Act 9: A Stellar Performance

Malam itu, pengunjung Teater Aurora berlimpah ruah. Gedung pertunjukan mungil itu telah bersolek sedemikian rupa untuk acara spesial itu. Lantainya dipel hingga bersih, kursi-kursi kayunya digosok dengan minyak perabot hingga mengkilap. Banner-banner pertunjukan tergantung di dinding. Lampu-lampu sorot warna-warni menyinari panggung. Para hadirin pun tak kalah semarak. Seluruhnya mengenakan pakaian terbaik mereka. Mereka antusias menunggu dimulainya pertunjukan.

Diam-diam, Aria remaja mengintip dari balik tirai beludru merah tebal pemisah bagian depan dan belakang panggung. Gadis itu menelan ludah, gugup. Malam itu, ia mengenakan sehelai gaun pesta berwarna dusty rose yang terbuka di bagian punggung. Bagian roknya mengembang lebar, hingga Aria harus sedikit mengangkat tepinya untuk berjalan. Rambut cokelatnya ditata membentuk ikal-ikal besar, dan dihiasi jepit rambut berbentuk mawar dengan warna senada gaun. Kedua tangannya dibungkus sarung tangan satin setinggi lengan, yang membuat penampilan gadis itu makin serupa penyanyi opera profesional.

Gadis itu tidak melihat March di mana-mana. Setelah gagal memperoleh peran utama, March mendapat peran sebagai Carlotta, penyanyi opera terkenal yang menjadi saingan Christine. Porsinya tentu jauh lebih kecil dari peran Aria. Sejak pengumuman daftar pemain, sangat kentara bahwa March menjauhi Aria. March tak lagi mengajaknya mengobrol di sekolah. Gadis itu juga tak lagi berbicara pada Aria di luar urusan-urusan pertunjukan. Meski March tak pernah mengutarakan keberatannya, Aria yakin March kesal karena Aria menerima tawaran peran dari Tuan Crescendo. Pastilah gadis itu merasa terkhianati.

"Gugup, Aria?" Sonata berjalan menghampirinya. Malam itu, Sonata menjadi pianis. Ia tampak tampan berbalut kemeja putih dan tuksedo hitam. Rambutnya diberi pomade dan disisir ke belakang. Aria tersenyum geli. Menurutnya, Sonata tidak cocok bergaya super-formal seperti itu. Ia lebih suka Sonata yang biasa. Agak berantakan, tetapi sesuai betul dengan usia dan kepribadian cerianya.

"Tidak juga. Aku sudah terbiasa tampil di pertunjukan solo sebelum ini, ingat?" Aria berusaha terlihat tenang. Kebohongan besar, tentu saja. Memang, ia tak menemui kesulitan dengan lagu-lagunya. Namun, sebagai tokoh utama, Aria punya porsi dialog yang lumayan banyak. Bukan hanya itu, akting kali ini jauh lebih menantang! Ia harus memerankan seorang penyanyi opera muda yang lembut dan baik hati, tetapi sekaligus pemberani. Benar-benar berbeda jauh dengan karakter aslinya.

"Huft, kuharap semua akan berjalan lancar." Aria mengembuskan napas panjang. "Bagaimana denganmu, Sonata? Kudengar berita tentang pertunjukan ini sudah sampai ke mana-mana. Guru-guru dan kepala sekolah juga sudah mendengar pengumumannya. Kau tidak tegang kalau mereka datang menonton?"

"Hehe, justru aku senang mendengar mereka sangat antusias. Nyonya Sarabande, wali kelasku, bahkan menyempatkan diri mengevaluasi permainan pianoku tiga hari lalu. Ia banyak memberiku masukan soal emosi yang harusnya kusampaikan ke penonton. Ia juga bilang bahwa aku harus memperlakukan pertunjukan ini seperti orkestra. Aku harus menjadi satu dengan para aktor dan aktris, supaya bisa menampilkan suatu pertunjukan yang utuh. Jadi, mohon kerjasamanya, Aria Winter." Sekonyong-konyong Sonata meraih dan menyalami tangan Aria. "Mari kita suguhkan penampilan terbaik untuk penonton."

"Oi, ayo kumpul! Tuan Crescendo memanggil!" Seseorang memanggil Aria dan Sonata dari arah ruang ganti. Para pemain lain sudah berkerumun di ruang ganti, sementara Tuan Crescendo memeriksa riasan dan kostum mereka untuk terakhir kali. Sekilas, Aria melihat March berjalan dari arah lain. Gadis itu melambai, berharap March akan membalas sapaannya.

March tidak sekali pun menoleh ke arah Aria.

