-- 13 --
11-B ♡ Kejujuran
🪴___________________________
to love and be loved is to feel the sun from both sides
.
.
#karospublisherwritingchallenge #flowersseries
___________________________🪴
PANDANGAN itu bertemu pada satu titik kemudian terpangkas hanya dalam beberapa detik kemudian. Senyum Olan terbit bersamaan dengan mata Arum yang lebih tertarik menekuri lantai yang dipijaknya.
Sebenarnya apa yang lebih menarik dari ubin porselen yang disusun rapi itu?
"Kadang aku ngerasa insecure aja kalau dekat papa."
Arum masih menunggu lanjutan kalimat yang ingin Olan sampaikan tapi nihil. Olan tidak berbicara setelah itu.
"Kamu tahu Olan?"
"Enggak."
"Tunggu aku belum selesai bicara." Olan tersenyum mendengarnya. "Mengapa pelangi itu indah dipandang mata?"
"Jarang terjadi?" jawab Olan meraba.
"Salah satunya, tapi ada hal yang lebih daripada itu. Pelangi itu indah karena pendaran warna yang berbeda-beda. Mereka memiliki tupoksi masing-masing untuk dikagumi. Kamu dan papa kamu jelas berbeda, sama seperti pelangi, kalian dua tupoksi untuk saling melengkapkan dan menguatkan."
"Am I?" tanya Olan.
"No body is perfect, Olan. Kamu memiliki akal dan budaya. Justru aku kagum loh denganmu, bisa sesayang itu dengan Fio yang ternyata bukan saudara kandungmu."
"Papa yang mengajarkan itu kepadaku. Sumpah, di mataku laki-laki itu terlihat tanpa cela. Insecure kalau berdiri di sampingnya, aku bukanlah tandingan yang pantas untuk beliau."
"Laki-laki itu tetap papamu, terlebih Fio."
"Benar, beliau malaikat penyelamat yang dikirim Allah untuk kami."
Berghibah tentang papa sendiri membuat Olan tak hentinya bersyukur. Terlahir ke dunia dan memiliki papa sehebat Gulzar Kairav adalah anugerah yang sampai saat ini menjadi kebanggaannya.
"Lalu, jika kamu terlihat begitu bangga memiliki pak Gulzar sebagai seorang ayah, mengapa justru menyembunyikan jati diri kamu di kantor sebagai putranya? Bahkan bisa dibilang hanya mas Damar saja yang mengetahuinya." Arum merasa ada yang janggal dari sikap Olan.
"Karena papa selalu terlihat sempurna di mataku. Aku tidak ingin menjadi bayang-bayangnya. Papa membangun perusahaannya dari nol, Arum. Aku saksi matanya. Olan kecil tidak terlahir dengan limpahan kekayaan seperti yang orang lain bayangkan ketika melihat papa sekarang."
Olan menjeda kalimat panjangnya. Membagi ruang kepada Arum untuk ikut berpikir dan membayangkan.
"Dari awal, otakku tersetting dengan cara papa bangkit dan berjuang untuk kami. Itu sebabnya, aku boleh nakal, aku bisa menghamburkan uang papa sekarang, aku bisa minta ini itu dengan apa yang papa miliki tapi satu hal yang tetap aku pegang sampai saat ini. Aku tidak ingin membuat papa kecewa. Papa membesarkanku sendiri. Dengan tangannya, dengan perhatiannya, dan jelas dengan kasih sayang dan cintanya untukku."
Arum mengerti, sikap dingin yang awalnya diperlihatkan papa Olan itu adalah cara untuk bisa membentengi diri. Olan dan Gulzar, laki-laki beda dekade tapi dengan pemikiran yang luar biasa. Tanpa perlu mengenal lebih lanjut pun Arum bisa melihat, hanya dengan bahasa tubuh bagaimana mereka mengungkapkan rasa sayang melalui sentuhan dan tatapan mata yang meneduhkan.
"Terkadang aku iri dengan kalian." Arum berkata jujur.
