Bab 2
Seekor burung gagak terbang di antara pepohonan. Kepalanya menoleh kanan dan kiri mencari sesuatu. Kepakan sayapnya diperlambat, kemudian mendarat di atas dahan pohon. Di dahan pohon tersebut, burung gagak tidak sendirian. Seekor burung merpati berbulu putih juga sedang ada di sana.
Burung merpati tersebut perlahan-lahan badannya membesar, bulu-bulunya mengembang seperti kapas. Beberapa saat kemudian wujudnya berubah menjadi seorang perempuan dengan rambut berwarna putih dan bergaun panjang. Sepasang sayap burung berbulu putih terlihat di punggungnya. Dia adalah Tre.
Tak ketinggalan pula burung gagak juga berubah. Prosesnya nyaris mirip seperti burung merpati tadi, hanya saja wujudnya adalah seorang lelaki berwajah dingin, berkulit pucat dengan rambut hitam bercabang-cabang seperti ranting pohon. Keduanya duduk di atas dahan pohon mengawasi sesuatu atau seseorang.
"Krad, sang Pencabut Nyawa. Kita bertemu lagi," sapa Tre.
"Tre, sang Pemberi Kebaikan," sapa Krad.
"Keberadaanmu di sini membuatku berpikir kalau urusanmu akan berhubungan denganku," kata Tre.
Krad mengangguk. "Tentu saja."
"Ah, malang sekali nasib manusia itu," gumam Tre.
"Setiap yang hidup pasti mati. Bahkan, makhluk paling kecil pun bisa juga mati. Pencabut nyawa lain juga ditugaskan untuk mencabut nyawa makhluk-makhluk kecil, apalagi makhluk seperti manusia. Menurutku kematian bukanlah kemalangan seseorang. Mati adalah hal yang wajar."
"Sudah kuduga, dari seorang Dewa Kematian seperti kamu tak akan mengerti bagaimana rasa sedihnya ditinggalkan oleh seseorang yang disayangi," kata Tre.
"Tidak juga. Terkadang ada manusia yang lebih senang seseorang mati."
"Mana ada? Yah, meskipun terkadang manusia itu menjengkelkan, berbuat buruk sana-sini, aku tetap diutus untuk memberikan kebaikan kepada mereka. Yang aku lihat, biarpun manusia saling bunuh mereka masih merasa kehilangan. Artinya ada kebaikan yang hilang."
"Kebaikan bisa datang juga untuk kematian," ucap Krad.
Tre tak menanggapi. Baginya Dewa Kebaikan adalah keberkahan yang tidak ternilai. Tugasnya berbeda dengan Krad. Keduanya memang tidak pernah akur satu sama lain. Namun, meskipun tidak pernah akur, mereka tidak pernah mengurusi apa yang sudah ditugaskan kepada mereka.
"Ah, itu dia manusia yang ingin aku berikan kebaikan," ucap Tre saat melihat seorang pria melintas di trotoar.
Pria tersebut terlihat rapi dengan kemeja dan dasi. Tas kecil tampak ia bawa di punggungnya. Tampangnya seperti pekerja kantoran yang sudah biasa hilir mudik di perkotaan. Tre memperhatikan pria tersebut dari jauh.
"Namanya Solva. Hari ini aku diutus untuk memberikan kebaikan kepadanya," kata Tre.
Krad terdiam mengamati pria tersebut.
Solva tersenyum kepada setiap orang yang dia temui. Saat bertemu dengan orang yang dia kenal, dia berhenti sejenak untuk bercakap-cakap. Kantornya tidak jauh lagi hanya tinggal beberapa meter saja.
Suara mesin absensi terdengar saat memeriksa sidik jari Solva. Pria ini buru-buru untuk naik ke lantai tempat dia bekerja. Kubikel-kubikel sudah mulai penuh dengan para pekerja yang bertingkah kadang seperti robot. Setiap hari orang-orang ini berada di dalam arus pusaran perulangan yang tak kunjung selesai. Perulangan tersebut akan berhenti jika mereka pensiun, dipecat atau mengundurkan diri. Namun, setelah itu akan diisi lagi dengan orang-orang baru yang akan melakukan perulangan yang sama. Solva sudah nyaman dengan keadaannya sekarang. Mendapatkan pekerjaan yang save cukup berat di kota besar. Dia telah bersaing dengan ribuan pelamar kerja dan orang yang beruntung dari sekian juta pengangguran saat ini.
