-- 02 --
01 ♡ Predestinasi
🪴___________________________
be mindful, be grateful, be positive, be true and be kind
.
.
#karospublisherwritingchallenge #flowersseries
___________________________🪴
MEMOMPAKAN semangat kepada diri sendiri, sedari awal memang sudah menjadi sosok yang mandiri, tidak ingin menggantungkan pengharapan kepada sesamanya atau bahkan lebih sering dikenal dengan metode mandiri tak berkesudahan. Terkadang air mata mengalir di pergantian malam manakala mata enggan untuk terpejam. Banyaknya pertanyaan yang bahkan sampai pada usianya menginjak angka 24 tahun belum satu pun dari pertanyaan-pertanyaan itu mendapatkan jawaban. Atau mungkin garis takdirnya memang ditulis Allah demikian hingga dia bisa selalu dekat dengan sang penciptanya.
Cestrum Arumdalu, singkat cerita gadis yang mulai menginjak dewasa ini ditemukan di depan panti asuhan 24 tahun yang lalu oleh ibu pemilik panti bersama popok dan sekerdus susu. Rinai gerimis seolah menjadi saksi di malam itu, meski sedang berkabung dia tetap mengambil haknya untuk menyapa semesta. Menjadikan awal perkenalan bu Nuriyah dengan Arum, bayi cantik dan harum ibarat bunga arum dalu di tengah pekatnya mendung dan rintik hujan yang menyapa bumi.
"Arum, mata kamu kenapa bengkak seperti itu lagi. Semalam streaming nonton drakor lagi?" suara bu Nur membuat Arum mengucek matanya kembali.
Beberapa hari yang lalu bu Nur mendapatinya menangis sesenggukan saat menikmati serial dari negeri gingseng itu. Meski bukan termasuk dalam kategori hobby namun sesekali menikmatinya bisa membuat emosi Arum melebur bersama alur yang disuguhkan.
Semalam Arum memang menangis tapi kali ini bukan karena dia menonton drama Korea melainkan karena ucapan salah seorang yang dia temui di tempat terapi kemarin siang. Ya, sebagai mahasiswa psikologi tingkat akhir Arum bisa bekerja sebagai tenaga freelance di salah satu lembaga psikolog terkenal di kotanya. Bekerja part time sebagai salah satu terapis magang yang biasa mendampingi terapis profesional untuk membantu menyelesaikan masalah beberapa pasien mereka.
"Nggak Bu," jawab Arum.
"Lalu mengapa matamu bengkak seperti itu kalau bukan karena menangis. Kamu ada masalah di kampus atau jangan-jangan kamu ada masalah di tempat kerja?"
"Bukan masalah Bu."
"Dengarkan ibu," bu Nur meminta Arum untuk memperhatikannya, "dari awal ibu mengenalmu, ibu telah menganggapmu sebagai anak ibu sendiri. Almarhum bapak juga begitu bahkan beliau yang selalu mengatakan kepada ibu jika tidak ikhlas membiarkanmu untuk diadopsi orang lain karena kami ingin merawat dan membesarkanmu sendiri. Jadi jangan pernah menutupi apa pun dari ibu, meski ibu ini bukan ibu kandungmu tapi ibu tahu persis kalau kamu habis menangis semalam. Ada apa, ayo ceritakan pada ibu." Jika sudah seperti ini Arum hanya bisa duduk dan akhirnya bercerita kepada wanita yang telah menyelamatkan hidupnya.
"Kemarin Arum bertemu dengan seorang wanita yang mengantarkan anak dan cucunya ke lembaga, Bu. Menantunya baru saja meninggal karena kecelakaan saat hendak pulang dari rantau meninggalkan istri dan seorang anak yang ternyata menderita Down Syndrome."
"Innalillahi wa innailaihi rojiun. Lalu?"
"Bu Hanin, nama beliau bu Hanin. Anaknya menderita depresi karena belum bisa menerima kenyataan kalau suaminya telah meninggal bahkan sempat berniat untuk bunuh diri." Arum menyelesaikan ceritanya.
