FINAL BOOK - CHAPTER TWO

Desa Arati tidak berubah banyak sejak kali terakhir Risa berkunjung ke sana di pekan tenang sebelum ujian tengah semester.

Meski sudah pasti, tempat itu memberikan kesan dan suasana yang berbeda di siang hari. Jika di malam hari Desa Arati penuh oleh cahaya kebiruan dari hewan-hewan bioluminescent yang hidup di kanal-kanal serta pendar jingga lentera-lentera kertas yang digantung di mana-mana, Desa Arati di siang hari didominasi warna hijau pepohonan yang berpadu harmonis dengan deretan bangunan yang mayoritas terbuat dari kayu berpelitur. Sama-sama indah, dalam cara yang tak serupa.

Berada di tengah keramaian, Risa tersadar kalau dirinya jadi pusat perhatian. Mereka yang mengenalinya kebanyakan hanya punya dua reaksi; entah menatapnya penuh penasaran bercampur rasa kagum, atau buru-buru memalingkan muka seraya menjauhinya seakan-akan dirinya membawa wabah penyakit.

"Jangan terlalu dipikirkan." Denzel berkata.

"Apanya?"

"Tatapan orang-orang saat melihatmu." Denzel membalas. "Cuma orang yang hidup di bawah batu yang nggak tahu tentang kamu. Mereka tahu kamu membunuh Milena Triloka. Mereka tahu kalau kamu adalah anak haram Shiloh Wiranata. Mereka tahu Alka melakukan segalanya untuk melindungi kamu sampai akhir. Mereka tahu kalau Luka mengkhianati ayahnya sendiri demi kamu. Ada yang menganggapmu hebat, tapi ada juga yang menganggapmu mengerikan. Bahkan ada yang percaya kalau kamu itu semacam tukang sihir yang sudah mempengaruhi Luka Diwangka dengan kuasa jahat."

"Oh." Risa tidak terkesan. "Santai aja. Gue nggak kepikiran sama sekali. Sebelum gue kenal dunia ini pun, gue udah sering dipandang sebelah mata sama orang-orang di sekitar gue. Ini sih bukan apa-apa."

Denzel nyengir. "Bengkel perhiasannya ada di ujung jembatan itu. Kita bakal sampai sebentar lagi."

"Bagus deh!"

Bengkel perhiasan yang Denzel maksud adalah sebuah toko mungil yang tertata rapi. Seorang gadis berambut hitam pekat yang dipotong sebahu menyambut mereka sopan. Dari gesturnya, Risa menyimpulkan kalau gadis itu mengenal Denzel. Gadis itu juga sempat mengangguk hormat padanya, yang Risa balas dengan senyum canggung.

"Aku mau custom liontin." Risa memulai seraya mengeluarkan vial kaca berisi abu dari saku celananya. "Mungkin dalam bentuk vial kayak gini. Yang bisa menampung abu di dalamnya. Kalau bisa yang kesegel permanen, jadi abunya nggak bakal tumpah. Tapi ukurannya lebih kecil dari vial ini, biar cocok dijadiin liontin kalung. Bisa nggak?"

Denzel melirik sepintas pada vial yang Risa taruh di atas meja kaca. Tanpa bertanya, dia sudah tahu abu milik siapa yang tersimpan di sana.

"Tentu bisa. Apa anda menginginkan liontin dalam bentuk khusus?"

"Bentuk khusus gimana maksudnya?"

"Misalnya dalam bentuk bunga atau hewan tertentu. Untuk liontin semacam ini, kami biasanya membuat rangka bentuk menggunakan logam, lalu bagian liontin yang menyimpan abu akan ditempatkan di tengahnya. Seperti semacam pengganti batu permata."

"Oh, bisa dibikin kayak gitu ya?"

"Bisa."

Risa berpikir sejenak. "Hm, bagusnya dibentuk jadi apa ya..."

