FINAL BOOK - CHAPTER THREE
Nyeri menyebar di telapak tangan kanan Risa, diikuti sensasi dingin tak wajar yang menjalar.
Ternyata benar. Pisaunya memang beracun. Risa berbisik dalam hati.
Di sisi lain ruangan, Luka bangkit dari lantai sambil mendesis kesakitan. Pilar yang ditabraknya dirambati retakan-retakan memanjang. Para perwira yang berjaga di sepanjang area depan teras sontak mendekat. Senjata mereka terhunus. Wajah mereka penuh waspada.
Karis mengabaikan orang-orang di sekitar mereka. Mata magentanya yang menatap tajam hanya tertuju pada Risa. Tangisnya mengeras, membuat wajah cantiknya basah bersimbah air mata.
"Berani-beraninya kamu menuduh putriku! Berani-beraninya kamu membunuhnya! Kamu menyakitinya! Dan sekarang, aku akan membunuhmu!" Karis menjerit histeris.
Risa memejamkan matanya, lalu kembali membukanya sedetik kemudian. Biru terang berpendar dari irisnya. Tangan kirinya mencengkeram erat tangan Karis yang tidak memegang pisau.
"Hentikan." Risa berbisik dalam suara dingin tanpa belas kasih. Ketegasannya tidak terbantahkan. Karis menatap nanar sebelum tubuhnya melemas dan luruh ke lantai. Dia pingsan, sempurna kehilangan kesadaran. Risa berdiri kaku di depannya dengan darah yang masih terus mengucur, menetes dan menodai lantai.
"Apa yang kalian tunggu?!" Luka membentak. "Bawa Karis Palamarta pergi dari sini! Tempatkan dia di ruangan dengan penjagaan penuh dan pastikan dia tidak meninggalkan kastel ini tanpa izinku!"
Perintah Luka direspon seruan sigap. Dua perwira segera membawa Karis yang tak sadarkan diri pergi dari hadapan Risa. Sehabis itu, Luka mendekat sembari menatap cemas ke tangan kanan Risa yang berlumuran darah.
"Lukanya kelihatan parah." Padma berkata. "Saya akan segera memanggil Puan Nauli—"
"Bukankah protokol keamanan untuk orang-orang yang mengunjungi tempat ini sudah jelas, Padma?" Luka terdengar marah. "Kenapa kalian tidak melucuti seluruh senjata yang dibawa Karis sebelum mengizinkannya masuk sampai ke sini?"
"Kami pikir dia teman anda. Jadi—"
"Tidak ada pengecualian. Tidak peduli temanku, teman Risa, atau teman Lara, siapa pun yang datang menemui Risa tidak boleh membawa senjata. Mengerti?"
"Mengerti, Tuanku."
Luka melirik sepintas ke pisau kecil dengan bilah berwarna ungu terang penuh darah Risa yang tergeletak di lantai.
"Beritahu Nauli agar segera ke kamar Risa. Bawa pisau itu padanya dan minta dia membuatkan penawarnya. Segera."
"Baik, Tuanku."
Tergesa, Padma pun bergegas pergi meninggalkan mereka.
Luka mengeluarkan sehelai sapu tangan sutra berbodirkan inisial namanya dari dalam saku. Dibalutnya luka tusuk di telapak tangan Risa memakai sapu tangan sutra tersebut, sementara untuk menghentikan pendarahannya.
"Ikatannya sudah cukup kuat?" Luka bertanya.
Risa mengangguk, membuat Luka lanjut mengikat ujung-ujung sapu tangannya menjadi sebuah simpul rapi.
"Pisaunya beracun."
"Gue tebak juga begitu."
"Kenapa kamu malah melemparku menjauh? Aku punya waktu menahan pisau itu—Trisha—" Kekesalan Luka terganti oleh kekhawatiran ketika Risa terhuyung ke arahnya, nyaris jatuh karena mendadak kehilangan keseimbangan.
"Nggak apa-apa. Gue nggak apa-apa." Risa buru-buru menenangkan Luka. "Lutut gue agak goyah dikit. Mungkin karena kejadian barusan bikin gue shock—"
"Bukan karena shock, tapi karena racunnya sudah mulai bekerja. Sini—biarkan aku memegangimu." Luka meraih lengan Risa. "Cuma dengan melihat warnanya, aku sudah tahu racun apa yang melumuri pisau Karis. Dia sering menggunakannya waktu menginterogasi tawanan-tawanan kami dulu. Tanpa penawar, tubuhmu bakal mati rasa total dalam dua jam. Racun itu hanya perlu 24 jam untuk membunuh targetnya."
