-- 17 --
15 ♡ Makan Siang rasa Nano-Nano
🪴___________________________
feelings are like waves, we can't stop them from coming but we can decide which ones to surf
.
.
#karospublisherwritingchallenge #flowersseries
___________________________🪴
PROSES menuju pendewasaan diri. Semua akan mengalami fase dimana harus menentukan langkah. Memilih untuk maju menghadapi atau mundur tanpa perjuangan. Semua memang pilihan. Sebagaimana hidup yang harus tetap berjalan, walau perih, pedih bahkan harus dengan tetesan air mata.
Langkah, perempuan sebaiknya berada di belakang laki-laki. Setidaknya itu yang kini Arum lakukan. Mengekor langkah Gulzar menuju ke sebuah gasebo di tebing bukit yang menunjukkan pemandangan alam memukau mata.
Semilir angin menyibak jilbab panjang yang dikenakan Arum. Mengembarakan angan hingga sampai di pucuk pengharapan. Gerangan apa yang membawanya harus berdiri bersebelahan dengan laki-laki yang bisa dibilang pantas untuk menjadi ayahnya?
"Suka?" Suara Gulzar tiba-tiba membuat Arum kaget.
"Iya?"
"Saya suka landscapes seperti ini Arum. Dulu ketika masih seumuran Olan, saya pernah bermimpi akan membawa orang yang sangat berarti dalam hidup saya bisa berbagi takjub dalam satu titik yang sama." Gulzar menatap Arum yang sedang menikmati pemandangan di depan mereka kembali. "Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Indah, meski terkesan menyeramkan apabila kita melihat ngarai yang begitu curam di bawah sana."
"Terkadang kita hanya perlu memandang ke depan dengan keindahan tanpa harus melihat ke belakang, seperti yang kamu bilang, menyeramkan."
"Maksud Bapak?"
"Papa kalau kamu sudah lupa, Arumdalu." Gulzar tersenyum tipis mengingat bagaimana cara Fio memberikan protesnya.
"Mengapa Bapak suka sekali dengan cara Fio memprotes itu?"
"Karena saya setuju dengan usulan Fio."
"Maksud Bapak?" masih dengan pertanyaan yang sama, Arum akhirnya menatap Gulzar yang menyisakan senyuman tipisnya.
"Satu kali lagi tanya seperti itu dapat hukuman dari saya, Cestrum Arumdalu!"
"Ih, Bapak ish!"
"Papa!"
"Bapak!"
"Papa! Mau saya beri hukuman?" Gulzar menunjukkan smirk jahilnya.
"Papa." Arum menyerah.
"Cantik." Satu kata yang berhasil membuat Arum memusatkan pandangannya kepada Gulzar. Maksudnya apa dengan kata cantik itu? Tapi jika Arum bertanya lagi pasti akan ditertawakan oleh Gulzar. "Mengapa diam?"
"Saya tidak ingin mendapatkan hukuman dari pa-pa." Sepertinya masih sangat sulit merubah panggilan itu tanpa Fio bersama mereka.
Gulzar menatap Arum lekat, memindahi seluruh energi untuk bisa termiliki dan melebur dalam kesatuan visi hidup yang sama. Semua tentang perasaan yang tidak pernah ada kata salah. Jatuh cinta tidak membutuhkan alasan. Jatuh cinta hanya butuh pengungkapan, bagaimana angin itu tidak menjadi bias jika hanya ditepuk dengan sebelah tangan.
"Dulu, saya pernah memiliki suatu keinginan melamar seorang wanita untuk saya jadikan istri di sini. Sayangnya, sebelum saya melakukannya dia telah menghilang. Seolah raib ditelan bumi." Gulzar memainkan jemarinya sementara Arum hanya bisa tertegun. Informasi yang tidak perlu dia dengar namun secara psikologis dia tidak bisa melarang. Mungkin Gulzar butuh teman bicara, pikirnya.
"Terima kasih untuk Fio, Rum."
"Itu sudah tugas saya, Pa." Tidak ingin merusak suasana dengan memanggil Gulzar dengan bapak lagi. Karena wajahnya menampakkan keseriusan.
"Terima kasih telah percaya bahwa saya adalah seorang papa yang baik meskipun pada kenyataannya tidak." Gulzar menahan sesak di dadanya kemudian memandang Arum.
Hanya angin yang menyapa mereka kini. Desaunya membawa semilir hingga otak kembali penuh oksigen kembali. Menetralkan kewarasan untuk segera mengungkapkan.
"Apa yang kamu lihat dari saya saat ini, Arum?" Arum memejamkan mata, menundukkan kepala. Tatapan mata Gulzar selalu sukses membuat hatinya menghangat seketika. Hingga dia sendiri takut, terjatuh dan tidak lagi mampu untuk berpaling.
"Boleh saya tahu penilaianmu terhadap saya, Arumdalu?" Gulzar bertanya sekali lagi.
"Papaable, penyayang dan bertanggung jawab." Gulzar terbahak yang membuat kening Arum berkerut.
"Anything else?"
"Bapak ingin seperti apa lagi?"