"Menurutku, lotus cocok untukmu." Denzel mengusulkan. "Lotus adalah simbol kekuatan, lambang kelahiran kembali. Dia tumbuh dari lumpur tapi bersih dari noda."

Risa berdecak. "Kedengaran kayak omong kosong, tapi okelah. Berhubung gue lagi malas mikir, dibikin bentuk lotus aja kalau gitu."

"Memangnya kapan kamu nggak malas mikir—argh! Riri, sejak kapan kamu jadi sekasar ini sih?!"

"Berisik!"

"Baiklah, kalau begitu liontinnya berbentuk lotus ya. Pesanan anda akan selesai dalam tiga hari. Anda bisa mengambilnya sendiri ke sini atau anda bisa meninggalkan alamat dan kami akan mengantarkannya."

"Oke, jadi totalnya berapa—"

"Aku saja yang bayar." Denzel menukas. "Lagian, aku ragu kamu punya uang."

Risa langsung tersinggung. "Gue punya uang ya!"

"Uang dari mana?"

"Dari Luka!"

"Oh?" Denzel memiringkan wajah. "Baik juga dia. Kamu belum jadi istrinya, tapi dia sudah memberimu nafkah—"

"Nafkah." Risa menatap Denzel ngeri. "Agak geli dikit dengarnya."

"Loh, terus apa coba kalau bukan nafkah?"

"Uang saku. Uang jajan."

"Uang saku ya?" Denzel lanjut mengejek. "Jadi dia pacarmu atau ayahmu?"

Risa cemberut. "Yang jelas gue punya uang!"

"Uang Luka, bukan uangmu."

"Yang namanya uang—"

"Nggak ada yang perlu diperdebatkan! Pokoknya aku yang bayar!" Denzel berpaling pada si gadis penjaga toko. "Franda, masukkan ongkos pengerjaannya ke tagihanku. Surat tagihannya bisa kamu kirimkan ke penginapan di ujung jalan ini, yang dekat Bukit Camar. Harusnya kamu sudah tahu, kan?"

"Baik, kalau begitu tagihannya atas nama anda ya?"

Denzel berdeham. "Atas nama Novel Casimira."

"Baik."

Sehabis menuntaskan transaksi, mereka pun melangkah keluar dari bengkel perhiasan tersebut.

"Novel tahu nggak kalau tagihan ongkos custom liontin gue atas nama dia?"

"Sekarang sih belum, tapi nanti juga dia tahu."

"Kalau dia nggak mau bayarin gimana?"

"Pasti mau."

"Kalau nggak mau?"

"Pasti mau. Sudah kubilang kan, kamu sudah seperti adik kecil untuk kami semua. Dan jangan salah sangka ya, gitu-gitu, Novel tuh banyak uang!"

"Oh ya?!"

"Seriusan!"

"Dia dapat duit dari mana?!"

"Dia sudah hidup beratus tahun lamanya. Kalau masih miskin, berarti bodohnya nggak ketulungan."

"Kayak lo ya?"

"Kok malah jadi aku?!"

"Duit lo pasti nggak sebanyak Novel, makanya lo bikin Novel yang bayar—"

"Nggak juga." Denzel mendengus. "Tapi ya, kalau bisa Novel yang bayar, kenapa harus aku coba?"

"Oh, jadi ini alasan kenapa kamu pergi diam-diam dari penginapan?"

Serentak, Denzel dan Risa menoleh ke asal suara. Terlihat Arai tengah berdiri di ujung jembatan. Tak ada yang banyak berubah darinya pasca berhari-hari Risa tidak melihatnya. Dia mengenakan kemeja linen sederhana berwarna putih tulang yang dipadu celana panjang kain cokelat gelap. Rambut gondrongnya diikat separuh. Rahangnya bersih dari jenggot. Kelihatannya, dia baru bercukur.

"Begitulah." Denzel menjawab alakadarnya.

"Kenapa tidak bilang kalau mau menemui Risa?"

"Kayak Luka bakal mengizinkanmu melewati gerbang kastelnya saja."