Takut-takut, Risa menelan saliva.
Jadi... diracun itu rasanya kayak gini.
Risa jadi bertanya-tanya, apakah yang kini dirasakannya sama dengan yang dirasakan Alka saat dia teracuni Sunyaruri.
"Jangan khawatir. Racunnya adalah jenis racun yang umum. Sudah sering digunakan terutama untuk mengancam tawanan atau penjahat yang menolak memberi keterangan. Besar kemungkinan, Nauli bisa membuat penawarnya."
"... kalau nggak bisa?"
Ekspresi wajah Luka menggelap. "Akan kuhabisi seluruh anggota Keluarga Palamarta yang tersisa kalau Karis menolak memberikan penawarnya."
***
Ketegangan di paras Luka melonggar sedikit setelah Nauli berkata dia mampu membuat penawarnya—Kastel Raudra punya seluruh herba yang dibutuhkan dan Nauli hanya memerlukan waktu tidak sampai lima belas menit untuk meraciknya.
Dari Nauli, Risa tahu kalau racun yang tengah menyerang sistem tubuhnya biasa disebut Ruai.
"Dinamai demikian karena cara kerjanya yang melumpuhkan perlahan-lahan. Dia akan membuat sekujur tubuh targetnya mati rasa. Lalu pada akhirnya, menghentikan detak jantung." Nauli berhenti di samping tempat tidur di mana Risa terduduk. Dia mengulurkan sebuah mangkuk kecil berisi cairan kuning beraroma sangit. "Rasanya kurang enak. Tapi kamu harus menghabiskannya. Jangan dimuntahkan."
Risa melirik Luka yang mengawasi dari sisi lain kamar.
"Kenapa melihatku? Kamu dengar apa kata Nauli. Habiskan. Jangan dimuntahkan."
"Baunya nggak enak."
"Kalau sulit meminumnya secara sukarela, aku bisa membantu." Luka menggulung lengan kemeja hitamnya sampai ke siku. "Nauli, aku akan memeganginya. Tuangkan isi mangkuk sialan itu ke mulutnya—"
"Gue nggak bilang gue nggak mau minum ya!" Risa melotot ke Luka. Dia mengeratkan genggamannya ke mangkuk di tangannya, berusaha mengumpulkan keberanian. Seraya memejamkan mata, Risa meneguk cairan kuning dalam mangkuk itu.
Nauli jelas berbohong. Rasa isi mangkuk itu bukan sebatas kurang enak. Rasanya mengerikan. Aromanya yang sangit memperparah rasanya yang sangat pahit. Wajah Risa mengerut jijik, seketika menghijau. Dia hampir muntah, tapi mati-matian memaksa mulutnya tetap mengatup. Ramuan itu meninggalkan sensasi hangat yang membakar saat melewati kerongkongannya.
"Sudah ditelan?"
Risa mengangguk.
Nauli menggeleng. "Buka mulutmu. Aku harus memastikannya."
Risa menghela napas dalam-dalam, menelan sisa ramuannya, lalu membuka mulutnya yang sudah kosong.
"Bagus. Kamu bakal baik-baik saja. Butuh setidaknya enam sampai tujuh bulan untuk membersihkan sisa racunnya dari sistem tubuhmu, tapi racunnya tidak lagi letal. Jangan cemas kalau tangan kananmu mati rasa atau kesemutan tiba-tiba. Racunnya masuk dari sana."
Lagi-lagi, Risa cuma mengangguk. Dia terlalu mual untuk bicara.
Nauli tersenyum tipis dan mengulurkan sebuah kotak kayu mungil. "Ini permen lemon buatanku sendiri. Enak dan menyegarkan. Dulu, Alka sangat menyukainya. Mungkin bisa membantu meredakan mualnya. Kuharap, kamu akan suka juga."
Mewakili Risa, Luka mengucapkan terima kasih.
Begitu Nauli meninggalkan kamar, Luka menghampiri tempat tidur Risa, terus duduk di pinggir kasur.
"Sudah lebih baik?"
Risa mengangguk. "Kepala gue udah nggak seringan tadi."
"Bagaimana rasa ramuannya?"
"Kayak kencing kuda dicampur jus pare dan ditaburin bubuk walang sangit."
"Berlebihan sekali. Memangnya kamu pernah minum air kencing kuda?"
