Bab 3

Solva meringkuk saat membuka matanya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau dia bisa berada di ruangan misterius tersebut. Bulu kuduknya mulai berdiri. Belum pernah dia merasa ngeri seperti ini sebelumnya. Dia bukan orang yang mudah takut oleh suatu hal hingga menaikkan bulu kuduknya.

"Dimana aku?" gumamnya.

Krad tiba-tiba muncul di hadapannya dengan wujud yang sangat mengerikan. Krad menjadi sosok tanpa wajah dengan rambut seperti akar-akar pohon, bertubuh sangat jakung, memakai jubah hitam dan kedua lengannya sangat panjang. Jemarinya juga bukan jemari yang biasa dilihat oleh manusia pada umunya, melainkan jemari dengan ukuran tidak normal dan kuku-kuku berasal dari besi terasah tajam.

"Solva Haria Wijaya," sapa Krad.

"Siapa kau?" tanya Solva.

"Kematian," jawab Krad.

Solva mengernyit keheranan. Dia memang baru saja merasakan sakit yang luar biasa, lalu tiba-tiba saja berada di ruangan aneh dengan seorang lelaki berwujud mengerikan.

"Aku mati? Hahaha, tidak. Tidak mungkin. Bohong!"

Krad menghujamkan kuku-kuku di jemarinya ke kepala Solva. Kuku-kukunya menembus kepala Solva. Jeritan menggema di ruangan tersebut. Tre tak mampu melihat perlakuan Krad kepada Solva. Namun, bagaimana pun dia tak bisa mengganggu tugas Dewa Kematian itu. Pasti ada alasannya kenapa Krad menyiksa Solva seperti itu.

"Aargh! Sakit! Sakit! Jangaan!" jerit Solva sambil berusaha menggapai-gapai tangan Krad agar dilepaskan dari kepalanya. Krad tidak bergeming, dia menyeret kepala Solva, mau tak mau lelaki itu merayap berusaha mengikuti langkah kemana Krad akan pergi.

"Jiwamu kotor. Aku ditugaskan untuk menyiksa jiwa-jiwa yang kotor sebelum naik ke langit. Ini adalah tempat perbatasan di mana kau harus menyesali dosa-dosamu sebelum berhadapan dengan Yang Maha Tinggi," ucap Krad, "tenang saja, kau tak akan mati lagi. Kau cuma merasakan sakit dari setiap siksaan yang aku akan berikan kepadamu."

"Aarrghh!" jerit Solva begitu pilu. Siapapun makhluk hidup yang mendengarnya pasti akan merasa kasihan.

Dengan kasar Krad melempar tubuh Solva. Mereka sudah berada di tempat lain. Tempat itu banyak semak belukar, tanaman liar dan tanahnya cukup gembur. Seperti di tengah hutan. Solva terkejut, karena sangat mengenal tempat itu.

"Kau ingat yang telah kau lakukan di tempat ini?" tanya Krad.

Solva merinding. Tentu saja dia sangat mengingat tempat tersebut. Anehnya, meskipun ia merinding ada rasa kesenangan di dalam dirinya. Sesuatu yang membuatnya merasa gembira, kepuasan tertinggi. "Aku ingat, tentu saja aku ingat. Hahahaha!"

"Kenapa kau tertawa?" tanya Tre.

"Ini adalah urusanku, kau tak perlu ikut campur, Tre," kata Krad menimpali, "kau jadi penonton saja. Aku hanya ingin memperlihatkanmu sesuatu."

"Aku tidak mengerti. Kenapa dia tertawa, apanya yang lucu? Apakah kematian lucu bagi dia?" tanya Tre yang makin lama makin sebal.

"Alam ini akan mengisap segala hal yang kau sukai. Tahan dirimu, atau kau tak akan bisa kembali ke tempatmu," ucap Krad menasihatinya.

Tre berusaha untuk tenang. Apa yang dikatakan oleh Krad ada benarnya. Alam kematian bukanlah alam yang bersahabat. Setiap hal-hal yang baik akan dinetralkan, demikian juga hal-hal yang jahat. Di sini bukan alam untuk bersenang-senang ataupun bersedih-sedih. Inilah tempat di mana manusia menghadapi penyesalan-penyesalan dalam kehidupannya sebelum akhirnya nanti harus menempuh perjalanan yang panjang untuk bertemu dengan Sang Pencipta.

