-- 05 --
04 ♡ Nanny
🪴___________________________
a beautiful sunset needs a cloudy skies
.
.
#karospublisherwritingchallenge #flowersseries
___________________________🪴
ENTAH kalimat apa yang ingin Arum ucapkan untuk dirinya sendiri. Keberatan sebagai bentuk keraguan hati yang hinggap beberapa saat lalu kini lenyaplah sudah. Saat bayangan wajah Fio menari-nari di pelupuk matanya, Arum justru duduk sejajar di kubu Gulzar untuk bisa meyakinkan ibunya mendapatkan izin menginap.
Menghempaskan sedikit ambisi yang sempat dia bangun untuk bisa bekerja secara profesional. Nyatanya sisi hati keibuannya telah memanggil jiwa untuk mendekat. Ketakutan di dalam hati yang membuat Arum lebih memilih untuk memberikan daripada keingintahuannya bertanya mengapa.
"Rum, kamu bukan nanny, ingat baik-baik itu."
"Iya Bu, Arum akan selalu ingat nasihat Ibu."
"Jaga dirimu baik-baik. Ibu percaya padamu, namun ibu tidak bisa dengan mudah percaya kepada orang lain."
"Iya Bu," sekali lagi Arum meyakinkan bu Nur sambil mengepak pakaiannya. "Ibu juga harus jaga kesehatan ibu, kalau ibu capek tutup saja toko bunganya. Maaf ya Bu, Arum tidak bisa membantu banyak di toko."
"Pergilah, doa ibu selalu untukmu."
Dua hari yang lalu Arum membuat kesepakatan dengan Gulzar. Jika evaluasi perkembangan Fio tidak menunjukkan grafik perbaikan secara signifikan selama dua minggu, maka Arum telah mempersiapkan program lain untuk Fio. Program yang sedari awal telah dirancangnya namun harus tertunda karena permintaan Gulzar akibat drama di kolam renang.
Arum berdiri di depan gerbang rumah mewah, menunggu security membukakan pintu untuknya.
"Selamat pagi, Mbak Arum." Pak Jojo yang selalu siap di posnya menyapa Arum dengan ramah.
"Pagi Pak Jo, terima kasih. Aku langsung masuk ya."
"Silakan. Mr. G belum berangkat ke kantor. Semua masih komplit di rumah." Arum berpikir sesaat tentang kalimat terakhir pak Jojo tapi akhirnya memilih menganulir dengan mengibaskan tangannya untuk tidak terlalu kepo.
Komplit versi Arum ternyata berbeda dengan kenyataan yang kini ada di hadapannya. Awalnya Arum berpikir bahwa ada ibu Fio yang artinya istri dari seorang Gulzar. Namun, kenyataannya mata Arum mendapati orang yang selalu dihindarinya di kampus duduk semeja dengan Gulzar dan berbincang sambil menikmati sarapan pagi mereka.
"Arumdalu?"
"Olan?" Atensi Gulzar beralih bergantian antara Arum dan Olan karena keduanya secara bersamaan saling menyapa dalam keterkejutan.
"Kalian saling mengenal?" tanya Gulzar.
"Jadi maksud Papa, terapis yang akan menginap di rumah kita itu Arum? Cestrum Arumdalu?" Bukan sebuah jawaban, Olan justru bertanya kepada sang papa tentang keberadaan Arum di rumah mereka sepagi itu.
Gulzar mengangguk lalu mempersilakan Arum, "Rum, duduk. Sarapan pagi dulu, bukankah itu baik untuk kesehatan?"
"Terima kasih, Pak. Tapi saya__"
"Puasa?" Arum mengangguk. "Bi Tum, tolong beritahu kamar Arum. Supaya dia bisa bersiap-siap, Fio juga belum terbangun karena semalam dia tidur terlalu larut." Arum mengekor langkah wanita yang telah bekerja puluhan tahun di rumah mewah ini.
"Kamu mengenal Arum?"
"Dia teman Carlo, Pa." Olan melahap potongan steak terakhirnya. "Benar ternyata kata Carlo, Arum itu memang istimewa."
"Maksud kamu?"
"Ah papa kepo, biasa urusan anak muda. Kampus dulu, Pa. Tolong papa sampaikan pada Fio kalau bang Olannya sayang Fio setengah mati."