"Belum, tapi gue tebak, rasa kencing kuda pasti masih lebih mending daripada apa yang barusan gue minum."
Luka tertawa kecil, diikuti helaan napas panjang. "Kenapa kamu melakukan itu, Tink?"
"Lo expect gue bakal ngapain? Kat udah ngeracun—"
"Tidak, bukan soal Katia. Maksudku, kenapa kamu melemparku menjauh dan menahan pisau itu dengan tanganmu sendiri?"
"Pisaunya beracun." Risa memandang Luka lekat-lekat. "Lo pikir, setelah apa yang dialami kakak gue, setelah melihat gimana racun itu bikin dia nggak berdaya, gue sanggup biarin lo mengalami yang sama?"
Luka tersadar kalau mata Risa mulai berkaca-kaca, jadi dia memutuskan mengalah dan tidak mendebat lebih lanjut.
"Tapi apa kamu yakin kalau Katia benar-benar melakukannya?"
"Kalau bukan dia, siapa lagi?"
"Entahlah. Aku merasa agak aneh saja kalau Katia bersedia bekerja sama dengan Basil." Luka menyambung. "Karis tidak jahat. Keluarga Palamarta tidak jahat. Katia... setahuku dia anak yang unik. Agak lemah secara fisik karena terlahir albino. Tapi dia kelihatannya baik. Waktu tahu kalau ayahku bersepakat dengan Basil, Karis mengirimiku surat. Kami pernah beberapa kali satu misi dulu—"
"Oh ya, gue hampir lupa kalau lo pernah tidur sama dia."
"Ini bukan waktunya cemburu, Trisha." Luka menyahut lembut. "Kami berteman. Makanya dia berani mengirim surat secara langsung padaku. Dia mempertanyakan tindakanku. Dia satu dari sedikit orang yang membelamu, yang menganggap konyol klaim Benji Agnimara bahwa kamu adalah bahaya yang sebenarnya. Karis tidak jahat. Tapi bagaimana pun juga, dia tetap seorang ibu. Dan dia sangat menyayangi anaknya."
Risa terbungkam sebab kata-kata Luka membuatnya teringat pada ibunya sendiri.
"Pasti Katia." Risa berbisik, berharap bisa menghalau pergi keraguan dari pikirannya. "Pasti dia. Nggak ada orang lain lagi yang bisa."
Pasti Katia.
Harus Katia.
Karena jika Risa salah menuduh dan bukan Kat pelaku yang sesungguhnya, rasa bersalahnya akan terlalu besar untuk dihadapi.
Dan rasa bersalah itu akan menghancurkannya.
***
Keesokan paginya, hari baru dimulai ketika Denzel meninggalkan penginapan bersama Novel dan Arai.
Mereka menuju ke sebuah rumah besar di salah satu puncak bukit yang ada di Desa Arati. Jaraknya tidak jauh dari penginapan. Sepanjang yang Novel tahu, rumah besar itu milik sebuah keluarga bangsawan lama yang berjaya berabad-abad lampau. Setelah Keluarga Diwangka berkuasa, mereka kehilangan dominasi dan memutuskan pindah ke kota yang lebih sepi. Rumah itu dibiarkan kosong, meski kondisinya masih sangat terawat. Sesekali, keluarga pemilik rumah menyewakannya pada para orang tua siswa akademi yang merasa dirinya terlalu terpandang untuk menginap di penginapan biasa selagi mengunjungi anak-anak mereka. Kali ini, Dawan dan Sikka Dalimunte yang menyewanya buat Dante dan Davi.
"Sinting!" Arai berseru sesudah mereka diizinkan melewati gerbang masuk. "Aku pernah baca kalau Keluarga Anoma terkenal tajir mampus di masa lalu, tapi tidak kusangka rumah mereka semegah ini! Bisa-bisanya mereka meninggalkan rumah ini untuk pindah ke daerah pelosok yang bahkan tidak tercantum di peta!"
"Ada hal-hal di dunia ini yang lebih berharga dari kemewahan, Bocah." Denzel berdecak. "Nah, itu mereka—sial, kenapa sekarang perasaanku susah biasa saja ya tiap melihat Dante?!"
"Mungkin karena kamu masih susah percaya kalau dia belum mati." Novel menjawab.
Arai ikut menyahut. "Atau bisa jadi, diam-diam kamu sudah jatuh cinta padanya. Davi bilang, kamu menangis heboh saat tahu dia tewas—"
"Aku tidak menangis heboh!" Denzel mendelik.