"Oh ya, aku hampir lupa kalau pacarnya Risa membenciku."

"Dia nggak benci lo." Risa menyela cepat. "Dia cuma—yah... agak sensi sedikit sama lo."

"Gara-gara kejadian di pantai waktu itu?" Arai mengangkat alis.

"Dan bisa jadi, karena banyak orang berspekulasi kalau kamu tuh cowok cadangan Risa." Denzel menambahkan.

"Akan jadi kehormatan besar bagiku seandainya rumor itu benar." Arai tertawa kecil. "Apa kabar, Risa?"

"Gue baik-baik aja."

"Yah, kurasa begitu. Lingkar hitam di bawah matamu agak memudar. Tidurmu pasti lebih baik." Arai mengangguk. "Kalian lagi jalan-jalan saja atau bagaimana?"

"Denzel ngantar gue ke sini untuk custom liontin. Tapi ya, mungkin sebelum balik ke tempat Luka, gue mau keliling-keliling sebentar."

"Keberatan kalau aku ikut menemanimu?"

"Dia keberatan." Denzel menyambar.

"Sejak kapan lo jadi juru bicara gue?" Risa memutar bola matanya. "Terserah. Lagian, ini tempat umum. Mana bisa gue melarang lo ikut keliling-keliling?"

Mereka meneruskan menyusuri jalanan desa bertiga.

"Eh ya, kamu sudah tahu kabar terbaru soal Dante?" Arai bertanya selagi mereka melangkah.

"Dia datang ke Kastel Raudra kemarin. Gue udah ketemu."

"Waktu pertama kali mendengar kalau Dante masih hidup, aku benar-benar kaget!" Arai berseru. "Meskipun reaksiku masih kalah dramatis dari Denzel. Berani sumpah, tak pernah terpikirkan olehku kalau aku bakal melihat seorang Lazuardi diam-diam menangis—"

"Siapa yang nangis?!" Denzel membantah sambil melotot. "Jangan sok tahu, Madaya!"

"Tapi nyatanya kamu betulan menangis dan—"

Risa mesem-mesem seraya menatap Denzel dengan sorot meledek. "Dante tahu nggak kalau Denzel nangis? Kalau Dante tahu, dia pasti terharu banget—"

"Belum sih kayaknya."

"Oke, kalau gitu nanti gue kasih tahu—"

"Jangan berani-beraninya, Riri!"

"Kalau gue berani-beraninya, lo mau apa?"

"Riri—astaga, kalau mau berhenti jalan jangan mendadak dong! Bisa kan kasih aba-aba dulu!?" Denzel refleks berseru saat Risa tiba-tiba berhenti di depan sebuah kedai gelato.

"Kenapa?" Arai ikut penasaran.

Risa menelan saliva, memandang kedai gelato di sisi jalan beberapa lama. Kedai itu adalah tempat pertama di Desa Arati yang didatanginya bersama Luka. Sudah hampir satu tahun berlalu. Menyadari betapa drastisnya keadaan berubah dalam rentang waktu yang teramat singkat membuat Risa disergap melankolia.

Setahun lalu, kekhawatiran terbesarnya cuma berputar di sesi-sesi latihan keras bersama Luka serta materi pelajaran yang mesti dia kuasai jika ingin lulus ujian. Basil hanyalah pemuda biasa bermata kelabu yang juga sahabatnya. Alka masih ada—yang mana meski walau mereka jarang mengobrol, Risa masih bisa melihatnya atau berpapasan dengannya di koridor akademi.

Kini, keadaannya sudah jauh berbeda. Basil bukan lagi sahabatnya. Lelaki itu menginginkan kematiannya. Ada perang yang menantinya. Perang yang bisa saja meminta nyawanya atau nyawa-nyawa orang yang terkasih baginya. Dan Alka telah tiada.

"Kamu kepengin makan gelato?" Denzel bertanya hati-hati, seketika menyadari ekspresi wajah Risa yang berubah muram.

Risa menggigit bibir, lalu mengangguk.