Mata Solva melihat masa lalunya. Di tempat itulah dia pertama kali melakukan kejahatan. Teman sepermainannya dia buat tidak sadar, setelah itu ia perkosa, hingga kemudian dibunuhnya. Solva sebenarnya memiliki perasaan terhadap temannya tersebut. Benih-benih cinta yang tumbuh akhirnya ia lampiaskan. Sayangnya bukan kepada jalan yang benar. Bahkan, ia sangat panik saat mengetahui apa yang telah dia lakukan. Tiba-tiba saja setelah melakukan hal tersebut dia sesak napas. Solva memang mengidap pneumonia sejak kecil. Dia selalu membawa inhaler di sakunya. Setelah merengguk kenikmatan dan menghabisi nyawa kawannya, dia lalu mengubur jasad tersebut di bawah semak belukar tempat Solva sekarang berada.

"Kau akan mendapatkan balasan atas perbuatanmu ini. Apa kau tak menyesalinya?" tanya Krad.

"Kenapa aku harus menyesali perbuatanku sendiri? Aku melakukannya karena sadar. Tak ada yang perlu disesali," jawab Solva.

"Orang tuanya mencari dia sampai sekarang. Mayatnya tidak diketemukan, bahkan mungkin tak akan ditemukan. Tempatnya cukup tersembunyi, tak banyak orang yang tahu," kata Krad, "ini adalah awal kau melakukan tindak kejahatan. Setelah ini, korbannya bertambah. Dari satu, dua, tiga, hingga puluhan orang."

Tre terkejut mendengar ucapan Krad. Dia tak menyangka Solva melakukan tindakan sekeji itu. Tentunya Krad tidak akan berbohong atau hanya sekedar untuk menakut-nakuti. Dewa Kematian tak pernah berbohong.

"Korbanmu orang dewasa dan juga anak-anak. Kau akan mendapatkan hukuman yang sangat pedih atas kejahatanmu ini, berkali-kali lipat penderitaannya dari yang mereka rasakan akibat ulahmu," ancam Krad.

"Aku mengerti. Aku tahu risikonya. Aku pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatanku. Namun, aku tak menyesalinya. Aku telah siap," ucap Solva. Wajah Solva terlihat murung.

Sekali lagi kuku-kuku Krad menghujam ke punggung Solva, kemudian dia menyeret lelaki itu melewati dimensi selanjutnya. Ingatan Solva diarahkan ke korban anak kecilnya, gadis kecil bernama Sarah.

Tubuh Solva berada di lumpur dengan punggungnya masih tertancap kuku-kuku besi. Rasa perih dan ngilu masih tak tertahan. Meskipun tubuh Solva sekarang penuh dengan luka, kepala yang nyaris hancur, tulang-tulang di punggungnya remuk, pemuda ini masih bergeming.

Tre merasa sedih melihat seorang gadis kecil dalam ingatan Solva. Ternyata Sarah sering bertemu dengan Solva. Mereka saling bertegur sapa. Kadang juga Solva memberinya permen. Tre tidak habis pikir, kenapa Solva tega sekali menyakiti gadis kecil itu. Saat memori Solva sampai kepada bagaimana dia menganiaya Sarah, Tre tak sanggup melihatnya. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Solva?

"Kau tak merasa bersalah telah melukainya?" tanya Krad.

"Aku memang salah. Mau bagaimana lagi? Tanganku gatal. Ada bagian di dalam diriku ingin agar aku bisa melakukannya," jawab Solva.

"Jadi kau tidak pernah menyesali semua perbuatanmu?" tanya Krad.

"Tidak perlu. Buat apa?"

"Solva, kau ini bodoh atau apa? Tidak sadarkah kau? Akibat perbuatanmu nyawa orang lain melayang, kau telah membuat makhluk-makhluk tidak berdaya itu meregang nyawa! Salah mereka apa?" Tre tak sanggup lagi untuk bicara.

Krad mengangkat tangannya agar Tre tak ikut campur.

"Kenapa aku tak boleh ikut campur? Kau di sini untuk membuatnya menyesal bukan? Sebagaimana tugasmu kepada manusia-manusia lain yang telah berbuat dosa. Kalau dia tidak menyesali perbuatannya, ia akan benar-benar dibenamkan ke jahanam."