Di teras depan rumah besar tersebut, telah berdiri Dante, Davi dan Persie. Mereka sengaja janjian ketemuan karena dari sana, mereka berencana mengunjungi Risa di Kastel Raudra.
"Loh, ngikut juga?" Davi mengejek sambil melihat ke Arai. "Emang kamu udah berdamai sama Luka?"
Arai mengangkat bahu. "Aku sih tidak merasa punya masalah sama Luka."
"Sebagai penyuka keributan, aku sengaja mengajaknya. Siapa tahu saja mereka berantem beneran. Kapan lagi aku bisa lihat cowok ningrat kayak Luka nyeruduk rakyat jelata yang jarang makan enak macam bocah ini?"
Balasan Denzel membuat Arai berdecak sarkastik. "Kuucapkan terima kasih banyak."
"Kita mau langsung berangkat ke kastel sekarang?" Novel bertanya.
"Nggak, rencananya kami mau bikin kue dulu untuk Risa." Dante menyahut.
"Bikin kue?"
"Semacam kue cokelat, sering juga disebut brownies, pakai kacang almond. Setahuku, itu kue yang umum di dunia manusia. Gampang dibuat." Persie menjelaskan.
"Bukannya ulang tahun Risa masih beberapa minggu lagi?"
"Ngasih kue kan nggak harus nunggu ulang tahun dulu, Kakanda Guru!" Davi berseru.
Persie mengangguk setuju. "Risa udah melewati banyak kejadian. Kebanyakan nggak menyenangkan. Dia suka makanan manis, makanya kami kepikiran bawain dia kue."
"Manisnya." Davi mesem-mesem seraya memandang Persie. "Cewek yang begini nih minimal-maksimal harus jadi jodohku!"
"Mulai..." Dante geleng-geleng kepala.
"Biarin aja, umur nggak ada yang tahu." Denzel membela sekaligus mengejek Davi. "Kalau kue kayak gitu sih, di toko-toko juga banyak! Kenapa nggak beli aja?"
"Lebih spesial bikin sendiri dong!"
"Jadi ini mau bikin kue dulu?" Novel memastikan.
"Iya, tapi kalau pada mau bantuin, boleh juga."
"Aku mau bantu!"
"Khusus untuk Davi, kamu lebih berguna kalau nggak ikut membantu sekalian." Persie tersenyum manis.
"Oke, aku bisa bantu. Kalau kue cokelat, aku pernah beberapa kali bikin."
"Oh ya?! Kapan tuh?!" Denzel sontak heboh sendiri. "Bukannya kamu nggak suka cokelat?! Kok bisa-bisanya bikin kue cokelat—sebentar—eh, tapi kalau nggak salah, Chyndar suka cokelat dan—"
Seraya menjaga ekspresi datar di wajahnya, Novel memakai dua jarinya untuk mengatupkan bibir Denzel agar laki-laki itu berhenti bicara.
"Oke deh kalau gitu. Bahan-bahannya juga udah disiapin. Udah nih ya ngobrolnya? Kalau udah, kita lanjut bikin-bikin kue—"
"Belum selesai." Davi mencetus jail.
"Apanya yang belum selesai?" Persie refleks bertanya.
"Mencintai kamu—adaw!"
Davi tidak bisa menahan teriakan kesakitannya waktu Persie menganugerahkan sebuah tendangan tulus ke tulang keringnya.
***
Risa mendesah lega begitu dia membuka gulungan perban yang melilit telapak tangan kanannya.
Luka tusuknya sudah mengatup, tinggal menyisakan garis merah sepanjang tiga sentimeter dengan beberapa bercak biru di sekelilingnya. Pasti efek samping dari racun yang dibawa bilah pisau Karis. Meski begitu, lukanya sudah tidak sakit lagi bahkan saat ditekan. Sepertinya, ramuan karya Nauli benar-benar manjur—meski Risa bakal menolak meminumnya lagi sekalipun dia ditawari imbalan dua milyar.
Gadis itu memutuskan melepas sekalian perbannya, membiarkan perban itu tergeletak di atas nakas.
Sesudah itu, dia beranjak keluar kamar.
Bakal jadi dusta kalau Risa bilang kata-kata Karis tidak membuatnya gelisah. Ditambah ucapan Luka, kegamangannya makin memuncak. Sebelum mengenalnya Luka secara mendalam, Risa menganggap laki-laki itu adalah sosok paling dingin dan paling tidak berperasaan yang pernah dia temui. Melihat bagaimana Luka bicara tentang Karis seperti itu... serta fakta kalau Karis menentang keputusan Lorien bekerja sama dengan Basil untuk memburunya... memikirkannya membuat Risa tidak bisa tidur hampir semalaman.
