1. Kapitel

Sesak napasnya menyeruak pilu, getaran dalam tanah bergemuruh. Kekuatan ini begitu gelap dan tidak bisa dibendung lebih lama lagi. Lambat laun, tidak, secepatnya planet ini akan hancur beserta isinya.

Sehingga suatu hari dua orang pejuang atas nama kebajikan dan dunia diutus oleh Jenderal Perang untuk memusnahkan akar, kekuatan gelap yang terus menerus menyedot energi dari planet yang ditinggalinya.

Yusveelis terdiam, mata hijau terangnya melirik ke arah kesatria berzirah di hadapannya. Kedua orang itu saling diam sampai Yusveelis mengangkat pembicaraan.

"Jexe dan Jddan, dua pelintas semesta. Kau mau memburu siapa?"

Kesatria bernama Morstan itu berdehem dan menjawab, "Aku akan ke Laut Terra untuk mendapat petunjuk dari kawah pertama. Terserah kau mau ke mana. Yang jelas kita harus berpencar."

Yusveelis berdiri dari kursinya dan menutup mata hijaunya. "Baiklah. Sampai jumpa, Kesatria Terkuat. Semoga kita berhasil. Walaupun aku tidak yakin mereka yang membuka portal semacam itu." Wanita itu melangkah pergi sambil membawa tas punggung berisi dua bilah pedang dwi netra.

Ia menatap ke langit sejenak setelah bayang pohon tak lagi meneduhinya. "Perasaanku saja atau memang dunia tambah panas."

Dia mengucapkan beberapa baris kalimat sampai tubuhnya berpendar dan dalam sekejap ia menjadi kelelawar untuk terbang bebas.

Tubuhnya lelah berkelana, mengelilingi planet ini untuk mengunjungi satu persatu kawah yang muncul sedangkan setiap ia mendekat dan mencari tahu, monster mitologi yang ganas menyerangnya sampai suatu ketika dia merasa bosan karena monster itu seolah tiada habisnya. Hingga tersisa dua tempat yang belum mereka kunjungi, yaitu Laut Terra dan Hutan Gazelle.

Rekannya memilih untuk pergi ke Laut Terra jadi Yusveelis harus menuju ke Hutan Gazelle. Siapa tahu Jexe dan Jddan ada di sana karena sampai saat ini para ignis belum juga melihat batang hidung mereka di markas mereka.

Baru kali ini Yusveelis merasakan beban yang begitu berat di pundaknya.

Beberapa lama kemudian, Yusveelis telah tiba di Hutan Gazelle, hutan yang entah mengapa begitu gelap. Mungkin karena sulur-sulur yang merambat dari pohon satu ke pohon lainnya hingga tidak membiarkan sinar matahari menyentuh tanah hutan tersebut.

Yusveelis mengubah kembali raganya menjadi sesosok wanita muda dengan rambut keunguan. Ia menghela napas sambil menatap kegelapan di sekitarnya.

"Aku bahkan bisa merasakan kekuatan yang amat gelap di balik batang pohon ini, bahkan rasanya sangat sulit untuk berdiri bagi orang biasa," gumamnya sambil terus berjalan.

Namun Yusveelis menghentikan langkahnya ketika telinga kelelawarnya mendengar suara gemerisik yang tak biasa ada di hutan. Ia membalik tubuhnya dan mengamati sesuatu di balik batang pohon.

"Jangan bilang monster lagi."

Sesosok basilisk menyerangnya dari tempat tersebut. Yusveelis yang sudah menduga akan hal ini langsung mengerahkan mantra untuk membunuh monster itu. Namun urung ia melakukannya, sebuah anak panah melesat dan membunuh makhluk tersebut.

Merasa tersentak, Yusveelis langsung menoleh ke arah datangnya anak panah tersebut. Apa yang ia cari malah menghampirinya. Wanita itu tersenyum sinis dan melemparkan jarum-jarum darah miliknya ke dua orang di hadapannya.

"Tunggu! Apa yang kau lakukan?" pekik Jexe sambil membuat sebuah pelindung tak kasat mata.

"Memburu kalian. Apa lagi?" jawab Yusveelis sambil terus menyerang tanpa henti.