Krad membungkuk, hingga tiba-tiba dari punggungnya muncul sesuatu. Sepasang tulang terbuat dari besi, tersusun dengan ranting-ranting kecil dan tajam, setelah itu dari setiap celahnya muncul ribuan bulu-bulu besi. Punggung Krad kini ditumbuhi sepasang sayap besi berwarna hitam lebar dan terbuka. Seketika itu suasana menjadi mencekam. Mata Krad berubah menjadi merah menyala seperti api, wajahnya tertutup oleh rambut panjang yang menjuntai hingga sampai ke lututnya. Perubahan wujud ini membuat Tre menyadari kalau dia telah lancang mengomentari pekerjaan Krad.

"Maafkan aku," ucap Tre, "aku tak bermaksud lancang. Hanya saja, aku tak tahan dengan orang ini."

"Aku sudah bertugas sebagai Dewa Kematian cukup lama. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Jadi kau tak perlu memusingkan diri untuk berkomentar tentang tugasku, Tre!"

"Maafkan aku."

"Aku sudah banyak menangani kasus orang-orang yang tidak menyesali perbuatan mereka. Sebagian di antara mereka bahkan menganggap kematian adalah jalan terakhir yang mereka pilih. Katanya tidak menyesal menghadapi kematian, tapi mereka akhirnya menyesal. Sebab, mereka kehilangan sesuatu yang sangat berharga, bukan begitu, Solva?" suara Krad membahana ke seluruh dimensi. Solva tak mampu mengangkat wajahnya.

"Kau tak menyesal, karena kau tidak pernah menganggap dirimu hidup. Kau berbuat seperti ini, karena tak merasa kehidupan yang kau jalani adalah layak," kata Krad.

"Itu tidak benar," sanggah Solva.

"Kau masih ingat kenapa kau melakukan perbuatan itu? Ada dorongan dan keinginan yang kuat dari dalam dirimu. Itu semua awal bersumber dari masa kecilmu. Kau mendapatkan perlakuan yang buruk dari kedua orang tuamu."

Memori Solva diarahkan lagi ke saat dia masih kecil. Duduk bersama di meja makan bersama orang tuanya. Solva bukanlah anak yang nakal. Namun, masalah keluarga membuatnya berubah. Solva menjadi anak yang sangat bandel. Kedua orang tuanya terus bertengkar, lalu melampiaskannya kepada anaknya. Sejak kecil dia mendapatkan KDRT, akhirnya Solva lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Karena sebab KDRT pula ia sering mengalami sesak napas, sehingga butuh inhaler setiap kali terkena serangan. Lebih senang bermain bersama teman-temannya, hingga akhirnya bergaul dengan orang-orang yang lebih dewasa, dan orang-orang yang lebih nakal. Dia mengenal dunia yang tidak seharusnya sudah diketahui oleh anak kecil.

Apakah orang tuanya tidak membimbingnya? Orang tuanya masih tetap menasihatinya agar jadi anak yang baik, meskipun keadaan keluarganya tidak baik. Namun, Solva tidak puas. Dia melihat orang tuanya adalah manusia yang munafik.

Memang ayah dan ibunya menasihatinya, tapi sayang sekali nasihat itu seperti kertas yang dimakan api hingga menjadi abu. Solva melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ayahnya selingkuh. Dia juga melihat bagaimana ibunya menjual diri hanya demi menghidupi dirinya setelah bercerai dengan ayahnya. Solva merasa orang-orang munafik ini tak pantas menjadi orang tuanya. Dia menarik kesimpulan orang-orang tua itu bisa berkata baik, karena mereka berkuasa. Mereka tak bisa dibantah, karena punya kekuatan. Maka dari itu alangkah lebih baiknya kalau kekesalannya selama ini diarahkan kepada orang-orang yang lebih lemah darinya. Itulah yang menjadi pemicu kenapa dia sangat ingin sekali menganiaya mereka yang lebih lemah.

"Manusia-manusia yang lemah itu. Aku sangat muak terhadap mereka. Aku senang kalau mereka dibebaskan saja. Membebaskan mereka dari kekejaman dunia yang mereka hadapi," tutur Solva. Dia tak sadar telah bercerita panjang lebar tentang dirinya.

Krad mengusap kepala Solva yang sudah hancur, seketika itu kepala pemuda tersebut kembali seperti semula, tanpa luka. Solva meraba-raba wajahnya yang sudah utuh kembali. Sayangnya kini ia berada di tempat lain. Tubuh yang saat ini ada di dirinya bukan tubuhnya. Ini tubuh Wanda. Krad membuat Solva masuk ke dalam pikiran Wanda di saat-saat terakhir perempuan itu menghembuskan napas terakhirnya.