Dia harus menemui Karis.
Risa tahu, pasca peristiwa kemarin, mustahil Luka mengizinkannya menemui Karis sendirian. Dia tidak tahu di mana Karis ditempatkan sampai sepuluh menit lalu. Kastel Raudra memang luas, namun mudah saja bagi Risa melacak energinya dan menemukan keberadaannya. Karis tidak ditahan di penjara bawah tanah atau di sel di puncak menara. Luka menempatkannya di sebuah kamar yang dijaga selusin perwira—Padma salah satunya.
"Aku perlu ketemu dia." Risa berucap tenang setelah dia tiba di depan pintu kamar.
"Sebaiknya jangan—"
"Aku bisa jaga diriku sendiri, Padma." Risa menegaskan. Suaranya menyiratkan kuasa yang sukar dibantah. "Aku perlu ketemu dia. Nggak lama. Makin cepat, makin bagus. Dan Luka nggak perlu tahu."
Ragu-ragu, Padma menelan saliva sebelum akhirnya membiarkan Risa masuk.
Karis sedang meringkuk di pojok ruangan saat Risa masuk. Rambutnya yang segelap jelaga tergerai berantakan. Pipinya sembab dan pucat. Matanya bengkak karena kebanyakan menangis. Hati Risa mencelus. Dia tahu seberapa menyakitkannya kehilangan ibunya, seberapa perihnya menyadari kalau dia tidak akan pernah melihat perempuan itu lagi dalam keadaan hidup dan tersenyum di depannya.
Tapi manakah yang lebih menyakitkan, menjadi seorang anak yang kehilangan ibu atau sebaliknya, ibu yang kehilangan anak?
Wajah Karis segera memerah karena marah begitu dia melihat Risa. Perempuan itu menerjang maju, berusaha menyerang. Tapi Risa sudah mengantisipasi tindakannya. Dia membangun barrier energi tak kasatmata di sekelilingnya, menggunakannya laksana perisai. Kepalan tinju Karis berujung menghantam tembok tebal transparan.
"Kalau saya jadi anda, saya nggak akan buang-buang energi." Risa berkata dingin.
"Pembunuh." Karis mendesis.
"Anak anda yang mengkhianati saya lebih dulu. Dia meracuni kakak saya. Tindakannya memaksa saya keluar dari Nanggala. Sisanya, anda sudah tahu apa yang terjadi." Risa berjuang tidak menunjukkan sedikit pun emosi.
"Dia tidak akan pernah melakukan itu! Sekalipun langit runtuh, dia tidak akan melakukannya!" Karis membentak dalam suara bergetar. "Dia menganggapmu temannya! Teman yang katanya sangat tulus! Di setiap surat, di setiap memo yang dia kirim padaku, dia banyak bercerita tentangmu! Memuji kamu yang memperlakukannya setara dan tidak menganggapnya beban karena fisiknya lebih lemah dari yang lain! Dia juga yang memohon padaku agar membiarkannya mengikutimu ke Nanggala! Dia tahu risikonya berpihak padamu! Dia tetap berpihak padamu saat yang lain memilih diam daripada nekat menentang Lorien Diwangka dan Benji Agnimara!"
"Dia—"
"Beritahu aku! Beritahu aku racun apa yang digunakan meracuni kakakmu!"
"Sunyaruri."
"Itu bukan racun yang umum dan mudah didapatkan. Bahan-bahan pembuatnya sangat langka dan harganya teramat mahal." Karis berujar sinis. "Kami tahu caranya membuat Sunyaruri, tapi kelangkaan bahan membuat kami berhenti memproduksinya sejak seabad lalu. Sebelum aku dilahirkan. Sebelum Kat dilahirkan. Bagaimana mungkin dia menggunakan racun itu saat dia bahkan tidak tahu cara membuatnya?"
"Tapi—"
"Katakan padaku, kenapa kamu pergi ke Orakel malam itu?!"
"Karena cuma mereka yang punya penawarnya!" Risa berseru, perasaannya makin tidak karuan. "Karena—"
"Aku yakin, Benji Agnimara bertanggung jawab soal kejadian itu, tapi anakku—anakku tidak terlibat! Dia tidak punya kepentingan apa pun dengan Benji Agnimara! Dia anak yang baik! Dia hampir tidak punya ambisi! Satu-satunya yang dia inginkan cuma memiliki teman! Kalau kamu membaca bagaimana dia menulis tentangmu di memonya, di surat-suratnya, kamu akan tahu seberapa penting pertemanan kalian untuknya!" tangis histeris Karis pecah. "Dia tulus dan kamu membunuhnya!"
