-- 07 --

06 Tentang Rindu

🪴___________________________

distance means so little when someone means so much
.
.

#karospublisherwritingchallenge #flowersseries

___________________________🪴

RANGKAIAN kata itu terucap dengan begitu baik meski baru sepotong dan sepotong. Perlahan namun pasti, kemudahan yang terjadi bukan tanpa perjuangan. Semua karena kegigihan hati, kerja sama yang baik meski berulangkali mendapatkan rintangan bahkan penolakan.

"Fio mengapa nggak mau makan?" makanan di depannya masih utuh. Sudah seminggu ini Fio bisa melakukannya sendiri. "Masakan mbak Arum nggak enak? Fio nggak suka?"

Fio bergeming. Namun, sesaat kemudian bibirnya bergerak berat, "Papa."

"Fio kangen papa?"

"Papa, papa, papa!" Arum mendekat, mencoba untuk mendekat lebih tepatnya. Namun Fio menolak. Kali ini bahkan dia memilih untuk pergi dan meninggalkan sarapannya. Arum mendesah pelan, tapi bahagia melihat itu. Baginya, kemarahan Fio adalah ekspresi.

Setelah kedatangan Olan dua hari yang lalu, sepertinya Fio lebih ekspresif mengutarakan inginnya. Dia lebih sering marah tapi bukan masuk dalam kategori tantrum. Mengekor kemana kaki Fio melangkah, Arum memainkan sejenak gawai di tangannya. Menekan nomor yang sudah lebih dari satu bulan ini akrab dia hubungi.

"Iya Rum, ada masalah dengan Fio?" Suara Gulzar lekat di pendengaran Arum

"Sepertinya Fio kangen sama Bapak. Dia menolak sarapan dan hanya menyebutkan satu kata, Papa."

Merasa tenang bahkan sepenuhnya setuju atas apa yang telah diputuskan oleh hatinya. Menyerahkan Fio kepada Arum dan merelakannya untuk sementara tinggal di panti asuhan. Intuisinya tidak meleset, pagi ini Gulzar memutuskan untuk memutar arah laju kendaraannya. Menghubungi Dino dengan perintah darurat, "Arrange seluruh schedule saya hari ini. Saya tidak akan ke kantor."

Cinta seorang ayah, bahkan bisa meleburkan dunia untuk bisa membuat putrinya berbahagia. Jangankan untuk tidak masuk kerja, meninggalkan meeting penting pun akan dilakukan Gulzar jika itu berhubungan dengan mental seorang Fiorenza, putri tersayangnya.

Sampai di panti asuhan mata Gulzar disuguhi pemandangan apik yang membuat denyut hatinya kembali menghangat. Perungunya mendengar suara lembut Arum mendidik Fio. "Sayang, mbak Arum bisa minta tolong? Tolong ambilkan bonekanya, mbak ingin bercerita tentang persahabatan seekor kelinci dan anak gajah yang tersesat di hutan." Meski tanpa suara Fio nyatanya sudah mulai bisa menangkap kalimat perintah. Meletakkan mainannya, berdiri kemudian berjalan mengambil boneka yang dimaksudkan oleh Arum lalu menyerahkannya, duduk dan mulai memperhatikan Arum bicara dengan dua boneka di tangannya.

"Aku tidak bisa tidur di rumahmu Kelinci, tubuhku tidak akan muat masuk ke lubang rumahmu." Arum memainkan boneka gajah di tangan kanannya. "Tidak, Gajah. Ikutlah denganku kamu akan tahu apa yang aku maksudkan. Di dekat lubang rumahku ada pohon rindang, kamu bisa tidur di bawahnya sambil menunggu rombongan keluargamu lewat. Kita akan selalu bersahabat, Gajah."

Mata Fio mengerjap pelan, bibirnya mulai bergerak. "Inci cil?"

"Iya, kelinci kecil dan gajah be__"

"Cal."

Senyum Gulzar kembali terlihat ketika Arum menyelesaikan ceritanya kemudian Fio berdiri kemudian berhambur ke pelukan Arum, duduk di pangkuannya dan berulang kali mencium kedua pipi Arum selayaknya seorang anak yang berinteraksi manis dengan ibunya. Hingga mata Fio menangkap sosoknya kemudian melepaskan pelukan Arum dan berlari ke arahnya. "Papa."

"Fio kangen papa?"

"Papa." Gulzar mencium pipi putrinya dengan tumpukan rindu yang menggunung. Kesepakatan bersama Arum dengan hanya melihat Fio dari kejauhan itu membuatnya semakin terbelenggu rindu. Namun, melihat bagaimana perkembangan Fio di tangan Arum, rasanya itu cukup sebagai kompensasi atas rindunya.

"Selamat pagi, Pak. Maaf untuk Fio."

"Apa kabar Arum?"

"Alhamdulillah baik. Saya permisi dulu."

"Fio sudah sarapan?" belum sampai Arum melangkah, suara Gulzar memintanya untuk menjawab.

