Act 6: Theatre of Dream

Aria dan Nocturne menyusuri jalan-jalan pinggiran Kota Ervington yang ramai. Meski masih terletak di kota yang sama dengan rumah masa kecil Aria, Akademi Musik Virtuoso memang terletak di area kota tua, menempati bekas mansion milik seorang earl yang meninggal tanpa memiliki anak. Hanya ada toko-toko kecil yang kuno di sana, dijaga orang-orang yang sama tuanya. Udara beraroma roti, masakan rumahan, dan rumput yang baru dipotong. Perpaduan langkah kaki di trotoar berbatu dan dering bel sepeda menghasilkan irama yang enak didengar.

Di ujung jalan, berdiri sebuah gedung pertunjukan. Ukurannya tidak besar, hanya kira-kira dua ratus meter persegi. Arsitekturnya khas zaman Victoria akhir. Namun, gedung itu terawat dengan baik. Seluruh dindingnya dari bata merah, masih terlihat kokoh meski sedikit berlumut. Poster pengumuman jadwal pertunjukan tergantung pada pilar kembar beranda depannya. Pintu depannya berdaun dua, terbuat dari kayu yang kokoh. Sore itu, pintu itu sedikit terbuka. Dari dalam, kedengaran suara anak-anak dan remaja yang sedang berlatih peran. Diam-diam Aria mendekat, lalu mengintip mereka.

"Peter Pan," ucap Aria sambil tersenyum tipis. "Pertunjukan teater pertama yang kutonton waktu masih kecil dulu. Ah, itu salah satu dari sedikit momen yang kurindukan dari masa kecilku."

Mereka menyelinap masuk, lalu duduk di kursi penonton yang kosong sembari memperhatikan para pemain. Anak-anak lelaki berlompatan dan  berteriak-teriak ribut waktu memeragakan adegan pertarungan melawan para bajak laut. Waktu pemimpin teater muncul dan menyuruh mereka istirahat, mereka masih asyik bergulat dan tertawa-tawa. Baru setelah seorang gadis remaja bergaun biru langit keluar membawa dua kotak pizza, anak-anak itu berhenti.

"Kerja bagus, kawan-kawan! Sekarang, mari kita isi tenaga kita!" Gadis itu berseru. Badannya padat berisi, tetapi atletis. Rambut merahnya sangat ikal, hampir-hampir keriting. Iris matanya hijau jernih, kulitnya putih dengan bintik-bintik cokelat di pipi. Gerak-geriknya gesit dan luwes, bagai sedang menari di atas panggung. Anak-anak usia sekolah dasar itu langsung menyerbu kotak pizza. Sang pemimpin teater, seorang pria gemuk berwajah ramah berambut dan berjenggot putih bak Sinterklas, menepuk-nepuk pundak gadis itu sambil menyuruh anak-anak berbaris.

"March Hamilton, teman sekelasmu. Tadi aku melihatnya di bangku barisan belakang. Kau sering diam-diam menontonnya berlatih, bukan?" Tiba-tiba Nocturne berkomentar. Spontan wajah Aria memerah seperti maling tertangkap basah. Walau tidak ada yang bisa mendengar mereka, tetap saja rasanya memalukan bila seseorang tahu-tahu menyerukan kebiasaannya mengintip!

"Seandainya kau bukan makhluk gaib, aku pasti sudah melaporkanmu ke polisi atas dugaan penguntitan," sahut Aria tajam. "Yah, beruntunglah dirimu karena tempat ini sangat cantik. Aku tidak pernah bisa marah-marah di sini."

"Sudah kubilang aku tahu segalanya tentangmu, termasuk sifatmu yang keras kepala dan merepotkan itu. Daripada berdebat, lebih baik kaupikirkan apa yang terjadi setelah ini. Semua ini ada kaitannya dengan masalahmu yang belum selesai, tahu," balas Nocturne dengan nada bosan. Pria itu duduk dengan kaki bersilang, sebelah tangannya menopang dagu. Nyata benar bahwa ia tidak terkesan oleh akting—ralat—permainan anak-anak di panggung.

"Hmph, baiklah." Aria bersedekap dan menyandarkan punggung. "Awalnya tidak sengaja. Setiap kali aku berjalan pulang, aku mendengar keramaian dari dalam sini. Suatu hari, aku iseng-iseng mengintip. Ternyata aku menyukainya. Dunia drama musikal itu, ah, bagaimana aku menjelaskannya, ya? Ia berbeda dari opera klasik yang selama ini kupelajari. Ia terasa seperti kebebasan. Indah, menarik, dan modern. Nah, perhatikan pintu depan itu. Seharusnya, hari ini adalah saat aku akhirnya berani melangkahkan kaki ke dalam."

Masih dengan raut bosan, manik mata Nocturne mengikuti arah telunjuk Aria. Benar saja, pintu terbuka perlahan-lahan. Aria yang berusia tiga belas tahun malu-malu melangkah masuk. Kedua tangannya mencengkeram tali ransel erat-erat, langkahnya pelan tanpa suara. Seketika, semua mata tertuju padanya. Remaja itu cepat-cepat melambai, tersenyum kaku, lalu menghampiri satu-satunya orang yang ia kenal.