***

Jauh di barisan belakang, Nocturne dan Aria dewasa berdiri menonton jalannya pertunjukan. Di barisan penonton VIP Aria bisa melihat Tuan Waltz, mantan bosnya di Teater Millford. Malam ini, setelah pertunjukan, ia tahu Tuan Waltz akan menawarinya untuk bergabung dalam teater terkenal di Wiltonshire itu. Tanpa dikomando, otak wanita itu spontan mengevaluasi penampilannya sendiri. Di mata sosoknya yang berusia dua puluh empat tahun, penampilannya di usia enam belas tahun biasa saja. Dialognya kaku, ekspresi ketakutannya berlebihan, gerak tubuhnya menggelikan. Tatkala setengah pertunjukan berlalu, Aria sudah berhasil meyakinkan diri bahwa para penonton hanya memujinya karena iba melihat kerja kerasnya.

"Tahukah kau? Mukamu kelihatannya seperti habis melihat comberan yang busuk. Aku tahu kau membenci dirimu sendiri, tetapi agak berlebihan kalau kau sampai jijik melihat penampilanmu di panggung, kan?" komentar Nocturne tiba-tiba.

"Kau memperhatikanku selama ini? Yah, um, tentu saja aku sudah belajar banyak selama beberapa tahun terakhir, dan aku jadi bisa melihat kekurangan-kekuranganku sendiri. Sudahlah, perhatikan pertunjukannya saja!" balas Aria terkejut. Mukanya memerah, malu. Penampilan masa lalunya harusnya jadi konsumsi pribadi saja, tambahnya dalam hati. Ada beberapa alasan mengapa Aria tak pernah ingin orang tuanya merekam drama-dramanya, dan ini salah satu di antaranya.

"Aku yakin Ibu Lullaby, Tuan Waltz, dan para pemerhati teater lain menyadari kekurangan-kekuranganmu," sambung Nocturne. "Mereka benar-benar ahli dalam bidang mereka. Namun, tidakkah kau merasakan semangat membara dari dirimu pada masa remaja? Itulah yang mereka lihat, Nona. Mereka tahu kau punya potensi untuk mekar, dan mereka tak sabar untuk membimbingmu mencapai masa depan itu."

"Nah, sekarang mereka tahu kalau mereka salah." Aria bersesekap dan menyandarkan punggung ke dinding yang dingin. Jemarinya mencengkeram lengan erat-erat, kuku-kukunya yang panjang dan lentik menggores kulit. Wanita itu menggeleng, pelan. Ia ingat, dahulu kala, ia pernah bahagia. Hari-harinya di panggung terasa bagai petualangan yang menyenangkan. Setiap hari pertunjukan tiba, ia bergegas berangkat ke teater dengan penuh semangat.

Entah sejak kapan perasaan itu hilang, batin Aria. Entah sejak kapan musik dan teater yang sangat kucintai berubah jadi beban yang memuakkan. Entah sejak kapan aku benci bangun di pagi hari. Entah sejak kapan latihan terasa begitu melelahkan. Andai aku bisa mengulang waktu, aku mau kembali merasakan semangat itu.

Aria dan Nocturne menonton sampai selesai. Begitu drama berakhir dan para pemain tampil berjajar di panggung, serentak para penonton berdiri dan bertepuk tangan. Nocturne pun turut serta. Tepukan tangannya sendu dan lambat, kontras dengan kegembiraan yang meliputi ruangan. Mendadak saja Aria teringat pada sebuah pepatah. Ia tak ingat siapa yang mengucapkannya, atau seperti apa kalimat persisnya, tetapi kira-kira begini bunyinya:

"Upacara pemakaman sejatinya adalah sebuah perayaan tentang kehidupan. Orang berkumpul untuk mengenang kehidupan brilian yang telah sukses mencapai garis akhir, menangisi kehidupan suram yang layu sebelum berkembang, atau mensyukuri perginya kehidupan kejam yang telah membuat hidup orang-orang lain bagai neraka. Kematian hanya sebuah fase, sama seperti pesta ulang tahun."

"Hei, Tuan Malaikat." Aria berujar. "Aku tidak ingin hidupku dikenang sebagai hidup yang suram. Jadi, kumohon, tolong bantu aku menemukan semangatku yang hilang. Aku ingin memperbaiki kesalahan-kesalahanku di masa lalu, supaya aku bisa menyongsong masa depan dengan semangat baru."

"Itu permulaan yang bagus, Nona." Nocturne mengangguk. "Marilah, akan kutunjukkan. Masih belum terlambat untuk memperbaiki keadaan."

Akhirnya, di part ini Aria mulai punya harapan untuk menjalani hidupnya secara berbeda. Kira-kira, apa yang akan ditunjukkan Nocturne selanjutnya, ya?

(. ❛ ᴗ ❛.)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top