2. Kapitel
Tubuh besar koki macan itu bergetar hebat. Di hadapannya, dua Ignis bermata bengis seakan siap melakukan gerakan mematikan.
Satu gebrakan di meja mengagetkan semua pengunjung yang berada di kedai itu, termasuk pula sang koki. "Bicaralah lebih jelas!" hardik Ignis bersuara berat. "Apa yang mereka lakukan dan katakan di sini?"
Bahkan gigi sang koki berkeretak hebat. "A-aku tidak terlalu memperhatikan percakapan mereka, yang kutahu Jddan dan Jexe empat hari lalu memesan minuman Tequila Salto Rush untuk masing-masing. Ha-hanya itu."
Embusan napas Ignis itu membuat makhluk malang di hadapannya mematung ketakutan.
"Troy, aku menemukan saksi yang bisa dimintai keterangan."
Troy pun menolehkan kepala pada rekannya-Ignis lain. Detik selanjutnya, ia mendapati anak muda berperawakan jangkung. Tak seperti pengunjung lain, ekspresi wajah yang satu ini begitu minim.
"Katakan apa yang kau tahu." Suara berat Troy kali ini keluar melalui sela-sela gigi.
Si anak muda berbicara dengan enteng. "Jddan dan Jexe mampir kemari karena kebetulan. Jddan datang dari Irlyath, lalu Jexe menyusul sepuluh menit kemudian dari Gradt. Hanya itu yang kudengar. Selanjutnya, mereka meninggalkan kedai ini bebarengan."
Troy mencibir dan mengulurkan tangan pada si pemuda. "Jaminan."
Terdengar suara mendengus keras. "Di semesta Vegis, hanya ada satu orang bernama Vin Lysas. Yaitu aku."
Troy tampak tak senang. Meski demikian, ia pun berteriak, "Adakah di antara kalian yang juga melihat Jddan dan Jexe?"
Sebagian pengunjung kedai yang ditanya menggelengkan kepala. Sebagian yang lain berkata tidak.
Troy menggertakkan gigi penuh dengki.
===
Alterium tengah berada di ambang kehancuran. Semua pilihan adalah tentang hidup atau mati. Elemen kehidupan Alterium semakin menipis. Kelak, semesta Ghrunklesombe mungkin saja tinggal nama.
Tujuh portal. Empat hari. Beragam kerusakan dan kehancuran menyebar hingga ke semua penjuru Ghrunklesombe.
Begitu pula dengan prasangka dan angkara. Siapa tidak tahu bahwa Jddan dan Jexe adalah para pelintas semesta? Sangatlah masuk akal bila kakak beradik itu dicurigai sebagai dalang kehancuran yang belakangan ini terjadi, bukan?
Cih! Jddan membuang liur untuk yang kesekian kalinya. Anggapan tersebut membuatnya benar-benar muak.
"Kubilang juga apa! Kabur ke semesta lain adalah cara termudah!"
Di samping Jddan, Jexe dengan santai memakan daging ikan bakar yang baru diburunya tadi siang.
"Kau lapar?"
Jddan bahkan muak dengan pertanyaan sang kakak. Bangkit berdiri, ia lalu berjalan ke tepian pesisir pantai.
Kabur. Hanya itu pilihan Jddan dan Jexe sejak beberapa hari lalu. Menjauhi Alterium sejauh mungkin dan menyusun strategi agar mereka berdua dapat tetap hidup.
"Bagaimana pun kita harus menghadapi mereka, Jddan." ujar Jexe. "Apa kata leluhur kita kalau—"
"TIDAK SEKARANG!"
"Dan kau menunggu mereka untuk memburumu ketika kau lengah?" Jexe berjalan menghampiri Jddan. "Pikirkan lagi, Jddan. Pilihan yang kita miliki semakin sempit. Menunda hanya membuat mereka semakin bernafsu untuk menyiksa kita hidup-hidup."