Tre dan Krad masuk ke dalam kantor tersebut. Sang Dewa Kematian duduk di atas kubikel sambil memperhatikan Tre yang sedang mengayunkan tangannya kepada seorang pekerja wanita. Pekerja wanita tersebut seperti terhipnotis untuk melakukan sesuatu. Wanita itu pergi ke dispenser untuk membuat kopi, lebih tepatnya dua kopi. Tak berapa lama kemudian di sudah kembali membawa dua cup kopi, lalu satunya diberikan kepada Solva.
"Kopi untukmu," ucap wanita itu.
"Oh, terima kasih, Wanda," ucap Solva sambil tersenyum ramah kepada wanita tadi.
"Aku yang berterima kasih harusnya. Persentasimu kemarin sangat menolongku. Aku tak tahu bagaimana tanpamu. Kau adalah penyelamatku, Va," puji Wanda.
"Ah, itu sudah jadi tugasku," kata Solva sambil nyengir.
"Kalau kau butuh sesuatu kau bisa bilang kepadaku," kata Wanda.
"Serius?"
Wanda mengangguk. "Kenapa? Kau butuh sesuatu sekarang?"
Solva melipat tangannya sambil menipiskan bibir. Dia menyandarkan punggung di kursi. "Kecuali kau sudah ada acara, aku ingin kau menemaniku malam ini nonton."
Wanda terkekeh. "Kau menggodaku."
"Well, apa salahnya? Aku jomlo, kau juga. Apa ada yang melarang?"
Wanda cukup cantik dengan wajah good looking, meskipun badan sedikit berisi. Sama seperti Solva dia adalah pekerja keras. Menjadi partner Solva sudah lama, tapi hanya sebatas rekan kerja saja. Dan memang benar, keduanya masih sama-sama melajang. Kesibukan kantor nyaris melupakan setiap para karyawan untuk urusan asmara. Maka dari itu tak jarang kebanyakan dari mereka menikah di usia lebih dari 30 tahun.
"Baiklah, Va. Kau sepertinya beruntung. Kapan?" tanya Wanda.
"Malam ini bagaimana?" tanya Solva.
"Great! Pulang kantor?"
Solva mengangguk. "Boleh."
Wanda tersenyum.
"Kau lihat? Itu kebaikan yang diperoleh Solva. Mendapatkan kesempatan untuk bisa jalan bersama Wanda," ujar Tre sambil melipat jarinya. Ekspresi wajahnya cerah, sebagaimana yang selalu terjadi kepadanya setiap memberikan kebaikan kepada manusia.
Krad tidak menjawab. Dia masih duduk di atas kubikel tempat Solva bekerja. Tre merasa curiga kepada Krad. Biasanya Krad tidak pernah pergi dari mangsanya. Dia akan berada di dekat mangsa tersebut sampai nyawanya dicabut.
"Tidak mungkin! Dia orang yang baik. Apakah dia selanjutnya?" tanya Tre.
Krad tidak menjawab. Dia punya kode etik tidak akan memberitahukan nyawa siapa yang akan dicabutnya kepada siapapun. Sebagai Dewa Kematian, tak ada satupun tugasnya yang luput. Hari, tanggal, jam dan tempat di mana manusia akan mati sudah dia ketahui. Hanya Krad yang bisa melihat targetnya.
"Aku merasa kasihan kepada Wanda. Kau tahu, dia perempuan yang baik. Sudah lama dia naksir Solva. Kalau sampai Solva tiada, dia pasti sedih," kata Tre dengan wajah cemberut, "kau sama sekali tidak merasa kasihan gitu?"
Krad memutar tubuhnya. "Kita diciptakan sesuai dengan pekerjaan kita. Kau Dewa Kebaikan, maka kau memiliki perasaan kebaikan. Sedangkan, aku adalah Dewa Kematian. Maka perasaan yang ada di diriku adalah kematian."
"Ah, iya. Aku mengerti. Tak perlu kau katakan lagi. Jadi, kapan dia akan mati?" tanya Tre dengan muka kesal.
"Aku tak bisa memberitahukannya," jawab Krad.
"Ah, aku kesal."
"Kau kira setiap yang mendapatkan kebaikan itu adalah orang baik?" tanya Krad.
Wajah Tre penuh dengan tanda tanya sekarang. "Maksudmu?"
"Sang Pencipta, tidak pernah memilih siapa yang akan mendapatkan kebaikan. Juga tidak pernah memilih siapa yang akan mati. Mau dia baik, jahat, kalau sudah waktunya maka akan mendapatinya juga," jelas Krad, "aku akan menunjukkanmu, laki-laki itu bukanlah orang baik."
"Aku tidak percaya."
