Act 3: Being Invisible

Begitu Aria melangkah keluar, lingkungan sekelilingnya sudah berubah. Di tempat ia tiba, matahari bersinar terang. Rumah-rumah mungil berdesain serupa berjajar di tepi jalan. Bunga-bunga musim semi warna-warni menghias pekarangan. Udara hangat dan menyenangkan. Sayup-sayup, terdengar tawa riang anak-anak. Beberapa orang berlalu-lalang di trotoar.

Spontan, Aria menyelubungi diri dan bersembunyi di belakang Nocturne. Ia mengenal area itu seperti lekuk-lekuk telapak tangannya sendiri. Ini adalah tempat ia dilahirkan dan menghabiskan masa kecil dalam kesendirian. Ia mengenali beberapa wajah sebagai tetangga-tetangga lamanya, dan ia tak ingin dilihat dalam keadaan berantakan. Ya, meski ia sembilan puluh persen yakin bahwa setidaknya dua wajah familier yang ia lihat seharusnya sudah tiada lebih dari lima tahun lalu.

Serta, ia sekarang berdiri persis di depan rumah orang tuanya.

"Ayo, cepat! Sebentar lagi bus sekolah datang!" Terdengar suara wanita dari pintu rumah nomor lima belas yang terbuka. Cat dindingnya masih putih, genting atapnya kelabu. Aria ingat, dua tahun lalu, ayahnya mengecat seluruh dinding depan dengan warna krem. Tanaman mawar merah di bawah jendela kamar Aria ditebang sepuluh tahun lalu, setelah rusak diserbu kutu. Diam-diam, tiap kali pulang ke rumah orang tuanya, Aria merindukan bunga itu. Rumah yang ia tatap adalah gambaran dari masa kecilnya, yang sekuat tenaga berusaha ia lupakan.

Bus kuning cerah penuh murid-murid sekolah dasar sudah kelihatan di ujung jalan. Dari dalam rumah, seorang anak perempuan melangkah keluar. Rambut cokelatnya dipotong pendek seleher, poninya rata. Sekilas, tidak ada yang aneh dari anak itu. Seragam sekolah menggantung kedodoran di badannya yang kurus. Matanya bundar seperti kelereng. Namun, sorot pandangannya sayu. Tangan mungilnya mencengkeram tali ransel erat-erat selagi ia memandangi sang ibu.

"Rupanya kau benci ke sekolah, ya." Sekonyong-konyong Nocturne berkomentar. Tangan malaikat itu bersedekap. Aria menoleh, lalu memaksakan seulas senyum hambar.

"Anak-anak lain, mereka membenciku," ucap Aria. "Aku sendiri tidak pernah tahu alasannya. Mungkin karena aku kelihatan seperti belalang sembah, atau kaus kakiku yang selalu panjang sebelah. Atau, barangkali aku memang target yang mudah."

"Walau demikian, tetap ada seseorang yang berharga bagimu, kan?" Sang malaikat berujar penuh arti. Seketika, hati Aria berdesir. Ia cengkeram lengannya erat-erat. Benar juga, dahulu, ada seorang anak. Orang itu ... bagaimana ia bisa melupakannya? Wanita itu mengangkat kepala, memandangi arah ke mana bus sekolah itu pergi. Tanpa aba-aba Nocturne berjalan ke arah yang sama, membuat Aria terpaksa mengekorinya.

Satu setengah kilometer mereka berjalan, hingga mereka tiba di depan sekolah dasar. Aria tak pernah menyangka akan kembali menginjakkan kaki di pelataran bangunan berlantai dua itu. Bau pengharum ruangan beraroma jeruk menyerbu indra penciumannya. Gambar-gambar dan hasil prakarya ditempel sepanjang papan-papan di depan kelas. Kipas angin tua di dinding mendengung keras. Waktu kecil, ada masa ketika Aria yakin bilah kipas-kipas itu bisa sewaktu-waktu terlepas dari porosnya, lalu terlempar melintasi koridor. Murid-murid yang lebih kecil berlarian di koridor, sedang murid-murid kelas lima dan enam berjalan sambil mengobrol riuh. Meski rasanya baru setengah jam berlalu sejak bus sekolah berangkat, kini waktu istirahat sudah tiba.

"Kau tidak usah bersembunyi di belakangku terus. Tidak ada yang bisa melihat kita," ujar Nocturne sembari melihat-lihat. "Jangan heran dengan suasana ini. Di sini, ruang dan waktu tidak berjalan sebagaimana yang biasa kaupahami. Tampaknya kawan-kawanmu bersenang-senang sekarang. Aku penasaran, di mana kau berada?"

