FINAL BOOK - CHAPTER FIVE
Saat melintasi portal-portal antara dua dunia untuk menghemat waktu perjalanan dari Raudra ke Anais yang berjarak ratusan kilometer, tim Denzel sempat tersesat.
Kebetulan, mereka memang jarang menggunakan portal yang terhubung ke Anais. Denzel terakhir lewat sana sekitar satu setengah tahun yang lalu. Itu pun bersama Nedia. Portal yang terhubung ke Anais mestinya berada di sebuah lahan kosong penuh semak dan tumpukan material bangunan yang dibuang asal-asalan. Denzel kaget waktu tiba di sana, karena alih-alih lahan kosong, mereka justru disambut sebuah kedai es krim yang bangunannya didominasi warna merah.
Denzel mengerjap, sementara Nauli terlihat penasaran.
"Lah, sudah jadi ruko aja..." Dante terpana.
"Mereka jual es krim?" Nauli bertanya ke Denzel. "Kelihatannya enak."
"Aku suka dia." Kamal menunjuk badut maskot gembung berwarna putih yang tengah melambai pada mereka, seakan mengundang mereka mendekat. "Gemas sekali. Di dalamnya ada manusia, kan?"
Bahkan Sondya yang dari awal tampak bosan pun kelihatan tertarik.
"Kamu punya uang yang laku di sini?" Nauli bertanya lagi. "Mungkin kita bisa mampir sebentar—"
Untung saja, area depan kedai es krim itu lagi sepi. Kalau tidak, dengan setelan tempur mereka yang serba hitam, mereka mungkin sudah disangka anggota Tim Densus 88 nyasar. Denzel gelisah karena belum menemukan portalnya, tapi dia membiarkan Dante yang paling sering jalan-jalan ke Dunia Terang mentraktir Nauli, Kamal dan Sondya es krim.
Sehabis beli es krim, mereka berlima dibuat pusing mencari-cari portal—yang ternyata sudah dipindahkan ke lahan kosong lain berjarak sekitar satu kilometer dari lahan kosong yang kini sudah jadi kedai es krim.
"Kita harus beritahu Luka soal ini." Denzel berkata seraya sesekali menyedot minuman yang dipesankan Dante untuknya. "Bukan nggak mungkin, besok-besok lahan kosong ini juga berubah jadi kedai es krim. Bagusnya, portalnya jangan ditaruh di lahan kosong. Mending pindahin ke gedung yang sudah nggak terpakai atau sejenisnya."
Semuanya mengangguk sambil menjilat es krim.
Mereka melintasi portal yang lalu membawa mereka kembali ke Dunia Bayangan.
Dante masih asyik menghabiskan sisa es krimnya ketika dia sadar kalau Denzel sedang menatapnya.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa." Denzel buang muka, malu karena tertangkap basah.
"Kalau nggak apa-apa, boleh nggak berhenti ngelihatin aku kayak gitu?"
"Ngelihatin kamu kayak gimana ya maksudnya?"
"Ngelihat aku seakan-akan aku mayat yang baru bangkit dari kubur. Dari kita berangkat loh, kamu ngelihatin aku kayak gitu terus." Dante berdecak. "Aku masih hidup, oke, Kakanda—"
"Nggak perlu panggil aku kayak gitu. Aku bukan mastermu lagi. Davi saja sudah berhenti manggil aku begitu!" Denzel memotong.
Dante mengangkat bahu. "Aku nggak peduli. Itu sih terserah Davi. Tapi buatku, kamu selalu masterku."
Denzel menatap Dante seperti dia siap meraung sewaktu-waktu. Sondya langsung memutar bola matanya. Terkadang, dia susah percaya kalau Denzel adalah bagian dari Panca Aryaka. Lelaki itu sering bersikap menggelikan, seperti sekarang.
"Astaga, manisnya..." Nauli terkekeh. "Pantas saja. Davi cerita, katanya Denzel menangis berhari-hari di Nanggala karena mengira kamu tewas—"
"Aku nggak nangis!" Denzel membantah keras. "Nauli, aku menghormatimu, tapi sebagai kapten tim ini, aku bisa menghukummu kalau kamu terus-terusan menyebar hoax loh."
Dante nyengir. "Sejujurnya, aku terharu banget. Aku agak nggak nyangka kalau masterku menganggapku sepenting itu..."
"Aku nggak—oke. Terserah kalian kalau gitu." Denzel menyerah.
