-- 08 --
07 ♡ Bayang-Bayang Semu
🪴___________________________
for an admiration, there are no words that can fully describe all the feelings
.
.
#karospublisherwritingchallenge #flowersseries
___________________________🪴
BELENGGU itu berawal keinginan untuk menutup diri. Mematahkan akses bahkan hanya sekedar untuk bercermin atas apa yang terjadi di masa lalu. Perjuangan untuk mendapatkan legitimasi, menampik kata seandainya dan hanya jika. Nyaris, hingga retorika pengandaian itu tidak lagi menarik hati untuk melakukannya.
Semua ini tentang masa depannya. The past is in the past, the future is still hiding behind. Then do what can do today, seize the moment.
Gulzar masih membaca beberapa email terkait pekerjaan yang mengharuskannya untuk memberikan attention segera. Beberapa hari terakhir dia sangat disibukkan dengan proyek pembangunan anak cabang perusahaannya. Bisnis yang dibangun dari bongkahan semangat, cucuran keringat dan juga lelehan air mata itu akhirnya mampu menjadikan penawar atas sebuah penolakan di masa lalunya.
Hanya butuh semangat, usaha dan doa, selebihnya campur tangan Tuhan menjadikan nasib berubah drastis layaknya roda mobil yang selalu berubah. Life is like a wheel, sometimes will be on the top, sometimes will be at the bottom. It isn't important when become on the top or at the bottom. Yang terpenting adalah bersyukur atas kesuksesan dan bersabar dalam kegagalan.
Dari dulu Gulzar selalu bisa menutup telinga dengan kedua tangannya. Karena dia sangat tahu tidak mungkin dengan kedua tangan yang dimilikinya bisa menutup mulut mereka yang dengan mudahnya membuat berita hoax tentang diri atau keluarganya. Sayangnya pagi ini telinga masih cukup sehat untuk mendengar ghibahan receh di pagi hari yang membuat mood Gulzar berantakan. Ibarat kata seperti nasi kucing tanpa karet, ambyar.
Beberapa kali Gulzar harus berusaha untuk mengambil lagi fokusnya saat rentetan kalimat itu berdengung di dalam perungunya.
"Sumpah ya, lo masih ingat kan perempuan berjilbab yang beberapa bulan lalu datang ke kantor mencari Mr. G?"
"Oh, yang tampilannya kalem itu?"
"Nah itu dia. Gila, awalnya gue pikir dia itu baby sitter yang mengasuh anak Mr. G."
"Eh tunggu, emang Mr. G sudah punya anak? Kok beritanya nggak pernah sampai di akun gosip bibir ndomble yang ada di kantor ya?"
"Makanya gue bilang, ini berita ter up to date. Seminggu yang lalu gue lihat Mr. G makan di sebuah kedai deket taman bermain. Nah habis itu gue lihat dia keluar dengan anak kecil dan wanita berjilbab yang beberapa bulan lalu ke kantor."
"Terus masalahnya di mana?"
"Melihat mereka bercengkerama itu sudah seperti keluarga, ditambah perempuan itu manggil Mr. G dengan sebutan papa. Lo tahu kan kalau wanita dewasa memanggil seorang pria dengan panggilan itu maksudnya apa? Kita juga tahu kalau wanita itu bukan anaknya Mr. G walau sebenarnya dia lebih cocok jadi anaknya ketimbang__"
"Pacar? Tapi benar juga, nggak mungkin kan baby sitter memanggil tuannya dengan panggilan papa. Jadi Mr. G sukanya daun muda yang terbungkus rapi begitu? Yang jelas segelnya?"
"Alah, penampilan sekarang nggak menjamin dia masih tersegel atau enggak. Atas kerudung bawah warung lagi marak Cuy, jaman now gethu."
Gulzar, mengusap mukanya dengan kasar. Sejauh ini dia tidak ambil pusing atas gosip yang beredar tentang dirinya. Semua masih dalam batas wajar dan aman. Namun, sejak mereka mulai usil membawa putrinya serta, mengapa hatinya menjadi tergelitik. Terlebih tentang fitnah yang dilayangkan kepada Arum. Jiwa kelakiannya memberontak ingin melindungi makhluk yang tercipta dari rusuk lelaki itu.
Sepertinya keputusannya mengajak Fio dan Arum keluar itu adalah suatu kesalahan. Gulzar tidak ingin kehidupan keluarganya menjadi konsumsi publik, terlebih menjadi pokok bahan ghibahan seperti pagi ini di antara para karyawan yang kepo atas dirinya. Namun, melihat senyuman Fio, celoteh riang putrinya jelas itu tidak termasuk setara dalam list harga yang harus dia bayar dalam hidupnya.