"Sedikit sekali." Sayang perkiraan Arum keliru. Pertanyaan Gulzar ditujukan untuk Fio bukan untuknya. Dia baru menyadari ketika melihat tatapan Gulzar seolah terkejut mendengar jawaban yang bebas meluncur dari bibirnya. "Maaf Pak," Arum tersipu malu.

"Jadi Fio belum sarapan? Kenapa Sayang? Fio kangen sama papa? Ingin disuapi papa?" bukannya menjawab Fio memilih menjadi anak kanguru yang dengan kalemnya bersandar di dada Gulzar yang kini tengah menggendongnya.

"Fio anak pintar kok, biasanya juga makan sendiri. Sarapan dulu ditemani papa, mbak Arum ambilkan sarapannya ya?"

"Atau Fio ingin makan di luar? Kita beli bubur atau nasi uduk?" mata Fio membola, merespon kalimat tanya dari papanya dengan baik. "Fio ingin jalan-jalan dengan papa?"

"Alum," jawab Fio.

"Fio ingin jalan-jalan dengan mbak Arum?" sekali lagi Gulzar bertanya.

"Papa," jawab Fio lagi.

"Fio ingin jalan-jalan sama papa atau mbak Arum?" tanya Arum mengulang.

"Papa," namun tak lama kemudian Fio menambahkan. "Alum."

Gulzar tertawa lirih setelah mengerti apa yang dimaksudkan Fio. "Fio ingin jalan-jalan dengan papa dan mbak Arum serta?" suaranya membuat kepala Arum terangkat memandang penuh pertanyaan kepada ayah dua anak itu. Namun, semua tanya di hatinya terpatahkan saat melihat kepala Fio mengangguk setuju dengan pertanyaan papanya.

"Arum," belum selesai rasa terkejutnya kini suara Gulzar membuatnya terhenyak.

"Iya Pak?"

"Kamu, bisa menemani saya kan? Eh, maksud saya Fio ingin mengajakmu serta."

"Saya izin ibu dulu."

"Sekalian saya minta izin untuk numpang ganti baju, rasanya kurang etis dengan pakaian formal seperti ini." Tidak ada yang berbeda dari yang seringkali Arum tahu. Gulzar selalu sempurna dengan penampilan formalnya.

Berada di dalam mobil sedan, bersisihan langsung dengan pria yang cocok menjadi ayahnya ini sedikit memberikan rasa kikuk walau ada Fio yang duduk di pangkuannya.

"Duduk di depan saja, Rum."

"Tapi Pak, bukannya pengasuh Fio biasanya duduk di belakang?"

"Saya bukan sopir kamu kan? Dan lagi bagi saya kamu bukan pengasuh Fio." Arum tidak memiliki jawaban untuk itu. "Fio butuh bimbingan, dia sudah sangat lama tidak melihat dunia luar."

Gelembung ingatan Arum pecah saat suara Fio mengisi ruang dengarnya kembali. "Alum, buah." Tangan Fio menunjuk toko buah yang berjejer sepanjang jalan yang mereka lewati.

"Oh iya, buah. Ikuti mbak ya, sebutkan nama-nama buah. Jeruk."

"Iyuk."

"Semangka."

"Kaka."

"Ikan?"

"No ikan, kaka."

"Semangka," Arum tertawa. Fio memang belum bisa merangkai tiga suku kata menjadi satu. Dia pasti akan memilih akhir katanya.

"Sirsak."

"Cicak, cicak, dingding," Fio menirukan, "diam-diam merayap. Datang seekor nyamuk," tiba-tiba suara Gulzar membungkam protes yang akan dilayangkan Arum.

"Hap," sambung Fio.

"Lalu ditangkap." Fio tepuk tangan dan tertawa riang. Akhirnya lagu cicak-cicak di dinding itu menjadi soundtrack perjalanan mereka hingga mobil berhenti di sebuah taman bermain untuk anak-anak.

Arum mengekor, Gulzar meraih Fio untuk bisa digendongnya. Mengajaknya bicara setelah sekian lama terpisah dan Fio banyak memiliki kosa kata baru. "Rum, ada penjual bubur di ujung sana. Fio sepertinya sudah kelaparan."

"Iya Pak."

Meski banyak pertanyaan yang muncul dalam hati Arum, tetapi dia memilih untuk memendamnya. Jika menilik dari caranya Gulzar meminta makan dan duduk bersama pembeli lainnya, tidak akan pernah tampak bahwa dia seorang CEO dengan pendapatan ratusan juta bahkan milyaran setiap bulannya. Dingin, tetapi humble. Menambah sisi kemisteriusannya.

"Makan Arum, jangan hanya dilihat. Kamu tidak sedang berpuasa kan?" Arum tersenyum kikuk. "Buburnya kurang enak? Atau kamu tidak menyukainya?"

"Tidak Pak, enak kok. Bapak silakan makan juga."

"Alum, papa."

"Iya Sayang, mbak Arum kenapa?" tanya Arum.

"Papa."

"Iya papa kenapa Fio sayang?" Gulzar ganti bertanya.