"Kau terlalu banyak protes, sama seperti manusia yang pernah protes tentang kematian kepadaku," ucap Krad sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Maksudmu kau pernah menemui manusia?"
"Tidak dalam wujud ini. Dia protes kematian temannya, katanya seharusnya dia yang mati. Nama temannya adalah Ayu, mati karena diracun. Kau tahu sendiri aku tak pernah memilih siapa yang harus mati. Tempat dan waktu harus tepat. Tak peduli dia masih muda atau sudah tua. Aku juga tak peduli bagaimana kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Tugasku adalah mencabut ruh dari raga mereka."
"Pantas sekali kau terkenal dingin dari semua para Dewa," ujar Tre.
Krad tak membalas. Dewa Kematian yang satu ini lebih banyak diam daripada berbicara. Dia hanya menunggu sampai waktu untuk Solva sudah waktunya.
* * *
Sore itu para pekerja kantor mulai mengakhiri jam kerja mereka. Solva dan Wanda yang sudah ada janji, akhirnya pulang bersama. Sebagaimana dua orang yang baru saja bisa sedekat ini apalagi jalan bersama, keduanya sedikit canggung. Mungkin saja mereka akan mengurungkan niat untuk jalan berdua seandainya mengetahui kalau Solva dan Tre mengikuti mereka sedari tadi.
Solva dan Wanda menghabiskan malam itu di beberapa tempat. Pertama mereka mampir di kafe, setelah itu nonton, terakhir jalan-jalan di sepanjang taman. Keduanya menghabiskan waktu ngobrol banyak hal. Dari mulai pekerjaan hingga keluarga.
"Jadi, hanya sampai di sini?" tanya Solva saat keduanya sudah berada di pintu rumah Wanda. Solva sengaja mengantarkan Wanda sampai ke rumahnya.
"Iya, sampai di sini," jawab Wanda.
"Hm, baiklah."
"Hati-hati," kata Wanda untuk terakhir kali.
Solva melambaikan tangannya sebelum berbalik pergi. Tre tampak berbunga-bunga melihat hal tersebut. Melihat bagaimana begitu gentlemen-nya Solva membuatnya takjub. Sementara, Krad masih menatap kepergian Solva. Tidak beranjak dari tempatnya.
"Sayangnya, pemuda ini tidak bisa melanjutkan hidupnya," ucap Tre. Tre keheranan. "Kau tidak mengikuti Solva?"
Krad tak bergeming. Dia masuk ke dalam rumah. Tubuhnya menembus dinding begitu saja. Tre terkejut. Buru-buru ia mengikuti Krad. Perasaan Tre tidak enak, karena ia mengira Wandalah yang akan mati.
Wanda telah berganti baju. Sedari tadi ekspresi wajahnya penuh kebahagiaan, senyum-senyum sendiri tak jelas. Wajar, karena dia sedang dilanda jatuh cinta. Krad berdiri di sebelahnya. Mengamati dan mencocokkan waktu.
"Dia akan mati? Tidak mungkin, tidak mungkin," ucap Tre.
Wanda tinggal sendirian di rumah kontrakan. Dia memang sudah terbiasa hidup mandiri sejak dulu. Gadis ini kemudian mandi, lalu mengatur tempat tidur, sampai akhirnya ia kemudian berada di balik selimut untuk memejamkan mata.
Malam semakin larut, suara bising kendaraan yang berada di jalanan sudah tidak terdengar lagi. Binatang-binatang malam mulai bernyanyi dan nyamuk-nyamuk mulai beraksi, demikian juga dengan seseorang yang mengendap-endap di depan rumah Wanda.
"Oh kasihan, apakah ini akhir hidup Wanda?" tanya Tre.
Krad tidak menjawab. Dia hanya berdiri saja mengamati orang misterius yang sudah masuk ke dalam rumah. Pintu rumah padahal sudah dikunci, tetapi bisa dibuka begitu saja. Menandakan orang ini sangat profesional. Si Penyusup masuk ke dalam rumah hingga sampai di kamar Wanda. Untuk beberapa saat si Penyusup mengamati tubuh Wanda dari balik penutup wajahnya. Tre tak sanggup untuk melihat lagi adegan setelah itu.
Wanda dibungkam mulutnya, setelah itu tentu saja dirinya terbangun. Sepertinya sang penyerang tak memprediksikan kalau perempuan ini sangat kuat. Dia bisa meronta hingga si Penyusup terdorong hingga terlempar dari atas kasur. Namun, tak butuh waktu lama untuknya bisa bangkit lagi untuk menjegal kaki Wanda. Perempuan itu terjatuh. Kepalanya menghantam pintu, hingga membuatnya pusing. Si Penyusup sekarang punya kuasa untuk bisa melakukan aksi bejatnya. Pakaian Wanda dikoyak, kemudian mulai menciumi sekujur tubuh Wanda yang masih tercium bau wangi bekas sabun.