Senyumnya mulai terbentuk saat bayangan Fio menari-nari di pelupuk matanya. Meminta dengan polosnya kepada Arum untuk memanggil dia papa sama seperti yang Fio lakukan selama ini. Hatinya menghangat tiba-tiba.
"Papa, papa, papa." Gulzar bergumam lirih, menirukan cara Fio memanggil dirinya. Bukan, itu bukan cara Fio. Suara lembut dengan nada kalem itu milik Arum sepenuhnya.
"Mr. G, maaf."
"Eh Damar." Lamunan Gulzar terkoyak, senyum yang terlukis di bibirnya kini berubah seketika setelah deheman tercipta sebagai pengubahnya.
"Sepertinya Anda sedang bahagia Mr. G? Tetapi sekali lagi maaf jika saya lancang menjedanya. Manager telah menunggu Anda di ruang meeting, monthly review atas pencapaian target all segmen perusahaan harus dimulai." Helaan napas panjang mengiring mata Gulzar yang sekilas melirik Richard Mille yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Hidup tentang hari ini dan ke depan. Spion itu diciptakan lebih kecil daripada kaca depan sebuah kendaraan, fungsinya hanya sesekali dipergunakan untuk melihat apa yang ada di belakang. Ada hal yang tidak bisa dikendalikan seseorang seperti waktu, masa lalu, perkataan orang pun juga dengan takdir manusia. Tapi untuk pikiran, sikap dan cara bertindak tentu menjadi sesuatu yang bisa dikendalikan.
Empat jam berdiskusi, rasanya seluruh otak Gulzar habis terperas. Perhatiannya terpusat untuk memenuhi kelangsungan hidup ratusan karyawan bertumpu di pundaknya. Prosentase peningkatan penjualan, perolehan bahan baku, marketing dan iklan serta rentetan promosi ataupun mutasi menjadi pokok utama bahasan meeting hari ini. Dia butuh suntikan vitamin untuk memulihkannya.
"Kosongkan jadwal saya setelah ini, Dino!"
"Siap Mr. G."
Setelah semua pekerjaan yang dianggap selesai hari ini, Gulzar tidak ingin kembali duduk di belakang meja kebesarannya. Pikirannya kembali kepada sang putri, rindunya telah kembali memuncak. Arum telah memberikan tiket free kapan saja dia ingin mengunjunginya.
"Arum,"
"Maaf, iya Mr. G? Ada yang harus saya sampaikan kepada mbak Arum?" Damar yang sedari tadi mengekor langkah Gulzar mendengar dengan jelas gumaman yang keluar dari bibirnya.
"Oh tidak, tidak." Gulzar tergagap. Jelas, semua gesturnya tak luput dari perhatian Damar. Menjadi aspri cukup memberikan ruang yang begitu kentara untuk bisa mengenali bagaimana sosok big bosnya. "Kamu pulang saja, jadwal saya telah dikosongkan oleh Dino setelah ini."
"Baik Mr. G, tapi saya mohon izin untuk tetap berada di kantor. Saya harus menyelesaikan beberapa pekerjaan untuk event tahunan perusahaan seperti yang Mr. G perintahkan dua hari lalu. Jika Mr. G ingin pulang terlebih dulu, silakan." Gulzar mengangguk.
"Maaf, harusnya saya bisa menangani pekerjaan itu."
"Never mind, Sir. I can do and try my best for it."
"Thanks, Damar. I can't imagine how I would be without you. Tapi saat ini saya harus ke panti asuhan 'Kasih Bunda'. Harus bertemu dengan Fio dan bernegosiasi atas rasa rindu kepada Arum."
"Sorry Sir, maksudnya rindu kepada mbak Arum?" Gulzar mengerutkan kening lalu menimbang apa yang telah dia ucapkan. Setelah menyadari baru bibirnya terangkat sejenak, langka. Gulzar memilih mengibaskan tangannya kemudian berdesis. Damar justru semakin gagu, melihat perubahan bosnya.
"Ck, kamu salah tangkap. Maksudnya bernegosiasi dengan Arum atas rindu saya kepada Fio."
Damar tertawa namun bercanda meledek bosnya. "Rindu mbak Arum juga tidak ada yang melarang Mr. G, that' s free for you both."
"Ingatkan saya besok pagi untuk menemui Manager Personalia."
"Siap Sir, kalau boleh tahu untuk?"