"Setengahnya lagi?"
"Buat Arum dong," Gulzar tersedak seketika. "Aelah Pa, gitu aja pake kesedak. Setengahnya jelas buat papaku yang paling tampan sedunia." Gulzar menggeleng pelan. "Berangkat dulu, Pa."
"Selesaikan kuliahmu segera, papa tidak mau mendengar kamu ambil extend lagi semester depan."
Bukan hari pertama bagi Arum berada di istana ini, tapi sepertinya warna lain telah menggoyahkan pertanyaan hatinya tentang keluarga Fio. Oleander Sheroze, cowok yang suka sekali mengganggunya di kampus pagi ini ditemuinya dengan aura yang berbeda. Jika pendengarannya tidak terganggu pagi ini, Olan merupakan anak dari pria yang telah menghirenya. Itu artinya sesuai dengan cerita Carlo yang tanpa sengaja Arum dengarkan, Olan adalah seorang piatu dan Fio adalah adik yang sangat dia sayang. Kesemuanya mengerucutkan kesimpulan yang akhirnya bisa Arum tarik sendiri dari pengamatannya, Gulzar seorang duda dan Fio tumbuh tanpa kasih sayang dari seorang ibu.
"Astaghfirullahaladziim," bibir Arum bergerak spontan.
"Ini kamarnya, Mbak Arum."
"Terima kasih." Kamar yang jauh lebih besar dari kamar yang Arum miliki di panti asuhan. Meski jika dibandingkan dengan perabotan yang tertata di luar lebih sederhana tetapi bagi Arum perabotan yang tersedia di kamar ini sangat mewah untuk sekelas privat terapis sepertinya. Saat sang ART hendak melangkahkan kaki keluar kamar, Arum menahannya sejenak. "Bi Tum, boleh Arum bertanya?"
"Silakan Mbak."
"Tentang Olan."
"Owh den Olan, ada apa ya Mbak Arum? Sepertinya Mbak Arum mengenalnya?" Arum tersenyum kaku, keterkejutannya masih belum hilang hingga kini.
"Olan itu putra pertama bapak? Kakaknya Fio?"
"Iya Mbak, den Olan itu kakaknya non Fio yang sangat sayang dan perhatian pada non Fio. Saat tahu non Fio didiagnosa dokter menderita autisme, selain Mr. G ya den Olan itu orang yang paling tersiksa. Malahan den Olan ingin mengulang kuliah. Mau ganti jurusan saja, katanya. Apa ya Mbak? Sikotopik, sikotropik, alah bi Tum ora mudeng. Siko-siko pokoknya."
"Psikologi?"
"Nah itu dia, den Olan ingin pindah jurusan psikologi. Tapi Mr. G melarang, karena perusahaan nanti akan diwariskan kepada den Olan. Makanya den Olan harus kuliah ekonomi. Tapi kok ya ndak lulus-lulus, padahal sudah empat tahun lebih."
"Kalau tentang ibu, Bi? Jadi benar beliau wafat karena melahirkan Fio?" Ada raut terkejut yang ditunjukkan oleh bi Tum namun sesaat kemudian dia berhasil menetralkannya kembali.
"Bibi harus kembali bekerja, Mbak. Nanti dilanjut lagi ya ngobrolnya."
Sepeninggal bi Tum, Arum baru menyadari bahwa seringnya Olan berada di Fakultas Psikologi kampusnya bahkan begitu dekat dengan beberapa dosen adalah usahanya untuk bisa membantu Fio.
"Nah ini, mbak Arum sudah datang. Non Fio mau bermain sama mbak Sena atau mbak Arum?" Saat Arum berada di kamarnya Fio, Fio sedang meronta ingin melepaskan diri dari gendongan Sena, babby sitternya.
"Wah Fio sudah bangun, sudah mandi pagi?" Arum menyambutnya.
"Belum Mbak, non Fio histeris dari bangun tidur."
"Semalam, tidur larut Mbak Ana?"
"Iya, Mr. G pulang dari kantor sudah larut malam sedangkan Fio sepertinya ingin tidur bersama papanya." Arum mengusap kepala Fio meski dia terkesan menolaknya.
"Saya telah buatkan menu diet untuk makanan Fio, Mbak Sena. Selama saya berada di sini tolong beri makan Fio sesuai dengan daftar yang telah saya buatkan."
