-- 03 --
02 ♡ Autism Spectrum Disorder
🪴___________________________
take into account that great love and great achievements involve great risk
.
.
#karospublisherwritingchallenge #flowersseries
___________________________🪴
TENTANG cinta, sepertinya hampir setiap manusia yang ada di muka bumi ini pernah merasakan apa itu yang dinamakan jatuh cinta. Entah itu tentang rasa mencintai ataupun ingin dicintai intinya seseorang memiliki perasaan suka terhadap orang lain untuk bisa dimiliki.
Bukan, cinta tidaklah jatuh melainkan harus dibangun dan tumbuh. Seharusnya para pejuang cinta memiliki pendapat yang sama akan hal itu. Namun tidak demikian adanya ketika trauma masa lalu menjadi sebuah alasan untuk tidak lagi membuka hati, bahkan untuk sekedar mendekati wanita yang sengaja ingin menawarkan hati kepadanya. Sosoknya menjelma menjadi pria angkuh dengan selusin ambisinya mengguritakan bisnis yang dia kembangkan.
Bukan berasal dari kalangan berada. Jika pada akhirnya semua orang memandangnya dengan penuh rasa kagum saat ini, ketahuilah ada luka, air mata, sumpah serapah, semangat juga kerja keras yang menempa seorang Gulzar Kairav bisa berdiri kokoh di titik tertinggi suatu perusahaan besar yang dia bangun dan menjadi miliknya kini.
Evaluasi kinerja karyawan, laporan supply dan demand di pasaran serta pantauan product life cycle perusahaannya menjadi makanan sehari-hari yang harus dicermati dengan sangat teliti. Sebagai pimpinan perusahaan dia harus bisa bersikap bijaksana dan memberikan manfaat pada orang lain, meski terkadang sikapnya cenderung sulit ditebak oleh pegawainya. Suatu ketika bisa menjelma bak malaikat namun terkadang juga berubah menjadi monster yang siap menerkam siapa pun dengan sikap angkuh dan otoriternya.
Yakinlah bahwa setiap manusia memiliki sisi lebih dan kurang, sebagaimana Allah menciptakan segala sesuatu dengan dua sisi yang saling berlawanan. Kurang, bukan berarti tidak bisa dipakai atau justru lebih yang bisa menjadikan seseorang jumawa atas kesombongan, bukan itu. Lebih dan kurang itu akan melengkapi satu dan lainnya dalam segala hal.
"Kosongkan jadwal saya hari ini jam 11.00 sampai jam 13.00!" ini bukan kalimat pertanyaan yang memerlukan sebuah jawaban dan Dino, sang sekretaris sangat memahami walau sesungguhnya tepat jam itu adalah jadwal Gulzar bertemu dengan Mr. Kiano untuk membicarakan ekspor barang mereka ke Inggris dan Perancis.
"Sekedar mengingatkan Mr. G, jam 12.00 Anda memiliki janji makan siang bersama Mr. Kiano yang telah saya jadwalkan sejak dua bulan yang lalu."
"Mr. Kiano?" sepertinya Gulzar berpikir keras untuk menimbangnya. "Ok, kosongkan waktu saya satu jam sebelumnya. Beritahu Damar untuk ke ruangan saya sekarang." Sekali lagi kalimat perintah menguar dari bibir Gulzar.
Tidak ada jadwal yang memberitahukan bahwa ada perekrutan karyawan dari pihak HRD kepada resepsionis hari ini. Namun Delia menerima tamu wanita dengan pakaian yang bisa dikategorikan bukan merupakan pakaian kerja memberitahukan bahwa dia diminta untuk menemui seorang Gulzar Kairav, pimpinan tertinggi di BJ Cigarette.
"Mohon maaf Kak, sudah ada janji sebelumnya?" Delia mencoba bertanya sekali lagi untuk memastikan. Bukan sembarang orang yang bisa bertemu dengan sang CEO.
"Pak Gulzar yang meminta saya menemui beliau jam 11.00 di kantor ini. Silakan Mbak Delia mengkonfirmasi kepada beliau, saya Arum dari Kasih Bunda Florist." Arum menyampaikan kepada Delia dengan sopan. Meski dengan sedikit ragu Delia akhirnya mengangkat gagang telpon interkom yang menghubungkannya dengan sang sekretaris.
Beberapa menit kemudian muncullah wajah Damar, asisten pribadi Gulzar itu berjalan menuju arah kursi dimana Arum dipersilakan duduk oleh Delia. "Selamat siang, Mbak Arum. Pak Gulzar sudah menunggu di ruangannya. Mari saya antarkan ke ruangan beliau." Damar mempersilakan Arum untuk berjalan menuju ke lift.
