-- 10 --

09 ♡ Sebuah Perhatian

🪴___________________________

sometimes caring too much can be your biggest weakness
.
.
#karospublisherwritingchallenge #flowersseries
___________________________🪴

PERHATIAN itu lahir karena adanya sentuhan hati yang terkadang secara refleks dilakukan akibat dari sebuah kehangatan interaksi. Wajar bukan? Setiap reaksi ada akibat sebuah aksi yang tercipta.

Arum masih mengulum senyum saat Olan berhasil membuat Fio kembali tertidur setelah lelah seharian bermain bersama sang kakak. Sesuai janjinya, hari ini setelah Fio bangun tidur Olan mengajaknya bermain. Awalnya Olan ingin mengajak Arum serta namun karena dia harus menjaga florist dan menyelesaikan beberapa pekerjaan, Olan cukup puas dengan mengajak Fio bermain di panti bersama anak-anak panti yang lain.

"Kamu tahu apa yang lebih membuatku happy selain bisa bertemu Fio hari ini?" tanya Olan ketika dia kembali ke ruang tamu.

"Apa urusannya denganku?"

"Come on, Arumdalu. Tidak bisa gitu sehari saja buat perasaan happyku nggak terjun bebas seperti ini?"

"Enggak." Arum tertawa setelah itu namun dia bicara kembali untuk membenarkan katanya setelah melihat wajah kecewa yang Olan tampilkan. "Memangnya penting ya Lan untuk aku tahu?"

"Jelas."

"So?"

"Aku tidak perlu repot mencari undangan untuk pendamping wisudaku. Karena kita akan melakukannya di periode wisuda yang sama."

"Kita? Maksud kamu, kamu dan aku? Atau kamu dengan__?" belum sampai selesai kalimat Arum sudah dipotong oleh Olan. "Memang ada orang lain di antara kita? Kita Rum, bukan kami. Itu artinya aku dan kamu. Nggak yakin deh aku kamu bisa lulus cum laude, bahasa Indonesia kamu payah."

"Baper amat Olan jadi laki-laki." Arum menyambutnya dengan senyuman. "Selamat ya atas kelulusanmu."

"Terima kasih. Terima kasih juga untuk hari ini."

"Aku yang sepertinya harus mengucapkan itu kepadamu, karena kamu membantuku untuk mengawasi Fio."

"Itu sudah menjadi tugasku sebagai seorang kakak. Tidak perlu berterima kasih seperti itu padaku." Olan mengibaskan tangannya. "Sepertinya aku harus pulang, hari sudah malam. Kamu juga butuh beristirahat. Salam ke ibu, aku pamit."

"Ibu bilang, kamu belum boleh pulang sebelum makan malam. Beliau sudah menyiapkannya untuk kita."

"Nah kan jadi merepotkan bu Nur."

"Tidak ada yang merasa direpotkan Mas Olan, Arum sendiri tadi yang memasak. Ibu hanya tinggal menyajikan saja di meja makan. Mari, makan malam dulu." Tiba-tiba bu Nuriyah muncul di antara percakapan keduanya.

"Beneran Rum? Kamu bisa memasak?"

"Loh, Mas Olan belum tahu? Masakan Arum ini selalu menjadi menu idola di panti ini. Anak-anak paling suka dan selalu menunggunya." Bu Nuriyah menjelaskan dengan semangat hingga membuat Arum tersipu, "Ibu, jangan buka aib Arum di depan Olan dong. Malu."

"Boleh dong Bu, Olan siap menghabiskan kalau begitu." Bu Nuriyah mengiring langkah Olan menuju ke ruang makan.

Masakan sederhana, Arum hanya memasak frittata dan aglio e olio. Namun cukup membuat mata Olan terbeliak untuk segera mencobanya. Pernah mendengar bahwa cinta itu bukan hanya datang dari mata lalu turun ke hati? Cinta juga bisa hadir melalui lincahnya lidah menyesap rasa hingga turun ke perut. Artinya, makanan memiliki artian sangat penting untuk bisa membuat orang bisa dengan cepat menjatuhkan pilihan atas cintanya bermuara.

Tidak banyak bicara, Olan menandaskan tidak lebih dari sepuluh menit. Entah karena dia sedang kelaparan, menunya hanya sedikit, atau karena dia memang doyan dengan masakan yang dibuat Arum untuknya.

"Kamu belajar darimana Rum? Sumpah, ini mirip banget dengan masakan di restoran Itali yang pernah aku kunjungi dengan papa setahun yang lalu." Olan memujinya tanpa bahasa kiasan. "Benar kata Ibu, sepertinya saya harus mengulangi lagi karena telah lupa seperti apa rasanya."

Bu Nuriyah tertawa lirih. Sebenarnya Olan ini bukan termasuk orang yang suka memilih makanan. Hanya saja dia lebih berselera dengan makanan yang tidak terlalu berat, seperti kuah bersantan kental atau makanan over cook lainnya yang sudah tentu akan ditinggalkan. Tinggal di rumah Olan selama seminggu cukup membuka akses Arum untuk bisa memperhatikan dengan jelas apa yang tidak atau disukai oleh tuan bersama dua putra-putrinya.