"Punya uang?" Arai segera bertanya.

Risa menyipitkan mata. Kesedihannya terlupakan sebentar, terganti oleh rasa dongkol. "Kenapa semua orang kayaknya berekspektasi kalau gue nggak punya uang ya?! Jelas gue punya!"

"Luka memberinya nafkah." Denzel memberitahu.

"Nafkah?!" Mata Arai membulat. "Memangnya kapan kalian menikah?!"

"Uang saku!" Risa melotot ke Denzel. "Nggak usah banyak omong deh! Kalau lo pada mau ditraktir gelato, mending diam dan ikutin gue!"

Dengan patuh, Denzel dan Arai mengunci mulut mereka rapat-rapat sembari mengekori Risa masuk ke kedai gelato.

***

Begitu kembali ke Kastel Raudra, Risa dikagetkan oleh kehadiran Nauli yang sedang berdiri menghadap ke arah taman peony.

"Nauli?"

Nauli berbalik bersama seulas senyum tipis yang menghias wajahnya. "Halo. Aku pasti mengejutkanmu ya?"

"Sejujurnya iya. Dante bilang, kamu ada di tempat Basil. Jadi aku pikir—"

"Kamu mengira aku berpihak padanya?" Nauli tampak geli. "Tidak sama sekali. Dan jangan khawatir. Aku tidak ke sini untuk menyakitimu, apalagi membawamu ke estat Agnimara. Kalau itu tujuanku, aku tak akan kemari tanpa bersenjata."

"Kamu nggak memihak Basil?"

"Di malam kamu meninggalkan akademi bersama Alka, Adya menjemputku. Benji yang mengirimnya. Ternyata dia butuh bantuanku untuk merawat Dante Dalimunte. Sebagai penyembuh, sulit bagiku mengabaikan Dante yang waktu itu cedera parah. Tapi aku tak pernah berpihak pada Benji Agnimara. Aku tidak pernah memberikan kesetiaanku padanya."

"Oh..." Risa terperangah. "Ah ya, makasih banyak karena udah ngerawat Dante."

"Sudah kewajibanku."

"Nggak, aku benar-benar berterima kasih karena kamu udah nolongin Dante. Selamanya, aku bakal berutang budi sama kamu." Risa berkata tulus. "Kamu ke sini mau ketemu Luka? Atau ketemu Lara? Aku nggak tahu Luka udah pulang atau belum, tapi kayaknya Lara ada di kamarnya—"

"Aku ke sini untuk bertemu kamu."

Risa mengerjap. "Hah?"

"Kurasa, kita sama-sama tahu kalau perang tak akan bisa dihindari. Benji Agnimara dan kamu, kalian berdua sama-sama keras kepala dan pantang menyerah. Harus ada yang menang dan harus ada yang kalah. Perang yang akan menentukannya." Nauli berujar dalam suara halus sarat ketenangan. "Dalam perang yang akan datang, apakah kamu mengizinkanku berada di pihakmu?"

"Boleh-boleh aja sih..." Risa meringis. "Tapi kenapa? Alka bilang, kamu benci perang. Sebagai penyembuh yang udah bersumpah bakal mengobati bukannya menyakiti, kamu bisa aja memilih netral. Jadi nggak peduli siapa yang nantinya menang, hidupmu tetap berjalan. Nggak terpengaruh. Kamu punya pilihan. Kenapa malah memilih ada di pihakku?"

"Karena aku percaya pada apa yang Alka yakini. Bahwa kamu tidak pantas dihukum karena kesalahan yang tidak kamu lakukan."

Jawaban Nauli membuat Risa terdiam.

"Dan lagi, tragedi di antara kami berempat sudah dibiarkan berlarut-larut terlalu lama. Nevna dan Alka sudah tiada. Tanggung jawab untuk mengakhirinya kini ada padaku dan Adya."