"Yah, pokoknya aku masih hidup. Aku cuma cedera. Nauli menyembuhkanku. Jadi tolong ya, lihat aku sewajarnya saja."
"Pembicaraan selesai." Denzel bersungut-sungut. Dia melangkah duluan menuju jalan yang akan berujung ke pintu kota. Tim mereka ditugaskan menculik walikota Anais, seorang lelaki bangsawan bernama Barga Shankara.
Anais berada di dekat sungai, berseberangan langsung dengan Sirrus. Kota itu tergolong baru. Umurnya bahkan belum setengah millenium. Setahu Denzel, dahulunya Anais adalah daerah curam berbatu-batu.
Sarwa Shankara—kakek Barga Shankara yang kini berkuasa—berasal dari Kepulauan Nanggala. Konon, Sarwa Shankara melakukan kejahatan tidak termaafkan yang membuatnya hanya punya dua pilihan; meninggalkan Kepulauan Nanggala untuk selamanya atau mati bersama keluarga. Sudah barang tentu, Sarwa memilih yang pertama.
Mereka berlayar dari Nanggala, mengikuti alur sungai dan memutuskan menepi di daerah curam berbatu-batu itu. Meski berada di dekat sungai, daerah itu dihindari karena topografinya yang kelewat curam. Tanahnya hampir mustahil dicangkul karena terlindungi lapisan keras batu. Batu-batu sungai sebesar gajah tersebar di mana-mana. Butuh kuasa magis yang besar untuk meratakannya. Kerja keras yang ogah dilakukan mereka yang masih punya pilihan.
Namun, Keluarga Shankara tidak punya pilihan. Jadi, mereka membuka lahan berbatu itu. Mereka meleburkan lapisan batu yang mengeras dan melenyapkan batu-batu sungai raksasa yang berserakan. Kemudian, mereka mulai bermukim. Setelah permukiman mereka makin ramai, Sarwa Shankara memberanikan diri mendatangi Kastel Raudra. Dia mempersembahkan kesetiaannya pada Lucien Diwangka—mendiang kakek Luka. Keluarga Diwangka pun mengizinkan Keluarga Shankara menjadi penguasa Anais.
"Kalau gitu, kenapa mereka nggak memihak Luka di perang ini?" Dante bertanya penasaran selagi mereka melangkah. "Kalau kakeknya Luka nggak kasih mereka izin tinggal di sana, mereka mungkin sudah luntang-lantung di antara dua dunia."
"Aku tahu kayak apa bentuknya lahan itu sebelum Keluarga Shankara datang dan membangun Anais di sana. Curam. Penuh ular berbisa yang tinggal di lubang-lubang bebatuan. Belum lagi batu sungai yang bertumpuk di mana-mana. Mustahil makhluk bayangan biasa bisa meratakan medan kayak gitu dalam hitungan beberapa malam. Cuma okulis yang bisa melakukannya. Aku tebak, Benji dulu membantu mereka. Dia sengaja bikin Keluarga Shankara berutang budi. Mungkin, dia juga yang nyuruh Sarwa Shankara mendatangi Lucien Diwangka."
Dante terhenyak. "Jadi... maksudnya... Ben—Basil sudah merencanakan ini semua sejak lama?"
"Melihat dari karakter Benji, aku tidak akan kaget kalau dia sudah merencanakan semuanya sebelum Trisha ada di dunia ini." Nauli menghela napas. "Dia sangat visioner. Dan sebagai pewaris trah Agnimara, kami pernah percaya kalau cuma dia yang bisa berhubungan langsung dengan Serpentine."
"Pernah?" Kamal mengernyit. "Berarti sekarang kalian sudah tidak percaya lagi?"
"Serpentine tidak akan mengorbankan banyak nyawa yang tidak bersalah. Dia adalah sosok yang penuh belas kasih. Belas kasihnya juga yang membuatnya terusir dari Dunia Gelap dan membuat bangsa kita ada." Nauli berkata. "Dan di kehidupannya kali ini, Trisha tidak melakukan kejahatan yang membuatnya pantas dihukum mati."
"Atau mungkin... belum." Sondya menyergah.
Dante memandang Sondya dengan tatapan tidak suka. "Kalau kamu meragukan Trisha, kenapa kamu ada di sini, Suryasangkala?"
"Aku tidak meragukannya." Sondya membela diri. "Itu kan cuma pengandaian. Belum tentu juga benar."
"Kita sudah dekat." Denzel menyela sebelum Dante dan Sondya cekcok betulan.