"Papa, Arum! Call me papa, Arumdalu. Please," Gulzar memberikan penegasan.
Arum menatap mata Gulzar yang kini mencoba untuk mengunci gerakannya kembali. "Saya takut."
"Apa saya semenakutkan itu?"
Pertanyaan klise yang membuat Arum gusar, atau kini Arum sudah tergulzar-gulzar. Dia hanya mampu menggelengkan kepala yang diartikan Gulzar sebagai jawaban atas pertanyaannya. Padahal dalam hati Arum, dia tidak tahu harus memberikan jawaban apa.
"Kamu telah banyak membantu saya mengenai Fio, Arum. Ini bukan simbiosis mutualisme, tapi sudah sepantasnya jika saya membalas apa yang telah kamu lakukan untuk putri saya." Gulzar mentransfer isi yang tersimpan dalam hatinya melalui tatapan kepada Arum.
"Saya ingin menjadi tempat untukmu bercerita, berbagi tawa, berbagi sedih, yang mungkin selama ini selalu kamu lakukan kepada bu Nuriyah." Gulzar melanjutkan kalimatnya yang membuat Arum mengalihkan pandangan. Mencoba untuk mengukur kedalaman hati.
"Saya takut menempatkan diri, Pak. Saya takut, dengan kelonggaran itu justru membuat hati saya berontak, menginginkan yang lebih lagi."
"Saya___"
"Maaf Pak, makanannya sudah siap. Boleh kami hidangkan sekarang?" Seorang pelayan menginterupsi percakapan Gulzar dan Arum di saat yang sama suara Gulzar terdengar ingin memberikan penjelasan kepada Arum.
"Kita makan dulu, Arum." Gulzar memberikan isyarat kepada pelayan untuk menghidangkan beberapa menu yang telah dia pilih.
Hening kembali menjadi kenyataan, melakukan aktivitas tanpa suara. Memindahi apa yang tersaji di depan mata, sebagai ucapan terima kasih rasanya menu makanan yang ada terlalu istimewa.
"Mashed potato di sini tiada banding. Cobalah. Saya akan siapkan mau yakiniku atau shabu-shabu?" Mengusung tema restoran Jepang di atas bukit, sepertinya itu sangat istimewa bagi Arum.
"Saya bisa sendiri Pak."
"Saya ingin melakukannya untukmu." Ah, seperti inikah rasanya bisa menikmati makan bersama seorang papa? Air mata Arum menetes tanpa di duganya. Hal kecil yang dilakukan Gulzar menyentuh tepat di hatinya.
Melihat bagaimana Gulzar melayaninya. Memberikan semangkuk mashed potato hangat, lalu menyiapkan beberapa slice beef dan juga chikuwa berikut teman-temannya bersama enokitake mushroom untuk dimasak di wadah yang tersedia. Selama ini tidak seorang pun yang berhasil membuat hatinya menghangat seperti ini.
"Papa__" bibir Arum berkata lirih. Kepalanya mulai menunduk, sadar bahwa apa yang mengalir di pipinya bukan lagi sebuah tetesan melainkan kucuran air mata.
Gulzar yang mendengar sapaan lembut Arum dengan memanggil sesuai inginnya otomatis menghentikan aktivitasnya. Melihat Arum yang menunduk dengan bahu bergetar, insting seorang ayah mengurai sebuah arti.
"Arum, mengapa menangis? Eh, saya tidak berbuat sesuatu yang menyakitimu, kan?" Gulzar bingung, dia berusaha memberikan tisu namun tangisan Arum belum juga mereda. Meski tanpa suara, Gulzar tahu itu sangat menyayat hati.
Memberikan jeda waktu, hingga akhirnya Arum berani mengangkat wajahnya kembali.
"Maaf,"
"Maaf," kata yang sama terucap antara Arum dan Gulzar. Sekali lagi, Arum menerima tisu yang diulurkan Gulzar padanya.
"Kalau masih sesak di dalam dada, tumpahkan semuanya. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya. Saya bersedia menjadi tempat untukmu berbagi cerita."
"Saya tidak pernah tahu, bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Hingga tiba-tiba mengenal sosok Bapak yang papaable dan penyayang__" Arum tidak ingin melanjutkan kalimatnya. Gulzar mengerti.
"Makanlah, tidak akan istimewa mashed potato jika dinikmati dalam keadaan dingin."
Makan dalam diam, menikmati irama mamahan yang tercipta hingga makanan yang terlumat layak untuk ditelan. Lezat di mata tidak membuat lezat untuk dinikmati dengan suasana secanggung ini. Hingga Gulzar mencoba untuk mencairkan suasana kembali.
"Kamu lebih suka mana Arum? Menikmati pemandangan dari atas bukit seperti ini, seolah kita berada dalam sebuah negeri di atas awan atau menikmati pemandangan dari bawah. Mengagumi setiap ciptaan-Nya dengan menengadah hingga tak lagi ada cela untuk tidak merasa bersyukur telah diberikan kesempatan hidup di dunia."
"Emm," Arum tampak berpikir.
"Saya boleh tebak?"