"Kemarilah." Aria menghela napas panjang, lalu berjalan mendahului Nocturne melawan arus anak-anak yang berlarian ke kafetaria. Beberapa anak berlari menembus tubuh kedua orang dewasa itu, tanpa sedikit pun merasa aneh. Tepat sebelum memasuki kafetaria, Aria berbelok melalui sebuah pintu berjeruji di sebelah kanan, yang mengarah ke halaman belakang. Matanya menelusuri tiap mainan yang ada.

Ia temukan Aria kecil berdiri di samping sekumpulan anak yang sedang bermain petak umpet di bawah perosotan. Bocah itu memandangi kawan-kawan sekelasnya, lalu takut-takut mendekati salah satu anak perempuan. Entah apa yang ia katakan. Satu yang jelas, gadis yang diajak bicara langsung menggeleng, lalu buru-buru menggabungkan diri dengan kawan-kawannya. Tidak tahu siapa yang mengajak, kerumunan anak-anak itu berpandang-pandangan, lalu beralih ke lain tempat.

Aria kecil terdiam. Meski baru berusia tujuh tahun, ia mengerti arti penolakan. Anak itu melangkah, makin jauh dari murid-murid lain. Ia datangi deretan ayunan di tepi halaman. Ayunan-ayunan itu bergantung hening pada rantai yang mulai berkarat. Tempat duduk kayunya kusam termakan usia. Ada semacam pengertian yang terjalin antara insan dan benda itu. Mereka sama-sama diabaikan, dan sesama makhluk yang terabaikan harus saling mendukung.

"Sudah kubilang tidak ada yang mau bermain denganku. Mereka tidak pernah menyakitiku, atau mencuri barang-barangku. Mereka cuma ... tidak menganggapku ada." Aria melangkah, lalu duduk di samping sosok masa kecilnya dan turut berayun. Tangannya terulur hendak menyibak rambut si gadis kecil, tetapi tangan itu menembus kepala si bocah layaknya sebuah ilusi. "Aku tahu aku tidak berhak mengeluh. Di luar sana, banyak anak mengalami hal-hal yang jauh lebih buruk."

"Hanya karena orang lain mengalami yang lebih buruk, bukan berarti penderitaanmu tidak valid." Nocturne menyandarkan punggung di tiang ayunan. "Kau takkan berkata pada seorang anak yang jatuh di trotoar bahwa ia tak pantas menangis karena di sampingnya ada anak lain yang menjadi korban kecelakaan mobil. Jadi, mengapa kau berbuat demikian pada dirimu sendiri? Besar atau kecil, luka tetaplah luka yang harus diobati."

"Hehe, sekarang kau terdengar seperti seorang konselor, Tuan Malaikat." Aria tertawa kecil. "Soal itu, aku juga tahu. Hanya saja, sulit sekali menerapkannya saat otakmu terus-menerus mengatakan sebaliknya."

Wanita itu memandangi sosok masa kecilnya. Sorot matanya penuh kasih sayang. Andai waktu benar-benar bisa diputar, ia sungguh-sungguh ingin melindungi anak itu. Akan ia hapus segala memori pahit dari hidupnya, hingga ia tak perlu lagi merasa harus selalu jadi sempurna.

Perlahan, Aria kecil mulai bersenandung. Mula-mula lirih, lalu makin lama makin lantang. Suara jernihnya terbang bersama udara. Seorang anak perempuan lain diam-diam memperhatikan. Mula-mula malu-malu, lalu makin lama makin mendekat. Rambut hitamnya dikepang dua. Pipinya bulat dan berseri-seri kemerahan. Hidungnya mungil, matanya serupa almond dengan iris sekelam langit malam. Aria kecil berhenti menyanyi, lalu menunduk malu. Namun, anak itu justru tersenyum, lalu mengulurkan tangan mengajak bersalaman.

"Hai, suaramu bagus," sapa anak itu. "Boleh kenalan?"

Aria dewasa memperhatikan sosok masa kecilnya malu-malu menyambut uluran tangan itu. Ia saksikan senyum perlahan-lahan merekah di wajah Aria kecil. Benar, wanita itu ingat sekarang. Anak berambut hitam itu adalah teman pertamanya, seorang murid pindahan yang tinggal bersama kakeknya di lantai atas sebuah restoran Cina di pinggir kota. Anak itu tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi mungil seputih mutiara.

"Kenalkan, namaku Litany!"

Mulai dari sini, perjalanan Aria dan Nocturne menembus waktu dimulai. Jujur saja, waktu menulis bab ini (dan akan tetap begitu sampai beberapa bab ke depan), aku cukup memutar otak karena ada dua versi Aria dalam lini masa berbeda yang harus kuceritakan. Semoga tidak terlalu membingungkan, ya!

See you on next chapter

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top