-- 09 --
08 ♡ Pesanan
🪴___________________________
mothers are not just women who delivered us into the world, but also those who see us grow by guaranteeing love
.
.
#karospublisherwritingchallenge #flowersseries
___________________________🪴
TIDAK ada yang salah dengan kata mencoba, asal semua diawali dengan sebuah niat baik untuk orang lain, keluarga bahkan untuk diri sendiri sekalipun. Kata modus pun sejatinya berawal dari memiliki niat untuk mencoba bukan?
Setelah apa yang pernah terlalui, langkah itu pun akhirnya berhenti. Meninggalkan jejak dengan segenggam harap, meski dia tidak begitu yakin dengan langkahnya kembali. Setidaknya kata mencoba dirasa jauh lebih baik daripada diam tanpa melakukan suatu tindakan. Mempertaruhkan peruntungan atau justru menyambut takdir baik berpihak untuknya.
Roda bundar itu masih setia menggilas aspal, si empu mengemudikan mobilnya menuju ke suatu tempat. Tempat dimana tersimpan sebagian dari kisah hidupnya dan mungkin, akan menjadi masa depannya. Senyum bahagia itu tercetak jelas. Ada harap yang terbungkus rapi bersama dengan kewajiban seorang kakak yang mengharuskan untuk menyayangi adiknya.
Setelah berjibaku menyelesaikan urusannya di kampus terkait dengan akhir studinya sebagai mahasiswa, Olan akhirnya bisa bernapas lega. Menunggu hari wisuda tiba setelah itu dia tidak akan bisa dengan mudah bermain-main seperti yang dilakukannya sekarang. Papa Gulzar jelas akan langsung menariknya berdikari di perusahaan yang dia pimpin.
Bermodal paper bag berlogo swalayan terhits di kotanya, Olan berniat untuk mengunjungi Fio di panti asuhan. Fio? Sepertinya bukan hanya Fio, karena udang itu akan selalu enak dinikmati jika ada kremesan bersamanya, ada udang dibalik rempeyek. Olan tentu menginginkan untuk bertemu Arum juga.
Informasi dari Carlo cukup untuk bisa mengetahui siapa gadis lembut yang dulu selalu bersikap judes kepadanya. Dan sekarang matanya telah membuktikan sendiri seperti apa gadis itu. Galak itu hanya berlaku untuk orang yang mencoba menjahili dan bersikap tidak sopan kepadanya. Nyatanya setelah Olan mengenal Arum sebagai terapis Fio, sikap gadis itu berubah kepadanya. Meski tidak menampik terkadang sikap ingin menjahili Arum masih sesekali muncul di hati Olan.
"Olan? Sudah lama di sini?" Suara Arum yang nampak kaget mendapati Olan sedang berdiri sambil memperhatikan beberapa bunga yang baru saja Arum sirami.
"Baru sampai. Fio dimana?"
"Oh Fio, dia masih tidur. Semalam dia terbangun dan setelah sarapan tadi baru tertidur kembali."
"Tantrum lagi?" tanya Olan khawatir.
"Bukan tantrum, tapi karena tidur siangnya telat. Sehingga malam dia terbangun dan susah untuk tidur kembali."
"Yah, padahal aku ingin mengajak Fio main. Tapi dia masih tidur."
"Mungkin sebentar lagi juga bangun. Kamu tunggu di taman saja." Arum memberikan solusi. "Maaf ya Lan, aku beresin ini dulu. Ada pesanan yang akan diambil pagi ini."
"Eh aku bisa bantu apa? Daripada bengong sendirian di taman."
"Emang kamu bisa?"
"Weits, meremehkan. Aku yang siapkan bahannya kamu yang melakukan. Cukup mutualisme kan? Asal cocok sama upahnya."
"Aku nggak kuat bayar upahnya Olan." Arum menggeleng lemah.
Olan tertawa saat pandangan mereka bertemu dalam satu titik. "Seperti katamu, tidak semua hal harus diukur dengan uang, Arumdalu. Upahnya gampang kok, cukup dengan senyummu dan secangkir teh hangat. Aku haus ngomong-ngomong."
"Astaghfirullah aku lupa, Olan. Maaf." Arum menepuk keningnya. "Tunggu di sini aku akan membuatkannya."
