2. Kapitel

Mereka mulai mengerjapkan matanya berkali-kali. Ada sesuatu yang membuat mereka melakukan hal itu.

Setiap detik, tubuhnya tertarik ke belakang. Tentu, yang bisa mereka lakukan adalah berteriak. Jantungnya berdentum kencang. Sebuah energi menarik kedua tubuh itu dengan kecepatan tinggi.

Ada satu harapan sebelum semuanya berubah menjadi gelap. Mereka harus menemukan Ratu, apa pun itu masalahnya--walau tubuh Jexe terombang-ambing ke satu arah. Diiringi suara gemuruh yang sangat keras.

Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Lambungnya bergolak, dan ada benda-benda kecil dari belakang yang berhasil menghantam tubuh Jexe.

Pria itu berusaha berteriak. Ia hampir kehilangan Jddan. Dengan sekuat tenaga, ia membuka mulut. Urat menjalar di leher Jexe, bersama segala rasa sakit di dadanya. Setidaknya, ia telah berusaha walaupun nihil.

Kecepatan terlalu tinggi. Suasana terlalu gelap. Ia merasakan ototnya lepas dari tulang-tulangnya. Namun, ada yang membuat Jexe merasa memiliki harapan lagi.

Sinar mengkilap di ujung semakin dekat. Dorongan kuat dari belakang pun membuat suasana gelap menghilang perlahan. Di saat keadaannya tidak stabil, Jexe memejamkan mata. Pria itu terlempar di udara, bagai misil yang ditembakkan. Kedua tangannya terlentang. Sampai-sampai ia merasakan tubuhnya terlempar dan membentur beberapa benda yang kokoh. Meninggalkan suara berdebum yang keras.

Kali ini, ia bisa berteriak. "Jddan!!"

Jexe terbaring lemah di antara pepohonan tinggi. Seluruh tubuhnya terasa nyeri. Hal yang ia ingat adalah percakapan bersama Ratu beberapa jam lalu. Jexe harus menemukan wanita itu, menyelamatkannya.

"Jexe." Pria itu mendengar suara yang memanggilnya dari belakang. Hanya satu kali.

Jexe menguatkan telapak tangan dan menarik napas kuat-kuat. Ia harus bergegas. Ada sebuah hutang budi yang mereka miliki kepada Ratu. Planetnya sudah sekarat.

"Jddan. Bangunlah." Jexe berdiri, berjalan sempoyongan mencari keberadaan lelaki muda yang memanggilnya.

Namun, ada suara gemeresak dari dedaunan yang menandakan pergerakan Jddan. Pria itu bisa melihat Jddan muncul dari balik pohon. Raut wajahnya terlihat masam.

Jexe yakin bahwa Jddan akan mengatakan sesuatu. "Kita terkena badai, sampai-sampai berada di hutan."

"Tidak," tukas Jddan langsung. Jexe merasa heran dengan sikap lelaki di hadapannya. "Kita baru saja menembus portal. Tak ada yang namanya badai."

Mendengar hal itu, matanya terbelalak. Ia merasakannya lagi, setelah beberapa tahun lalu. Dan, seharusnya Jexe tidak memercayainya. "Kita telah menghilang?"

Jddan masih terdiam di hadapan Jexe. Sesaat kemudian menyambar lengan besar Jexe kuat. "Kita harus mencari pertolongan."

Jexe mengernyit karenanya. Menarik lengan Jddan sekuat tenaga, hampir membuat lelaki itu terjatuh lagi. "Jangan asal bertindak, Bodoh!"

Kali ini Jexe tidak tersenyum sama sekali. Sesuatu membuat pikirannya kembali ke beberapa tahun lalu. Saat dirinya meluncur dari atas, berpikir bahwa dirinya akan mati.

Hari ini, mereka terjebak lagi. Jexe belum bisa memercayainya. "Sewaktu-waktu, tempat ini bisa berubah menjadi mengerikan. Tahan dulu kakimu." Telunjuk Jexe teracung ke arah Jddan. Tatapan mereka saling bertemu--menusuk satu sama lain.

Keadaan seperti ini justru membuat emosinya memuncak. Lelaki muda bernama Jddan selalu bergerak tanpa memikirkan sesuatu.

"Aku ... berhutang budi kepada Ratu," kata Jexe. Tubuh jangkungnya kian mendekat ke arah Jddan. "Yang terpenting, kita harus selamat, dan jangan membuat gerakan tiba-tiba di tempat asing seperti ini, Jddan!"

"Maafkan aku, Tua," sahut Jddan datar.