"Saya menemukan vial berisi sisa Sunyaruri di kamarnya—"
"Dan kamu langsung menuduhnya?!" Karis menjerit. "Cuma orang tolol yang menyisakan racun di vial mereka! Dia tidak punya alasan menyisakan racun dalam vialnya kecuali dia ingin seseorang menemukan vial itu dan tahu kalau dia-lah pelakunya! Penjahat yang pintar akan berusaha sekeras mungkin menghapus jejak, bukannya malah meninggalkan bukti yang bisa membongkar kejahatannya!"
Risa terbungkam.
"Katia-ku yang malang..." Karis meratap. "Dia menganggapmu temannya, dia menyayangimu, dan kamu menuduhnya lalu membunuhnya!"
Risa melangkah mundur dengan kedua tangan yang gemetar.
"Pembunuh! Kamu membunuhnya!"
Seketika, Risa berbalik dan bergegas keluar kamar dengan perasaan yang berbadai. Namun di luar kamar, dia dibuat terkesiap oleh Lara yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu. Padma yang kelihatan cemas berada di belakangnya.
"Kamu kelihatan tidak baik-baik saja."
Risa menggigit bibir bawahnya, tak kuasa menjawab.
"Aku bisa bilang ke mereka kalau kamu lagi tidak enak badan."
"Mereka?" Susah-payah, Risa memaksa dirinya bersuara.
"Teman-temanmu. Mereka datang mengunjungimu. Kamu mau menemui mereka, atau harus kukatakan kamu lagi tidak enak badan?"
***
Mereka belum lagi tiba di depan pintu gerbang Kastel Raudra saat sebatang anak panah meluncur kencang membelah udara, hanya berjarak sesenti dari daun telinga kiri Arai.
Semuanya serentak terkesiap, lalu refleks memasang posisi waspada. Arai tercekat kaget dengan jantung bergemuruh. Dia tidak menduga bakal ada anak panah yang diarahkan padanya. Jika panah itu menembus leher atau kepalanya, dia pasti sudah tergeletak meregang nyawa di depan pintu gerbang kastel.
"Apa-apaan?!"
"Siapa yang menyerang kita?"
Novel mengerjap, menatap ke salah satu menara penjaga yang berada paling dekat dengan pintu gerbang. Luka berada di sana, tengah berdiri sambil memegang busur silang. Senyum tipis penuh kepuasan tertarik di wajahnya yang tampan. Lantas dia berbalik dan menghilang dari pandangan. Novel menebak laki-laki itu tengah menuruni undakan menara.
"Kurasa yang tadi itu cuma salam penyambutan."
"Salam penyambutan apanya?!" Arai menggerutu. "Panah itu hampir menancap di kepalaku!"
"Salahmu sendiri. Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa kamu justru mencium pacar orang?"
Arai terhenyak. "Apanya?"
"Luka yang melepaskan panah itu. Sepertinya dia cuma bergurau. Kalau dia benar-benar berniat membunuhmu, kamu pasti sudah tewas sekarang."
"Selera humornya tidak lucu sama sekali." Arai bersungut-sungut.
"Yah, Trisha juga pernah bilang begitu. Tapi setidaknya, aku tidak pernah memaksa menyentuh gadis yang jelas-jelas sudah punya pacar." suara Luka terdengar diikuti sosoknya yang mendekat. "Selamat datang di Kastel Raudra."
"Ah, kecemburuan pria." Denzel manggut-manggut.
"Kuharap tidak ada dari kalian yang membawa senjata maupun benda-benda sejenisnya yang bisa melukai atau membunuh. Kalau iya, segera keluarkan senjata kalian. Para perwiraku akan menyimpannya."
"Ahelah, ribet." Denzel berdecak. "Kami nggak bawa senjata. Puas?"
Luka menoleh ke barisan perwira di belakangnya, memberi mereka kode untuk melakukan pemeriksaan tubuh. Khusus untuk Persie, dia sengaja menugaskan sesama perwira perempuan.
"Ternyata kamu lebih paranoid daripada Lorien." Denzel mencerca.