Risa berdeham. "Aku sih nggak keberatan. Tapi mungkin nanti kalau Luka udah pulang, kamu bisa ngomong ke dia dan—"

"Kesetiaanku bukan untuk Luka Diwangka, Trisha." Nauli menyela lembut. "Kesetiaanku untukmu. Jika kamu menerima kesetiaanku dan mengizinkanku berada di pihakmu, aku tidak butuh dengar apa pun dari Luka Diwangka."

"Hng—kalau terserah aku—jelas aku nggak keberatan—dan aku justru berterima kasih."

"Sungguh?"

"Beneran, tapi—"

"Aku janji, aku tidak akan mengecewakanmu." Nauli meraih tangan Risa, memegangnya erat-erat. "Aku akan bersamamu. Sampai akhir."

Ketulusan di mata Nauli seketika membungkam Risa. Sekonyong-konyong, matanya serasa memanas. Kata-kata yang semula hendak dia ucapkan langsung terlupa.

"Makasih." Risa berbisik samar, berusaha menahan beragam emosi yang bergejolak dalam dadanya. "Makasih banyak."

***

Waktu di Nanggala, Risa pernah kabur ke bibir pantai penuh batu karang yang sepi setelah Denzel menyenggol yoghurtnya sampai tumpah. Dari Arai, Risa tahu kalau itu yoghurt terakhir yang tersisa karena para perwakilan penduduk Nanggala baru akan menyetok ulang persediaan makanan mereka dari Dunia Terang keesokan harinya.

Mood Risa yang sudah buruk gara-gara rangkaian sesi latihan yang melelahkan bersama Alka sejak pagi membuatnya murka. Denzel berkali-kali minta maaf, tapi Risa mengabaikannya. Gadis itu beranjak pergi, berjalan cepat menuju pantai dengan muka merah menahan kesal.

Risa lagi menyendiri sambil menonton batu karang dihempas gelombang berkali-kali saat dia mendengar suara langkah kaki mendekat.

"Gue nggak butuh dengar permintaan maaf! Gue mau sendiri!"

"Jangan ngambek gitu."

Mengenali suara yang menjawab sebagai suara Alka, Risa refleks menelan saliva. "Gue lagi bete!"

"Kelihatan kok dari mukanya."

"Gue ngeselin kalau lagi bete!"

"Soal itu sih gue udah tahu."

Risa menoleh ke belakang. "Makanya, biarin gue sendiri—"

"Nih." Alka mengulurkan sekotak yoghurt di tangannya, yang secara otomatis membungkam Risa. "Buat gantiin yoghurt yang tadi ditumpahin Denzel."

"Yoghurtnya masih ada?! Tapi tadi kata Arai—"

"Ada satu kotak yang keselip. Gue nemu pas meriksa ruangan persediaan makanan tadi." Alka berkata, lalu melemparkan kotak yoghurtnya ke Risa yang segera menangkapnya.

Sejenak kemudian, mereka berdua sudah duduk bersebelahan di bawah naungan pohon cemara udang yang banyak tumbuh di pinggir pantai.

Pelan-pelan, Risa membuka kemasan pembungkus kotak yoghurtnya. Suapan pertama membawa rasa asam-manis yang dingin namun meleleh di lidahnya. Tanpa sadar, gadis itu menarik senyum. Kepalanya bergoyang sedikit—gestur yang selalu Alka lihat tiap kali Risa menyukai makanannya. Dia tertawa kecil, bikin Risa melotot padanya.

"Kenapa ketawa-ketawa?!" Risa bertanya galak.

"Ketawa doang masa nggak boleh?" Alka berdecak. "Jadi cewek nggak boleh galak-galak!"

"Sexist banget! Emangnya cuma cowok yang boleh galak?"

"Gue nggak bilang gitu ya."

"Kalau gitu, kata-katanya harusnya diganti!"

"Oke, gue salah." Alka mengalah. "Jadi orang nggak boleh galak-galak!"

"Lo juga, jadi orang nggak boleh ketawa-ketawa sendiri tanpa alasan yang jelas!"