Jddan mengangkat bahu. "Kata siapa? Kita bisa saja menangkap dalang yang sesungguhnya lebih dulu."
"Dalam waktu yang sempit ini?"
Tak ada lagi yang berucap. Semilir angin senja berembus kencang sejenak tanpa interupsi.
"Di sini kalian rupanya."
Jddan berbalik badan, disusul Jexe. Di hadapan mereka, sepasang laki-laki dan perempuan menatap mereka seolah kakak beradik itu adalah mangsa.
"Maaf mengganggu waktu kalian, tapi kami ke sini untuk satu hal yang penting." Lanjut si pemilik surai panjang.
Salah satu alis Jddan terangkat. "Untuk memburu kami?"
"Ha. Lebih tepatnya artefak milik kalian."
Jexe bersyukur karena artefak yang dimaksud masih berada di balik kain pakaiannya.
Si gadis kali ini bicara pada Jexe. "Ayolah, penanggung jawab artefak milik leluhur Gillias—"
Jddan merangsek maju. "Jangan. Sebut. Nama. Itu." Ia tak ingin sang musuh menyebut nama leluhurnya. Tak peduli dengan Sraum—tongkat penyihir--milik si gadis, baginya musuh tetaplah musuh.
Terpaut jarak satu inci, gadis itu tetap mempertahankan tatapan tajamnya. "Baiklah, Jddan." Nama 'Jddan' ia ucapkan penuh penekanan. "Kau tahu kami bukan Igna atau Ignis, jadi kurasa bukan masalah bila kami meneliti artefak kalian, bukan?"
Jddan pun tersenyum. Senyum yang terlihat pula pada garis-garis mata—membuat si gadis terheran-heran.
===
"Kau tahu kami bukan Igna atau Ignis, jadi kurasa bukan masalah bila kami meneliti artefak kalian, bukan?"
Hanya satu hal yang terpikirkan oleh Jddan saat itu. Tersenyum dan menyembunyikan kedua tangan di balik punggung. Tak ingin mengulur-ulur waktu, sebelah tangan Jddan menggapai pergelangan tangan lain dan menyentuh benda serupa gelang lalu memutar sebuah logam mungil di sana.
Detik kemudian, suara embusan angin melenyap. Rambut sebahu milik Jddan yang tadinya tertiup angin kini menjadi stabil. Sang penyihir setengah memejamkan mata, begitu pula rekannya.
Sempurna.
Membawa serta Jexe bersamanya adalah yang utama. Berikutnya, mereka berdua harus berada cukup jauh dari dua pemburu itu.
Dengan cara ini, seharusnya rencana Jddan dapat berhasil. Meskipun ia dan Jexe tak dapat meninggalkan pulau terpencil itu, setidaknya mereka dapat bersembunyi.
Angin kembali bertiup ketika kedua buronan itu telah mencapai tengah hutan.
"Di mana ini?"
"Kita harus cepat!" Jddan berlari menyusul Jexe.
"Rasanya sedetik yang lalu aku tidak berada di sini. Sejak kapan kau dapat melakukan teleportasi, Jddan?"
Langkah Jddan terhenti. Ia terkekeh pelan. Diperlihatkannya gelang tembaga pada tangan kirinya. "Kau memiliki benda ini, tapi tidak tahu kegunaannya? Lagipula ini bukan teleportasi, Bung."
Mata Jexe membulat, mengenali benda yang seharusnya berada di Museum Rhexa. "T-tapi benda itu tak punya kegunaan apa pun ketika aku memakainya!"
Jddan terkekeh lagi. "Mana kutahu. Sudahlah. Ayo kembali bergerak."
Kembali keduanya berlari; kali ini secepat angin. Menembus petang dan hutan. Akan sangat beruntung bila mereka menemukan gua, tetapi baik Jddan ataupun Jexe hanya mendapati pepohonan sejauh mata memandang.
Sesuatu melesat nyaris tanpa suara di antara Jexe dan Jddan. Sesuatu yang kemudian membakar sebagian pohon besar di hadapan mereka.