Krad mendekati kedua orang tersebut. Tre terkadang tak habis pikir dengan Krad, tatapannya seperti tak punya empati. Memang Dewa Kematian tidak boleh berurusan dalam urusan manusia, namun ini kejahatan yang sedang terjadi. Tre juga tak bisa berbuat banyak, karena itu bukan tugasnya untuk bisa menolong Wanda. Perempuan nahas itu pun dicekik sampai tak bisa bernapas. Tak butuh waktu lama bagi Krad untuk langsung menarik ruh Wanda secara perlahan-lahan, sementara di bawah sana si Penyusup masih menyetubuhi Wanda yang sudah tak bernyawa.
Tre tak bisa melihat ruh yang Krad simpan ke dalam tubuhnya. Krad belum beranjak. Tre kebingungan, bukankah tugas Krad sudah selesai mencabut nyawa Wanda.
"Sekarang apa? Bukankah tugasmu sudah selesai?" tanya Tre.
"Belum," jawab Krad.
Tiba-tiba si Penyusup tadi kehabisan napas. Dia meraba-raba tubuhnya. Namun, apa yang dicarinya tak ditemukan. Dia melepaskan tubuh Wanda yang sudah tak bernyawa, kemudian berusaha untuk keluar dari kamar tersebut. Dia meraba-raba tubuhnya seperti ada sesuatu yang terlupakan. Tak berapa lama kemudian si Penyusup tergeletak di ruang tengah sambil kehabisan napas. Krad menghampirinya. Kedua tangan Krad mengeluarkan cakar-cakar berkuku tajam seperti terbuat dari besi, setelah itu menarik paksa ruh tersebut dari tubuh si Penyusup.
Tre tak pernah mengira kalau pelaku kejahatan ini juga akan meninggal setelah melakukan kejahatan. Krad memasukkan ruh tersebut ke dalam tubuhnya. Tre seakan-akan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia sangat tahu sekali ruh siapa itu. Memang dengan wajah tertutup, si Penyusup tidak diketahui wajahnya, tetapi dari ruh yang dibawa oleh Krad, ia pun menyadari kalau si Penyusup adalah Solva.
"I-itu, Solva!" pekik Tre.
"Iya, ini dia," ucap Krad.
"Aku tak menyangka, kenapa? Kenapa dia sampai seperti itu?" tanya Tre.
"Tidak setiap orang yang kamu kira baik, maka dia adalah baik. Beruntunglah orang-orang tidak akan menjadi korbannya lagi. Kematian benar-benar menjadi penolong orang-orang lemah itu dari kejahatannya," jawab Krad.
"Aku tak mengerti."
"Kau mau ikut denganku di alam kematian?"
"Itu bukannya tempat pribadimu?"
"Aku kira kau penasaran ingin mengetahui kenapa orang ini berbuat seperti ini. Kalau tidak mau juga tidak mengapa. Aku akan pergi kalau begitu."
"Hei, tunggu. Baiklah. Aku akan ikut!" Tre agak kesal dengan sikap dingin Krad.
Krad mengangguk. Dia memberi isyarat kepada Tre agar mengikuti langkahnya. Di depan keduanya sekarang terpampang jalan lurus nan panjang. Krad menggamit tangan Tre. Dalam sekejap mereka sudah berada di tempat lain. Ruangan serba putih. Sunyi, senyap, tetapi sangat terang. Tidak jelas juga dari mana sumber cahaya tersebut. Ruangan inilah tempat dimana Krad menginterogasi setiap jiwa yang baru saja bangun dari kematian.
Tre baru kali ini menyaksikan ruangan ini. Sejak pertama kali ditugaskan sebagai Dewa Kebaikan, ia tidak pernah masuk ke tempat dimana Krad bertugas. Krad meletakkan ruh Solva ke lantai dengan cara melemparnya. Rasa-rasanya Krad tidak punya belas kasihan kepada Solva.
"Kau kasar sekali," protes Tre.
"Aku diutus untuk memperlakukan orang-orang yang berbuat dosa dengan kasar. Itu sudah ada dalam tugasku. Sedangkan mereka yang banyak berbuat baik dan tidak punya dosa, maka aku berlakukan dengan baik. Di sini adalah penghakiman mereka. Di tempat ini, akulah yang akan menunjukkan betapa buruknya jalan yang telah mereka tempuh."
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top