Tanah di bawah sepatu mereka tidak lagi berlapis rumput hijau, melainkan sudah tergantikan hamparan pasir halus. Pasir itu adalah sisa-sisa dari bebatuan yang diratakan ratusan tahun lalu. Tampaknya, Keluarga Shankara sengaja membiarkan tumpukan pasir itu menghiasi sekeliling tembok terluar kota. Sepeti semacam pengingat dari apa kota mereka bermula. Daya magis menjaga agar pasirnya tetap berbutir halus dan tidak kembali mengeras jadi lapisan batu.
Nauli segera menoleh ke Denzel ketika dia merasakan kehadiran seseorang.
"Seseorang yang kita kenal ada di dekat sini."
"Aku tahu." Denzel berkata gamang. "Ingat rencana cadangan yang sempat kita diskusikan tadi? Kalau kekhawatiranku terbukti, jalankan rencana itu. Jelas?"
"Jelas." Dante dan Kamal menyahut kompak, sementara Sondya hanya membisu.
Sekonyong-konyong, pintu gerbang kota yang tertutup dibuka dari dalam. Sesosok gadis berambut sebahu muncul. Dia mengenakan setelan tempur serba hitam. Tangan kanannya dihiasi sarung tangan warna merah gelap yang amat mencolok di atas kulitnya yang pucat. Sebuah lencana tersemat di dadanya. Denzel mengenali bentuk lencana itu. Itu simbol Keluarga Lazuardi.
"Daenyra." Nauli bergumam. "Dugaanmu rupanya tidak meleset."
Denzel tidak menyahut, matanya menatap lurus ke Dany yang terkekeh senang.
"Wah, wah, wah... lihat siapa tamu kehormatan kita kali ini." Dany berucap dengan keriangan yang dibuat-buat. "Adikku tersayang dan... Nauli Mahisa? Agak sulit kupercaya. Apa yang Luka Diwangka janjikan padamu sampai-sampai kamu bersedia diterjunkan dalam misi semacam ini? Tidakkah ini bertentangan dengan Sumpah Penyembuh yang sudah kamu ambil?"
"Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan berlagak sok tahu soal sesuatu yang tidak kukuasai, Daenyra." Nauli membalas lembut. "Lencana yang bagus. Jika Tada Lazuardi tahu kamu memakai simbolnya, mungkin dia sudah jungkir-balik dalam kubur."
"Bagaimana pun juga, aku masih anak perempuannya." Dany tertawa. "Aku kecewa sekali. Tadinya, kukira bakal ada pembantaian. Semacam banjir darah. Pasir-pasir di sini sudah dibiarkan kering terlalu lama. Tapi sialnya, Luka Diwangka malah mengirim kalian kemari. Aku bukan petarung yang payah, tapi aku sadar diri. Aku tidak akan bisa menang melawan dua pengguna okulis sekaligus, bahkan dengan dua ratus serdadu di belakangku."
"Kalau begitu, mundur." Denzel mendesis, membuat Dante refleks menoleh padanya. Belum pernah Dante melihat masternya seserius itu. "Mundur dan kembalilah ke estat Agnimara."
"Mundur? Apa serunya..." Dany tersenyum miring. "Begini saja, Adikku Sayang. Bagaimana kalau kita selesaikan dengan cara lama saja? Yang kalah akan mati, dan yang menang—yah... yang menang bebas melakukan apa yang ingin mereka lakukan."
Denzel melirik Dante. "Ingat yang kukatakan tadi, Dalimunte?"
Dante mengangguk.
Denzel berpaling ke Nauli. "Lakukan sesuai rencana kita. Prioritasmu cuma satu. Jangan pedulikan yang lain."
"Aku mengerti."
"Bagaimana, hm?" teriakan Dany terdengar. "Katakan saja kalau takut. Mungkin aku bisa mempertimbangkan mengampunimu. Bagaimana pun juga, kamu kan adikku."
"Aku tidak takut, tapi kurasa aku punya rencana yang lebih baik, Kakak." Denzel beralih ke Kamal. "Sekarang!"
Kamal menggerakkan kedua tangannya, menciptakan pusaran angin puyuh yang lalu diarahkannya menuju pintu gerbang kota. Hanya saja, pusaran angin itu tidak benar-benar menyasar pintu gerbang. Pusaran itu berputar ganas di atas hamparan pasir, menerbangan butirannya dan mengganggu jarak pandang.