Melihat buruannya melarikan diri, Yusveelis terus mengejar dengan berbagai senjata yang ia buat dari darahnya.

"Mereka tak boleh kabur atau pun terbunuh," gumam Yusveelis.

Dengan mata hijaunya, wanita itu dapat melihat tas punggung di dua pelintas semesta yang ia kejar. Tanpa ia sangka, Jexe dan Jddan mengeluarkan bom asap untuk mengelabuhi penyihir terkuat ini dan kabur entah ke mana. Yang jelas, setelah menembus kabut asap, Yusveelis bisa melihat danau di tengah Hutan Gazelle.

"Aku tidak akan membunuh kalian," teriak Yusveelis. "Aku hanya akan membuat kalian bicara tentang bagaimana cara agar portal maut di planet ini tertutup." Suara wanita itu bergema.

"Bagaimana jika kami tidak tahu cara menutupnya?"

"Bukan kalian? Lalu siapa?" Yusveelis menatap ke arah air di danau tersebut. Dia mencoba mengingat kembali apa yang ada di mimpinya, tentang firasatnya akan peristiwa ini. Kemudian dia mengingat sesuatu. "Pelintas semesta itu ... apa hanya kalian berdua?"

"Bunga tidurmu mengatakan sesuatu, kan?"

Sontak Yusveelis berbalik untuk melihat sumber suara. Jddan dan Jexe ada di sana, menatapnya dengan penuh keyakinan.

"Jawab saja!" bentak wanita itu.

"Sebenarnya ada satu orang lagi. Namun orang itu sudah lama tiada, ditelan dimensi," jawab Jddan.

Sosok Yusveelis mengerutkan dahinya dan mulai menggigit kuku panjang di tangan kanan sembari berpikir. Kemudian dia berkata, "Bagaimana jika dia masih hidup?"

"Tidak mungkin. Jeir tidak mungkin masih hidup. Selama bertahun-tahun di ruang hampa akan membuatnya mati." Jexe angkat bicara.

Yusveelis mengembuskan napasnya dan membelakangi mereka. "Entahlah. Aku hanya berpedoman pada mimpi dan firasatku. Untuk saat ini aku akan bilang pada Jenderal Fe bahwa kalian tidak bersalah. Tetapi sebelum itu, kalian harus membantu untuk menangkap pembuka portal itu dan membunuh siapa pun yang keluar dari dalam sana."

Keheningan bertahan agak lama di hutan itu sampai Jexe menyahut, "Baiklah, Yusveelis."

***

Yusveelis menatap ke luar jendela sambil bernapas santai layaknya makhluk yang baru saja selamat dari buruan serigala, dia menikmati paginya dengan tenang. Ia berharap pagi seperti ini hadir lebih lama dari biasanya sebelum ia menapak kaki ke dunia luar yang liar. Tentu saja, walaupun Jexe dan Jddan diduga tidak ada campur tangan dalam insiden ini, namun tugasnya sebagai penyihir terkuat belumlah usai.

Orang yang masih tanda tanya itu berkelebat bak bayangan di benak Yusveelis. Memangnya siapa dan apa yang bisa menembakkan garis lurus mematikan seperti itu? Serta kendaraan macam apa yang dikendarai oleh dirinya?

Mimpinya semakin absurd akhir-akhir ini sampai membuat kepalanya berdenyut beberapa kali, merusak pagi indahnya. Apalagi dengan kedatangan beberapa Ignis di rumahnya.

Yusveelis segera meninggalkan tempatnya dan membukakan pintu untuk Ignis.

"Iya, aku akan segera berangkat," ujar Yusveelis dan menutup lagi pintu rumahnya. Tak lama kemudian dia keluar bersama dual blade, senjata pamungkasnya yang sanggup menebas dan memerangkap kekuatan sihir sebagai energi di dalam bilahnya.

Yusveelis dan empat Ignis melangkah untuk menuju ke Hutan Gazelle sedangkan Ignis yang lain ditugaskan menjaga portal lain. Belum sempat Yusveelis menarik napas dan berdoa, kristal di dalam tasnya bergetar.