Seperti jamur yang tumbuh di awal musim penghujan, sepeninggal Damar dan Arum menuju ke ruangan orang nomor wahid di perusahaan itu memunculkan paparazi dadakan yang siap menyebarkan berita paling menghebohkan. Melihat penampilan sederhana Arum jelas itu bukan kolega yang biasa bekerja sama dengan Gulzar. Mereka selalu menampilkan penampilan terbaiknya bukan malah tertutup seperti tampilan yang mereka lihat pagi ini.
"Eh Del, yakin itu dia diundang oleh Mr. G? Kok penampilannya nggak banget ya." Bergosip tentang Gulzar ternyata memang bukan hanya konsumsi kaum hawa saja. Hampir seluruh pegawai yang melihat peristiwa langka itu menjadi bertanya-tanya karena selama ini bos mereka sangat rapi menyimpan siapa sejatinya dirinya dan bagaimana keluarganya. Bahkan pada event family gathering yang selalu diadakan perusahaan satu tahun sekali pun tidak bisa membongkar siapa sesungguhnya keluarga bos mereka.
"Eh kali aja emang selera bos yang begitu, bisa ngademin ati." Suara Bimo, kepala security yang siang ini bertugas untuk menjaga lobi utama.
"Tapi loh sekelas Mr. G yang namanya sudah mendunia. Iya kali selera seperti itu, yang cantik, mulus, bohai dan seksi tinggal tunjuk aja masa begituan yang dipilih. Mana kelihatan masih bocah banget." Delia memberikan analisanya.
"Maksud kamu Mr. G sudah tua begitu Del?" tanya Rahma, sesama resepsionis dengan Delia.
"Usia sudah hampir kepala lima kamu bilang masih anak-anak Ma? Eh bangun, mimpimu kepanjangan," sambut Delia.
"Orang kata mau kepala lima, baru juga empat puluh delapan. Sekarang kan lagi musim anak muda nikah sama duda atau pria yang lebih matang. Selain karena sudah aman dengan keuangan dia juga lebih berpengalaman jadi lebih menantang menaklukkannya." Rahma menjawab dengan sangat antusias.
"Eh busyet, jadi karena itu kamu dulu menolak Bimo? Karena menurutmu dia kurang berpengalaman dan belum aman keuangannya? Atau jangan-jangan kamu masuk dalam Mr. G lovers?"
Berbeda dengan suasana di lobi yang mendadak riuh karena kehadiran Arum, wanita yang berjalan mengekori kemana langkah Damar terhenti ini masih bertanya-tanya dalam hati. Ada gerangan apa tiba-tiba seorang pimpinan perusahaan besar mengundangnya untuk bertemu langsung dengan dia di kantor. Apa benar yang bu Nur katakan, siapa tahu Arum ketiban durian runtuh.
Dari sekian banyaknya pertanyaan akhirnya tak satu pun ada yang terjawab karena sesungguhnya jawabannya akan Arum temukan setelah dia bertemu dengan pria bernama Gulzar Kairav. Hingga lamunannya terkoyak manakala suara Damar menggema di telinganya.
"Silakan masuk Mbak Arum, bapak sudah menunggu di dalam." Bapak sudah menunggu di dalam, otak polos Arum berkelana liar, apakah dia terlalu banyak menonton drama bersambung hingga harus memberikan paradigma negatif untuk seorang bos yang menyediakan waktu khusus menerima seorang tamu wanita yang belum dia kenal, bahkan tidak ada hubungan bisnis diantaranya.
"Mas Damar tidak ikut masuk?"
"Tadi bapak berpesan untuk mengantarkan mbak Arum sampai depan pintu saja, silakan masuk. Meja saya di sana kalau mbak Arum butuh sesuatu nanti." Benar sudah, pikiran negatif itu semakin berkembang dengan subur di otak Arum. Jika bukan karena ibunya yang meminta dia bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di tempat horor seperti ini.
"Emm," Arum masih ragu untuk melangkah. Mengetahui akan hal itu Damar akhirnya berinisiatif untuk membukakan pintu dan mengantarnya hingga ke dalam ruangan. "Maaf Pak, ini mbak Arum."
"Terima kasih, kamu silakan keluar."
"Baik."
"Tapi Mas Damar__" Arum masih meragu, "iya Mbak Arum, ada yang bisa saya bantu lagi?" belum sampai Arum menjawabnya isyarat tangan Gulzar telah memintanya untuk meninggalkannya berdua dengan Arum. Sepenting itukah pembicaraan mereka hingga asisten pribadi tidak diperkenankan untuk mendengar serta?
