-- 01 --

00 ♡ Prolog

🪴___________________________

be like a flowers turn your face to the sun
.
.
#karospublisherwritingchallenge #flowersseries

___________________________🪴

Bismillah, semoga Arum bisa menjadi satu di antara banyak cerita yang kalian tunggu

Dari sekian banyak pilihan, terkadang muncul sebuah pertanyaan. Mengapa seolah Allah bersikap tidak adil kepada hamba-Nya? Karena dalam kacamata manusia seringkali adil itu dianggap sama, padahal mungkin kesamaan itu bukanlah hal yang disebut adil oleh Allah.

Memiliki tubuh yang sempurna, dua tangan untuk melakukan banyak aktivitas, dua kaki untuk melangkah, dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar, satu mulut untuk bicara dan tentu setangkup hati untuk bisa merasa. Selain itu, beruntungnya Allah menganugerahkan otak sebagai penyempurna manusia sebagai makhluk hidup ciptaan-Nya supaya mereka bisa berpikir waras, tidak menyalahkan keadaan dan mau berusaha untuk menyelesaikan apa yang dianggapnya sebagai masalah.

"Kamu mengapa menangis lagi, Rino?" Arum menyapa adik panti yang sedang menangis di pojokan kamarnya saat waktu makan malam tiba.

Rino masih diam, walau air matanya tetap mengalir meski tanpa suara raungan selayaknya anak usia 7 tahun. Arum mendekat kemudian mengajaknya bicara, dia yakin telah terjadi sesuatu hal yang menyakiti hati adik pantinya ini.

"Ada apa? Sini cerita sama mbak Arum." Arum mengusap pelan punggung Rino. Anak laki-laki ini jarang sekali mengeluh bahkan hampir tidak pernah menangis sebelum-sebelumnya. Namun sore ini, kali kedua Arum mendapatinya menangis dalam diam. "Ada temanmu yang nakal di sekolah?"

Lagi-lagi Rino masih bungkam sambil memainkan jemari tangannya dan menunduk. Membuat Arum semakin terenyuh, dari kecil mereka berdua ini senasib dan bahkan memiliki cerita hidup yang hampir mirip itu sebabnya Arum merasa sangat dekat dengan Rino. Yang Arum tahu di sekolah Rino memang suka diledek temannya perihal nama yang dia miliki. Rinosaurus, teman-temannya suka sekali memanggilnya seperti itu padahal dari segi tampilan tubuh Rino tidak sama sekali menggambarkan sosok hewan purba yang sudah punah itu. Rino memiliki perawakan kecil namun tingginya lebih dari rata-rata tinggi teman sebayanya.

"Rino, kalau kamu diam saja kan mbak Arum nggak tahu apa masalahmu sampai dua kali ini mbak melihatmu menangis di pojokan kamar. Ada apa?"

"Memangnya salah ya Mbak kalau kita tinggal di panti?" Tiba-tiba suaranya muncul dengan nada bergetar.

"Siapa yang menyalahkan? Ibu Nur merawat kita dengan penuh kasih sayang. Kalau almarhum bapak masih ada di dunia, pasti beliau juga akan merawat kita dengan baik. Teman kamu yang bicara demikian? Ayo coba cerita sama mbak pelan-pelan."

"Tanggal 12 November kemarin sebenarnya di sekolah Rino ada acara father's day. Tapi kan Rino nggak punya ayah, Mbak Arum. Makanya undangannya tidak Rino berikan kepada ibu. Takut ibu jadi sedih mengingat almarhum bapak."

"Lalu?"

"Tanggal 22 Desember kemarin juga ada acara lagi di sekolah untuk memperingati hari ibu. Tapi Rino juga nggak bisa datang sama orang tua." Arum langsung memeluk adik pantinya ini. Mengerti sudah apa yang menyebabkan sang adik menangis sendirian.

"Rino, mbak Arum juga tidak punya ayah dan ibu, tapi mbak Arum punya ibu Nur, punya Rino, punya Devi, punya teman-teman semuanya di panti ini. Apa kamu pernah melihat mbak menangis karena ke sekolah tidak bisa mengikuti event seperti itu?" Rino menggeleng namun beberapa saat kemudian bibirnya bergetar menjawab.

"Tapi Mbak Arum nggak pernah kan disebut sebagai anak haram. Anak haram yang nggak bakalan bisa masuk surga karena lahirnya nggak dikehendaki orang tua lalu dibuang ke panti asuhan? Siapa yang akan mendoakan kita, kalau tidak punya orang tua? Mengapa Allah tidak adil kepada Rino, Mbak?"

Percayalah, tajamnya belati itu masih bisa terkalahkan oleh tajamnya lidah manusia yang tidak memiliki tulang. Anak-anak bisa itu karena belajar, melihat, memperhatikan sekitar, mereplika apa yang ada di lingkungan terdekatnya, lalu melakukan setidaknya apa yang sudah dicatat otak secara otomatis. Bagaimana mungkin anak kelas satu SD sudah mengenal istilah 'anak haram' jika bukan karena diolok-olok temannya. Lalu mereka tahu darimana?


Mudahnya akses internet membuat batasan usia menjadi semakin abu-abu sedangkan filter pertama tontonan anak tidak berfungsi dengan baik, orang tua.

"Rum, kalau kamu yakin ibu akan usahakan biayanya."

"Arum tidak ingin merepotkan Ibu, sungguh." Dilema Arum saat dia telah menyelesaikan SMAnya dan harus memilih untuk melanjutkan kuliah atau tidak karena benturan biaya. Padahal dia merupakan siswa dengan nilai kelulusan tertinggi di kotanya.

