-- 16 --
14 ♡ Kesungguhan Hati
🪴___________________________
love is when imperfection being perfection
.
.
#karospublisherwritingchallenge #flowersseries
___________________________🪴
DI ANTARA sekian banyak pilihan, tentang inginnya hati tidak satu pun orang mampu membendungnya. Memperjuangkan dengan cara yang patut, tidak melanggar norma dan tentunya tidak ingin ada pemaksaan.
Olan masih berhadapan dengan sang papa. Melihat laki-laki paruh baya dengan senyum malu-malu sangat jelas terbaca, hatinya sedang berbunga. Tanpa menunggu jawaban Gulzar, Olan mengulurkan tangannya.
"Ok, Olan setuju. Papa tinggal bilang kapan waktunya, ingin mengambil tema apa. Nanti Olan yang akan siapkan semuanya."
"Papa tidak memiliki pengalaman, Olan."
"Oh come on, Pa. Dengan mama dulu? Setidaknya papa sudah pernah sekali melakukannya." Gulzar menaikkan sebelah alisnya.
"No, never do it."
"Atau jangan-jangan papa dan mama dijodohkan dengan eyang?" Olan meraba mengapa jawaban itu yang diberikan sang papa kepadanya. "Atau karena jadul, jaman papa muda dulu masih belum musim melamar gadis dengan suasana yang romantis."
"Hey Boy, you know me so well. Kapan papamu ini bersikap romantis. Rumah, pekerjaan, kalian, tidak sempat berpikir tentang perempuan. Jadi lupa apa yang disuka oleh perempuan."
"Apalah daya Olan, Pa. Pengalaman nihil, jomlo akut."
"Bukannya kamu sudah memiliki calon kakaknya Fio?" Olan tertawa sambil menggaruk kepalanya.
"Ok, coba deh besok Olan tanyakan pada Arum. Wanita biasanya suka diberi apa." Kening Gulzar mengkerut, berpikir cepat hingga tanpa sadar sebuah pertanyaan terlontar tanpa jeda waktu yang lama.
"Mengapa harus Arum?"
Olan menggeleng, sepertinya sang papa tidak setuju dengan idenya. Mungkin karena Arum masih seusia dengannya hingga menurut Gulzar tidak akan masuk jika digunakan oleh wanita yang dia pilih. Yang tentu saja tidak terpaut jauh usianya.
"Arum juga wanita kalau papa lupa, setidaknya dia tahu apa yang diinginkan wanita. Meski mungkin beda usia dengannya. Atau perlu Olan tanyakan kepada bu Nur? Pilihan papa pasti tidak jauh berbeda usia dengan bu Nuriyah." Olan tertawa.
"Itu namanya sok tahu, Olan." Gulzar ikut membaur dalam tawa.
Tidak terbayangkan dalam benak mereka jika suatu saat nanti tawa itu akan lengkap dengan pendamping sang papa. Bersama Fio lalu mereka hidup bahagia selayaknya satu keluarga yang utuh.
"Apa dia cantik, Pa?"
"Kecantikan itu relatif Olan, cantik menurut papa belum tentu sama cantiknya menurutmu. Yang jelas dia sangat menjaga pandangannya."
"Masuk. Apa dia bisa menerima Fio dengan semua kekurangannya? Menjadi ibu yang baik nantinya untuk adik Olan yang paling Olan sayang?"
"Insyaallah bisa."
"Papa yakin?"
"Kalau papa tidak yakin, tidak mungkin papa melangkah sejauh ini."
"Apa dia bisa menerima Olan? Yang tiba-tiba menjadi anaknya. Bagaimana jika bertemu dengan Olan justru jatuh cinta dan memilih Olan bukan papa?" Olan menunjukkan smirk jahilnya menggoda sang papa.
Gulzar tersenyum kecut. Olan memang tumbuh sebagai laki-laki penuh pesona dengan ketampanan maksimal yang dimilikinya. Gulzar, dulu pernah berada di posisi Olan. Namun, bukankah kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya. Laki-laki semakin tua semakin terlihat aura kematangannya. Gulzar menatap perut ratanya, secara fisik dia tidak kalah dengan penampilan sang putra. Perutnya masih bisa disebut dengan roti sobek mini market terkenal di Indonesia.
"Anak durhaka!"
"Alah Pa, Olan juga nggak akan kepincut dengan selera Papa kalaupun dia memilih Olan. Pasti sudah estewe, sama seperti Papa."