"Bukan keselamatanku yang kucemaskan, tapi keselamatan Risa." Luka menjawab lugas, lalu tatapannya bergeser ke kotak yang dibawa Dante. "Apa isi kotak penyok itu?"
"Oh, ini brownies. Semacam kue cokelat yang dipanggang, bentuknya persegi dan—"
"Aku tahu brownies itu apa, Dalimunte. Aku tidak sekuno itu." Luka memotong. "Buka kotaknya. Biar kulihat."
"Kami ini teman-teman Risa!" Davi berseru. "Kami ke sini bukan untuk menyakitinya."
"Jaga-jaga saja." Luka berdalih sambil mendekati Dante. Dante membuka penutup kotaknya, menampilkan brownies gepeng di dalamnya. "Kenapa bentuknya jelek sekali?"
Persie membuang napas, hampir tepuk jidat saking malunya. Sementara Davi nyengir. "Sori, tadi nggak sengaja kedudukan sama aku. Walau agak penyet, tapi rasanya enak kok!"
"Yah, mungkin masih bisa dinikmati kalau dimakan dengan mata tertutup." Luka mengangkat bahu. "Baiklah. Ikuti aku."
Dari pintu gerbang, mereka melintasi lorong-lorong kastel yang didominasi oleh warna merah, hitam dan emas di mana-mana, yang berujung ke sebuah teras semi terbuka. Meja bundar berukuran besar ditempatkan di tengah teras, dikelilingi kursi-kursi. Set peralatan minum teh ditata rapi di atas meja; poci-poci dan cangkir porselen serta biskuit-macaron-kue-kue basah berwarna pastel menggemaskan tertata indah di atas wadah bertingkat.
Terlihat, Risa dan Lara sudah lebih dulu berada di sana.
Persie agak malu ketika brownies buatan mereka dikeluarkan dari kotak. Dibandingkan kue-kue cantik di atas meja, brownies mereka yang sudah penyet digerus pantat Davi lebih mirip kain lap yang dicelup cokelat lalu dibekukan.
"Tapi rasanya enak kok! Beneran! Nih ya, kucoba makan—"
"Kamu sih ngedudukin kuenya!" Persie cemberut. "Risa, maaf banget. Kami sengaja bikin ini buat kamu karena kamu suka makanan manis. Tadi bentuknya bagus kok sebelum kedudukan Davi. Tapi kalau kamu nggak selera, nggak apa-apa—"
"Apaan sih? Siapa coba yang nggak selera?" Risa mendengus. Menggunakan pisau kue, dipotongnya brownies penyet tersebut dan dicicipinya. "Enak banget!"
"Sungguh?"
"Beneran!"
"Hehe. Thank you." Davi nyengir, sedangkan Dante hanya tersenyum kalem.
"Apaan thank you-thank you! Kayak kamu ikut bantu bikin aja!" Persie mendelik.
"Loh, kamu nggak tahu ya?! Aku kan ikut bantu doa!"
"Udah, daripada ngoceh mulu, mending makan nih—" Denzel berucap sambil menjejalkan sepotong kue lapis ke mulut Davi.
Mereka mengobrol sambil minum teh beberapa lama—yang didominasi cerita horor tentang penginapan tua tempat Denzel, Novel dan Arai menginap hingga rumah keluarga bangsawan sewaan keluarga Dante dan Davi yang konon punya kolam renang di dalam kolam renang.
Sejenak kemudian, tahu-tahu Risa menggeser kursinya mundur dan berdiri. "Gue mau ke toilet sebentar. Kalian lanjut ngobrol aja. Nggak lama kok."
"Perlu diantar?" Luka mengangkat alis.
Risa memutar bola matanya. "Lu, gue bukan anak kecil yang ke toilet aja kudu dianter."
"Cuma memastikan."
Risa meneruskan melangkah menjauh. Sayup-sayup, didengarnya Denzel meledek Luka. "Lu? Apa itu panggilan sayang Riri untukmu? Dan kamu nggak protes sama sekali?! Ya ampun, ternyata cowok ningrat sok dingin kayak kamu bisa mabuk kepayang juga—aduh—apa-apaan sih?! Kok kamu seenaknya saja menginjak kakiku?!"
Risa mempercepat langkahnya hingga suara-suara orang-orang teredam sepenuhnya.
Sebenarnya, dia berbohong. Dia tidak berniat pergi ke toilet. Kepalanya amat riuh setelah menemui Karis. Risa butuh waktu sendiri untuk melamun sekaligus memilah-milah isi pikirannya. Makanya ketika dia sudah agak jauh, Risa berhenti dan duduk di salah satu bangku taman.