Dany terkesiap, sepertinya tidak menebak kalau ada pemilik elemen Angin di antara mereka. Di tengah kekagetannya, Dante menghentakkan kaki ke tanah. Pemuda itu berkonsentrasi penuh menciptakan barrier terbesar yang pernah dia buat, berusaha menahan bukan hanya Dany, tapi sebanyak mungkin anggota pasukannya agar tidak bisa ke mana-mana.
Selagi Dany dibikin sibuk, Nauli segera memelesat bersama Sondya menuju sisi lain tembok yang memagari kota. Mereka sudah tak lagi berada di sana ketika liukan kobaran api yang Dany semburkan meredakan tornado yang sempat berkecamuk.
Dany menatap Dante jengkel. "Terakhir kali kamu bikin barrier raksasa, kamu hampir hangus jadi abu. Masih belum kapok juga, Bocah?"
Dante cuma tersenyum lebar.
"Dasar begundal!" Dia menghardik Denzel. "Kalian akan mati hari ini!"
"Atau sebaliknya," Denzel mengambil posisi bersiap. "Kamulah yang akan kembali ke estat Agnimara dalam peti mati."
***
Novel jarang bicara.
Itu kesan pertama Persie tentangnya. Dia banyak diam, kelihatannya lebih suka jadi pengamat. Dia tidak dingin, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang seolah tidak terjangkau. Keningratan purba yang mengundang segan. Pembawaannya yang demikian, jika dikombinasikan dengan fitur fisiknya yang halus dan pucat, dengan mudah menciptakan hawa asing nan menarik. Persie yakin, hampir semua orang yang pernah melihat Novel pasti meyakini kalau lelaki itu tidak sepenuhnya serpent.
Dari semua orang di lingkaran terdekat Alka, Novel Casimira adalah yang paling misterius. Persie belum pernah mendengar nama keluarganya sebelumnya. Dia seakan-akan muncul tiba-tiba. Bahkan sampai sekarang, asal-usulnya tidak diketahui.
Mereka melintasi portal-portal antara dua dunia tanpa banyak drama. Segera setelah keluar portal, Persie bisa melihat barisan menara-menara bangunan tertinggi di Sirrus dari kejauhan. Sirrus adalah kota yang indah. Berada di dekat sungai, dikelilingi oleh ngarai yang berfungsi lebih baik dari tembok pertahanan mana pun di Dunia Bayangan.
Satu-satunya jalan menuju pintu masuk kota adalah jembatan gantung yang membentang hampir 200-meter panjangnya. Sejak awal, Novel sudah mempersiapkan timnya melakukan konfrontasi langsung. Mereka akan melumpuhkan para penjaga di pintu masuk kota selekas mungkin, lalu segera menyusup untuk menjalankan misi mereka.
Hanya saja, Novel tidak mengira kalau yang akan menanti mereka di pintu masuk kota bukanlah para penjaga Sirrus, melainkan seseorang yang dia kenal beserta sekompi prajurit berdiri di belakangnya.
Chyndar Tedjaratri berjalan santai ke arah mereka, baru berhenti ketika dia tiba di tengah jembatan.
Mereka saling memandang. Melihat ketenangan di wajah Chyndar, Novel sadar kalau gadis itu sudah tahu mereka bakal datang. Dia tidak terlalu terkejut. Dia kenal Benji Agnimara. Mustahil Benji Agnimara tidak punya mata-mata di antara mereka. Tapi tak banyak yang tahu rencana rinci tentang misi ini, yang berarti mata-mata Benji Agnimara lebih dekat dari yang dia kira.
Siapa? Novel berpikir. Rapat terbatas itu cuma dihadiri oleh orang-orang Luka percayai. Aku, Denzel dan Raga bahkan tidak diundang. Waktu keberangkatan kami tidak diumumkan. Kami juga punya titik kumpul yang berbeda.
Melihat Chyndar membuatnya terkena déjà vu. Seakan-akan dia kembali melihat Sajira Tedjaratri lagi, namun dengan rambut hitam pekat. Chyndar mengenakan atasan tanpa lengan berkerah tinggi warna putih dengan pendar holografik kebiruan. Rambutnya dijalin dalam satu kepangan, membuat fitur wajahnya jadi lebih mencolok. Mata merah muda di kulit yang pucat. Bantalan bahu melindungi lengan kanannya. Bantalan lutut dari kulit berwarna senada melapisi tempurung lututnya yang pernah cedera. Pedang bersarung melekat di pinggangnya.