"Dasar bocah! Ngomong nyerocos aja. Kalau sampai kamu yang naksir dia duluan papa yang akan ambil langkah untuk menghalangimu dengan cara apa pun. Kalau perlu coret dari kartu keluarga."
Olan tertawa lirih, paham jika papanya hanya bercanda meski memasang wajah serius. "Siap Bos, asal semua warisan sudah dihibahkan atas nama Olan dan Fio."
Gulzar akhirnya tertawa mendengar pernyataan sang putra. Kalimat sederhana yang sangat janggal diterima. Sejak kapan sang putra jadi mata duitan sampai menyinggung perihal warisan segala.
"Semua milik papa juga akan menjadi milikmu dan Fio kelak, tidak perlu ribut perkara warisan. Itu hanya masalah dunia, Allah memberikan rezeki berlimpah kepada kita. Harusnya kita lebih banyak bersyukur dan berbagi, karena harta yang kita berikan kepada mereka yang berhak itulah nanti yang akan menjadi harta abadi kita di akhirat."
"Terkadang Olan bingung Pa." Olan meletakkan jempol dan jari telunjuknya di dagu membentuk huruf V.
"Bingung? Itu celanamu dilepas terus dibalik."
"Apa hubungannya coba dengan balik celana?"
"Garing ya candaan papa?" Gulzar terkekeh. "Kamu bingung masalah apa?"
"Papa itu sebenarnya CEO BJ Cigarette atau seorang ustad? Kalau memberi nasihat langsung nancep."
"Dengarkan papa." Gulzar membenahi cara duduknya. "Setiap orang memiliki masa lalu, entah itu baik, buruk, terang atau suram. Menjadi orang merugi itu ketika apa yang kita lakukan hari ini sama dengan apa yang kita lakukan kemarin. Jika apa yang kita lakukan hari ini lebih jelek dari kemarin maka kita termasuk dalam golongan orang terlaknat. Memiliki salah itu adalah fitrah sebagai manusia namun berusaha untuk memperbaiki dan menjadi lebih baik itu adalah keberuntungan yang harus kita usahakan. Jangan sampai kita terlena dengan nikmat dunia yang hanya sekejap mata. Semua itu hanyalah tipuan belaka."
Olan mengakui, meski menjadi orang tersibuk di perusahaan, sang papa selalu menyempatkan diri menghadiri beberapa majelis taklim. Memberikan nutrisi untuk hati agar selalu menjadi orang yang cerdas. Mengingat akan mati.
Di tempat yang berbeda malam ini Arum termenung setelah menidurkan Fio. Melihat wajah cantik anak usia lima tahun itu membuatnya meraba bagaimana paras cantik sang bunda yang telah mendahului menghadap yang maha kuasa.
Güzelim Havva, dengan memandang Fio, lalu mengingat wajah Gulzar Kairav. Arum yakin, jika Güzelim Havva laki-laki pasti akan sangat mirip dengan Gulzar Kairav, sang kakak. Karena tidak seorang pun menyangka jika sesungguhnya Fiorenza Eshal adalah keponakan yang mengenal sosok Gulzar Kairav sebagai seorang papa. Wajah mereka berdua sangat mirip.
Arum kembali menghidu udara pagi yang masih menyisakan bau harum embun kala menyapa mentari.
Bukan hal yang mudah, menerima kenyataan sang adik mengalami pelecehan seksual oleh orang yang tidak dikenal, hingga menyebabkan depresi bahkan nyaris bunuh diri. Beruntunglah masih ada Olan dan Gulzar yang menyelamatkan nyawanya. Namun, sekali lagi perjuangan hidup seorang Güzelim Havva harus berakhir di meja operasi kala melahirkan Fio.
Hati Arum menghangat, mengingat betapa mulia tangan seorang Gulzar Kairav menerima kehadiran Fio dan mengakuinya sebagai anak.
"Jawab pertanyaanku Olan. Apa kalian berdua beda mama dengan satu papa yang sama?"
"Iya." Olan menjawabnya dengan tegas meski terjeda lama. "Kami berdua memang beda mama, Fio adalah anak dari tante Güzelim Havva. Pun demikian dengan papa."
"Maksudmu?" Arum mengejar jawaban Olan.
"Tante Güzel adalah adik papa, satu-satunya. Dia menerima pelecehan seksual dan harus mengandung Fio."
"Astaghfirullah." Arum hanya mampu beristighfar lirih.