"Ada bu Nur yang juga menyayangi kamu."
"Beliau itu bukan hanya ibu tapi juga sayap pelindungku. Tapi terkadang aku bermimpi juga, mimpi anak perempuan tentang kepemilikan ayah."
"Allah itu selalu benar menuliskan cerita kepada hamba-Nya. Itu yang pernah aku dengan dari kamu."
"Benar," jawab Arum yakin.
"Lalu apa yang membuatmu risau, Rum?"
"Ini tentang nasab, Olan." Arum tertunduk lesu. "Wanita itu dimuliakan karena Islam begitu melindungi hak-haknya. Termasuk dengan nasabnya karena suatu saat itu sangat dibutuhkan."
"Pasti ada jalannya Arum, menikah bisa dengan wali hakim kan."
"Ini bukan hanya tentang pernikahan, Olan."
"Lalu?" Arum menatap kembali manik mata Olan yang menunggu jawabannya segera.
"Wanita itu dipilih karena empat hal, nasab, kecantikan, kekayaan, dan agamanya. Nasab dan agama itu tidak perlu tafsir untuk mengartikannya. Dalam bahasa lugas pun jelas maknanya."
Semua tentang keresahan Arum, semakin banyak dia belajar ilmu agama semakin banyak pula hal-hal yang harus diperbaiki. Jika cantik dan harta bisa diupayakannya, tapi tidak dengan nasab dan agamanya. Agama itu hidayah, Allah yang memilih orang-orang yang akan Dia beri hidayah dan kita wajib menjemputnya. Sedangkan nasab?
Allah telah memilihkan jodoh setiap hamba dengan menyerupakan, mendekatkan dan sebagai cerminan dirinya.
Olan mengamati perubahan mimik wajah sendu milik Arum hingga membuat bibirnya tersenyum kembali. Arum itu seperti Fio baginya, wanita dengan keunikannya sendiri. Mereka berdua menarik hati Olan dengan cara yang berbeda. Sama seperti Fio, jika sudah berpangku pada satu titik enggan untuk berpaling pada yang lain.
"Tidak semua laki-laki berpikir akan menikahi wanita yang sempurna dengan empat hal yang telah kamu sebutkan tadi."
"Maksud kamu? Kamu tidak menginginkan itu?"
"Bukan tidak menginginkan, tapi lebih rasional untuk melangkah. Kamu pernah dengar anak kiai menjadi pencuri?"
"Pernah."
"Atau anak seorang kupu-kupu malam yang justru menjadi guru mengaji?"
"Olan," Arum keberatan dengan pertanyaan terakhir yang Olan sampaikan.
"Semua itu mungkin dalam ketidakmungkinan pikiran manusia, Rum. Tidak semua laki-laki memandang rendah wanita tanpa nasab. Jangan sama ratakan kami seperti itu."
"Kamu__?"
"Nasab itu penting tapi attitude seorang wanita juga sama pentingnya. Jika memungkinkan keduanya bisa didapatkan, alhamdulillah. Tapi jika salah satu tidak bisa diraih karena masa lalu, dimana bukan kapasitas kita sebagai penentu, maka attitude kita itu adalah pilihan utama selain agamanya."
Bukan percakapan ringan, karena Arum tahu Olan tidak sedang bercanda saat ini. Rasanya Arum baru mengenal sisi Olan yang lain. Melihatnya tanpa sikap jahil yang selama ini melekat, menatapnya sebagai sosok laki-laki yang penuh tanggung jawab atas kedewasaannya.
Ada beda yang terlihat oleh Arum, bagaimana cara Olan menatap dirinya. Hangat yang ingin ditularkan Olan tersampai dengan sangat baik ke hati Arum.
"Aku yakin, papa juga pasti tidak akan bisa menolak jika wanita yang dimaksud adalah dirimu, Arum. Meski nasab yang menjadi bebanmu selama ini masih menjadi sebuah tanda tanya besar. Aku berani menjaminnya." Olan menutup kalimatnya karena terlihat ada beberapa pengunjung toko bunga yang harus mereka layani segera.
