun ke permukaan piring serta peralatan makan yang kotor. Pekerjaan seperti ini sudah menjadi rutinitas sehari-hari, dan bukanlah hal sulit bagi seorang Hansa. Dia ini seorang pro dalam hal membantu meringankan pekerjaan Bunda.
Namun, meski sering melakukannya, bukan berarti dia tidak pernah melakukan kesalahan, ‘kan? Contoh nyatanya adalah Hansa, yang sekarang termenung usai piring yang baru saja dibilas terjun bebas dan menghantam lantai. Pecah.
Tak perlu menunggu waktu lama ketika ia mendengar derap langkah kaki mendekat. Kemudian sosok wanita yang sebelumnya bersantai sembari menikmati seduhan teh hijau kini sudah berdiri di depannya. Berkacak pinggang.
“Astagfirullah, lagi?” Bunda mendengkus kesal. “Bulan kemarin dua, loh, Tam. Penyakit pecahin piringmu itu kenapa nggak sembuh-sembuh, sih?”
“Duh, maaf, Bun. Aku yang salah, maaf.” Cowok itu lantas berjongkok dan memunguti pecahan piring yang berserakan.
“Kalau nggak mau cuci piring, bilang aja. Jangan dikit-dikit ngerusak. Kamu kira perabotan rumah bisa langsung dipetik dari pohon? Nggak kasihan sama ayahmu yang tiap saat keluar uang buat beli piring, gelas dan semua yang kamu rusak?” Lagi, wanita itu berujar menggebu.
Keributan itu berhasil menarik perhatian si kepala keluarga. Dengan langkah terburu, Ayah menyusul ke dapur dan langsung mengusap bahu istrinya.
“Udah, Bun. Sabar. Jangan marah-marah cuma karena piring pecah. Mungkin tangan Abang licin, jadi sering jatuh. Lagian harga perabot nggak seberapa juga, jangan dipermasalahin,” ujarnya menenangkan.
Mendengar itu Bunda justru menatap tajam pada sang suami. “Ini salah Ayah juga. Tiap Tama buat kesalahan, selalu didiemin. Jadinya dia nggak belajar dari kesalahannya. Sekali-kali yang tegas sama anak.”
“Bukan gitu maksudnya, Bun. Abang ‘kan nggak sengaja. Kalau dia udah mau beresin dan bersihin, itu artinya dia udah bertanggung jawab, ‘kan? Masalah kayak gini jangan dibesar-besarkan,” tutur pria berkaus hitam itu diiringi helaan napas pelan. Berusaha untuk tidak ikut terpancing emosi.
Melihat dua orang dewasa yang kini mulai berselisih karenanya, Hansa mulai tak enak hati. Cowok itu bangkit dan memegangi lengan sang ayah.
“Udah, Yah. Aku yang salah, jadi wajar kalau Bunda marah. Jangan berantem cuma karena aku.”
“Kalau udah tahu salah, besok jangan diulangi lagi. Percuma pinter kalau hal-hal sederhana kayak gini aja nggak ngerti-ngerti,” decak Bunda.
Setelahnya, wanita itu berbalik dan melenggang pergi. Menyisakan Hansa dan sang ayah yang kini saling berhadapan. Dan Ayah jadi yang pertama bergerak mengambil sapu serta cikrak untuk membersihkan pecahan piring yang masih tersisa.
“Aku minta maaf, ya, Yah. Tadi emang salahku yang nyuci sambil ngelamun. Jangan berantem sama Bunda, aku nggak suka,” ucap remaja itu ketika menyodorkan kantong plastik untuk membungkus pecahan piring yang sudah Ayah kumpulkan.
“Udah, jangan merasa bersalah begitu. Kecelakaan kayak gini mana ada yang tahu? Kamu balik ke kamar aja, biar Ayah yang lanjut cuci piringnya,” titah Ayah, tetapi langsung mendapat penolakan dari si sulung.
“Jangan. Biar aku aja, Yah. Lagian udah mau kelar juga.” Hansa meyambar spons cuci yang sudah Ayah genggam. “Ayah istirahat aja. Besok ‘kan masih harus capek kerja,” katanya kemudian mulai melanjutkan kegiatan yang tertunda.
Kalimat itu sukses membuat pria yang lebih tinggi darinya itu tertawa. Ayah mengusap kepala Hansa kemudian mengambil posisi di samping remaja itu. Dia bagian membilas.
“Yang ayah itu Ayah, kenapa malah kamu yang jadi kayak ayah? Bingung, deh,” gumamnya yang hanya dibalas kekehan dari si lawan bicara.
Haloww~
Setor Bab 1 dulu yak. Dan insyaallah rutin update seminggu sekali. Karena aku nggak mau kasih janji manis bakal cepet update wkwk.
Seperti biasa, tinggalkan jejak dan follow aku supaya makin semangat 😗😗
Salam
Vha
(17-12-2023)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top