"Kamu suka?" Arum bertanya.

"Sangat. Kok kamu tahu kalau aku menyukai ini?"

"Bi Tum yang bilang. Jangan ge er dulu, aku membuatkannya untukmu sebagai imbalan telah membantu mengasuh Fio hari ini. Kamu bilang upah itu tidak selalu dengan uang kan?" Olan tersenyum.

Ada kedut di hati Olan yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Bahagia itu ternyata cukup sederhana. Sesederhana lidahnya bisa mencicipi makanan yang dibuat oleh tangan Arum sendiri. Serasa teristimewa.

"Hati-hati di jalan. Kabari kalau sudah sampai rumah." Arum berkata saat melepas kepergian Olan.

"Kamu juga istirahat, terima kasih untuk makan malam yang begitu istimewa. Have a nice sleep, Baby." Olan mengerling singkat kepada Arum yang membuatnya jengah.

Bukan Arum tidak mengerti, bukan Arum tidak bisa merasakan namun baginya Olan tetaplah Olan dengan semua keunikannya. Sedari awal Arum juga sudah kenyang mendapatkan gombalan receh seperti yang baru saja dilakukan Olan kepadanya. Dan tentu itu tidak bisa merubah apa pun kecuali satu hal. Islam tidak mengenal pacaran, prinsip yang masih terpegang teguh dalam benak Arum sampai saat ini.

"Rum, duduklah dulu. Ibu ingin bicara." Bu Nur yang mendapati Arum bergegas hendak masuk ke kamarnya.

"Iya Bu?"

"Sepertinya Olan ada hati kepadamu. Sedari tadi ibu perhatikan dia beberapa kali memandangmu dengan tatapan memuja, layaknya seorang pria yang menginginkan wanita menjadi miliknya."

Arum memasok oksigen penuh. Jika sudah demikian, dia hanya bisa diam.

"Di usiamu yang sekarang, sepertinya kamu harus mulai memikirkan masa depan untuk berumah tangga. Diskusikanlah dulu dengan Allah, jika memang orang itu Olan, jangan pernah menggantung perasaannya. Jika bukan, percayalah Allah telah menyiapkan satu yang terbaik untukmu."

"Bu, dari awal Arum tahu Olan, dia memang seringkali seperti itu. Jadi bagi Arum hal seperti itu biasa bagi Olan. Arum tidak ingin gede rasa karena sikap Olan, Bu. Mungkin karena Fio bersama kita sekarang."

"Tapi mata seorang ibu itu tidak bisa dibohongi loh, Rum." Bu Nuriyah tersenyum lembut. "Tidak ada salahnya kamu minta petunjuk. Sehingga ketika kamu harus melangkahkan kaki, kamu tidak perlu ragu untuk menyambut atau menolaknya."

Belum sampai Arum menjawab tiba-tiba suara salam terdengar nyaring. Hafal dengan pemilik suara itu. Bu Nur hanya bisa menatap Arum dengan penuh tanda tanya.

"Baru saja anaknya pulang, papanya sudah nyari kamu. Laris manis banget anak ibu." Lirih suara bu Nuriyah tetapi masih cukup sampai di pendengaran Arum hingga Arum mengkode dengan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. "Sudah sana bukain pintu dulu."

"Ibu temani Arum ya?" Bu Nuriyah hanya menggelengkan kepalanya lemah.

"Assalamu'alaikum Arum. Ibu ada di rumah?"

"Waalaikumsalam, ada Pak. Silakan masuk. Ingin bertemu dengan ibu?"

"Ingin bertemu denganmu. Eh maksud saya, ingin bertemu dengan Fio tapi juga ingin bicara hal yang serius denganmu."

"Oh, Fio sudah tertidur. Bapak ingin melihatnya?" Arum memindahi penampilan Gulzar malam ini. Sedikit berantakan daripada biasanya. Bahkan lengan pakaian yang dikenakannya sudah tergulung sampai siku meski dasi masih tersimpul rapi di lehernya.

"Hatchiiii, hatchiiii!" Gulzar menutup hidungnya. "Maaf Rum, saya__hatchiiii!"

"Bapak tadi habis kehujanan?" tanya Arum.

"Iya, hatchiiii!" Arum meninggalkan Gulzar sendirian di ruang tamu. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan nampan di tangan.

"Ini teh jahe panasnya, Pak. Sepertinya rambut Bapak juga masih basah. Maaf, ini bisa dipakai untuk mengeringkannya." Arum meletakkan segelas teh jahe hangat serta sebuah handuk kecil di hadapan Gulzar.

"Bapak baru pulang dari kantor ya?" Belum sampai Gulzar menjawab, bu Nuriah menghampiri mereka.

"Rum, itu pak Gulzar sekalian diajak makan malam."

"Tidak Bu, saya__hatchiiii! Hatchiiii!" Gulzar kembali bersin tanpa jeda.