Kencan tanpa drama. Bagi Olan, bersama Arum dia lebih bisa menikmati hidup apa adanya. Memandang sesuatu hal dengan sangat bijaksana. Mencoba menjadi pribadi yang lebih baik.
Lebih berwarna lagi ketika bu Nur datang mengajak Fio besertanya.
"Olan."
"Fio, abang kangen. Sini peluk." Bak bertemu dengan kekasih hati, Fio pasrah dalam pelukan Olan.
Tidak perlu menjelaskan bagaimana cinta yang ada di dalam mata Olan. Arum bahkan sampai meneteskan air mata. Haru menyeruak di dalam dada, kakak laki-laki yang tidak pernah malu mengakui kondisi adiknya.
"Lihat Rum, betapa istimewanya Olan. Dia menyayangi Fio tanpa melihat kita berdiri dimana."
"Maksud Ibu?"
"Fio itu seolah menjadi pusat dunianya. Ibu yakin, suatu saat Olan menjadi ayah, dia pasti akan menyayangi anak-anaknya melebihi sayangnya kepada Fio."
"Iya Bu. Tidak nampak seperti penampilannya. Arum tidak menyangka, setengilnya Olan ketika berada di kampus dulu ternyata hatinya bisa berubah selembut itu." Arum mengakui rasa kagumnya tanpa kata tapi untuk Olan.
Bu Nuriyah memandang Arum yang masih setia dengan pekerjaannya. Fio bukan lagi hal yang sulit ditaklukkan, semenjak benang kusut yang membebatnya mulai terurai, Fio tidak lagi anak yang susah untuk diberitahu, dia bahkan lebih menurut ketika Arum memberikan petunjuk.
"Jika ibu menjadi kamu, tentu tidak akan melewatkan hatinya. Olan dan Fio itu istimewa dengan cara mereka, Arum."
"Bu__"
"Hanya dengan memandang saja ibu tahu jika Olan menaruh hatinya kepadamu."
"Olan tidak pernah mengatakannya kepada Arum, Bu."
"Karena tidak selamanya cinta itu harus diungkapkan, Arum. Ada cinta yang cukup dimengerti tanpa harus dikatakan. Karena semua bergerak bukan hanya atas perintah otak tetapi karena hati. Hingga dengan mudah bisa tersampai ke hati tanpa melalui ucapan."
"Bu__?!"
Arum mengatupkan mata, tidak ingin melihat apa yang ada di hadapannya. Dia hanya ingin merasakan seperti halnya yang tersampai oleh bu Nuriyah. Pergunakan insting dan hati, semua akan terjawab melalui tatapan mata. Karena dari sanalah hati menyuarakan isinya.
Tawa itu menggema, mencuat dari bibir kecil Fio disambut oleh suara renyah Olan. Hingga sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan florist 'Kasih Bunda'. Sosok yang tidak asing lagi keluar dari mobil dengan senyum khasnya.
"Papa." Fio menyambut dengan senyuman dan menghadiahkan pelukan untuk sang papa.
"Pa." Olan menyusul dari belakang. Drama keluarga yang tak luput dari penglihatan Arum dan bu Nuriyah.
"Olan, kamu di sini?"
"Iya, Pa." Senyum Gulzar menjelma seketika.
"Berarti papa bisa kenal dengan calon kakaknya Fio dong?"
"Maksud Papa?"
"Bukannya tadi pagi kamu pamit ingin menemui calon kakak Fio. Sekarang diajak kemari untuk mengenal calon adiknya lebih dekat?"
Menghilangkan batas, layaknya seorang sahabat yang ingin membagi cerita. Gulzar menepuk pundak putranya, seolah mentransfer kekuatan hati untuk bisa berdiri tegak.
"Kenalkan kepada papa sekarang! Siapa calon kakak ipar Fio?"
🪴🪴
as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--
Sorry for typo
Blitar, January 22nd 2022
Saran dan kritik, disilakan 😍😍
Continued on next chapter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top