Act 7: The Songwriter
Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Tanpa terasa, tiga tahun sudah berlalu sememjak Aria pertama kali terjun ke dunia teater musikal. Ia mencintai dunia itu. Gadis itu bahkan tidak menyadarinya, tetapi hanya di Teater Aurora ia benar-benar menampakkan jati dirinya. Di sana, ia tak perlu takut candaannya akan dianggap garing. Ia tak perlu takut penampilannya akan dianggap buruk, atau prestasinya dianggap kurang mentereng. Bagi anak-anak, ia kakak perempuan yang menyenangkan dan pandai bernyanyi. Bagi remaja sebayanya, ia gadis yang kalem dan pekerja keras, tetapi tidak membosankan.
Di tempat itu pula, ia pertama kali berjumpa Sonata.
Awal perjumpaan mereka biasa saja. Kala itu, tahun ajaran baru baru saja dimulai. Suatu malam di hari Jumat, saat Aria sedang membereskan panggung sehabis latihan, kepala seorang remaja lelaki menyembul dari balik pintu. Tubuhnya jangkung, kulitnya sedikit cokelat. Ia mengenakan sebuah jaket hoodie biru tua di atas seragam Akademi Musik Virtuoso. Sebuah ransel hitam tergantung di punggungnya, sedang kedua tangannya memeluk sebuah map plastik bening berisi kertas. Air bertetesan dari tepi map, jaket, dan ranselnya. Jejak-jejak berlumpur dari sepatunya tercetak di lantai.
Remaja itu terdiam sejenak begitu melihat Aria. Air terus menetes, menciptakan genangan-genangan kecil berbentuk bulat di lantai yang baru dibersihkan. Sambil merapikan rambut belah tengahnya yang berantakan, remaja itu berucap, "Apa kau melihat Tuan Crescendo? Aku datang mengantarkan pesanannya ...."
"Ah, jangan masuk!" Aria memekik. Matanya melebar melihat genangan air yang makin melebar. "Tunggu di situ, akan aku panggilkan. Jangan bergerak, oke?"
Cepat-cepat gadis itu berlari ke belakang panggung, lalu melongok ke kantor teater. Lima menit kemudian, Aria muncul lagi sambil membawa Tuan Crescendo. Sesuai perintah Aria, remaja tak dikenal itu masih berdiri diam di tempat. Segumpal tisu basah kini teronggok di samping kakinya, sedang genangan-genangan air sudah berkurang. Secara mengejutkan, wajah Tuan Crescendo langsung dipenuhi semangat begitu melihat remaja lelaki itu. Segera ia hampiri si remaja dengan tangan terentang lebar, lalu ia ambil map plastik itu.
"Oh, akhirnya selesai juga! Terima kasih, Sonata. Aku yakin lagu-lagu kali ini tidak kalah istimewa." Tuan Crescendo langsung membuka ritsleting map dan memeriksa kertas-kertas di dalamnya. Sekarang, baru Aria bisa melihat jelas isi kertas-kertas itu. Seluruhnya partitur musik, hasil tulisan tangan. Penggal-penggal lirik lagu tertulis di bawah not-notnya.
Jadi nama orang itu Sonata? Lebih cocok jadi nama perempuan, pikir Aria. Terlebih, remaja itu tidak terlihat seperti seseorang yang telaten duduk berjam-jam di depan meja sambil melamunkan nada-nada lagu, sambil sesekali mencoba bunyi melodi yang baru ia karang pada alat musik favoritnya. Bahkan, andai Sonata tidak mengenakan seragam sekolah, Aria tidak akan menyangka bahwa ia seorang musisi. Ia tampak seperti remaja aktif yang suka berpetualang, yang mungkin mendengarkan musik-musik indie pop sambil berlibur di pantai atau gunung, tetapi tidak pernah membuat lagu sendiri.
"Ah, ya, Aria, ini Sonata, keponakanku. Mungkin kalian sudah saling mengenal di sekolah, ya?" ujar Tuan Crescendo, sama sekali tidak menyadari raut keheranan Aria. "Ia baru pindah ke sini bulan lalu. Selama ini, Sonata yang menggubah sebagian besar lagu untuk teater! Nah, Sonata, ini Aria Winter, salah satu aktris di sini. Sayang sekali March sudah pulang. Besok, datanglah lebih cepat kalau kau mau bertemu March."
"Iya, Paman." Sonata memberi anggukan kecil.
"Nah, kalian, silakan berbincang-bincang! Pak tua ini takkan mengganggu kalian. Kalau kau sudah selesai, kau bisa langsung pulang, Aria! Sudah tidak ada lagi yang perlu dikerjakan hari ini." Sambil bersenandung riang dan menimang-nimang partitur lagu, Tuan Crescendo kembali ke balik panggung.
Aria mengangkat bahu, lalu berbalik hendak mencari tongkat pel dan ember. Ia sudah cukup lelah setelah seharian bersekolah dan berlatih, dan tidak ada yang lebih ia inginkan selain menyelesaikan pekerjaan dan kembali ke rumah. Baru sepuluh langkah berjalan, ia dengar langkah-langkah halus di belakangnya. Refleks, ia berbalik. Rupanya, Sonata mengekorinya. Remaja itu telah meninggalkan sepatu, jaket, dan ranselnya yang basah di dekat pintu.