Dua punggung berbalik, menghadap pria bertudung di kejauhan.
"Namaku Morstan." Sembari berjalan, ia angkat suara dan mengangkat tudung kepala. Memperlihatkan wajahnya yang terlihat belia. Juga, bekas luka gores di bagian mata kirinya. "Aku dan Yusveelis hanya datang hanya untuk meneliti artefak kalian. Bagian mana yang kurang jelas?" Langkah kakinya terhenti sejenak.
"Artefak itu adalah tanggung jawabku. Akulah yang memutuskan siapa yang berhak melakukannya." Jexe bersuara.
"Lalu?"
"Tentu saja kau berhak," ucap Jexe lagi. "Setelah kau melangkahi mayatku."
Tembakan api melesat lagi, kali ini dapat dihindari dengan mudah oleh Jexe ataupun Jddan. Begitu pun dengan tembakan ketiga, keempat, dan kelima. Jexe pun menarik kepala sabuknya; dalam satu hentakan saja sabuk tersebut dapat berubah menjadi pedang kokoh.
"Senjata jarak jauh?" ejek Jexe. "Biar aku mengajarimu pertarungan yang sesungguhnya, Nak."
Morstan semakin geram. Sambil menggerakkan kaki ke arah sang penantang, diraihnya pedang miliknya.
"Bawa ini." Jexe melemparkan benda pipih berkilau yang langsung Jddan tangkap. "Pergilah, Jddan. Biar aku yang mengurus—"
Pedang milik Jexe dan Morstan beradu cukup kuat.
"... bocah ini."
Dentingan dua pedang terdengar, menandakan pertarungan Jexe dan Morstan akan berlangsung semakin sengit. Sulit bagi Jexe untuk tidak mengakui bahwa kegesitan sekaligus tenaga bocah satu itu cukup kuat juga. Nyaris saja ujung pedang milik Morstan menyentuh kakinya bila Jexe kurang sigap melawan.
Dentingan demi dentingan terdengar semakin pelan seiring pergerakan kaki Jddan. Ia mengerti mengapa Jexe menyuruhnya pergi. Jddan sepenuhnya setuju dengan ide sang kakak.
"Kurasa ini akan jadi tempat bertarung yang sempurna untuk kita."
Jddan mendengar suara itu namun ia tak dapat melihat si pemilik suara.
Blaaaar. Sebuah batu besar hancur lebur, membuat tubuh jangkung itu terlempar cukup jauh.
Sejenak, Jddan terbatuk. Butuh waktu bagi Jddan untuk bangkit dan mencerna keadaan.
Kekuatan tadi, apalagi kalau bukan sihir? Pikirnya. Ia pun menarik napas panjang, mencoba fokus dan merasakan kehadiran seseorang.
Selatan. Mata kemerahan Jddan tertuju pada arah tersebut dan dengan penuh keyakinan dirinya menyalurkan tenaga—menciptakan ledakan lain, hanya saja kali ini lebih dahsyat.
"Wah, wah. Mata laser, rupanya. Menakjubkan."
Dari kejauhan, pemilik netra kemerahan itu mengatur strategi untuk melumpuhkan si gadis. Tentu saja Yusveelis pantang menyerah—dan lebih cepat bertindak. Tongkatnya mengetuk tanah satu kali, membuat efek getaran hebat serta runtuhnya tanah pada kedalaman yang cukup membahayakan. Reruntuhan yang menjalar hingga tempat Jddan berdiri.
Lari adalah pilihan satu-satunya bagi Jddan. Menyusuri tanah dan bebatuan tersisa; pepohonan bahkan tak dapat diharapkan. Lari dan berlari. Tak kunjung lelah atau menyerah.
Membuat Yusveelis muak. Sraum itu kembali mengetuk tanah namun kali ini tanah di sekitar kakinya membentuk bongkahan, membawa gadis itu mendekat ke arah Jddan.