"Emang lo tahu kenapa gue ketawa barusan?"

"Nggak! Tapi gue yakin alasannya berhubungan sama gue!"

"Nggak salah sih."

"Kenapa?"

"Lucu aja lihat lo makan yoghurt. Dulu, Nevna juga suka banget makan es krim."

"Jaman dulu udah ada es krim?" Risa bertanya sebelum melahap sesuap lagi yoghurtnya.

"Jelas. Es krim bahkan udah dikenal di dunia manusia dua abad sebelum masehi. Meski di waktu itu, butuh effort lebih buat bikinnya."

"Oh ya?"

Alka mengangguk. "Orang jaman dulu biasanya bikin es krim pakai salju dari pegunungan yang dikasih pemanis. Contohnya madu. Mereka belum nyiptain teknologi yang namanya kulkas. Tapi kalau di sini sih, lo tahu sendiri kita nggak butuh kulkas."

"Mm-hm."

"Nevna juga suka goyangin kepala kalau suka sama apa yang dia makan."

"Hah, emang gue suka goyangin kepala?!"

"Nggak nyadar?"

"Masa sih?!"

"Beneran. Tanya aja Novel nanti kalau nggak percaya."

Risa tidak mendebat. Dia cuma manggut-manggut saja. Setelah beberapa kali mendengar cerita tentang pertemanan Alka dan Nevna di masa lalu baik dari Alka maupun dari potongan-potongan kisah sambil lalu yang tak sengaja didengarnya dari Denzel, Risa sangat mengerti kalau Nevna teramat berarti bagi Alka. Dia bahkan punya teorinya sendiri, bahwa sebenarnya diam-diam Alka menyimpan perasaan lebih pada Nevna, tapi memilih tidak pernah mengungkapkannya untuk menjaga hati Adya.

"Masih kesel nggak?" Alka kembali bertanya.

"Nggak, karena udah makan yoghurt."

"Kalau gitu, habis ini coba ngobrol sama Denzel. Dia benar-benar ngerasa bersalah karena udah numpahin yoghurt lo. Dia nggak sengaja. Kalau lo nggak ngomong secara jelas lo udah maafin dia, dia bakal terus-terusan kepikiran."

"Biarin aja."

"Risa,"

"Iya, iya! Nanti gue bakal ngomong ke Denzel! Puas?"

"Lumayan." Alka menyahut. "Udah selesai makan yoghurtnya?"

"Kenapa?"

"Kita masih harus latihan lagi."

"Oh? Udah sih, tapi gue ninggalin pedang gue di—"

"Sesi latihan yang ini nggak pakai pedang."

"Oh, jadi tangan kosong aja?"

Alka menggeleng. "Lo perlu melatih fokus lo. Kita bakal meditasi sebentar, dilanjut latihan memanah."

Risa mengerang. "Gue nggak suka busur dan panah—"

"Justru itu. Lo perlu melatih ketenangan dan kesabaran, menjaga agar emosi lo tetap terkendali."

Kata-kata Alka membuat Risa melengos sambil tersenyum kecut. Dia tidak bisa tenang apalagi sabar. Selepas peristiwa di penjara bawah tanah akademi, dirinya penuh dengan kemarahan karena pengkhianatan Luka. Dalam beberapa kali sesi latihan terakhirnya, Alka menilai kalau serangan-serangannya kelewat beringas.

"Gue lebih suka pedang!" Risa merengut.

"Jangan dramatis gitu."

"Apanya yang dramatis? Menurut gue nih ya, tiap petarung pasti punya preferensi sendiri-sendiri. Gue lebih suka pedang daripada senjata lain. Dari sekian banyak senjata, lo pasti punya favorit lo sendiri, kan?"

"Nggak juga."

"Bohong."

"Nggak ada yang gue favoritkan dari aktivitas yang mengharuskan gue melukai atau bahkan membunuh seseorang."

Risa menyipitkan mata. "Pertarungan kan nggak selalu bertujuan menyakiti atau membunuh. Kita juga bertarung untuk melindungi dan membela diri sendiri."