"Subhanallah__"
"Arum jadi ingat nasib Arum sendiri Bu, semalaman Arum berpikir betapa Allah begitu sayang kepada Arum. Meski mungkin kedua orang tua Arum tidak menginginkan Arum hadir ke dunia ini tapi Allah mengirimkan ibu dan bapak sebagai tangan kepanjangan Allah untuk merawat Arum. Rasanya sampai detik ini belum cukup bakti Arum kepada kalian sebagai ucapan terima kasih." Air mata yang sejak semalam telah mengalir kini kembali menggenang dan tak kuasa untuk menahannya lebih lama lagi. "Jika bukan karena kalian, didikan kalian, kasih sayang yang kalian beri mungkin Arum bisa tumbuh namun belum tentu bisa sebaik dan sebahagia sekarang."
Tidak ada kalimat yang terucap sebagai tanggapan ungkapan perasaan Arum. Bu Nur langsung meraihnya dalam pelukan.
"Percayalah, Allah tidak akan membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kesanggupannya." Bu Nur berbisik lirih sambil menghapus air mata keduanya. "Ibu bangga memilikimu, sekali lagi jangan pernah menganggap ibu sebagai orang lain bagimu. Keluargamu ya ibu dan kedua kakakmu yang kini sudah bahagia dengan keluarga mereka. Tugas ibu tinggal kamu, menyerahkanmu kepada laki-laki yang harus bisa menjadi imam, membimbingmu dan membiarkanmu tumbuh dengan penuh kasih."
Berbicara mengenai pasangan hidup, bagi seorang wanita seusia Arum memang telah layak berganti predikat menjadi seorang istri. Namun berbeda cerita dengan kisah Arumdalu, wanita muslimah yang harusnya memiliki nasab jelas sebagai gerbang utama menuju ibadah terlama sepanjang usia justru dia sendiri masih belum tahu siapa yang paling berhak menyerahkan dirinya kepada calon suaminya kelak. Meski hakim bisa menjadi wali secara syariat namun tidak ada yang berhak menyalahkan jika Arum ingin sekali mengetahui siapa orang tuanya dan atas alasan apa mereka tidak bersedia merawatnya.
Yang Arum tahu dia hanya butuh maju dan membuktikan untuk tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Menjadi bintang kelas, menjelma menjadi sosok pemaaf dan melihat segala sesuatu dari berbagai aspek. Menyadari dari awal bahwa hidup tidak akan pernah bisa terlewati mudah tanpa melakukan usaha dan mencoba untuk bisa. Hingga beasiswa dari sebuah perusahaan diterimanya hingga dia menyelesaikan kuliah.
"Jangan terburu-buru. Menikah itu bukan siapa cepat dia yang akan dapat, namun dapat di waktu yang tepat dengan imam yang sesuai dan disesuaikan Allah sebagai pelengkap imanmu." Bu Nuriyah memberikan nasihatnya kepada Arum.
"Iya Bu, terima kasih selalu mengingatkan akan hal itu." Arum menggenggam jemari bu Nur yang mulai keriput termakan usia.
"Hari ini kamu tidak ke kampus kan? Bantu ibu merawat bunga di depan ya, ibu dapat proyek besar sebagai pemasok tanaman hias seluruh gedung perusahaan terkenal."
"Benaran Bu? Alhamdulillah, rezeki Ibu untuk kita itu. Hari ini milik Ibu pokoknya, emang perusahaan apa yang sudah MoU dengan florist kita, Bu?"
"Black Jack Cigarette," jawab bu Nur.
"BJ Cigarette itu kan perusahaan yang memberikan beasiswa untuk Arum, Bu. Wah kesempatan ini, nanti biar Arum saja yang mengantarkan ke perusahaan itu Bu, siapa tahu mereka butuh tenaga kerja dari ilmu yang Arum miliki, seperti dalam kesepakatan pemberian beasiswa dulu."
"Itu yang ingin ibu ceritakan kepadamu dari kemarin, tapi sepertinya kamu sibuk sekali di kampus untuk revisi skripsi guna mengejar bisa ikut wisuda periode ini dan juga pekerjaanmu di lembaga psikologi itu." Bu Nur mengajak Arum berpindah tempat ke toko bunga yang ada di depan rumah sekaligus panti asuhan miliknya.