"Nggak usah pakai gula, Rum."
"Dari kapan kamu suka teh tawar? Biasanya bi Tum membuatkan teh manis untukmu." Arum segera berlalu namun langkahnya terhenti saat Olan mengemukakan jawaban atas pertanyaan retorisnya.
"Sejak kamu dekat dengan kami. Melihat senyumanmu itu rasanya lebih dari manisnya gula. Aku tidak ingin terkena diabetes karena itu, Arum." Arum hanya bisa menggeleng sambil berkata, "gila!"
"Dan aku bisa lebih gila jika tidak melihatmu lebih lama lagi." Olan bergumam lirih, samar terdengar di telinga namun tidak jelas hingga Arum mengabaikannya.
"Oh iya Rum, ada yang lupa." Olan menyerahkan paper bag yang dia bawa kepada Arum. "Rencananya hari ini aku ingin mengajak Fio kencan, sayang dia masih tidur. Tolong berikan ini saja untuk Fio."
"Apa ini?" Bukannya menjawab Olan justru memilih asyik memperhatikan beberapa notes pesanan bunga yang akan diambil siang ini.
Arum meninggalkan Olan untuk membuatkan minuman. Sebelumnya dia memilih untuk melihat Fio, ternyata dia masih lelap dalam tidurnya. Arum menimbang paper bag yang ada ditangannya. Cukup besar untuk sebuah oleh-oleh bagi Fio.
Memilih untuk mengeluarkan isinya. Mata Arum membeliak mengetahuinya. Dua potong pakaian dan puluhan batang coklat. Arum kembali menggelengkan kepalanya. Untuk Fio? Satu buah pakaian anak-anak berwarna hijau mint itu memang sangat cantik jika dikenakan Fio. Tapi dengan ukuran yang berbeda tidak mungkin Olan membelikan sekarang namun harus menunggu lima belas tahun lagi supaya pas untuk mengenakan pakaian yang justru lebih cocok untuk ukuran badan Arum.
Dan coklat-coklat ini? Bukankah Olan tahu kalau Fio harus melakukan diet makanan termasuk dengan makanan semacam ini. Tidak mungkin Arum memberikannya kepada Fio.
"Lan, kamu tahu kan kalau Fio tidak boleh mengkonsumsi makanan seperti itu? Mengapa__" Arum urung melanjutkan kalimatnya karena matanya menangkap Olan sedang berbicara dengan seseorang yang telah dikenalnya dengan baik.
"Eh, Tante Kamel maaf Arum baru dari belakang. Semua sudah siap kok Tante, sudah Arum sisihkan sesuai dengan pesanan."
"Arum," Kamelia menyapa Arum dengan senyum khasnya. Wanita cantik berusia kepala empat ini tetap anggun dengan penampilannya. Sebagai perias pengantin sekaligus pemilik venue decoration pelaminan ini berhubungan baik dengan florist milik bu Nuriyah.
"Nggak apa-apa, Sayang. Ada Olan yang bantu tante. Kamu apa kabar? Kemarin tante kemari hanya ada ibu."
"Baik Tante, Alhamdulillah. Makin laris ya Tante orderan untuk nikahan?"
"Alhamdulillah Rum, memang lagi musimnya menikah. Kamu sendiri kapan nikahnya? Tuh calonnya sudah ada tinggal waktunya saja, tante yang rias deh. Gratis untuk Arum dan Olan." Ada kejut di mata Arum namun memperhatikan Olan tersenyum tipis disela aktivitasnya membuat dia keki sendiri.
"Olan, kamu bicara apa sama tante Kamel?"
"Bicara apa? Jangan fitnah deh." Olan meminta dukungan dari Kamelia namun wanita itu hanya tersenyum melihat Arum keki. "Tante, memang Olan bicara apa sama Tante?"
"Rum, Arum. Olan tidak ngomong apa-apa sama tante. Tapi sebagai seorang ibu, tante tahu dari caranya Olan perhatian sama kamu. Tante yakin kok, bukan begitu Olan?"
"Ah Tante Kamel bisa saja. Olan ini kakaknya Fio, Tante. Hari ini mau mengunjungi adiknya tapi Fio malah masih tidur. Makanya memilih untuk bantuin Arum di florist." Arum mencoba menjelaskan siapa Olan kepada Kamelia.