Setelah segala peristiwa di planet sebelumnya, kedua pria itu seolah tak memiliki harapan lagi. Seluruh rencana yang dikerahkan hampir sirna. Berat rasanya meninggalkan seorang wanita tangguh yang menolong mereka tujuh tahun lalu.

Dan, gagasan Jddan tadi benar. Mereka tertarik oleh portal yang membawanya ke tempat asing.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Jddan di antara pepohonan tinggi. Semburat garis merah terpajang di keningnya.

"Tenangkan dirimu." Jexe mengatakan hal itu seolah dirinya baik-baik saja. "Aku akan berusaha mencari keberadaan manusia."

Suasana seperti ini tak asing di kepala mereka. Hanya saja, hampir seluruh pepohonan tinggi tak memiliki daun. Semuanya gugur. Jexe tak bisa melepaskan pandangan ke atas. Perasaannya benar-benar tak bersahabat.

Tak seorang pun berkata-kata. Setiap napas yang mereka ambil terasa berat. Mendadak, suasana ganjil menyeruak ke dadanya di tengah keadaan hutan yang mengerikan. Setidaknya, itu menggambarkan bagaimana perasaan Jexe dan Jddan.

"Kita harus terus berjalan sampai tak menemukan kumpulan pohon kering lagi," kata Jexe. Pikirannya terpacu sejak tadi.

Jddan mengangguk menyetujuinya. Lelaki yang lebih muda itu menarik napas panjang, mengendalikan perasaannya. Dalam perjalanan, sesekali angin yang terasa panas menyibak rambut merah mereka.

"Kau terlihat seperti perempuan jangkung, jika aku berada di belakang." Jddan tertawa di tengah kekalutannya. "Rambut merahmu itu terlalu panjang."

Namun, Jexe merasakan sesuatu mengintainya dari balik bayang-bayang--sama sekali tak merespon perkataan Jddan.

"Lari," kata Jexe sungguh-sungguh, tetapi ia lebih dulu menarik lengan Jddan karena responnya yang terlalu lama.

Kedua pria itu berlari seolah diburu. Mereka hanya ingin selamat. Pria kekar bertubuh tinggi berada di posisi terdepan, menarik Jddan yang bernapas megap-megap.

Mungkin, perokok itu keheranan dengan tingkah Jexe. Ia bertindak seolah-olah dalam keadaan genting. Namun, itu benar. Jexe menghentikan langkahnya di sebuah area yang tidak ditumbuhi oleh pohon. Sebuah bangunan kayu berdiri di tengahnya.

"Kau ini apa-apaan, sih?!" Jddan mendorong tubuh Jexe. Semburat garis merah di keningnya makin terlihat.

Dengan napas yang pendek, Jexe berkata, "Ular besar merayap di setiap batang pohon!"

Jexe yakin bahwa Jddan nyaris terkena serangan jantung. Dan, ia memutar kepala Jexe ke pepohonan yang mengelilinginya. Sekadar membuktikan hal itu. "Lihat!"

"Basilisk." Bagian terberat adalah saat Jddan mengatakannya.

Besarnya keberanian Jexe membuat pria itu bisa melangkah lebih cepat. Ia berjalan ke arah bangunan kayu. Aksi tadi berhasil menguras energi.

Di belakang, Jddan ikut berjalan, takut akan sesuatu yang mungkin saja menerjang dari belakang. Namun, itu semua sebagian dari rasa takutnya. Perlahan, lehernya memutar. "Banyak mayat di sini."

"Kautahu apa tujuanku?" tanya Jexe, membelokkan arah. "Ambil senjatanya."

Dengan sigap, mereka mengambil beberapa senjata dari sisi mayat-mayat itu. Jexe mengambil dua kapak besar. Sementara, Jddan mengambil sebuah pedang hitam berukuran sedang.

"Ada beberapa pistol juga di sana!" Jddan mencondongkan kepalanya, berusaha mengambil alat itu.

Jexe merasa senjata itu adalah keberuntungan di tengah mala bahaya. "Kita akan terus berlari jika mereka masih terdiam," kata Jexe.

Jddan hanya bisa mengangguk. Keberaniannya benar-benar menciut setiap ia melihat pepohonan yang dihinggapi Basilisk besar.

"Atau, kita menghabisi mereka semua saat menyerang."

"Apalagi?" tanya Jddan, susah payah menelan ludahnya. "Energiku habis jika persediaan rokokku--"

"Dengarkan aku!" Jexe membentak. Dan, itu tak berarti apa pun bagi Jddan. "Atau, jika benar-benar sulit, kaubisa berteriak."