"Tolong! Tolong! Tolong, Ya Tuhan!" jerit Wanda saat Solva membekapnya.

Solva tak bisa bersuara. Mulutnya tertutup, namun saat itu ia merasakan bagaimana dirinya menyakiti Wanda. Di dalam pikiran Wanda saat itu hanya teringat Solva. Seseorang yang sangat dicintainya selama ini.

"Solva, maafkan aku. Solva....," kata-kata terakhir Wanda sebelum Krad mencabut nyawanya.

Jiwa Solva bergetar. Napasnya sesak, seolah-olah dia sekarang adalah Wanda. Setiap rasa sakit datang bertubi-tubi, ditambah dengan perasaan cinta dan takut akan tidak ada hari esok. Wanda ingin bertemu dengan Solva untuk yang terakhir kali. Tak terasa Solva mulai bersedih, tak ada air mata keluar dari matanya, tetapi kesedihan itu nyata.

Solva ditarik keluar lagi oleh Krad. Memorinya kini berada di dalam kepala Sarah. Gadis kecil yang juga menjadi korbannya. Perasaan sedih Solva kini berkali-kali lipat. Sarah sangat menyayangi kedua orang tuanya yang selalu baik kepadanya. Apakah Sarah punya salah kepada Solva sampai gadis itu harus dibunuh?

"Tuan Dewa Kematian, sudah cukup. Keluarkan aku dari sini! Aku menyesal. Aku menyesal," ucap Solva, "keluarkan aku!"

"Kau harus melihat semuanya. Setiap korban yang telah kau bunuh, kau juga harus tahu bagaimana perasaan mereka," kata Krad.

"Aku mengerti. Aku menyesal, Tuan Dewa Kematian," kata Solva.

Krad menarik lagi ruh Solva dari memori Sarah, setelah itu dilemparkannya lagi ke ruangan putih tempat awal mereka bertemu. Solva meringkuk sambil menangis. Tubuhnya penuh darah dengan luka tercabik-cabik akibat siksaan yang diberikan oleh Krad.

"Kau tidak menyesal, sebab kau menempatkan diri pada kematian. Akulah kematian, kau tak berhak berlagak seperti aku. Ketika kau berada pada napas kehidupan, kau melihat dirimu sendiri dalam ketakutan. Kau merindukan keluarga yang bahagia, tapi kau malas untuk mewujudkannya. Kau bisa saja menjalin hubungan dengan Wanda, setelah itu berumah tangga. Membentuk keluarga yang bahagia seperti yang selama ini kau idam-idamkan. Sayang sekali, kau membuang kesempatan itu begitu saja. Kau meremehkan kehidupan dan tidak menghargainya. Kini kau tahu bukan kalau kehidupan itu sangat berharga?"

Solva mengangguk. "Aku mengerti. Aku mengerti."

Krad kemudian membungkus tubuh Solva dengan kain putih yang berwarna kusam. Tre yang sedari tadi menyaksikan bagaimana Krad bertugas mulai menyadari apa yang dikatakan oleh Krad pertama kali. Tidak setiap yang ia lihat baik akan sepenuhnya baik. Terkadang ada keburukan yang tidak dia ketahui.

"Menghargai kehidupan, ya? Itukah yang ingin kau sampaikan kepadaku?" tanya Tre sebelum Krad beranjak mengantarkan ruh Solva ke langit.

"Ada banyak manusia yang menyia-nyiakan hidupnya. Biarpun mereka sedang dalam masa yang sulit dan depresi, hendaknya mereka menghargai kehidupan. Setidaknya berusaha agar jiwa mereka sembuh. Sebelum ini pernah ada manusia bernama Rita yang menghabisi nyawanya sendiri, karena urusan cinta. Hidup itu perlu dihargai, walaupun terkadang tidak adil," ucap Krad.

Tre mengangguk paham. "Terima kasih, Krad. Kau memberikanku pelajaran hari ini."

Krad tak berkata apa-apa lagi, lalu membawa ruh-ruh yang telah dia cabut tersebut ke langit, tempat di mana ruh-ruh tadi menunggu untuk dibangkitkan lagi di hari akhir nanti. 

***(End)***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top