Percakapan Arum dengan Olan beberapa waktu lalu membuatnya semakin yakin bahwa Gulzar ada sosok seorang ayah yang sangat hangat, bijaksana dengan caranya meski terkadang terlihat kaku tanpa senyuman. Bagaimana mungkin Arum tidak semakin kagum. Andai Allah memberikan kesempatan kepadanya untuk memiliki papa, tentu dia akan bisa mendeskripsikan bahagia bersama papa itu seperti apa. Mungkin suatu saat nanti dia akan bertanya kepada Fio, atau Olan.
Olan? Mengingat kembali wajah laki-laki yang kini mulai dekat dengannya itu selalu membuat pipi Arum merona. Semenjak Fio dekat dengannya, Arum semakin mengenal Olan dari sisi yang berbeda. Predikat sebagai orang yang sangat memuakkan bagi Arum atas sikap Olan selama mereka berinteraksi di kampus lenyap seketika setelah tahu bagaimana Olan menyayangi Fio, meski dia tahu Fio bukanlah adik kandungnya.
Definisi benci berubah menjadi cinta? Arum menggeleng lemah, belum sejauh itu. Tapi jika harus jujur mengakui Arum sangat nyaman berada di dekat Olan. Bercerita banyak hal, bertukar pengalaman bahkan hanya sekedar menyesap teh bersama.
Olan, Fio dan Gulzar. Ketiganya memiliki daya magic sendiri-sendiri bagi Arum. Aura kebapakan yang sangat kental jelas terpancar dari sosok Gulzar Kairav. Sopan dengan sikapnya, jelas terperinci dan to the point kala meminta laporan perkembangan Fio. Senyum Arum mengembang, rasa nyaman bersama seorang papa walau terkadang dia menyadari ada getaran di hati saat jantungnya berdetak abnormal. Entahlah, perasaan semacam apa. Kagum atas sikap kebapakan yang selama ini menjadi rindu dalam benak Arum untuk bisa memiliki atau perasaan kagum seorang wanita pada pria dewasa karena ingin dimiliki menjadi bagian dalam hidupnya. Arum enggan untuk mendefinisikannya.
"Sudah dong Sayang merajuknya, please. Demi Allah, aku cinta kamu sampai mati."
Kalimat yang terucap dari bibir Olan membuat Arum tersenyum sendiri. Dalam hati Arum bicara, 'mengapa harus menggunakan sumpah kalau niat Olan hanya untuk menghindar dari wanita yang dikenalkannya padaku? Atau itu merupakan ungkapan hati yang sengaja Olah lahirkan?'
Gelembung lamunan Arum terkoyak saat indra perungunya mendengar langkah kaki mendekat. Suara khas seorang ibu menyapanya dengan lembut.
"Pagi-pagi kok sudah melamun Arum?" tanya bu Nuriyah.
"Hah, iya Bu. Menikmati udara segar di pagi hari."
"Dari tadi juga ibu memperhatikan kamu senyum-senyum sendirian. Apakah hati putri ibu ini sedang diselimuti rasa bahagia?" Arum terlihat terkejut namun beberapa saat kemudian senyumnya kembali terbit.
"Hidup memang harus bahagia kan Bu? Mensyukuri atas semua nikmat yang Allah berikan untuk kita, terutama kesehatan." Arum menjawabnya dengan santun.
"Ngomong-ngomong bahagia, pagi ini ibu membawa kabar bahagia untuk kamu."
"Untuk Arum? Kabar apa itu Bu?" Bu Nuriyah tertawa melihat wajah penasaran putrinya. Menuntun Arum untuk duduk di kursi taman yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Kamu bisa menjawab pertanyaan ibu dengan jujur sebelum ibu menceritakan kabar bahagia ini nantinya?" Arum mengangguk, selama ini dia tidak pernah berbohong. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
"Apa sekarang kamu sedang dalam masa penjajakan dengan seseorang? Ta'aruf atau mungkin mengenal dia lebih lanjut?" Arum terkejut.
"Ibu, mengapa harus bertanya seperti itu? Jikalau Arum sedang ta'aruf dengan seseorang pasti akan Arum ceritakan kepada Ibu."
"Lalu bagaimana dengan Olan?"
"Olan?" Arum kembali bertanya untuk memperjelas.
"Seperti yang ibu sampaikan sebelumnya. Rasanya Olan menaruh perasaan kepadamu."