"Adjust your salary." Gulzar tertawa lirih. Damar hanya tersenyum menanggapi, setidaknya dengan ini dirinya mulai yakin. Batu es dalam diri Gulzar sedikit meleleh dan tentang rindu yang terucap sebagai ambiguitas, rasanya itu bukan hal yang tidak mungkin terjadi. Who's know.
Mobil yang Gulzar tumpangi membelah padatnya arus di jalan raya. Meski bukan jam pulang kantor namun seolah tidak ada bedanya. Mungkin efek dari maraknya kendaraan yang diproduksi dengan embel-embel ramah lingkungan dengan harga murah. Atau karena memang kebutuhan setiap orang untuk memudahkan aktivitasnya, entahlah.
Gulzar menghentikan mobil tepat di depan galery bunga yang tertata apik. Dengan senyum sopan Gulzar menyapa bu Nur yang sedang menjaga toko bunganya. "Selamat sore, Bu Nur."
"Pak Gulzar, selamat sore. Loh, Arum tidak menitipkan pesan kepada saya kalau Bapak akan berkunjung hari ini. Dia sedang bermain dengan Fio di dalam."
"Saya memang tidak memberitahukan kedatangan saya kepada mereka. Fio tidak menyusahkan Arum kan Bu?"
Bu Nur tersenyum, "silakan Pak kalau ingin melihat mereka bercengkerama dari jarak dekat." Gulzar mengekor kemana bu Nur melangkah. Duduk di kursi yang ada di bawah pohon rindang. Memperhatikan bagaimana Fio dan Arum bermain, sekaligus berbincang santai dengan pemilik dan pengasuh panti asuhan 'Kasih Bunda.'
"Alum, Io au ikan."
"Tapi ikannya mau bobok dulu. Fio juga harus bobok, dari siang belum bobok kan. Sekarang mbak Arum ngantuk."
"No, Io au ikan!"
"Iya, tapi ikannya capek, Sayang. Ngantuk, pingin bobok juga. Fio bobok dulu nanti bangunnya sama-sama ikan. Kita main lagi, ok?" Tolakan Fio berujung pada tangisan.
Terkadang rasa iba membuat seseorang iba kemudian mengabulkan, tetapi Arum tidak hanya mengasuh melainkan juga mendidik Fio. Tidur siang kali ini sangat terlambat, dan istirahat ini dibutuhkan Fio untuk mengurangi tantrum di malam hari. Arum memaksa meski dengan cara yang sangat lembut.
"Alum akal," Fio masih melayangkan protesnya sambil menangis sesenggukan. Menolak rengkuhan yang Arum berikan, namun saat botol susu ada di depan matanya, Fio justru memilih untuk berlari ke pangkuan Arum. Duduk memposisikan diri sambil menikmati susu botolnya.
Tak kalah dramatisnya, Arum dengan segenap rasa merengkuh Fio dalam pangkuannya hingga mata Fio terpejam sempurna. Sedari awal Arum tahu, Fio mengantuk tetapi menolak untuk tidur. Dan sampai detik itu pun Gulzar masih memperhatikan keduanya dari jauh. Mencoba menghalau beberapa angan yang melintas dan singgah sejenak dalam benaknya.
Gulzar mendekat kala Arum masih menyurai helaian rambut Fio di pangkuannya. Sedikit terkejut atas kehadiran Gulzar tanpa pemberitahuan namun isyarat jari telunjuk Gulzar yang diletakkan di depan bibirnya memberikan tanda kepada Arum untuk tidak bersuara.
"Maaf saya tidak tahu kalau Pak Gulzar datang ke panti dari tadi." Arum memberikan secangkir teh panas dan menyilakan Gulzar untuk menikmatinya setelah memindahkan Fio ke kamarnya. "Silakan di minum, Pak."
"Pak? Jika Fio mendengarnya, dia pasti akan memberikan protes keras." Kalimat macam apa yang terucap langsung dari bibir Gulzar tanpa saringan itu. Hingga membuat tatapannya bertemu dengan sorot mata penuh pertanyaan milik Arum.
"Papa?" Arum bertanya mempertegas. Menyadari pernyataannya menimbulkan ketidaknyamanan dari suara Arum, Gulzar berdehem kemudian tersenyum tipis.
"Serius, Arum. Jangan dianggap bercanda." Tawa Gulzar yang merekah setelah ucapannya selesai membuat pipi Arum berubah warna seketika.
"Ah, Bapak bisa saja."
"Arum." Namanya dipanggil seperti biasa. Namun terdengar sarat makna hingga Arum harus memasok oksigen maksimal untuk menetralkan kembali apa yang kini bergolak di dalam dadanya. Kelembutan suara yang dimiliki seorang ayah.