"Oh iya? Fio yang cantik itu kan? tante kok nggak melihat dia. Biasanya asyik di sini gangguin kamu Rum?" Kamelia terkekeh pelan. "Fionya tidur berarti bisa tengokin calon adiknya yang lain." Masih dengan senyumnya Kamelia mengerling kepada Arum.
"Tante Kamel," sisi lain yang baru diketahui Olan dari Arum. Ternyata meskipun kalem, Arum memiliki naluri untuk bersikap manja kepada wanita yang menyapanya dengan hangat ini.
"Olan, kamu harus berjuang. Langka loh jaman sekarang perempuan seperti Arum ini. Cantik, lembut, berjilbab syar'i sesuai tuntunan Islam. Karena Arum tahu bahwa Islam menempatkan posisi wanita sangat mulia dan dengan itu dia merasa lebih terjaga, lebih terhormat. Bukan begitu Arum?"
"Tante, Arum tidak seistimewa itu. Tapi benar bahwa Islam menjaga wanitanya dengan cara yang sangat agung." Mata Arum berkaca-kaca. Bicara tentang wanita jelas ingatan Arum kembali pada orang yang telah melahirkannya ke dunia.
Olan bisa apa selain memperhatikan mereka berdua secara bergantian? Dia sangat tahu apa yang menyebabkan wajah sendu itu menyapa Arum saat ini. Rasanya sama, besar tanpa kasih seorang ibu, Olan sangat memahami akan hal itu karena selama hidupnya dia hanya mengenal papa sebagai orang tua.
"Tante boleh peluk, Rum?" Arum diam namun segera berlari memeluk Kamelia. Mendapatkan tempat ternyaman dalam pelukan layaknya seorang ibu itu adalah anugerah yang sangat indah bagi Arum. "Sudah jangan menangis, ibu jadi tambah sedih nanti." Kamelia mencium kedua pipi Arum.
Arum mengurai pelukannya, mengusap air mata yang sempat menetes. "Maafin Arum ya Tan, mendadak terharu."
"Jadi Olan bagaimana?" tanya Kamelia tiba-tiba.
"Maksud Bu Kamel?" tanya Olan yang mendadak disapa.
"Rum, apa perlu tante turun tangan untuk mentraining Olan supaya dia paham?" Kekehan mereka bertiga membuat suasana menjadi semakin hangat.
Pada akhirnya Arum juga harus bersiap, membantu Olan untuk membawa bunga pesanan Kamelia ke mobil box yang telah menanti di depan toko bunganya. Kali ini Kamelia memesan lebih banyak bunga di florist Arum karena calon pengantinnya menghendaki seluruh venue dihias dengan bunga hidup.
"Oh iya Rum, tante lupa. Sebenarnya tante butuh kuncup melati untuk tibo dodo pengantin. Orang tuanya ternyata menghendaki untuk proses akad menggunakan adat jawa sehingga butuh melati agak banyak. Bisa ditambah dari yang kemarin tante pesan?"
"Waduh Tan, kok mendadak sekali ya. Coba Arum teleponkan ke pemasok, semoga belum diambil oleh florist lain."
Berkali-kali mencoba memainkan gawainya akhirnya Arum mengucapkan hamdalah. Namun beberapa saat kemudian keningnya berkerut dan menatap Kamelia dengan wajah bersalah. "Oh jadi tidak bisa mengantar ya Pak, harus diambil ke sana?"
"Baiklah, keep dulu ya Pak. Saya matur ibu dulu. Matur nuwun."
"Kenapa Rum?" tanya Kamelia.
"Barangnya ada Tante, tapi mereka tidak bisa mengantar untuk hari ini karena sudah jalan yang arah ke sini. Kalau mau kita disuruh ambil. Arum tidak bisa karena harus nunggu florist sementara ibu ada pertemuan warga di kelurahan."
"Waduh, tante habis ini juga langsung harus on track venue. Gimana dong ya? Padahal nanti malam akadnya."
"Begini saja. Rum, tolong berikan kontak dan alamat supliermu, aku yang akan ambil bunganya. Bu Kamel tidak perlu risau, Olan sendiri yang akan mengantarkan ke lokasi pernikahan langsung dari sana. Bagaimana?"