Sebuah mantra diucapkannya sehingga dari dalam kristal tersebut muncul wajah Morstan. "Apa?"

"Aku mendapati seseorang keluar dari portal di Laut Terra. Dia menangkis seranganku."

Seketika Yusveelis terperanjat bersama para Ignis di sekitarnya.

Seseorang bisa menangkis serangan Morstan dianggap sangat mustahil. Apalagi orang itu berhasil melarikan diri. Terlebih dia keluar dari portal.

"Sambungkan aku pada alat komunikasi ke pasukan lain," titah Yusveelis pada Ignis di sampingnya. Kemudian dia berbicara pada alat yang diberikan para Ignis. "Jaga setiap portal! Kita akan mendapatkan serangan berikutnya. Dan serangan itu ... setara dengan kekuatan Kesatria Morstan."

Yusveelis bergegas mengambil kembali kristalnya, menggumamkan mantra yang sama dan ia tersambung pada Jddan dan Jexe yang berada di kurungan magis di markas para Ignis.

"Bisa kau rasakan? Kita akan mendapat serangan!" bentak Yusveelis dan langsung mematikan sambungannya.

Mata hijaunya menatap lurus ke depan lalu ia berlari menyusul para Ignis yang menuju ke portal di Hutan Gazelle.

Pos yang didirikan para Ignis di Hutan Gazelle berjarak sekitar tiga kilometer dari portal mistis. Yusveelis sempat berhenti sejenak di sana, namun firasatnya mengatakan bahwa ini tidak benar. Ia harus cepat menghampiri portal atau sesuatu akan terjadi.

Maka dia mengabaikan ucapan para Ignis dan segera terbang dalam bentuk kelelawar untuk menuju ke portal untuk melihat langsung apa yang ada di sana.

Kakiku sempat bergetar hebat tadi. Tubuhku seakan tidak punya daya lagi untuk melawan. Sebesar apakah kekuatan yang tersembunyi di balik portal itu?

Dari kejauhan Yusveelis dapat melihat petir dan awan gelap di atas kawah. Rantai-rantai kegelapan juga tampak semrawut dan mengakar kuat di tanah.

Sejenak, Yusveelis merasa energinya menghilang yang berakibat pada konsentrasinya yang semakin memudar. Tanpa ia sangka sebelumnya, bongkahan batu melaju ke arah kelelawar kecil itu. Namun lajunya masih terlalu lambat bagi Yusveelis untuk mengubah diri dan melecutkan serangan sihir darah. Maka batu itu hancur berkeping-keping.

Sekelebat dia melihat seseorang di antara pecahan batu, namun kini orang itu tiada.

Memangnya dia ilusi?

Yusveelis mewaspadai sekelilingnya. Mata hijau itu melirik cepat, menangkap sigap setiap situasi di sekelilingnya. Dan ia menemukan kejanggalan di antara awan kelabu yang mengangkasa.

Penyihir itu kemudian melecutkan kedua tangannya sembari menggumamkan mantra yang besar. Lambat laun cairan warna merah darah menggumpal di hadapannya, terus bertambah sampai Yusveelis membuka mata hijau yang tampak seperti serigala pemangsa.

Selanjutnya dalam satu waktu ia dorong kekuatan itu ke depan, ke arah petir menyambar. Tak disangka, gumpalan merah itu hancur bagai darah yang membusukkan apa saja yang disentuhnya.

Namun di lain hal, Yusveelis merasa benar. Firasat, bunga tidur yang selama ini hanya dipercaya sebagai sesuatu yang tak nyata benar adanya.

Sebelum Yusveelis menyerang kapsul asing itu lagi, sebuah cahaya kemerahan memotong udara dan mengarah ke Yusveelis. Merasakan energi yang panas dan rasa bahaya, Yusveelis segera mengucapkan mantra pelindung. Pelindung tak kasat mata miliknya menahan serangan panas laser kapsul itu, tetapi Yusveelis tak bisa mempertahankan posisinya, membuatnya terbanting ke tanah Hutan Gazelle.

Tetapi wanita itu masih bisa bangkit walaupun darah sudah menghiasi kepala dan luka di sekujur tubuhnya. Cukup sakit menembus sulur-sulur berduri di hutan ini.