"No papa, Alum papa." Arum menyerah tidak mengerti apa yang Fio maksudkan. "Ok, Fio habiskan makannya ya?" tidak lagi ada protes Fio menjadi anak yang cukup manis bersama papanya pagi ini.

Dekapan hangat seorang papa memang tidak pernah Arum ragukan untuk Fio. Kedekatan mereka terbukti dengan baik, Gulzar memenuhi semua kebutuhan Fio tanpa harus menunggu nanti. Andaikata penolakan itu ada, dia selalu berusaha untuk menjelaskan mengapa.

Menikmati beberapa permainan anak-anak di taman bermain. Bukan hanya Fio yang tersenyum riang, Gulzar tak kalah bersemangatnya. Mengoper bola plastik, bermain gelembung sabun, berlarian saling berkejaran hingga keduanya berguling di tanah berumput dan menjadi tontonan menarik orang-orang yang melewati mereka. Arum merekam semuanya dalam ingatan.

Betapa bahagianya setiap anak yang terlahir dengan orang tua lengkap. Sementara ingin hanya berteguk dengan angan selamanya. Arum menyadari itu, meski terkadang kata tanya mengapa yang tidak pernah ada jawabnya itu singgah dalam benak.

"Ayo Fio, panggil mbak Arum. Ajak main dengan Fio."

"Papa?"

"Iya dengan papa juga, ayo panggil mbak Arum."

"Alum, ain, cini. Io, papa." Arum tersenyum mendekat. Membawakan minuman segar di tangannya.

"Apa itu Rum?"

"Beras kencur untuk Fio, Bapak mau juga?" kata Arum.

"Wantung, Io mau." Fio menyambutnya membuat kening Gulzar mengkerut dan mengulang kalimat Fio kembali. "Wantung?"

"Beras kencur versi Fio, Pak. Kalau Bapak mau, saya belikan lagi."

"Papa, Alum."

"Iya, mbak Arum belikan untuk papa." Tanpa menunggu jawaban Gulzar, Arum kembali dan membawa serta sebotol beras kencur di tangannya.

Keringat yang membasahi wajah Fio juga sang papa telah menjelaskan seberapa aktif mereka. Sebelum akhirnya Gulzar mengajak Fio untuk beristirahat di kursi taman tempat Arum duduk sebelumnya.

"Papa capek, kita istirahat dulu." Arum mengusap peluh di wajah Fio dengan tisu. Sementara Fio menikmati beras kencur yang diberikan Arum dan memilih untuk duduk di pangkuannya.

"Terima kasih untuk senyum Fio hari ini, Arum."

"Itu sudah menjadi tugas saya, Pak. Bapak tidak perlu khawatir, saya berusaha untuk menjaga Fio dengan baik." Namun suara Fio kembali menggema seolah tidak menyukai kata yang Arum ucapkan.

"Papa, Alum."

"Fio kenapa Rum, dari tadi selalu protes seperti itu?"

"Saya juga tidak memahaminya, Pak. Mohon maaf,"

"Papa, Alum. Papa!" kali ini dengan nada sedikit tinggi hingga membuat Gulzar mencoba menerjemahkan kembali.

"Fio ingin dipangku papa?"

"No!"

"Papa dipangku__" tidak etis sepertinya harus menyuarakannya hingga Gulzar memilih untuk membelokkan katanya, "Fio?"

"No!" jelas tidak mungkin karena kata yang keluar dari bibir Fio hanya ada Arum dan papa lalu apa? Tidak mungkin Papa dipangku mbak Arum, atau mbak Arum dipangku papa. Itu terlalu berbahaya Fio, Gulzar berdehem membenarkan otaknya yang sedikit bergeser tempat.

"Mungkin Fio ingin bermain lagi dengan Bapak?" Arum mencoba menerjemahkan.

"Papa, Alum. No pa pa!" Gulzar mengerutkan kening dan berucap spontan, untuk menanggapinya.

"Maksud Fio, mbak Arum harus memanggil papa?"

"Bapak? Maksudnya?" jawab Arum semakin tidak mengerti.

"No. Papa, Alum." Mata Fio melotot pada Arum tanda tidak menyukainya. "Sebentar Rum, Fio ingin mbak Arum memanggil papa sama seperti panggilan Fio ke papa?"

Tidak ada jawaban senyuman Fio mengartikan semuanya. Ditambah lagi gestur tubuh yang langsung menempel ke dada Arum, Fio seolah menyembunyikan mukanya di ceruk leher Arum untuk setuju dengan pendapat sang papa.

Matahari seolah sedang mendekat ke bumi, hingga semilir angin yang berembus tidak mampu menghalau teriknya. Hanya karena satu kata, papa. Membuat suasana panas ini semakin panas.

Gulzar tersenyum dalam diamnya, "not bad idea."

🪴🪴

as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--

Sorry for typo
Blitar, January 13th 2022

Theres no need to be a part to thousand miles to missing for and theres no need to be a part a period of time to missing for too. It' just means I longing for.

Saran dan kritik, disilakan 😍😍

Continued on next chapter

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top