"Baik Mbak, nanti saya sampaikan pada koki untuk membuatkan makanan non Fio sesuai dengan menu yang diberikan Mbak Arum. Saya mandikan Fio dulu."
"Boleh saya saja yang memandikan Fio?"
Tidak butuh waktu lama, Arum mengambil alih tugas Sena untuk mempercantik Fio pagi ini. Tidak ada drama, Fio menjadi sosok penurut di tangan Arum meski sebelumnya sedikit meronta.
"Sudah cantik, kita sarapan ya. Mbak Arum yang akan menyuapi. Makan, apa Fio?"
"Ka__ka."
"Makan," ulang Arum.
"Ka__ka__ka."
Mengurangi tepung dan semua jenis makanan berbahan tepung, gula berlebih termasuk sirup, susu beserta turunannya juga keju dan garam. Diet ketat Fio di bawah pengawasan Arum 24 jam sehari.
Bukan tanpa sebab Arum melakukan sendiri, meski dia tahu bahwa keberadaannya di istana ini bukan sebagai nanny namun Fio adalah prioritas utamanya. Menjadi lebih dekat dengannya adalah tujuannya, sebab itulah yang akan memudahkan untuk melakukan banyak hal bersama Fio.
"Kasihan kamu Sayang. Saat kamu sangat membutuhkan peran ibu untuk memeluk dan mendekapmu, kamu harus berjuang sendiri." Arum bergumam lirih.
"Ka_ka_ka." Suara Fio menyadarkan Arum, makanan yang ada di mulutnya sudah habis tertelan.
Tanpa Arum sadari interaksi manis pagi itu menjadi pemandangan seorang ayah yang sangat mencintai putrinya. Sengaja Gulzar mengulur keberangkatannya ke kantor karena ingin memastikan kerja Arum dengan baik. Tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi hanya karena keteledoran. Kedua matanya menangkap, pikirannya kembali bergeser, mengakui bahwa Arum memang berusaha untuk menjaga Fio dengan baik. Sampai akhirnya kepastian yang diperolehnya membuat hatinya tenang kembali meninggalkan sang putri di rumah bersama Arum, baby sitter dan semua ART yang dipekerjakannya.
Pelajaran Fio hari ini adalah kembali pada fokusnya. Arum mengajaknya mengasah motorik halus dan menyeimbangkan dengan motorik kasar. Pelajaran yang harusnya telah dilalui Fio dari usia 2 tahun namun kembali harus diulang oleh Arum kini.
"Coba Fio masukkan bendanya ke lubang yang sesuai dengan bentuknya." Arum melepas susunan puzzle lalu meminta Fio untuk menyusunnya kembali. "Berhitung Fio, satu."
"Tu,"
"Dua,"
"Wa,"
"Tiga," tidak lagi mendapatkan sahutan. Fio justru asyik dengan kegiatannya.
Interaksi yang cukup manis, terlebih setelah satu aquarium besar menjadi penghuni baru di rumah Fio. Tiga ikan koi berwarna menyala menjadi penghuninya. Mata Fio tidak berhenti memperhatikan hewan kecil yang bergerak lincah di dalam air. Tangannya tergerak ingin mengambil namun kaca tebal sebagai penghalang, membuatnya mengurungkan niat. Fio cukup puas dengan menikmatinya setelah berulangkali Arum menjelaskan untuk membiarkan ikan berenang di aquarium.
"Fio sayang, abang pulang."
"Olan! Bikin kaget saja." Arum memegang dadanya. Dia yang lagi asyik membacakan cerita bergambar untuk mengiring tidur siang Fio terkejut melihat penampakan Olan yang tiba-tiba membuka pintu kamar adiknya.
"Eh lupa kalau ada Arum, Fio tidur ya? Berarti sapaannya dirubah sekarang. Arum sayang, Olan datang untukmu." Olan kembali menjalankan aksinya. Seharian penuh membuntuti Arum dan Fio hingga membuat Arum geram. Menyadari bahwa Olan menyayangi adiknya, tapi bagi Arum semua yang Olan lakukan akan merusak program yang telah disusunnya bersama Fio.
"Lan, pergi ish!"
"Boleh dong, aku lihat bagaimana kamu menerapi Fio. Biar nanti aku juga mahir sepertimu, apalagi kalau Fio sedang tantrum. Fiuhh ngeri Rum."