Jddan menghembuskan napas lega. Tatapannya tak lebih daripada rasa sakitnya. "TOLONG KAMI!! Siapa pun itu!"

Jddan bbenar-benar berteriak. Jika bisa, Jexe akan menamparnya, tetapi pria yang lebih tua itu menjadi kebingungan. Dalam waktu sedetik, kumpulan Basilisk datang dari segala arah, berpusat kepada dua lelaki yang masih bernyawa.

Jexe malah terdiam melihat mereka. Ia masih bisa merasakan jantungnya berpacu, tetapi segala rencana itu menjadi berantakan. Keadaan seperti ini yang mengganggu. "JEXE!!"

Jddan berteriak di sisi Jexe. Melihatnya dalam keadaan membeku. "Lupakan segala rencana bodohmu!"

Adrenalinnya terpacu. Jexe melihat besarnya keberanian dalam diri Jddan saat sesuatu menyerangnya. "Lawan mereka, Jexe Mesum!"

Tangan Jexe teracung. Ia menekan pelatuk pistol yang Jddan berikan tadi. Sementara, lelaki di sisinya membuat kuda-kuda. Mereka berjuang dalam kerinduan yang tidak pernah terwujud. Mereka telah terjebak, seolah planet Noir adalah rumah bagi mereka.

Seperti biasa, Jddan menunjukkan kebengisannya. Mata biru lelaki itu terlihat tajam. Ia bersungguh-sungguh. "Kukatakan, lupakan rencana sampahmu!"

Tebasan pertama dilakukan Jddan sigap. Ia mengayunkan pedang ke segala arah saat para Basilisk itu mendekat. Namun, mereka benar-benar kuat. Dengan tiga tebasan, para Basilisk itu baru mati.

"Ingatlah diriku! Jangan terlalu bersemangat!" jerit Jexe. Ia menggunakan dua kapak besar itu sekuat tenaga. Mengerahkan kemampuannya.

Teriakan Jddan terdengar dan bergaung. Ia mendekat. "Dengar, Bocah. Axe menggambarkan diriku!" seru Jexe.

Jexe bersungguh-sungguh. Ia menghantam setiap Basilisk yang menyerangnya, diiringi serangan kapak itu. Tubuh Jexe terlalu besar, dan ia benar-benar ingin selamat. Ia berlari ke arah kumpulan Basilisk, melompatinya diiringi serangan mematikan kedua.

Ujung kapak itu menancap di tubuh Basilisk. Jexe mendorongnya lebih kuat. Satu kakinya menendang punggung Jddan. "Hancurkan mereka!"

"Aku siap!" Jddan menyerbu salah satu Basilisk. Menerjangnya sekuat tenaga. Mengibaskan pedang dengan cepat. "Bedebah!"

Jexe bisa melihat bagaimana darah kental itu memancar dari tubuh Basilisk. Ia yakin, harus ada yang menang dalam pertarungan seperti ini, walaupun ia sangat-sangat kebingungan akan tindakannya, tak seperti Jddan yang bersemangat.

Perokok itu merobek tubuh Basilisk dengan tiga atau empat tebasan. Giginya bergeretak. Di sisinya, Jexe beraksi. Anggota badannya bergerak sigap, mengayunkan tubuh sebelum kepala Basilisk itu menyerbu lengan Jexe.

Tentu, pria besar itu menindihnya, mengarahkan kapak tajam ke tubuh kenyal Basilisk. Sangat-sangat keras, membuat tubuh makhluk itu robek. Ia bisa melihat bagaimana kentalnya darah yang perlahan mengucur, sebagian lagi memancar mengenai tubuh Jexe.

Kedua pria itu muak menghadapinya. Dan, semakin merepotkan. Peristiwa seperti ini mengundang kumpulan makhluk di udara. Sangat banyak. Bersiul dari segala arah.

Jexe menengadah ke langit biru. Matahari terlihat lebih besar dan terasa lebih panas. Kumpulan burung itu hampir menutupi langit, mengibaskan sayap emas mengkilapnya, bagaikan besi.

Sedetik kemudian, menyerang mereka dari segala arah. Memelesat dengan cepat. Setiap sayap itu melukai tubuh mereka. Sangat tajam. Mereka hanya bisa menyilangkan tangan sambil berteriak. Sementara, kumpulan Basilisk menyerbunya.

"TOLONG KAMI!!" Jddan sempat berteriak.

Dan, Jexe berharap sesuatu melenyapkan semuanya--itu terwujud saat kilat muncul di udara. Diiringi kobaran api di permukaan, melenyapkan seluruh Basilisk. Dan, perlahan burung-burung besi itu terjatuh dari atas.