"Dulu ibu memberimu nama Arumdalu karena ingat bunga ini, Rum." Suara bu Nur kembali terdengar di telinga Arum. "Ibu berharap ketika kamu besar kamu menjadi orang sebagaimana filosofi bunga arum dalu itu."
"Maksud ibu Arum kecil seperti arum dalu ini, Bu?"
"Bukan begitu, maksudnya meski mungkin kamu kecil karena kita bukan berasal dari turunan orang berada alias kawula alit, tidak terlihat orang lain tapi harummu bisa dinikmati oleh mereka. Kamu bisa berguna dan dibutuhkan oleh masyarakat tanpa harus menjelaskan kamu ini siapa mereka akan tahu dengan sendirinya karena bau harum yang kamu sebarkan itu." Sekali lagi Arum menghela napasnya, ini bukan kali pertama dia mendengar arti nama yang diberikan oleh bu Nuriyah untuknya namun tetap saja Arum menyukai itu.
"Lalu mengapa ada Cestrum-nya Bu? Waktu Arum kecil bahkan sampai dewasa teman-teman Arum suka meledek jangan dekat-dekat Arum nanti hangus kebakar loh karena kesetrum." Dulu ketika kecil Arum suka sekali marah ketika teman-temannya meledek seperti itu namun bu Nur mengajarkan bagaimana caranya untuk bersabar.
Percakapan ibu dan anak ini mengalir natural sebagaimana perbincangan ringan antara ibu dan anak dalam merawat tanaman. Berbagi ilmu atas banyak hal diselingi dengan guyonan untuk menyegarkan suasana.
Bak keluarga yang bahagia, nampak roman kebahagiaan yang tulus itu terpancar dari wajah mereka. Tertawa bersama saat salah satu atau dua orang diantara mereka sedang melucu atau mencoba untuk berperangai aneh. Namun semuanya harus terhenti saat sebuah sedan mulus warna hitam berhenti tepat di depan toko bunga mereka.
"Damar, benar florist ini yang kemarin terpilih untuk memasok tanamannya ke kantor?" Pertanyaan pertama yang keluar dari bibir seseorang yang masih berada di dalam mobil sedan hitam itu kepada pegawainya saat sang driver yang hendak membukakan pintu untuknya.
"Benar Pak."
"Yakin kamu? Ini hanya toko bunga kecil, yakin dia sanggup untuk memenuhi pesanan kita?" Jika bukan karena bu Nur selalu berpesan bahwa pembeli adalah raja, rasanya Arum ingin sekali langsung menegur laki-laki dibalik kacamata hitam yang kini keluar dari mobil mulusnya.
Orang yang terdeskripsi melalui penampilannya memiliki banyak harta itu bukan berarti bisa dengan mudah meremehkan orang lain. Sayangnya, Arum masih memegang etika ketimuran. Meski cacing tanah pun akan menggeliat ketika diinjak namun tetap saja sopan santun yang diajarkan oleh ibunya tidak akan menguap begitu saja.
"Selamat Pagi, Pak. Meskipun toko bunga kami kecil dan bahkan mungkin tidak terlihat di mata Bapak. Namun selama lebih dari tiga puluh tahun ini berdiri belum sekali pun mengecewakan pelanggan. Kehormatan bagi kami untuk bisa memberikan kepuasan kepada pembeli walau hanya dipandang sebelah mata." Lantang suara Arum mengusik gendang perungu si empu hingga perhatiannya tertuju penuh kepada gadis yang beranjak dewasa ini.
"Bu Nur__" sapa Damar kepada bu Nuriyah yang disambut hangat oleh wanita paruh baya itu. "Maaf, ini Pak Gulzar Kairav pimpinan tertinggi kami. Bermaksud ingin melihat tanaman yang kemarin ibu tawarkan untuk perusahaan kami."