"Kamu kelihatan lebih pucat dari biasanya." Chyndar berdeham. Angin bertiup, menggoyang rambut mereka. "Jarang berada di bawah sinar matahari ya?"
Novel tidak langsung menjawab.
"Jadi pada akhirnya, kamu mengabdikan dirimu pada Luka Diwangka?" Chyndar bertanya muram. "Jujur, kamu membuatku kecewa. Apa kamu juga yang memilih bocah-bocah di belakangmu itu sebagai anggota tim? Kupikir kamu lebih baik dari ini. Buat apa membawa anak-anak ke dalam perang? Kamu cuma akan mengantarkan mereka ke kematian yang terlalu dini."
Novel baru membuka mulut saat Ishan mengepalkan tangannya penuh emosi, lalu nekat menerjang ke arah Chyndar. Di belakangnya, Puti mengikuti. Novel mencoba menahan mereka, tapi sudah terlambat.
Chyndar meraih pedang dari pinggangnya. Dia menghantamkan gagang pedangnya yang masih bersarung ke lutut Ishan. Ishan membungkuk kesakitan, tapi Chyndar tidak memberinya jeda sama sekali. Diayunkannya gagang pedangnya ke wajah Ishan. Kekuatan pukulannya memaksa Ishan tersaruk mundur.
Chyndar tak berhenti. Dia ganti menyambut Puti yang menyerbu di belakang Ishan. Pedangnya menghantam torso Puti. Bertenaga penuh. Jika pedang itu tidak terbungkus sarungnya, gabungan tenaga Chyndar dan tajamnya mata pedang mungkin sudah memotong torso Puti jadi dua bagian.
Ishan mencoba bangkit, namun Chyndar segera memukul pahanya. Di saat yang hampir bersamaan, Puti kembali berdiri. Sembari menahan sakit, Puti mencabut pisau, mencoba menusuk punggung Chyndar. Chyndar lebih cepat. Gadis itu melepas sarung pedangnya hanya dalam sekali sentak, lalu menebaskannya. Darah terciprat ke wajahnya, menodai bagian depan atasan putihnya. Tubuh Puti terhuyung, roboh ke atas jembatan sesaat kemudian.
"Eveelet." Chyndar menggumamkan sepotong kata yang tak dipahami siapa pun di sana selain Novel.
Itu bahasa tua yang masih digunakan oleh bangsa Faen. Dan kata itu pernah sangat sering Chyndar katakan pada Novel berpuluh tahun silam. Satu kata yang berarti "idiot" atau "tolol".
Melihat apa yang terjadi pada rekan satu timnya, Ishan menelan saliva. Dia batal melontarkan jarum-jarum beracunnya ke Chyndar usai melihat Puti tewas dengan dada terkoyak. Persie ternganga, benar-benar tak kuasa berkata-kata.
Tanpa repot-repot menyeka percikan darah merah tua di wajahnya, Chyndar menatap tajam ke arah Novel. "Hanya segini kualitas orang-orang yang Luka kirim dalam misi rahasianya? Ternyata selama ini, aku memandangnya terlalu tinggi."
"Harus kuakui, kemunculanmu di sini membuatku terkejut. Tapi setidaknya, kini aku tahu kalau Benji Agnimara menyusupkan mata-mata di antara kami. Dan mata-mata itu... sangat dekat." Novel akhirnya bersuara.
Chyndar melihat sekilas ke barisan perwira di ujung lain jembatan. "Tetap di tempat. Jangan bergerak sampai kuberi aba-aba." Lalu, dia menatap Novel lagi. "Aku bisa saja menghabisi kalian semua di sini. Kalian bertiga, sedangkan aku membawa dua ratus perwira bersamaku. Sial sekali, Luka mengirimmu ke sini."
"Jika situasinya memburuk, segera pergi. Lupakan misinya. Selamatkan dirimu dan beritahu Luka apa yang terjadi di sini. Mengerti?" Novel berujar ke Persie tanpa mengalihkan matanya dari Chyndar.
Persie gemetar ketakutan, tapi gadis itu cepat-cepat mengangguk.
"Kenapa?" Novel bertanya ke Chyndar. "Apa karena kamu tidak sanggup membunuhku?"
"Aku sanggup membunuh siapa pun dan apa pun. Tapi membunuhmu sebelum utangku terlunasi akan mencoreng harga diriku."