Yusveelis berdiri, tanpa kehilangan senyum percaya diri, ia mengusap darah di mulutnya. Manik hijau itu bisa melihat benda yang terus membelah udara demi menyerangnya. Maka sebelum ia kehabisan waktu dan mati di sini, ia menggumamkan mantra besar sekali lagi.

Lingkaran sihir berwarna emas dengan huruf kuno tampak mengelilinginya wanita penyihir itu. Yusveelis merentangkan tangannya ke depan kemudian menyambar dual blade di punggungnya.

Bilah yang sebelumnya berwarna biru lambat laun menjadi merah darah yang bersinar terang.

Dengan mantra dan aksara yang masih mengelilingi tindak tanduknya, Yusveelis menyeru, berteriak untuk mengumpulkan kembali energi yang disedot oleh portal maut. Ia menghentakkan kakinya di tanah dan melesat bagai peluru, menembus atmosfer berat dan menyesakkan.

Tinggal beberapa saat lagi sebelum mereka bertabrakan, sebuah anak panah melesat di antara mereka sehingga keduanya kehilangan konsentrasi karena kaget. Ketika keduanya hampir bertabrakan saat tidak siap, sebuah pelindung tak kasat mata menghalangi mereka.

Keduanya terjatuh tanpa saling melukai. Yusveelis yang masih sigap segera membenarkan posisinya untuk menapak pada tanah. Sepatunya bergesekan dengan tanah kering sampai dirasa panas oleh kaki. Yusveelis berhasil mendarat dengan selamat seketika Jexe dan Jddan menghampirinya.

"Jangan kau bunuh dia!" teriak Jexe sambil memohon pada Yusveelis seakan dia adalah tuhan.

"Dia teman kami yang kami duga telah mati." Kali ini Jddan meminta.

Yusveelis yang tak mengerti apa yang terjadi melihat lelaki yang menyerangnya mendekat, melewati pepohonan hancur karena pertarungan singkat mereka berdua.

"Kau!" pekik Yusveelis sambil menodongkan pedangnya.

"Aku tak ingin bertempur denganmu!" teriak pria di dalam kapsul itu dari kejauhan.

"Begitu? Tapi kau ingin mengacurkan jagat raya ini!" Yusveelis melempar kalimat dengan penuh amarah.

"Tidak! Aku hanya ingin meminta tolong! Aku ingin bertemu dengan Yang Mulia Igna!"

"Dengan Dia? Kau ingin bertemu dengan Igna? Langkahi mayat kami dulu!"

Kami?

Morstan menerjunkan diri dan menggempur bumi dengan hebat, seperti meteor dia menebaskan pedang raksasanya kembali. Wajahnya penuh amarah karena telah diejek oleh cecunguk pembuka portal.

"Tidak ...." Jexe berlutut putus asa. "Kita tidak bisa menghentikan pertempuran ini, Jddan."

Yusveelis kembali merapal mantra. Aksara emas kembali mengelilinginya bagai pusat dari segalanya. Begitu pula dengan Morstan yang mulai mengangkat tinggi pedang miliknya sampai kristal biru di pangkal bilah tajam itu bersinar terang. Secepat bayangan, pria berzirah itu menghilang, siap menyerang dari mana saja dan kapan saja. Yusveelis pun juga mulai menghentakkan kakinya, meminta tanah dan angin untuk mengantar serangannya.

Namun tak disangka awan gelap di atas mereka mulai berpencar. Sedikit demi sedikit cahaya mengisi renungan. Semakin terang dirasa hangat menembus kulit. Tanah yang bergetar dan lemah tak lagi terasa sakit. Napas tak lagi sesak menyiksa dada.

Sambil terus berpendar, suara perdamaian nan suci mulai terdengar, "Biarkan dia menemui aku."

Yusveelis dan Morstan serta semua makhluk yang ada di sana terperanjat, menatap ke langit yang dipenuhi berkah cahaya suci dan langsung berlutut tanpa peduli apapun.

Suara sang Igna pun kembali terdengar, "Apa yang kau inginkan, Anak Muda?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top