"Oh, selamat pagi Pak Gulzar saya Nuriyah. Benar seperti kata mas Damar yang kemarin datang kemari untuk melihat-lihat kebun kami." Meski sudah memperkenalkan diri namun Gulzar belum fokus sepenuhnya kepada bu Nuriyah, matanya masih melirik ke arah Arum.
Mengetahui akan hal itu bu Nur langsung tanggap untuk memperkenalkan Arum, siapa tahu nasib badan sedang mujur mendapatkan durian runtuh. "Maaf Pak Gulzar, itu Arum anak perempuan saya. Maafkan atas ucapannya yang kurang sopan. Dia yang membantu menyiapkan semua pesanan bunga perusahaan yang Pak Gulzar pimpin disela aktivitasnya freelance di salah satu lembaga psikologi."
"Psikologi?" tanya Gulzar spontan.
"Iya. Dan sebagai ibu, saya ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada perusahaan Pak Gulzar yang telah memberikan beasiswa bagi siswa yang berpretasi seperti Arum."
Sedikit terkejut mendengar cerita lugas yang mengalir dari bibir bu Nur namun Gulzar mencoba untuk menutupinya. Bahkan keterkejutannya tidak hilang sampai di situ, melihat apa yang kini ada di hadapannya Gulzar semakin terkejut. Benar apa yang telah disampaikan Damar kepadanya. Kasih Bunda Florist ini memang berbeda dari yang lain.
Don't judge a book by it's cover, jangan pernah menilai sesuatu dari luarnya saja. Gulzar sendiri tidak perlu banyak beradaptasi untuk membangun komunikasi dengan bu Nuriyah. Hingga waktu kunjungannya berakhir dan Gulzar merasa puas atas jawaban bu Nur dan juga barang-barang yang dipesannya.
"Anak ibu siapa tadi namanya?"
"Arum? Arumdalu."
"Namanya seperti nama bunga," kata Gulzar. Ingatannya kembali pada selembar kertas yang dia terima beberapa hari yang lalu dari personalia perusahaannya yang menjelaskan siapa saja penerima beasiswa yang digelontorkan perusahaannya. Nama yang disebutkan oleh bu Nuriyah bisa dipastikan satu diantara beberapa nama yang tertulis pada laporan yang diterima Gulzar waktu itu. Tidak salah lagi, Cestrum Arumdalu, penerima beasiswa prestasi dengan IPK tertinggi dan beberapa prestasi lain sebagai pelengkap resumenya.
"Benar Pak, memang saya memberinya nama seperti nama bunga."
"Iya Arumdalu, tolong sampaikan kepadanya. Besok saya tunggu di kantor jam 11.00, ada yang ingin saya sampaikan kepadanya."
Sekali lagi rezeki tidak dapat ditolak. Jika sesuatu itu akan menjadi milik kita yakinlah Allah tidak pernah salah pintu untuk mengirimkannya. Tentang apa pun itu, dalam hati bu Nuriyah berdoa semoga ada kabar baik dengan dipanggilnya Arum secara khusus oleh Gulzar Kairav ke kantornya.
Berbanding terbalik dengan sikap hangat bu Nuriyah kepada Gulzar dan rombongan sampai dengan mereka meninggalkan toko bunga mereka, Arum masih saja sibuk mencari benang merah apa yang menjadi alasan pimpinan perusahaan besar itu turun tangan langsung melihat ke lapangan dan juga memanggil Arum untuk datang ke perusahaannya.
"Kok sepertinya aneh ya Bu?"
Bu Nur hanya menggeleng perlahan, Arum tahu dia salah dan gestur tubuh ibunya memberikan jawaban untuk tidak berprasangka buruk kepada orang lain karena tidak akan memberikan kenyamanan dan kedamaian di dalam hati. Itu sebabnya dia selalu diingatkan oleh bu Nur, 'jauhilah memperbanyak prasangka karena sebagian prasangka itu adalah dosa.'
🪴🪴
as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--
Sorry for typo
Blitar, Januari 4th 2022
Hehehe,
Difficult, does not mean impossible.
Still learning to let go of attributes.
To the point with a satisfying plot but still be ownself.
Saran dan kritik disilakan______ 😍😍😍😍
Continued on next chapter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top