"Arumdalu, silakan duduk." Bukan di depan meja kerjanya, Gulzar menyilakan Arum untuk duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut.
"Maaf Pak, tapi bukankah sebaiknya mas Damar ada diantara kita supaya tidak hanya berdua di dalam ruangan ini?" Arum memang harus menyampaikan karena setiap dua diantara lawan jenis yang ketiga adalah syaitan namun Gulzar justru memperlihatkan gigi putihnya yang rapi, manis.
Jawaban selanjutnya bukan dari bibir Gulzar melainkan laki-laki setengah usia itu hanya menyerahkan sebuah amplop berlogokan sebuah rumah sakit terkenal kepada Arum kemudian melangkah menuju ke sebuah meja. "Kopi atau teh?"
"Saya puasa hari ini Pak Gulzar." Gulzar akhirnya mengurungkan niatnya untuk menekan tombol coffee maker yang ada di ruangannya. "Maaf saya tidak tahu."
"Ibu kemarin menyampaikan pesan dari Pak Gulzar untuk bisa menemui Bapak jam 11 siang hari ini. Maaf kalau boleh tahu__"
"Kamu penerima beasiswa prestasi dari BJ Cigarette?"
"Benar Pak."
"Fakultas Psikologi semester akhir?"
"Tinggal menunggu wisuda."
"Freelance di salah satu lembaga psikologi?"
"Benar Pak."
"Silakan kamu buka amplop itu, akan saya jelaskan setelah kamu membacanya." Gulzar memerintahkan Arum untuk membuka amplop yang diberikan olehnya.
Perlahan jemari Arum membuka amplop berlogo rumah sakit itu kemudian membacanya. Sebuah nama tertulis jelas di dalamnya, Fiorenza Eshal, seorang anak perempuan berusia lima tahun yang dinyatakan dokter menderita autism spectrum disorder lengkap dengan speech delay. Ini bukan hal yang baru bagi Arum, di lembaga tempat dia bekerja magang freelance banyak kasus seperti yang kini sedang diderita oleh Fio.
"Ini__?"
"Itu Fio, putri kecil saya. Dia didiagnosa menderita autisme sekaligus speech delay yang membuatnya susah untuk berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan saya sebagai ayahnya. Sudah berkali-kali saya mencoba untuk memberikan terapi dengan memanggil terapis juga membawa dia ke lembaga psikologi anak namun hasilnya nihil. Fio tetap asyik dengan dunianya sendiri bahkan terakhir dia selalu histeris ketika psikolognya tiba di rumah." Kini Arum mulai mengerti, korelasi antara seorang CEO yang memanggil dirinya ke kantor dengan apa yang sekarang dia pegang, mungkin juga dengan beasiswa yang kini dia peroleh.
"Jika kampus tidak salah memberikan rekomendasi untuk mahasiswanya yang berhak mendapatkan beasiswa prestasi dari perusahaan saya, sebagai calon psikolog kamu pasti tahu mengapa saya mengundangmu untuk datang ke sini siang hari ini."
"Sebagai terapis untuk Fio?" Arum menjawabnya terbata, takut jika dia memberikan jawaban yang keliru.
"Tidak ada orang tua yang tidak ingin memberikan yang terbaik untuk putra-putrinya, termasuk juga dengan saya. Damar akan mengantarkanmu kepada Fio," Gulzar menerawang jauh. Seolah ada beban yang menghimpit kehidupannya namun enggan untuk dia bagi kepada orang lain. "Satu hal yang perlu saya sampaikan, Fio itu sangat istimewa bagi saya. Tentu saya tidak akan menerima penolakan dengan alasan apa pun atas penawaran ini. Kamu tentu sudah sangat mengerti dengan apa yang telah kamu tanda tangani dulu ketika bersedia menerima beasiswa dari perusahaan saya."
Tidak ada bantahan, Arum masih mengingat dengan pasti apa yang telah dia tanda tangani empat tahun yang lalu. Penerima beasiswa, berarti siap untuk diambil tenaganya oleh perusahaan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh perusahaan. Bukan masalah besar bagi Arum karena dia akan bekerja dengan baik terlebih sebagai privat terapis seperti kasus Fio ini.