"Saya, Pak."
"Terima kasih. Tadi saya sempat berbincang dengan ibu di depan lalu melihat kalian sedang bermain. Terima kasih sekali lagi Rum, keputusan saya untuk bersedia menitipkan Fio di sini sepertinya membuahkan hasil. Meski itu berat sekali rasanya."
"Namanya juga orang tua, Pak. Saya bisa mengerti sepenuhnya," Arum memberikan empatinya.
"Mengenai perkembangan Fio mungkin saya yang terlalu jahat kepadanya karena terlalu sibuk bekerja hingga tidak memikirkan apa itu artinya sentuhan kasih sayang seperti yang pernah kamu jelaskan tempo hari. Hari ini saya melihatnya semakin jelas bahwa rasa nyaman bagi anak-anak itu bukan hanya dengan limpahan materi yang dia terima namun juga rasa aman berada di dekat orang-orang yang menyayanginya dengan tulus. Saya telah melewatkan banyak hal tentang pertumbuhan Fio. Coba nanti saya tanyakan apa saja yang selalu nanny lakukan di rumah untuk Fio." Seolah ingin menumpahkan isi hatinya, Gulzar justru terkesan curhat di hadapan Arum.
"Sepertinya Fio tidak hanya membutuhkan seorang nanny."
"Maksudmu dengan kata tidak hanya?"
"Maaf Pak, jika saya terlalu lancang tapi tentang psikologi anak memang dibutuhkan percakapan yang tidak hanya dengan kata melainkan dengan hati, perasaan dan sentuhan."
Gulzar diam namun Arum bisa mendengar desahan napasnya. Pengerucutan pembicaraan itu pada akhirnya membawa percakapan mereka tentang sebuah keluarga yang utuh. Arum bisa merasakan, karena dia besar di panti tanpa orang tua namun bersyukur tidak mengalami apa yang kini diderita oleh Fio. Sedangkan kasus Fio, meski dia memiliki seorang ayah yang sangat mencintai dia namun sepertinya dia juga butuh suasana keluarga yang hangat dan menghangatkan.
"Mamanya Fio mungkin bisa sangat membantu," kata Arum akhirnya.
"Mamanya telah meninggal dunia ketika melahirkan Fio."
"Oh, maaf Pak saya tidak tahu."
"Tidak apa-apa. Saya juga tidak pernah menyiarkan kepada siapa pun."
"Sekali lagi saya minta maaf, tapi__" kalimat Arum menggantung membuat Gulzar ingin bertanya lebih lanjut.
"Tapi apa?"
"Mungkin terkesan lancang, tapi secara psikologis setiap anak akan tumbuh dengan baik di tengah keluarga yang hangat. Maksud saya keluarga utuh. Bukan berarti Fio kekurangan itu namun alangkah lebih baiknya seperti itu."
"Seperti?" cecar Gulzar.
"Maaf Pak, bukan kapasitas saya untuk meminta. Namun Bapak pasti telah paham apa yang saya maksudkan."
"Menghadirkan ibu baru untuk Fio maksud kamu?" Arum segan untuk mengatakan iya sebagai jawaban. Pertanyaan itu terlalu retoris untuk perlu mendapatkan jawabannya.
Gulzar sangat paham maksud Arum namun menjelang setengah abad usianya, telah lama tema kehidupan itu tidak pernah melintas dalam inginnya. Meski tidak tersurat tetapi dalam siratan kata jelas sekali kalimat sederhana yang Arum ucapkan cukup mengena di hati Gulzar, 'mama baru untuk Fio.'
Tidak salah dengan Arum. Menghadirkan mama baru berarti mempersiapkan hati bagi Gulzar untuk bisa membuka kembali apa yang selama ini telah coba ditutupnya. Menghadirkan mama baru bagi Fio itu artinya dia harus siap untuk berkomitmen.
"Bukankah sejauh ini Fio cukup aman karena keberadaanmu? Kamu juga menyayanginya bukan?" Arum hanya mengangguk tanpa berniat untuk melanjutkan diskusi.
Hatinya tidak sepenuhnya sinkron dengan otak yang mendadak terasa penuh. Arum butuh 2000 liter pasokan oksigen untuk membuatnya aman. Kalimat Gulzar membuat dadanya berdegup semakin tak berirama.
🪴🪴
as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--
Sorry for typo
Blitar, January 15th 2022
Saran dan kritik, disilakan 😍😍
Continued on next chapter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top