"Mbok coba to Rum, tanya gurumu di sekolah. Siapa tahu ada beasiswa dari perusahaan begitu. Dulu banyak kok yang menawarkan begitu apalagi kalau tahu nilai ujian akhir kamu tertinggi se kota."

"Iya Bu, besok Arum tanya-tanya lagi karena kemarin terakhir Arum bertanya belum ada penawaran seperti itu."

"Memangnya kamu ingin melanjutkan belajar apa?"

"Psikologi saja, Bu. Peristiwa Rino beberapa tahun lalu membuat Arum ingin membantu anak-anak seperti Rino." Benar, Rino adalah pembelajaran terbesar hingga Arum juga terlibat langsung dalam pemulihan mentalnya sampai ada keluarga yang bersedia mengambil Rino sebagai anak angkat mereka.

Bisa membantu orang lain itu seolah memberikan nilai kepuasan tersendiri bagi gadis remaja yang mulai menginjak dewasa itu. Hingga sampai hari batas akhir Arum harus mendaftar atau tidak datanglah kabar yang membuat Arum sujud syukur seketika.

"Rum, ini ada tawaran beasiswa dari Black Jack Cigarette Corp. Pas lagi hanya untuk Fakultas Psikologi dengan indeks prestasi cumlaude. Bukannya kamu juga ingin masuk ke psikologi?"

"Benar Bu Ari? Berarti bukan dari semester awal." Masih dengan mode tidak percaya Arum berusaha untuk memastikannya sekali lagi.

"Iya, setidaknya dicoba Rum. Kalau untuk biaya pendaftaran dan SPP semester satu ibu bisa bantu kok. Sayang kalau dilewatkan Rum, beasiswa pendidikan full sampai lulus. Ibu yakin kamu bisa."

Tentang hidup tidak ada yang pernah tahu, rezeki memang telah diatur oleh Allah. Namun sebagai hamba yang diciptakan sempurna dengan akal dan hati nurani jelas manusia harus tetap berusaha untuk menjemputnya.

Do the best let's God do the rest, yang penting berusaha semaksimal yang bisa dilakukan lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah. Itu merupakan pilihan terbaik yang mungkin akan membawa Arum meraih masa depannya dengan lebih tertata.

"Hai Arumdalu, wanginya sampai ke fakultas sebelah loh." Oleander Sheroze, anak Fakultas Ekonomi yang setiap hari ngendon di fakultasnya.

Cowok yang ketampanannya setara dengan Maxime Bouttier ini berulangkali menyapa Arum meski banyak diacuhkannya. Mungkin bagi teman wanita Arum bisa berkenalan dengan Olan itu adalah anugerah namun bagi Arum berdekatan dengan Olan itu sebesar-besarnya musibah. Olan suka sekali menggoda perempuan, namun setelah mereka tergila-gila dia justru berlari menjauh. Sikap yang dirasa Arum sangat tidak manusiawi.

Tidak ingin mengenal Olan lebih jauh, cukup yang diketahuinya, Olan adalah sahabat Carlo yang merupakan teman sejurusan Arum dan sering mengambil mata kuliah yang sama dengannya di setiap semester.

"Rum, kamu itu sebenarnya cantik loh. Tapi karena tidak pernah tersenyum dan tidak agresif jadi kesannya gimana ya?" Kembali suara Olan membuat langkah Arum terhalang ketika dia hendak berjalan menuju perpustakaan.

Olan itu tak lebih dari sosok hantu yang bergentayangan. Bahkan saking seringnya berada di Fakultas Psikologi, Arum menjadi sangsi apakah Olan benar-benar tercatat sebagai mahasiswa atau hanya mengaku saja sebagai mahasiswa biar terlihat keren. Ke sana kemari hanya mencangklong tas, namun entah apa yang ada di dalamnya.

"Eh Arum, meski nama kamu Arumdalu tapi kamu jangan dekat-dekat dengan arum dalu ya. Nanti dia minder, kalah harum sekaligus kalah cantik sama kamu." Di lain hari Olan masih juga berusaha untuk melihat reaksi Arum.

Mendengar itu Arum hanya bisa meremas dada, mengelus hati untuk lebih bersabar menghadapi makhluk jadi-jadian ini di sekitarnya. Dia memilih diam dan tidak ingin menanggapi secara berlebihan. Tapi masalahnya semakin Arum diam, Olan semakin menunjukkan kegigihannya menggoda Arum.

"Lan, sebenarnya apa sih untungnya kamu ngomong begitu padaku. Nggak ada kerjaan banget." Kali ini Arum membalasnya meski tidak dengan kalimat sarkas.

"Ya Allah, Alhamdulillah. Ternyata Arumdalu yang super pendiam ini bisa bicara."

"Memangnya menurutmu aku apa tidak bisa bicara? Aneh." Arum masih melanjutkannya.

"Loh, kamu baru tahu kalau bangsa bidadari itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum saja?"

"Gila kamu, Lan!" Olan terbahak, ujungnya malah membuat Arum bergidik geli karena kelakuannya. Sepertinya kali ini Olan merasa sangat puas bisa menggoda Arum. Si lemah lembut yang selalu memasang wajah dingin di hadapan Olan. Meski dengan sekuat tenaga Olan menebarkan pesonanya, tidak membuat Arum silau.

Terkadang Olan berpikir, apa Arum sengaja menggunakan kaca mata kuda tak kasat mata. Hingga ada cowok yang sayang dilewatkan untuk dipandang hanya dibiarkan lewat begitu saja.

🪴🪴

as ever, press the star for next chapter
--Tekan bintang untuk bab berikutnya--

Sorry for typo
As a God wells, will be update every Wed or Thursday, minimum

Continued in my story 😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top