"Sepertinya bapak masuk angin, tadi sudah makan malam?" Gulzar mengangguk lemah, meski tidak berselera setidaknya ada beberapa makanan yang masuk ke perutnya.

"Saya meninjau proyek pembangunan anak cabang perusahaan, kebetulan sampai di lokasi kehujanan. Sampai kantor masih harus mengerjakan pekerjaan yang harus saya tanda tangani. Ruangan ber-AC jadi, hatchiiii! Hatchiii!"

"Lalu mengapa Bapak memaksakan diri kemari?"

"Fio."

"Tidak ada masalah dengan Fio, Pak. Dia aman di sini. Pak Gulzar itu harusnya istirahat di rumah."

"Saya ingin."

"Tapi kalau sakit seperti ini, saya justru melarang Bapak bertemu dengan Fio."

"Arum, please." Gulzar memohon dengan wajah iba.

Berniat untuk berdiri namun tiba-tiba terhuyung. Gulzar hilang keseimbangan hingga Arum dengan sigap menangkap tubuh kekarnya tanpa sengaja. "Astaghfirullah Pak, badan Bapak panas sekali."

"Ibu, Pak Min, Pak Tatok tolong, pak Gulzar pingsan!" Dengan paniknya Arum berteriak memanggil siapa saja yang sekiranya bisa menolong.

"Rum, ada apa?"

"Ibu, pak Gulzar pingsan. Tolong panggilkan pak Min." Tak berapa lama pak Min dan pak Tatok yang dimaksud Arum datang, mereka adalah tukang kebun yang ikut bu Nur sudah sejak lama.

"Pak Min, tolong bantu angkat Bapak ke kamar saya saja. Sepertinya beliau kelelahan dan tadi sempat kehujanan."

"Iya Mbak."

Arum lupa, bahwa kamar yang kini dia tempati bukan lagi menjadi kamar pribadinya. Sejak Fio tinggal di panti, gadis kecil itu selalu tidur bersama Arum di kamarnya. Sehingga ketika sampai di kamar, Arum baru mengingat ada Fio yang sudah terlelap di atas ranjang tidurnya.

"Biar Ibu yang memindahkan Fio."

Arum datang dengan sebuah ember baskom lengkap dengan air dan anduk di tangannya. Dengan terampil dia mengompres bagian kepala Gulzar, meminta pak Min untuk membuka simpul dasi yang masih dipakai Gulzar dan dua kancing baju teratas yang dikenakannya.

Membauinya dengan minyak kayu putih supaya lekas tersadar, hingga sepuluh menit berlalu akhirnya kedua mata Gulzar perlahan membuka.

"Saya__"

"Bapak ada di kamar saya," Arum mendesah kasar. "Lain kali kalau badan Bapak terasa tidak baik, jangan memaksakan diri untuk bekerja sekeras ini. Jangan zalim dengan tubuh!"

"Arum," Arum memeras handuk kecil yang baru saja dia celupkan ke air.

"Apalagi hampir setiap hari Bapak pulang malam, meski tidak ada Fio di rumah, setidaknya berilah hak tubuh Bapak untuk beristirahat."

"Arumdalu," Gulzar tersenyum tipis.

"Iya Pak?" Mengetahui laki-laki itu seolah tidak mempedulikan sakitnya tapi justru kini Arum melihatnya tersenyum hingga membuat bibirnya menciut untuk bicara panjang lagi.

"Boleh nasihatnya disimpan untuk besok? Kepala saya sekarang sedang pusing." Arum ragu untuk meletakkan handuk kecil itu kembali di kening Gulzar karena senyum laki-laki itu seakan mengintimidasi hatinya.

Namun, rasa khawatirnya melebihi dari apa yang kini sedang terpikir oleh otaknya. Hingga handuk berhasil mendarat sempurna dan bibir Gulzar kembali bergerak, "terima kasih."

Tatapan mata Gulzar mengunci. Arum tidak bisa berlari ke arah sudut manapun. Semua telah tertutup dan hanya ada satu, tatapan mata Gulzar yang menghanyutkan hatinya.

"Izinkan malam ini saya tidur di kamarmu bersama Fio." Gulzar menjeda ucapannya kemudian meski nampak ragu-ragu dia melanjutkan kembali kalimatnya. "Mungkin suatu hari nanti kamu yang harus tidur di kamar saya."

Arum melengos, dia bergerak. Semakin lama berdekatan dengan papa Fio ini semakin membuat hatinya semakin jumpalitan tidak karu-karuan.

"Saya tidur bersama ibu. Kalau Bapak butuh sesuatu, Bapak bisa menelepon saya. Jangan lupa teh jahe yang sudah menghangat itu diminum. Insyaallah itu baik untuk influenza."

Gulzar mengangguk, "selamat tidur, Arumdalu. Have a nice dream. Maaf sudah banyak merepotkanmu."

🪴🪴

as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--

Sorry for typo
Blitar, January 18th 2022

Saran dan kritik, disilakan 😍😍

Continued on next chapter

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top