Pemilik rambut sebahu itu mendadak tertahan oleh jeratan akar-akar yang melilit tubuhnya. Tertahan di udara seperti itu, ia tak terima—memutar kepala dan memancarkan kekuatan laser nyaris ke segala arah. Saat lehernya terlilit sekaligus terkunci, ia hanya dapat mengerang penuh amarah.
"Serahkan artefak kuno itu!" Yusveelis berteriak dari arah belakang Jddan.
"Memangnya benda itu ada padaku?"
"Jangan mengira aku bodoh, Jddan. Semua daun di sini dapat menyampaikan percakapanmu dengan kakakmu tadi."
Jddan membuang ludah dengan keras.
"Baiklah kalau itu maumu."
Akar-akar di sekitar Jddan meliuk-liuk, melonggarkan jeratan di bagian perut. Satu akar menyusupi pakaian pria itu, semakin dekat dengan benda pusaka yang tersembunyi di sana.
===
"Argh!" Jexe menyentuh bagian bahunya yang tersayat cukup hebat. Luka kelima. Jumlah seri dengan luka yang juga diterima pemuda itu.
"Sudah menyerah?" Morstan bertanya di tengah jalan napasnya yang tersengal.
"Kau sama sekali tidak berniat membunuhku. Bukan begitu?"
Morstan membuang muka. "Gradt, tempat yang dipenuhi makhluk jejadian dan monster itu. Apa yang kau lakukan di sana?"
Meski keduanya sama-sama terluka namun keduanya masih dapat menjaga keseimbangan dengan baik.
"Percayalah, Gradt tidak seburuk yang kau kira," tutur Jexe. "Aku ke sana hanya untuk memenuhi jamuan makan Kerajaan Sinra—kerabat leluhurku."
"Kenapa hanya kau? Kenapa tidak dengan Jddan?"
"Salah satu gadis dalam Kerajaan Sinra cinta mati padanya. Cinta bertepuk sebelah tangan." Jexe mengangka bahu.
Jeda. Lama. Jexe hendak melanjutkan namun getaran hebat bak gempa mengejutkan mereka.
"Jddan!" pekik Jexe penuh kekhawatiran.
Morstan terkekeh. "Masih berpikir aku tidak berniat membunuhmu? Biar kubuktikan bahwa anggapanmu itu salah besar." Ia seketika kembali siap dengan pedangnya.
Pertarungan keduanya kembali berlangsung.
===
Sulur itu bergerak dengan sempurna; membawa benda pipih seukuran buku dengan mantap hingga sampai ke tangan Yusveelis.
"Ha!" Gadis itu berseru sambil memandang artefak itu lekat-lekat. "Ini indah sekali." Yusveelis tak dapat menyembunyikan kekagumannya pada benda itu. Ada semacam aura magis bagi siapa pun yang melihat artefak tersebut dapat terhipnosis dalam pesona yang tiada tara. Pesona yang tak terbantahkan.
Membuat Yusveelis tak sadar dengan apa yang dilakukan Jddan.
Terjadi lagi. Secepat kedipan mata, artefak tersebut menghilang dari jarak pandang Yusveelis.
Gadis itu mencari-cari. Kali ini, dengan maki-maki dalam pikiran yang tak dapat ia tahan lagi. Yusveelis murka. Sulur-sulur yang tadinya menjerat Jddan kini menggantung hampa.
Petang berganti malam, merebakkan hawa penuh ancaman. Di sisi lain hutan, Jddan berlari secepat mungkin menuju tempat sang kakak.
Jddan merasakan seseorang datang dari arah barat; menghadapkannya pada satu pilihan pasti.
Dipancarkannyasinar laser melalui mata. Sinar yang disambut dengan sihir api Yusveelis,begitu kuat hingga membuat suhu udara di sekitar mereka meningkat pesat. Merahversus merah kekuningan. Yusveelis dengan tongkatnya, Jddan dengan matanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top