"Ini foto putri saya, saya harap kalian bisa berteman." Paham akan etika ketika Gulzar berdiri, Arum segera berkemas dan mengikuti untuk berdiri kemudian segera pamit karena informasi yang dia harus dia ketahui tentang Fio sudah lebih daripada cukup. Selebihnya Arum akan mencoba berinteraksi sendiri dengan Fio sebagai anak terapinya, Arum selalu menyebutnya seperti itu "Jikalau begitu saya permisi, Pak. Terima kasih telah mempercayai saya. Mengenai waktu, saya hanya ingin meminta izin kepada Bapak terkait dengan wisuda saya. Selebihnya saya mengikuti jadwal dari Fio, kapan dia bisa bermain dengan saya."
"Ok, tidak menjadi masalah." Kesepakatan deal, Arum keluar dari ruangan Gulzar dengan hati gembira. Benar kata bu Nur, tidak baik memberikan prasangka kepada orang lain namun kita wajib dengan prinsip kehati-hatian. Jaman semakin modern membuat banyak otak modern yang memodernisasi kejahatan baik itu secara terang-terangan ataupun secara terselubung.
Diantarkan Damar, akhirnya Arum bisa berkenalan dengan Fio di kediaman sang CEO. Melihat paras cantik Fiorenza pasti tidak akan ada yang menyangka bahwa dia menderita autisme. Tidak, Fio tidak sedang sakit karena autisme bukanlah sebuah penyakit hanya saja otaknya bekerja dengan cara yang berbeda dari orang lain. Bola matanya yang indah menarik setiap mata untuk menyapa tidak memberikan tanda bahwa dia merupakan anak yang tidak bisa fokus atas apa yang seharusnya dia lakukan.
Fio menderita gangguan perkembangan saraf yang memengaruhi perkembangan bahasa dan kemampuannya untuk berkomunikasi, berinteraksi, serta berperilaku. Karena hal inilah yang membuat Arum bersiap dengan sebuah penolakan. Fio akan sulit untuk mengekspresikan diri, baik dengan kata-kata atau melalui gerak tubuh, ekspresi wajah, dan sentuhan. Arum bersiap untuk itu.
"Hai Fio," Arum menyapa sekilas. Tidak ada balasan, Fio masih asyik dengan dunianya sendiri. "Mas Damar, saya bisa ditinggal saja dengan Fio berdua. Nanti saya bisa pulang sendiri."
"Maaf Mbak, tapi bapak meminta saya untuk mengantarkan mbak Arum sampai ke rumah nanti," jawab Damar.
"Kalau begitu, bisa tinggalkan kami berdua untuk sementara waktu. Maaf, tapi untuk membuat fokus Fio pada satu titik kami memang harus ditinggal berdua."
"Oh begitu, baik. Nanti mbak Arum bisa menelpon saya, ini nomornya." Setelah memberikan sebuah kartu nama, Damar meninggalkan Arum bersama Fio berdua di ruang bermainnya.
Sesuai prediksi Arum, pertemuan pertama mereka bisa dikatakan gagal. Fio sama sekali bergeming, seolah enggan, untuk menatap pun dia tidak menginginkan. Pertemuan kedua, ketiga, kelima bahkan hampir seminggu ini Arum datang setiap ke kediaman Gulzar untuk bertemu Fio, anak usia lima tahun itu hanya asyik dengan dunianya sendiri tanpa berminat untuk menerima hadirnya orang baru di sekitarnya.
"Fio, mbak Arum datang lagi. Fio mau bermain apa?" Mungkin jika Arum pernah merasakan sakit hati karena ditolak cintanya, maka saat ini pun sepertinya rasanya hampir sama dengan itu atau bahkan lebih sakit. Sayangnya Arum belum pernah merasakan jatuh cinta kepada laki-laki sehingga dia tidak bisa membandingkannya.
"Fio, lihat mbak Arum bawa apa?" Arum menunjukkan benda bergerak yang ada di sebuah toples transparan. Fio mulai merespon, kakinya tergerak untuk mendekati Arum, matanya mulai berani menatap Arum. Bibirnya bergerak tapi tidak terdengar kalimat dengan jelas.
Bibir Arum tersenyum, sepertinya ikan mas koki yang ada di tangannya berhasil membuat Fio melihat dirinya. Setidaknya satu kunci berhasil dipecahkan untuk bisa melebur dalam jiwa Fiorenza Eshal. Lebih membahagiakan lagi ketika mata Arum menangkap bibir Fio tertarik dan melengkung ke atas. Foila, di hari keenam pertemuan mereka, Fio berhasil tersenyum karenanya.
🪴🪴
as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--
Sorry for typo
Blitar, Januari 6th 2022
Believe, that change just takes a time
Give it to me to understand
Continued on next chapter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top