Bantahan Risa membuat Alka menatapnya.

"Apa? Gue nggak salah ngomong, kan?!"

"Nggak. Nggak sama sekali."

Lalu, tanpa mengatakan apa-apa lagi, Alka menepuk lembut puncak kepala Risa beberapa kali.

***

"Trisha?"

Risa tersentak, lalu mengerjap. Dia tercekat begitu mendapati Luka tengah berada di depannya. Entah sejak kapan laki-laki itu sudah di sana.

"Eh—sori—kapan lo datang—"

"Melamun ya?"

"Bengong bentar doang."

"Itu namanya melamun." Luka membalas. "Lagi memikirkan apa?"

"Nggak mikirin apa-apa."

"Maaf baru pulang jam segini. Ada beberapa urusan penting yang harus kubereskan. Kudengar dari Padma, tadi kamu sempat keluar kastel bersama Denzel."

"Iya."

"Dan salah satu orangku melihatmu makan gelato bersama Arai di Desa Arati. Di kedai gelato yang sama yang kita datangi dulu—"

"Arai dan Denzel!" Risa segera menambahkan. "Bertiga kok, nggak berdua aja!"

"Tidak perlu panik begitu." Luka menahan senyum geli. "Aku tidak akan menggodamu soal itu. Setidaknya, tidak hari ini."

Risa memberengut. "Bagusnya sih jangan cuma hari ini, tapi besok-besok juga! Lagian, lo kok dendaman banget sih?! Gue kan udah minta maaf! Apa gue harus bikinin lo seribu candi dulu baru lo mau berhenti ngebahas soal Arai?"

"Memangnya aku bilang apa soal Arai?" Luka menjawab, berlagak polos.

"Jangan pura-pura bloon, nanti bloon beneran baru tahu rasa!"

Luka tertawa kecil, lalu merogoh ke bagian dalam jaket hitamnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak kaleng kecil berwarna hitam pekat. "Kubawakan sesuatu untukmu."

"Apa?"

"Ikat rambut."

Risa menerima kotak kaleng itu sambil tersenyum. "Makasih."

Interaksi mereka terjeda oleh Padma yang tiba-tiba muncul dari ujung koridor. Perwira itu langsung menghampiri Luka.

"Ada apa?"

"Karis Palamarta baru saja tiba. Dia bilang dia perlu bertemu dengan Trisha."

Risa menoleh ke Luka. "Karis?"

"Ibu Katia." Luka membalas kaku. "Aku baru ingat gadis albino itu. Dia termasuk yang ikut meninggalkan akademi bersamamu beberapa bulan lalu, kan? Tapi aku belum tahu—apakah Katia sudah pulang? Atau dia masih di Nanggala? Kurasa, apa pun alasan Karis ingin bertemu kamu pasti berhubungan dengan Katia."

Risa tidak yakin dia ingin membahas tentang Kat bersama Luka sekarang.

Karenanya, dia berpaling ke Padma. "Aku akan menemuinya."

"Bersamaku." Luka menambahkan dalam suara tegas yang tidak bisa dibantah.

Karis Palamarta datang sendirian. Pasti Padma yang memandunya untuk menunggu di teras semi terbuka yang biasa digunakan sebagai tempat minum teh. Memandangnya dari kejauhan pun sudah membuat hati Risa mencelus. Meski rambutnya berwarna hitam pekat, garis wajah Kat sangat mirip dengan Karis.

"Selamat sore." Risa menyapa hati-hati setelah dia tiba di dekat Karis. Ditariknya kursi di depan Karis, sementara Luka mengambil tempat di sisi lain meja yang membuatnya berada di antara dua perempuan. "Saya diberitahu kalau anda ke sini buat ketemu saya."

Karis memaksakan senyum. Pembawaannya benar-benar berbeda dibanding ketika Risa melihatnya di akademi. Dia jauh dari kesan heboh. Karis tampak lebih dingin dan muram. Ada hawa mengintimidasi yang mengiringi sosoknya.