Jexe dan Jddan menghembuskan napas lega, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Namun, sepertinya tak ada waktu lagi. Mereka dibawa oleh seorang pria berkumis. Jexe bisa melihat seringaiannya sesaat, sebelum mereka melaju dengan kecepatan tinggi, bagai menghilang.

Jexe merasa mual karenanya. Mereka berada di ruangan gelap. "Namaku Mellow," kata pria berkumis itu. "Siapa namamu? Maksudku ... kalian?"

"Dia Jexe Rofolt dan aku Jddan. Pelintas semesta beberap--" Perkataan Jddan terpotong oleh pria itu. Awalnya ia menatap malang terhadap mereka, tetapi pria berkumis itu terlihat kaget.

"Tunggu aku di sini." Respon darinya sangat cepat. Ada sesuatu yang mengubahnya. Jexe bisa melihat keterkejutan dan perubahan sorot mata pria di hadapan mereka.

"Kau bodoh!" Jexe membentak. "Jangan terlalu jujur!"

Rahang Jexe menguat saat Mellow menghilang lagi. Sementara, Jddan menatap Jexe putus asa. "Apa maksudmu?"

"Kita harus pergi."

"Ini Ghrunklesombe." Jddan berkata di hadapan Jexe, sangat pelan.

Namun, Jexe tak bisa menyembunyikan tekadnya. Tempat ini telah berubah. Selama dua jam yang membuat mereka berdebat, sesuatu membuat pintu di balim ruangan terbuka.

Jexe menarik lengan Jddan kuat--untuk kesekian kalinya. Dua kapak yang ia bawa diluncurkan ke kayu, membuat jalan keluar dengan cepat. Sewaktu-waktu pria berkumis itu bisa saja berbahaya.

Jddan hanya bisa mengikuti rencananya. Tak memikirkan nyawanya lagi jika saja bertemu makhluk-makhluk mengerikan.

"Yusveelis dan Morstan, silakan. Jenderal sudah menyetujuinya. Demi Ghrunklesombe!" Suara itu terdengar dari balik ruangan. Tentu, jantung mereka berpacu. Dan Jexe baru memercayai identitas tempat ini. Ia benar-benar hancur.

Dengan mendadak, api menghancurkan kayu pembantas antar ruangan. "Sebelumnya, maafkan aku, Tuan Mellow!" kata seorang wanita. "Ada yang aneh selama beberapa menit ke depan."

"Lari!" Jexe berteriak, mereka menembus celah yang Jexe buat. Berlari tanpa henti. Penuh harapan agar bisa selamat. "Mati oleh monster lebih baik daripada mati saat ini!"

Jddan mengangguk mantap. Kali ini, lelaki yang lebih pendek dari Jexe bisa menyusul kecepatannya. Mereka memiliki semangat besar.

Di belakang sana, dua manusia gila memburunya. Seorang wanita merentangkan tangan, dan meluncurkan bola api ke segala arah. Susah payah Jexe menelan ludah. Mereka merasa jauh lebih kecil dibandingkan mereka.

Di sisinya, seorang pria berbaju besi mengejar. Pedang mengkilap melengkapi. Pergerakannya jauh lebih cepat daripada seorang penyihir itu. Dari arah bebatuan gersang, mereka menuju hutan lagi.

Namun, semburan api dari penyihir itu melenyapkannya. Seluruh Basilisk hangus.

"Jexe, kita dalam bahaya!" Jddan berteriak.

"Aku tahu. Kau lucu, Jddan. Aku tahu!!" Mereka masih berlari, tetapi bola api melayang lagi. Jexe menjatuhkan diri dan berguling sesaat.

"Aku kebingungan!" Jddan berteriak lagi, merebak ke mana-mana. "Apa tujuan mereka?!" Pertanyaan itu adalah yang terbodoh sejauh pertanyaan-pertanyaan lain yang pernah Jexe dengar. Ia tak bisa menjawabnya.

Jexe hanya terus berlari, tidak sedikit pun berniat menoleh ke belakang lagi. Karena rasa takut itu, mereka terhuyung jatuh dari atas tebing. Menggelinding dengan kecepatan tinggi. Sangat-sangat cepat dan sakit--seperti saat mereka menghantam bebatuan.

"Kita selamat, Bung. Kita selamat, Bung. Kita--"

"Hentikan itu, Bodoh!" Jexe meringis saat mereka benar-benar terdiam. Ketegangan itu sedikit mereda.