"Nggak merepotkan Olan?" tanya Kamel hati-hati.
"Tentu enggak dong Bu. Lagian Fio juga belum bangun. Olan bisa ambil dulu bunga melatinya." Arum setuju meski ada sedikit rasa tidak enak di hatinya. Melibatkan Olan untuk ikut mengurus pesanan di floristnya. "Mana Rum alamatnya? Kamu masih harus rangkai beberapa pesanan hand buket juga kan?"
"Ya sudah kalau begitu, tenang hati tante. Arum terima kasih. Tante tidak pernah kecewa dengan pelayanan florist Kasih Bunda ini. Olan, jaga Arum baik-baik. Kalau sampai dia kenapa-kenapa bukan hanya bu Nuriyah yang akan kamu hadapi tapi juga tante Kamelia. Catat itu!" Meski dengan peringatan ketus namun senyuman itu tersungging di bibir Kamelia. Aura kecantikannya tidak pernah luntur dimakan usia. "Tante harus ke lokasi sekarang."
Sepeninggal Kamelia, Olan bergegas untuk mengambil pesanan sesuai janjinya. Namun, sesaat Arum mengingat sesuatu yang belum tersampai karena terjeda percakapan mereka dengan pelanggan.
"Olan tunggu." Arum mengangsurkan nampan yang dia bawa dari dapur untuk Olan. "Tehnya, maaf mungkin sudah dingin."
"Owh iya. Thanks Rum." Olan menenggak teh dari gelas yang Arum bawa hingga tandas. "Manis," ucapnya ketika kedua manik matanya berhasil mengunci tatapan Arum.
Mengerti akan tatapan hangat milik Olan, Arum segera mengalihkannya. "Fio tidak bisa makan coklat Olan, mengapa kamu bawakan banyak untuknya?"
"Bukan untuk Fio."
"Lalu? Buat apa kamu beli sebanyak itu?"
"Itu untuk calon kakaknya Fio." Olan menjawabnya datar meski ada penekanan dengan kata kakaknya namun sangat tipis terasa.
"Maksud kamu?" tanya Arum memilih tidak mengerti.
"Pakaikan Fio baju yang aku bawakan tadi. Dan satu lagi silakan dipakai untuk kakaknya Fio."
"Kakaknya Fio bukannya kamu? Memangnya kamu mau memakai gamis? Aneh!" Arum memutar tubuhnya meraih bunga yang disiapkan untuk pesanan hand buket.
"Kamu yang aneh," Olan menggerutu sebelum melangkah pergi. "Bersiaplah, aku akan mengajak kalian jalan-jalan keliling kota. Dan kali ini tidak menerima adanya penolakan. Baju itu sudah diinginkan Fio dari lama tapi aku belum sempat membelikannya."
"Lalu satunya? Nggak mungkin kamu beli sekarang nunggu Fio pakai lima belas tahun lagi." Olan mendesah.
"Untukmu, calon kakaknya Fio. pahamkan sampai di sini? Jangan banyak tanya lagi, aku berangkat. Assalamu'alaikum."
Kalimat terakhir yang keluar dari bibir Olan ini jelas menekankan pada kalimat, calon kakaknya Fio. Dan Arum bukan orang bodoh yang tidak mengerti kemana arah ucapan Olan. Tidak perlu dijelaskan juga. Arum hanya tinggal memilih, menjadi anak angkat seorang Gulzar Kairav atau memilih menjadi menantunya. Itu artinya, Arum menggelengkan kepalanya segera. Membayangkan menjadi istri Oleander Sheroze? Mimpi apa dia semalam?
Setelah mobil Olan melesat, Arum kembali mendesah pasrah. "Like father like son, anak dan papa sama saja. Pemaksa." Arum kembali berpikir, tapi dia melakukan dengan sukarela tanpa merasa adanya suatu paksaan. Salahnya dimana?
🪴🪴
as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--
Sorry for typo
Blitar, January 16th 2022
Saran dan kritik, disilakan 😍😍
Continued on next chapter
Kenalan dulu yuk sama Bu Nur dan Tante Kamel
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top