"Um, hai, March," sapa Aria remaja ragu-ragu, tangannya memain-mainkan tali ransel dengan canggung. "Aku, eh, sering melihatmu mampir ke sini sepulang sekolah. Pertunjukan kalian, um, kelihatan menarik."

"Yah, sebenarnya aku memang tidak ingin teman-teman dan guru-guru di akademi mengetahui pekerjaan sampinganku. Kalau sampai ada guru atau senior yang datang menonton, rasanya jadi seperti sedang ujian, kan? Namun, karena kau sudah telanjur di sini, selamat datang di Teater Aurora, Aria!" March tersenyum lebar, memamerkan sederetan gigi putihnya. "Eh, tapi jangan bilang-bilang yang lain, oke?"

"Tidak masalah." Aria tersenyum. "Sebenarnya, dulu aku suka sekali dongeng Peter Pan. Makanya, waktu aku lihat pengumuman di depan, aku langsung tertarik. Sudah lama kau bergabung di sini?"

"Ah, baru dua tahun. Untuk persiapan seleksi masuk akademi, aku belajar pada Tuan Crescendo. Itu orangnya, yang sedang bagi-bagi pizza di panggung. Lalu, aku ditawari bergabung dalam teater. Karena kelihatannya menarik, dan aku bisa dapat uang saku tambahan, akhirnya aku ikut. Ternyata lumayan menyenangkan." March tertawa renyah, lalu meraih tangan Aria. "Sini, ayo ikut aku! Kukenalkan kau pada Tuan Crescendo. Orangnya baik, sungguh!"

Aria remaja tidak berkutik waktu March setengah menyeretnya menuju ke panggung. Di usianya sekarang, perawakan Aria memang lebih kecil dibanding rata-rata teman sebayanya. Pria berwajah Sinterklas yang jadi tujuan March mendongak, lalu turun dari panggung. Sekarang, Aria bisa mengamatinya dengan seksama. Tuan Crescendo berusia kurang lebih enam puluh tahun, dengan kaus kelabu gelap dan celana kargo berwarna cokelat, yang ditahan oleh sepasang suspender hitam. Ialah pemimpin kelompok teater lokal itu.

"Tuan Crescendo, kenalkan, ini temanku, Aria Winter. Kami sekelas," ujar March membuka percakapan. "Aria, ini John Crescendo, pendiri Teater Aurora."

"Selamat sore, Tuan. Senang berjumpa denganmu." Aria menyalami pria itu. "Maaf, aku kadang-kadang melihat anggota teater berlatih. Biarpun kecil, tempat ini terlihat menyenangkan."

"Teman sekelas March? Sesama siswi jurusan seni vokal? Oho, apa kau suka drama musikal? Zaman sekarang, jarang ada remaja yang suka belajar teater dengan serius. March sudah sangat membantu kami di sini, terutama untuk mengajari anggota-anggota yang masih kecil-kecil." Tuan Crescendo terkekeh. "Kami memang tidak terlalu besar, jadi harap maklum bila kami kadang tampak berantakan. Banyak hal yang harus kami kerjakan sendiri, kau tahu. Namun, kami selalu terbuka untuk talenta-talenta baru yang berminat. Apa kau mau bergabung?"

"Eh, wah, maaf, aku belum pernah berakting ...." Aria cepat-cepat menyahut. Memang ia pernah belajar cara menampilkan beragam ekspresi di panggung, tetapi soal benar-benar berakting dalam satu cerita utuh? Memerankan tokoh yang sama sekali lain dari sifat aslinya? Bagi Aria yang perfeksionis, itu adalah suatu tantangan yang menakutkan.

"Ayolah, asyik, kok! Tidak sesulit pelajaran di sekolah, kok!" bujuk March. "Asalkan kau santai di atas panggung, pasti nanti bisa sendiri. Serius, coba saja dulu!"

Aria remaja mulai bimbang. Ia lirik pintu keluar, lalu panggung pertunjukan. Di satu sisi, ia sungguh ingin menerima tawaran itu. Namun, ia takut mempermalukan dirinya sendiri apabila sampai gagal berakting. Untunglah Tuan Crescendo tidak tersinggung. Tiba-tiba saja pria itu mengutarakan solusi yang brilian.

"Begini saja, bagaimana kalau kau mencoba dulu? Tidak usah langsung ambil peran yang besar. Nanti, kalau kau sudah tahu rasanya tampil di panggung teater musikal, baru kauputuskan mau jadi anggota tetap atau tidak. Lebih gampang, kan?" usul Tuan Crescendo. "Oh ya, jangan lupa minta izin orang tuamu, ya! Teater ini tidak mau ada masalah dengan para orang tua nantinya."

Yuhuu, akhirnya sampai di part 6! 1-2 part ke depan akan jadi lumayan ringan dan menyenangkan. Anggap saja refreshing dari adegan-adegan yang cukup depresif di part-part sebelumnya, hehe ♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top