"Ariella tidak menginginkanmu terlibat dalam perang ini—"
"JANGAN BAWA-BAWA NAMA ADIKKU!" Chyndar membentak marah.
"Aku bertemu dengannya. Dia sempat ke Desa Arati setelah mendengar apa yang terjadi pada Alka. Dia ingin menemuimu, tapi mustahil baginya masuk ke estat Agnimara. Sumpahmu pada mendiang ibumu sudah gugur. Yang ada hanya janji kosong yang tidak wajib kamu tepati. Ariella ingin kamu mundur dari perang ini."
"Tutup mulutmu!"
"Dan jika tidak?"
"Aku akan membungkamnya."
"Silakan saja." Novel melangkah maju. "Tapi jika aku jadi kamu, aku bakal ingin membaca surat ini." Novel mengeluarkan sepucuk surat dari saku atasan hitamnya. "Ini dari Ariella. Dia ingin aku memberikannya padamu."
Chyndar berjalan melewati mayat Puti, melewati Ishan yang tercekat ngeri, terus hingga dia tiba di depan Novel. Jemarinya yang lentik nan pucat meraih amplop dari tangan Novel. Lantas, dialirkannya api yang membakar amplop itu sampai hanya menyisakan abu.
Novel menghela napas dalam-dalam.
"Aku akan membiarkan kalian pergi hidup-hidup. Utangku padamu lunas. Kembalilah ke Raudra. Katakan pada Luka Diwangka kalau dia bukan tandingan Benji Agnimara dan kastelnya akan jatuh sebentar lagi."
Chyndar berbalik. Namun datar di ekspresi wajahnya langsung luntur manakala dari kejauhan, dia melihat seorang prajuritnya sudah berada di salah satu menara penjaga pintu masuk Sirrus. Prajurit itu memegang busur dan anak panah. Dia membidik ke jantung Novel, lalu melepaskan anak panahnya.
Chyndar tercekat. Waktunya sempit. Dia buru-buru memutar arah. Diterjangnya Novel agar rebah ke tanah seraya menciptakan perisai energi tak kasatmata untuk menahan laju anak panah. Sayangnya, singkatnya waktu membuat panahnya keburu melewati perisai energi tersebut dan berujung tertancap di punggung kanan Chyndar.
Mengabaikan nyeri di punggungnya yang baru menghantam tanah, perhatian Novel terpusat pada napas Chyndar yang terengah.
"Cindy—"
Tangan Novel meraba ke punggung kanan Chyndar, dan jemarinya segera basah oleh darah.
***
Adya kira, tugasnya kali ini akan mudah.
Hingga dia melihat Risa di antara Raga, Davi dan Arai.
Hatinya langsung mencelus di momen pertama matanya menemukan mata Risa. Mata cokelat gelap itu memandangnya muak. Adya sudah biasa dibenci, tapi entah kenapa tatapan menusuk yang Risa berikan terasa teramat tak tertahankan. Tatapannya mengingatkan Adya pada tatapan Nevna. Pada tatapan Alka. Sosok-sosok yang sudah jadi masa lalu itu seolah kembali bersama Risa untuk menghantuinya.
Apa yang dia lakukan di sini? Adya merutuk dalam hati. Dan bisa-bisanya Luka membiarkannya ikut dalam misi berisiko seperti ini! Dia itu tolol atau apa?
Adya mencoba menguasai dirinya.
Jangan konyol. Kamu sudah kehilangan Alka. Dia bukan siapa-siapa. Lumpuhkan dia. Bunuh sisanya. Bawa dia ke Benji Agnimara. Selesaikan semua ini secepatnya.
Tapi bisikan lain yang terdengar jauh dari dalam diri Adya langsung mendebat.
Kamu akui atau tidak, dia tetap adik perempuanmu. Kalian satu ayah. Kamu dan dia berbagi satu garis keturunan. Dan jangan lupa, Alka mati untuknya.
Sanggupkah kamu membunuhnya?
Mampukah kamu menghentikan jantung yang Alka jaga mati-matian agar tetap berdetak?
Adya mengepalkan tangan kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Jangan tolol, Adya.
"Mengejutkan. Tidak kusangka aku akan bertemu denganmu di sini." Adya menyeringai. "Halo, Adik Kecil. Merindukanku?"
"Kamu bakal mati hari ini." Risa mendesis murka.