"Maaf mengganggu waktumu. Aku tidak tahu harus bertanya ke siapa lagi selain kamu." Karis berujar. "Ini tentang Katia. Kudengar, Davi Dalimunte dan Persimmon Wagiswari sudah pulang ke rumah masing-masing. Tapi aku belum dengar kabar apa-apa dari Katia. Di mana putriku?"

Pertanyaan sederhana itu serasa godam raksasa yang dihantamkan ke kepala Risa.

Gugup yang mendadak mencekiknya membuatnya meraih cangkir teh di atas meja tanpa pikir panjang. Risa meneguknya banyak-banyak. Luka menatapnya. Mata magenta Karis mengawasinya.

Nggak seharusnya aku takut. Hati kecil Risa bersuara. Kat berkhianat. Dia bekerja sama dengan Basil. Dia yang meracuni Alka. Dia yang bikin aku kehilangan Mama, kehilangan Alka. Dia menerima hukuman yang pantas.

Risa menghela napas dalam-dalam, memaksa dirinya menatap lurus pada Karis.

"Putri anda sudah mati."

Karis terbelalak tak percaya, kelihatan sangat terpukul.

"Karis, aku turut menyesal." Luka berkata.

"Apa—bagaimana bisa—" Bulir-bulir air mata Karis mulai berjatuhan di pipinya. "Bagaimana bisa putriku mati? Apakah Adya Wiranata yang—"

"Bukan Adya, tapi saya. Saya yang membunuhnya."

Karis terperanjat, serupa dengan Luka yang tersentak.

"Apa—"

"Saya yang membunuhnya. Dia meracuni kakak saya. Dia yang membuat saya terpaksa meninggalkan Nanggala dan mendatangi Orakel. Saya rasa, anda sudah tahu apa yang terjadi di Orakel. Mereka membunuh ibu saya. Lalu, Adya mengikuti saya sampai ke Nanggala. Dan di Nanggala, dia membunuh kakak saya. Saya tidak akan kehilangan ibu dan kakak saya kalau bukan karena pengkhianatan anak anda. Dia bekerja sama dengan Benji Agnimara. Dia pantas dijatuhi hukuman mati."

"Apa kamu punya bukti?!" Karis membentak, suaranya bergetar. "Jawab pertanyaanku! Apa kamu punya bukti yang mendukung tuduhanmu itu!? Apa dia mengakuinya?!"

"Dia tidak mengakuinya. Tapi bukti-bukti yang ada—"

"Putriku tidak punya alasan bekerja sama dengan Benji Agnimara! Dia menganggapmu temannya! Dalam memo-memo yang dia kirimkan padaku, dia menyebutmu temannya! Dia tidak mungkin melakukannya!" Duka Karis bertransformasi jadi murka. "Dan kamu membunuhnya?! Berani-beraninya kamu membunuhnya!"

"Karis—" Luka mencoba mendinginkan situasi yang makin memanas. "Tolong tenangkan dirimu—"

Karis tidak berniat mendengarkan Luka. Perempuan itu merangsek ke atas meja, menerjang ke arah Risa. Pisau kecil dengan bilah berwarna ungu terang terhunus di tangannya. Warna yang tidak wajar. Semburat yang menjanjikan bahaya. Mempertimbangkan reputasi Keluarga Palamarta, sangat mungkin pisau itu berlapis racun.

Dari sudut matanya, Risa tersadar Luka berniat menangkap pisau itu dengan tangannya. Refleks, Risa menciptakan gelombang energi tak kasatmata dengan tangan kirinya. Gelombang energi itu mendorong Luka menjauh darinya, membuatnya terlempar ke udara sebelum berakhir membentur pilar teras. Sedangkan tangan kanannya menangkap pisau yang Karis arahkan ke lehernya.

Bilah tajam ungu terang pisau itu menembus telapak tangan Risa semudah garpu panas melubangi balok mentega.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top