Kalau kamu membaca bagaimana dia menulis tentangmu di memonya, di surat-suratnya, kamu akan tahu seberapa penting pertemanan kalian untuknya!
Penjahat yang pintar akan berusaha sekeras mungkin menghapus jejak, bukannya malah meninggalkan bukti yang bisa membongkar kejahatannya!
Pembunuh!
"Oh, jadi tempat ini namanya toilet ya?"
Sebuah tanya yang sekonyong-konyong terdengar membuat Risa tersentak. Dia segera menoleh ke sampingnya, mendapati Davi sudah berada di sana. Entah sejak kapan.
"Eh—"
"Kalau kamu lagi nggak mau diganggu, harusnya bilang aja, Risa." Davi berkata. "Kupikir cuma perasaanku aja, tapi kayaknya kamu beneran lagi banyak pikiran. Oh ya, boleh aku duduk di sebelah kamu?"
"Kalau nggak boleh?"
"Yaudah, aku duduk di sini aja." Davi menjawab sambil duduk bersila di atas rumput, tepat di depan kaki Risa.
Mau tidak mau, tawa kecil Risa pecah. "Gue belum bilang nggak boleh, kan? Kok udah duduk aja?"
"Yang tegas dong makanya! Boleh apa nggak?"
"Boleh."
Davi pun duduk di bangku, tepat di samping Risa.
"Lagi mikirin apa?"
"Soal keputusan yang udah gue buat. Awalnya, gue yakin banget kalau gue udah melakukan sesuatu yang emang harusnya gue lakukan. Tapi makin ke sini, gue makin mempertanyakan diri gue sendiri. Gue ragu. Apa jangan-jangan tindakan gue salah?"
"Kenapa kamu ragu?"
Risa memandang Davi sebentar. "Udah lama banget kita nggak sparring. Mau coba sparring sekarang? Yang ringan-ringan aja."
Balasan Risa membuat Davi heran, tapi toh pada akhirnya dia tetap mengangguk. Mereka bangkit dari bangku, kemudian berdiri berhadapan di atas rumput. Keduanya sama-sama membungkuk singkat sebagai tanda penghormatan. Lalu, Risa jadi yang pertama menyerang. Dia menerjang ke depan. Davi merespon dengan menghindar.
"Menurut lo, Kat itu orang yang kayak gimana?"
"Oh?" Davi mengerjap, meringis saat kelengahannya membuat Risa leluasa mendaratkan kepalan tinju ke tulang belikatnya. "—kamu perlu lebih spesifik, Riri. Kayak gimana dalam artian apa?"
"Menurut lo, apa mungkin Kat yang melakukannya?"
"Apa itu penting sekarang?" Davi menjawab sambil berkelit dari tendangan Risa. "Dia sudah mati."
"Jawab aja. Jujur."
"Aku tahu, bukti yang ditemukan memberatkannya, tapi menurut pandangan pribadiku, agak mustahil Kat yang melakukannya." Davi coba meninju wajah Risa, yang berhasil Risa hindari dengan sangat baik.
Hati Risa mencelus, membuat kewaspadaannya berkurang. Davi memanfaatkan momentum dengan menubruk Risa dan menjatuhkan gadis itu ke rumput. Risa menggeliat, berusaha melepaskan diri dari cekalan Davi, namun bobot tubuh pemuda itu sempurna menindihnya.
"Dia memujamu, tahu? Dia bangga bisa berteman denganmu. Dia menganggapmu hebat, mengatakan kalau kamu orang terkuat yang pernah dia kenal. Waktu Alka keracunan, dia ikut bantu-bantu. Dia nggak berhenti berusaha nyari tahu dan mikirin solusinya."
Gerakan tangan Risa melemah, membuat Davi mampu memiting lengannya dengan mudah.
"Tapi pada akhirnya, kita semua berharap kalau pengkhianatnya memang Kat, kan? Karena kalau pengkhianatnya bukan dia, kamu bakal tersiksa oleh rasa bersalah karena keliru mengeksekusi orang."
Risa menelan saliva dan berbisik samar. "Gue nyerah. Lo menang. Lepasin tangan gue."
Davi melepaskan tangan Risa. Dia bangkit lebih dulu, lantas mengulurkan tangannya untuk membantu Risa berdiri.
"Dan kalau pengkhianatnya bukan Kat, itu berarti pengkhianat sebenarnya masih ada di antara kita.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top