Mereka harus bergerak cepat. Namun, sepertinya Jddan lebih liar. Ia bertindak dengan berteriak. Tentu, dua pemburu itu menghampirinya dari atas sana. Kobaran api hampir mengenai tubuh mereka, tetapi Jddan tidak takut.

Ia menguatkan cengkeraman tangannya. Pedang tadi masih ia bawa. Di belakang, Jexe melakukan hal yang sama. Mengambil satu kapak lagi yang terjatuh. "Serang!" teriaknya bersamaan.

Sebuah pertarungan terjadi hari itu. Penyihir lincah yang menyerangnya sangat mematikan, tetapi Jexe balas menyerangnya dengan jarak dekat. Pria itu menjadi lebih lincah, menguatkan cengkeraman tangan dan nyaris menebas tubuh mungil wanita itu.

Tak ada pembicaraan. Mereka hanya melawan bersamaan. Dan, Jddan mengayunkan tangan, tapi pria besi itu yang mendominasi. Setiap tebasannya terasa mematikan. Jexe yakin Jddan sangatlah kuat.

Dua pria itu mengerahkan tenaganya. Di jarak dekat seperti itu--untuk pertama kali--Jexe menendang tubuh wanita di hadapannya kuat. Sedetik kemudian meninjunya. Dan pria besi itu telah terhuyung ke belakang.

Mereka seolah mengerti. Satu kesempatan yang membuatnya bisa berlari lagi. Sehingga para pemburu itu tertinggal jauh. Mereka naik ke permukaan yang lebih tinggi. Bersama kekalutan dan satu tujuannya yang belum terwujud.

"Mereka mengerikan!" Jddan baru saja mengeluarkan kata-katanya.

"Aku tak percaya ini Ghrunklesombe." Jexe menunduk di hadapan lelaki muda itu. "Apa yang harus kita lakukan?"

Kali ini, justru Jexe menanyakan hal yang bodoh. Lelaki di hadapannya menggeleng.

Berhari-hari, mereka kabur. Namun--hampir setiap jam--pemburu itu selalu mengincarnya. Seolah tak pernah berhenti. Menghantui dua pria yang tak mengetahui apa pun.

Dengan seribu cara, dan satu tujuan. Menangkap mereka. Dan, ada sebuah pengakuan yang membuat hati Jexe tercabik-cabik, pria itu harus menerimanya. Karena mereka hanya manusia yang tersesat.

"Kita harus menyerahkan diri." Bibir kering Jddan membuka. Ia tak mengetahui bisa menuruti perkataan itu.

Segala peristiwa sebelumnya terbayang kembali di tengah udara panas. Napas mereka kian panjang setiap harinya.

Mungkin, dengan kembalinya dua pria itu, segalanya bisa beres. Mereka telah kembali ke Ghrunklesombe dalam keadaan malang. Tanpa mengetahui apa masalahnya.

Sehari kemudian, seorang penyihir angkuh bernama Yusveelis menangkap mereka. Tak ada pertolongan. Namun, ada harapan, walau hanya sedikit, walau hanya sedetik. Dan, itu nyata.

Segala peristiwa sebelumnya masih terbayang di kepala mereka. Di belakang wanita tangguh itu, Jexe dan Jddan berjalan kaku. Efek segel mematikannya membuat Jexe dan Jddan mengikuti Yusveelis.

Namun, ada sesuatu yang mengalihkan perhatian Yusveelis. Ia mengambil sebuah kristal dari tasnya, mendapati informasi dari rekannya, bahwa seorang enigma lain ditemukan.

Jantung Jexe tercelus kala itu. Memikirkan bahwa manusia yang ditemukan pria baja itu adalah Sang Ratu. Selama perjalanan ke sarang Ignis, Jexe memikirkan sebuah cara agar mereka bisa bertemu Ratu. Namun, itu hanpir mustahil, dan Jexe masih berharal.

Walaupun, mereka dikelilingi para Ignis di sekitar kurungan, mereka tetap memikirkan keadaan Ratu. Sampai-sampai--setelah beberapa jam--wanita yang dianggapnya angkuh itu menghubungi mereka. Menumbuhkan harapannya. Keluar dan menemukan Ratu, melewati Hutan Gazelle disertai beberapa Ignis di belakangnya.

Setelah mereka melakukan perjalanan penub harapan, sesuatu membuat mulut salah satu dari mereka membuka. Ada rasa kaget saat Jddan melihatnya. Dan, Jexe tak menyangka bahwa seseorang yang ia harapkan bukanlah seorang Ratu.

"Halo, Jeir."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top