"Atau mungkin sebaliknya." Adya melebarkan senyum. "Sayangnya, aku tidak bisa membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri. Andaikan aturannya berbeda, aku akan melakukannya dengan senang hati. Meski terus terang saja, kamu menakjubkan di duel terakhir kita. Bagaimana kalau kita selesaikan di sini? Atau kamu lebih suka berlindung di balik punggung teman-temanmu?"
"Berhati-hatilah, Adya." Raga membalas tenang. "Kesombongan adalah pedang bermata dua yang bisa balik melibas pemiliknya kalau tidak dikendalikan."
"Kamu kalah di Nanggala." Risa berkata tajam. "Dan kamu bakal mati di sini."
"Daripada banyak bicara, kenapa tidak kamu buktikan saja, Adik Kecil?"
"Kamu bukan kakakku." Risa menjawab marah. "Aku cuma punya satu kakak, dan kamu membunuhnya."
Hati Adya serasa teremas. Entah kenapa.
"Risa, biarin kami yang—"
"Mundur." Risa memotong kata-kata Davi dingin. "Kalian jangan ikut campur."
"Aku suka semangatmu." Adya berpura-pura riang. "Dia milikku. Jangan ada yang menyentuhnya. Kalian bereskan saja tiga orang lainnya. Hati-hati dengan Raga. Dia punya okulis. Jangan tatap matanya."
Lalu, pertarungan dimulai.
Sekompi pasukan yang datang bersama Adya langsung menyerbu Arai, Davi dan Raga.
Sementara itu, Risa berdiri berhadapan dengan Adya.
Secara fisik, garis wajah Adya memiliki kemiripan dengan Alka. Hanya saja, roman muka Alka lebih lembut. Tapi mata mereka berdua sangat mirip.
Risa bertanya-tanya, akankah membunuh Adya terasa seperti membunuh Alka kalau dia melakukannya sambil menatap mata laki-laki itu?
Jangan tolol, Risa.
"Takut, Adik Kecil?"
"Bukannya kamu yang harusnya takut? Kamu kalah di Nanggala. Alka meninggal karena kamu menolak terima kekalahan."
"Kamu cuma beruntung waktu itu. Dan keberuntunganmu tidak akan datang dua kali. Atau kamu mengharapkan ada orang lain lagi yang akan mati karena melindungimu?"
Duka menyakitkan. Duka membutakan. Duka membuat pandangannya menggelap oleh kemarahan, membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Risa yang murka menyemburkan api birunya ke Adya. Adya balik menghentakkan kaki, menciptakan dinding batu untuk menahan terjangan api.
Api biru bukan teknik serangan yang gampang dikuasai. Temperatur dan daya rusaknya berkali-kali lipat di atas api merah yang biasa. Melihat Risa bisa menciptakan api biru sebegitu gampangnya membuat Adya mengerti kalau Risa bukan petarung yang bisa dianggap remeh.
Dia masih susah percaya kalau gadis itu adalah gadis yang sama yang dihajarnya di arena akademi setahun yang lalu.
Api Risa membentur dinding batu Adya. Dinding batu itu dirambati retakan, lalu pecah berkeping-keping. Sisa lidah api menjilat lengan Adya, membuatnya mendesis kepanasan.
Risa mengirimkan gelombang api kedua, yang tangkas Adya hindari.
"Kamu bakal mati hari ini." Risa berbisik berkali-kali. "Aku bakal membunuhmu dengan tanganku sendiri."
Risa merangsek maju sambil menghunus dua pisau kecil dari pinggangnya. Adya merunduk, refleks mencabut pedang. Ternyata, dia salah perhitungan. Risa tidak berniat menyerang menggunakan pisau. Gadis itu menyapukan kakinya ke tanah untuk menjatuhkan Adya.
Adya roboh lebih mudah dari yang Risa perkirakan. Setelah Adya jatuh, Risa segera menempatkan dirinya di atas Adya. Dia bersiap menusukkan pisau-pisaunya ke dada Adya. Tapi Adya lebih cepat. Tangan kanannya menusukkan pedangnya ke atas.
Risa segera bermanuver, menghindari mata tajam pedang yang hampir mengoyak perutnya. Adya memanfaatkan momentum sebaik mungkin. Didorongnya Risa hingga gadis itu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah.
Adya berguling ke samping. Tubuhnya menindih Risa. Risa berusaha melepaskan diri, tapi bobot tubuh Adya yang jauh lebih besar darinya membuatnya kesulitan. Risa tidak kehabisan akal. Dia menempelkan kedua telapak tangannya di wajah Adya, membakar kulit laki-laki itu menggunakan panas yang mengalir dari pori-pori kulitnya. Adya mengerang kesakitan. Laki-laki itu memejamkan matanya. Dalam setengah detik, dia sudah mengaktifkan okulis-nya. Risa tercekat, sontak buru-buru menutup mata.