"Uh, hai. Er, aku hanya ingin tahu di mana alat-alat kebersihan disimpan. Karena akulah orang yang nekat lari menerobos hujan dan membasahi lantai teater, yah, setidaknya biarkan aku yang bertanggung jawab." Sonata tertawa kecil.
"Oh, tentu saja! Ikut aku." Sambil diam-diam menghela napas lega, Aria melangkah cepat menuju sebuah ceruk tersembunyi di samping kiri panggung. Di situ, terdapat tangga menurun yang berujung pada pintu gudang peralatan. Ia serahkan tongkat pel, ember persegi beroda, dan sebotol obat pel pada Sonata, yang agak kebingungan menatap benda-benda itu.
"Isi tiga perempat embernya dengan air, lalu campurkan obat pelnya. Tidak usah banyak-banyak, cukup satu tutup botol penuh saja," ujar Aria begitu menyadari Sonata berusaha mencari petunjuk penggunaan pada botol yang labelnya sudah pudar itu. Sonata langsung ber-oh pelan, lalu bergegas mengambil air di toilet.
Beberapa saat kemudian, remaja itu sudah sibuk mengepel lantai area kursi penonton, sedang Aria kembali membersihkan panggung. Mereka bekerja dalam diam. Hanya suara gesekan, kelotakan, perasan air, dan detak jam dinding yang terdengar. Aroma apel yang kuat memenuhi udara.
"Kau tahu, tidak kusangka hari ini aku bertemu dengan Aria Winter yang terkenal itu," celetuk Sonata sekonyong-konyong. "Aku banyak mendengar tentangmu dari March."
"Apa?" Aria menoleh.
"Kubilang, aku banyak mendengar tentangmu." Sonata mengangkat kepala dan tersenyum ramah. "Aku mendengar tentang Aria Winter yang jadi siswi teladan Akademi Musik Virtuoso. Aria Winter yang kalem dan rajin, tetapi sekaligus baik hati dan suka menolong. Aku penasaran, orang macam apakah kau sebenarnya."
"Jadi kau mengujiku dengan cara muncul dalam keadaan basah kuyup?" Aria tersenyum simpul. "Supaya kau bisa mengira-ngira seperti apa sikapku?"
"Astaga, tentu saja tidak!" Spontan Sonata tertawa terbahak-bahak. "Itu murni kenekatanku sendiri, ditambah langit Ervington yang hari ini lagi tidak bersahabat. Namun, setidaknya aku jadi tahu kau memang seperti yang kubayangkan, jadi, yah, mungkin aku tidak terlalu apes hari ini."
"Memangnya dari mana kau mengenal March?" balas Aria sambil mengangkut sekardus penuh lampu-lampu Natal. "Juga, kalau kau memang benar-benar serius ingin jadi musisi, mengapa baru masuk ke akademi sekarang?"
"Yah, beberapa orang punya orang tua yang tinggal seratus delapan puluh kilometer jauhnya dari Ervington, Aria." Sekali lagi Sonata tertawa. "Dad dimutasi oleh kantornya dua bulan lalu. Jadilah kami sekeluarga pindah ke sini! Soal pertanyaan kedua, dahulu March tetanggaku. Orang tua kami bersahabat erat. Waktu hendak pindah, aku banyak bertanya soal kehidupan di Akademi Musik Virtuoso. Kedengarannya cukup kompetitif, tetapi masih terdengar wajar."
"Oh, percayalah, kau hanya belum bertemu dengan mereka yang benar-benar kompetitif. Namun, kurasa kau takkan punya banyak masalah. Kau terlihat seperti orang yang mudah berteman." Aria meletakkan kotak terakhir di belakang panggung, lalu duduk dengan kaki menggantung di tepian panggung. Sesaat matanya menerawang, selagi ia teringat akan hari-hari kelamnya di sekolah dasar.
"Kuharap itu benar, Aria. Kita tidak sekelas, tetapi semoga kita bisa banyak berjumpa. Aku masih butuh banyak bimbingan." Sonata berdiri menghadap gadis itu sambil bertopang dagu pada tongkat pel. Remaja itu tersenyum simpul, mata hitamnya menatap Aria penuh isyarat.
Tanpa sadar, Aria mengangguk. Saat itu, gadis itu tidak tahu apa yang membuat Sonata tampak berbeda dari remaja-remaja lelaki lain yang ia kenal. Ia juga tidak tahu bahwa remaja itu kelak akan menjadi kekasihnya selama lebih dari lima tahun. Namun, ia punya satu firasat, dan biasanya firasatnya selalu benar.
Sonata akan membawa kemajuan-kemajuan besar dalam hidupnya, sekaligus jadi penyebab kekacauan yang mustahil ia benahi.
Akhirnya aku bisa up juga (。ŏ﹏ŏ)
Kekuatan deadline memang luar biasa, gaes, jangan diremehkan. Anyway, habis ini aku akan berusaha buat lebih cepat up, plus mampir ke cerita-cerita peserta lain yang belum kutengokin. Semangat!
ᕙ( • ‿ • )ᕗ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top