"Ibu jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Olan itu siapa, Arum siapa. Tidak mungkin juga anak seorang konglo bisa jatuh cinta dengan gadis yatim piatu seperti Arum, Bu. Meski bisa dibilang Olan bukan seperti itu, tapi Arum cukup tahu untuk menempatkan diri."
"Ternyata Olan memang telah mempunyai pilihan, Rum."
"Ibu tahu darimana?" tanya Arum penasaran. Selama ini Arum jarang sekali melihat Olan berbicara berdua dengan ibunya. Justru lebih sering melihat ibu bicara dengan Gulzar.
"Ada yang memberitahukannya kepada ibu."
"Pak Gulzar ya Bu?" tanya Arum semakin penasaran.
"Oh iya, tentang Pak Gulzar. Bagaimana menurutmu Rum?"
"Pak Gulzar baik, perhatian meski kalau di kantor terlihat sangat kaku. Beliau juga penyayang. Fio, ibu tahu tentang Fio?"
"Fio kenapa?" Arum bercerita kepada ibunya siapa sejatinya Fio dan bagaimana hubungannya dengan Gulzar.
"Masyaallah, ternyata semulia itu hatinya Rum."
"Papaable dan penyayang ya Bu?" Bu Nuriyah menghela napasnya. Memperhatikan dari jarak dekat bagaimana antusias Arum bercerita tentang Gulzar Kairav. Manik matanya yang bergerak, lucu dan rindu membaur menjadi satu.
"Kemarin ada seseorang yang datang menemui ibu. Dia berniat untuk memilikimu." Bu Nur memandang putrinya yang kini sudah beranjak dewasa. "Ibu tidak bisa menjawabnya, ibu hanya berkata kalau niat baik itu akan selalu dimudahkan. Tergantung Arum bersedia atau menolaknya."
"Apakah Arum mengenalnya Bu?"
"Sangat mengenalnya."
"Baik secara agama? Maksud Arum dia bisa menjadi imam yang baik untuk Arum?"
"Insyaallah, selama ibu bersamanya tidak sekalipun dia meninggalkan panggilan, bahkan untuk menundanya."
"Boleh Arum mengetahui siapa dia Bu?"
"Dia akan datang menemuimu dan menyampaikan maksud hatinya secara langsung kepadamu. Mulailah meminta petunjuk-Nya."
"Menurut Ibu, Arum harus menerima atau menolaknya?"
"Kamu percaya qada dan qadar?"
"Setiap orang yang beriman wajib hukumnya mempercayai itu, Bu. Bagaimana mungkin Arum tidak percaya?"
"Ibu tidak bisa memberikan saran kamu harus menerima atau menolaknya. Kehidupanmu, kamu sendiri yang akan menentukan. Ibu hanya bisa memberikan nasihat, selama semua berlandaskan atas dasar akidah yang kita yakini. Kamu yakin untuk melangkah, insyaallah, itu merupakan pilihan terbaik yang Allah pilihkan untukmu."
"Ibu__" air mata Arum menggenang. Tanpa butuh waktu yang lama dia berhambur ke pelukan bu Nuriyah. "Arum nurut, jika ibu sudah ridho, dan Allah telah menunjukkan jalan-Nya. Insyaallah, Arum akan mulai meminta untuk diberikan jawaban atas pilihan Arum."
Satu minggu berlalu sejak bu Nuriyah menyampaikan kabar bahwa ada seorang yang ingin meminang Arum, hari ini matanya menangkap bayangan Gulzar datang ke panti namun tidak sendiri. Bersama bi Tum dengan beberapa rantang di tangan.
"Bi Tum? Wah Arum kangen banget."
"Mbak Arum, bibi juga. Kangen banget sama Mbak Arum dan non Fio."
"Bapak, selamat pagi. Tumben mengajak serta bi Tum, Pak?"
"Benar, sengaja saya mengajak bi Tum untuk memasakkan makanan supaya bisa dimakan oleh anak-anak panti asuhan. Dan untuk menjaga Fio, sementara ada yang ingin saya sampaikan kepadamu tapi tidak di sini."
"Saya? Sekarang?"
"Iya Arum, saya menemui Fio dulu. Kamu silakan bersiap, setelah itu saya ingin mengajakmu ke suatu tempat."
Arum mengangguk, menyerahkan Fio kepada papanya dengan banyak pertanyaan di hatinya. Ada apa gerangan, Mr. G meminta waktu khusus untuk bicara dengannya?
🪴🪴
as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--
Sorry for typo
Blitar, January 26th 2022
Saran dan kritik, disilakan 😍😍
Continued on next chapter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top