Dalam kegelapan matanya yang terpejam, Risa menghajar ulu hati Adya dengan lututnya. Adya tersentak ke belakang. Risa lanjut menendang tulang belikat Adya. Lalu dia bangkit dengan sekali lompatan ringan.
Mereka kembali bergulat. Adya dengan pedang. Risa dengan pisau-pisau. Risa tahu, pisau-pisaunya tak bakal berdaya melawan pedang Adya. Jadi, dilucutinya Adya lebih dahulu. Tendangan kerasnya ke tangan kanan Adya berhasil membuat pedang itu terlempar jauh. Adya tidak mau kalah. Dia balik melucuti pisau-pisau Risa. Dilemparnya pisau-pisau itu ke kejauhan. Ke luar jangkauan Risa.
Mereka berkelahi dengan tangan kosong. Risa meninju hidung Adya. Sangat keras, hingga terdengar suara tulang yang retak. Mata Adya langsung berair. Tapi dia sempat balik meninju ulu hati Risa, memaksa Risa mundur. Rasa sakit yang melumpuhkan menyebar, membuat Risa hampir lupa caranya bernapas.
Adya memelesat maju, menyudutkan Risa hingga membentur batang pohon besar di belakangnya. Jari-jari Adya membelit leher Risa, mencekiknya. Dia mengangkat Risa semudah mengangkat boneka kain, membuat kaki Risa tidak lagi menyentuh tanah.
Risa megap-megap. Wajahnya pelan-pelan membiru karena kehabisan napas. Tangannya mencakar-cakar lengan Adya. Adya mendesis kesakitan, tapi cengkeramannya di leher Risa makin menguat.
Gerakan tangan Risa mulai melemah. Pandangannya memburam seiring dengan kepalanya yang terasa ringan karena kekurangan suplai oksigen.
"Menyerahlah." Adya mendesis, mengabaikan darah yang mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. "Sudahi semua ini. Menyerahlah. Matilah."
Kematianmu akan jadi akhir bagi semuanya. Akhir bagiku juga.
Lalu, tiba-tiba tatapan Adya tertuju pada liontin yang menggantung di leher Risa. Liontin yang teruntai di antara jari-jari tangannya yang mencekik leher Risa. Liontin yang indah, tersusun dari rangka lotus dengan bola kristal biru berisi abu keperakan di dalamnya.
Sebuah gong raksasa seolah-olah dipukul tiba-tiba di belakang kepala Adya saat dia tersadar, abu siapa yang tersimpan dalam bola kristal biru itu.
Mampukah kamu menghentikan jantung yang Alka jaga mati-matian agar tetap berdetak?
Belitan jemari Adya di leher Risa melemah bertepatan dengan terlepasnya anak panah Arai dari kejauhan.
Refleks, Adya berkelit menghindari anak panah yang mengarah padanya. Cekikannya terlepas. Risa jatuh ke tanah, batuk-batuk hebat sambil mencengkeram dadanya.
"Trisha, awas!"
Seruan Arai membuat Risa mengangkat wajah. Adya baru saja melepaskan sebuah bola cahaya berwarna hijau gelap ke arahnya. Refleks, Risa balik menciptakan bola api biru berukuran besar untuk menandingi bola cahaya hijau gelap milik Adya.
Dua kekuatan itu bertemu, menciptakan ledakan keras yang membuat Risa dan Adya terempar ke belakang. Risa merasakan tubuhnya melayang di udara, lalu menghantam permukaan keras tanah sebelum akhirnya terguling-guling di sepanjang lereng landai penuh semak-semak. Tubuhnya baru berhenti terguling setelah menghantam sebuah batu besar di dasar lereng.
Di tengah sakit yang menyebar, Risa meraba dadanya, diam-diam mengembuskan napas lega karena liontin kalungnya masih berada di sana.
Tidak akan ada yang menyakitimu, Trisha. Aku akan selalu menjagamu.
Mungkin dia berhalusinasi. Atau boleh jadi dia sudah mulai gila. Tapi Risa ingin percaya, bahwa bisikan itu nyata.
Bahwa Alka akan selalu menjaganya.
Kemudian, Risa pingsan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top