"Makanya kamu pergi, Fio tidak akan bisa fokus selama ada kamu."
"Aku nggak gangguin dia loh. Aku justru bantuin kamu. Apa yang kamu butuhin aku siapin. Termasuk juga hatiku sebagai pelabuhan cintamu." Arum menggeram. Pernyataan sangat tidak penting, sekali.
"Pergi!"
Kejadian berulang hingga hari keenam dan ini tidak bisa dibiarkan oleh Arum. Dia harus bicara, bukan seperti ini agenda yang ada dalam schedule kerjanya. Sebagai terapis dia memiliki hak untuk mengatur tanpa harus diganggu.
Malam ini Arum sengaja menunggu Gulzar datang, berniat menyampaikan sesuatu sekaligus melaporan grafik perkembangan Fio.
"Arum?" Gulzar memanggilnya di kamar Fio. Arum berhasil membuatnya tertidur setelah drama penolakan Fio untuk segera beristirahat. "Ada yang ingin kamu sampaikan pada saya?"
"Maaf Pak, karena urgensi dan demi progres perkembangan Fio. Boleh kita berbicara di luar, dia baru saja tertidur." Gulzar mengekor kemana Arum melangkah.
Helaan napas dalam, ini bukan kali pertama Gulzar menerima laporan tentang Fio. Ketidaksesuaian antara kenyataan dengan harapannya merupakan salah satu indikasi bahwa Fio harus berusaha lebih.
"Jika diperkenankan, bolehkah saya menjadi nanny untuk Fio sepenuhnya, Pak?" tanya Arum pelan. Menjadi nanny untuk Fio dengan membawa Fio keluar dari rumah nyamannya? Tidak sepenuhnya yakin tapi bagaimana lagi, Arum ingin menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik.
"Maksudmu? Bukankah kamu sudah menginap di sini, meski bukan sebagai nanny tapi cukup bisa mewakili."
"Bukan saya yang menginap di sini, Pak. Tetapi Fio yang akan menginap di rumah saya."
"Panti asuhan?" tanya Gulzar tidak percaya.
Arum hanya bisa mengangguk, setelah banyak bertukar pikiran dengan para seniornya tentang kondisi Fio. Mereka menyarankan untuk mencoba memberikan warna baru kepada Fio, memperkenalkan lingkungan dengan lebih dekat dengan alam dan kehidupan yang normal sebagaimana kehidupan anak-anak pada umumnya. Arum berpendapat bahwa panti asuhan tempatnya bernaung cukup kondusif untuk membuat Fio mengenal teman sebayanya.
"Kamu yakin?" Gulzar bertanya sekali lagi.
"Fio memang bukan kelinci percobaan. Saya telah berkonsultasi dengan terapis senior dan beberapa psikiater, ini yang menjadi saran mereka. Ada baiknya jika kita coba, insyaallah panti asuhan kami bersih dan kenyamanan Fio akan terjamin meskipun hanya tinggal di rumah sederhana."
Sejenak Gulzar berpikir namun akhirnya kembali lagi untuk kebaikan Fio. Terlebih selama seminggu dia mengawasi Arum bekerja, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkannya lagi. Arum membimbing, mendekap bahkan mengajarkan Fio dengan sangat teliti.
Entahlah, mungkin sedikit alasan itu yang membuat Gulzar akhirnya menyetujui saran Arum. Meski Gulzar baru saja mengenal gadis itu, gadis yang baru saja lulus, pengalaman bisa dikatakan belum mumpuni untuk berani memberikan opini tentang kesembuhan Fio. Namun, sepertinya Gulzar menggunakan intuisi dan hatinya untuk menjawab, mempercayakan Fio kepada orang baru setelah banyak usaha dilakukannya untuk Fio.
Hari ini seolah semesta menunjukkan kuasanya, entah apa yang ingin ditunjukkan kepada seorang Gulzar Kairav. Kebungkamannya seakan ingin membuktikan bahwa apa yang kini sedang dipercaya hatinya tidak akan keliru.
🪴🪴
as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--
Sorry for typo
Blitar, Januari 10th 2022
Continuity isn't means how often we do it every day
but how we are responsible for finishing it well.
For a question 👆
Saran dan kritik, disilakan 😍😍
Continued on next chapter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top