"Saya menyukai kebun bunga, Pak. Cita-cita saya selain menjadi psikolog, saya juga ingin memiliki kebun bunga yang luas. Mungkin nanti bisa dipakai untuk melakukan terapi anak-anak yang membutuhkan. Atau sebagai tempat mendengar cerita saat orang lain membutuhkan saya sebagai tempat pembuangan 'sampah' mereka."
"I see, berarti saya salah dong ya mengajak kamu kemari hari ini?"
"Tidak ada kesalahan, Pak. Di sini bagus, pemandangannya indah. Nyaman juga untuk bisa menikmati makan siang. Saya belum pernah dan tidak berani membayangkan sebelumnya bisa makan siang di tempat seindah ini."
"Tapi tadi bilangnya suka kebun bunga?"
"Kalau di suruh memilih satu di antara dua. Dan wajib menentukan maka pilihan saya jatuh pada kebun bunga. Murah, meriah, tidak bikin capek di kaki karena harus jalan menanjak."
"Jadi menyesal mengikuti jalan menanjak tadi?" Pancing Gulzar yang membuat senyum Arum kembali terbit.
"Kan, Bapak suka mancing-mancing. Sudah berada di puncak, tidak ada kata menyesal untuk sebuah pengalaman."
"Iya saya suka mancing kamu memang, kenapa kamu tidak mencoba untuk memancing saya balik?" Senyum Gulzar nampak jelas. Keriput yang mulai tampak di wajahnya bukan membuatnya terlihat semakin tua tapi menyapa dengan kematangan seorang pria yang mampu membuat hati wanita termehek-mehek.
"Bapak bisa saja." Arum mengikuti senyuman Gulzar. Lalu mencoba untuk mengimbangi ucapan Gulzar, dengan memberikan pertanyaan balik yang serupa.
"Kalau Bapak pasti lebih suka menikmati pemandangan dari atas bukit ya? Dari cerita yang tersampai tadi juga bahagia yang tersirat di wajah sebagai gambaran."
"Ah, teori!"
"Kok teori sih Pak? Saya belajar ilmu psikologi juga untuk mempelajari itu. Bapak suka berada di ketinggian, menikmati pemandangan bersama desau angin yang menyapa tubuh?" Arum kembali menebak.
"Saya menyukaimu, Cestrum Arumdalu."
Tidak ada kalimat tambahan. Empat kata itu sudah cukup jelas dan tidak perlu mengartikannya lebih. Kedewasaan Arum bisa menelaah arti yang tersembunyi dari kalimat yang baru saja terucap dari bibir laki-laki 48 tahun itu.
"Saya menyukaimu, sebagai seorang laki-laki kepada wanita dewasa." Gulzar melihat Arum meletakkan sumpit yang sedang dipegangnya. Nampak tidak percaya namun Gulzar mencoba untuk meyakinkannya. "Saya tidak tahu, perasaan ini kapan datangnya, yang jelas semakin hari berganti semakin muncul keyakinan itu untuk bisa memiliku menjadi milik saya sepenuhnya."
Arum memalingkan muka. Menyembunyikan apa yang ada di dalan hati agar tidak tersampai melalui siratan mimiknya.
Dia berdiri, meninggalkan Gulzar dan makan siang mereka. Menelungkup pagar besi yang menjadi pembatas tebing di atas ngarai. Angannya mengembara, inikah jawaban dari apa yang disampaikan bu Nur kepadanya? Laki-laki yang bermaksud meminangnya adalah Gulzar Kairav. Orang yang cukup Arum kenal, dan tentang agama? Sama seperti yang dikatakan ibunya. Arum bisa mengetahui cara Gulzar membagi dunia dan akhiratnya. Meski tidak secara detail, cukuplah untuk sekedar penilaian tidak pernah menunda waktu saat suara adzan memanggilnya untuk segera berdiri dan memberikan laporan sebagai hamba yang taat.
"Apa ini sebuah lamaran, Pak?" Tanpa melihat Gulzar, Arum cukup tahu, posisi berdiri Gulzar tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Hingga lirih suaranya bisa tersampai dengan baik.
"Saya hanya menyampaikan apa yang saya rasakan saat ini, Arumdalu. Tidak ingin menjadi orang yang munafik. Tidak ingin kehilangan moment dan kesempatan seperti yang pernah saya alami dulu." Gulzar menghela napasnya dalam-dalam.
"Saya hanya ingin kamu tahu."
Bumi masih menjadi tempat berpijak yang sama, langit pun juga masih menjadi payung semesta yang sama. Tetapi hubungan, sepertinya akan memberikan rona perubahannya.
Ini bukan hanya soal ungkapan hati tanpa membutuhkan sebuah jawaban. Arum sadar dia harus memberikannya, tapi belum untuk saat ini. Cukup, hari ini dengan menu makan siang nano-nano. Manis, asam, asin, pedas bercampur dalam sebuah bejana kehidupannya.
🪴🪴
as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--
Sorry for typo
Rumah Sakit Katholik Budi Rahayu
Blitar, January 28th 2022
Saran dan kritik, disilakan 😍😍
Continued on next chapter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top