BOOK II - CHAPTER THREE

Tidak ada penyintas.

Basil memastikan tidak ada penyintas, baik itu dari trah Arnawarma, maupun orang-orang kepercayaan Luka yang menemani Lara ke Kota Sigra.

Lara sempat memeriksa kumpulan jenazah yang tergeletak di ruang tengah Graha Arnawarma, dan bisa menyimpulkan kalau Basil tiba di sana kurang dari sejam sebelum dia sampai. Tidak heran, karena Kota Sigra lebih dekat dengan Puri Agnimara daripada akademi. Semua anggota Keluarga Arnawarma tewas karena serangan lekas—tusukan langsung ke jantung atau sayatan dalam di leher. Darah mereka masih hangat. Rigor mortis belum dimulai.

Dia tidak berlama-lama, Lara membatin. Dia tidak menyiksa mereka. Sejak awal, niatnya adalah menghabisi mereka, membungkam mereka selamanya. Itu berarti, Keluarga Arnawarma jelas tahu sesuatu.

Konklusi Lara terhenti hanya sampai di sana. Sejauh apa Keluarga Arnawarma tahu atau kesepakatan macam apa yang mereka buat dengan Benji Agnimara, Lara tidak akan pernah tahu kecuali Basil memberitahunya. Apa yang dikatakan Basil padanya tadi memang benar; dia sudah gagal.

Tapi kenapa baru sekarang Basil ke sini? Apa dia sudah tahu kalau aku akan datang? Bagaimana bisa? Atau jangan-jangan... dia punya mata-mata di akademi?

Beragam spekulasi menyesaki benak Lara sementara dia melangkahkan kakinya menuruni anak-anak tangga. Matanya sempat menatap gamang ke mayat-mayat yang terserak di halaman depan Graha Arnawarma.

Asap ungu pucat itu pasti mengandung racun yang membetot jalan napas. Seluruh orang-orang kepercayaan Luka yang mengikuti Lara dari akademi tewas tanpa terkecuali. Wajah mereka pucat membiru, dengan mata terbelalak. Leher mereka penuh gores merah berdarah hasil cakaran tangan mereka sendiri saking tidak kuat menahan sesak. Lara buang muka sewaktu melewati mayat-mayat itu, menghindari melihat langsung ke mata-mata yang sudah kosong ditinggal sinar kehidupan.

Lara berpikir sebentar sebelum memelesat melintasi sisa anak tangga. Alih-alih langsung kembali ke dermaga dan pulang ke akademi, gadis itu malah bergerak ke pusat kota. Dia tidak bisa kembali ke Luka dengan tangan kosong. Minimalnya, harus ada informasi yang dia dapatkan, meski sedikit.

Penduduk Sigra jelas tahu siapa dirinya. Terlihat dari cara mereka melirik sepintas pada lencana yang melekat di jubahnya. Lencana berbentuk simbol pribadinya, yang tidak bisa dikenakan sembarang orang. Namun berbeda dari sebelumnya, wajah-wajah itu tidak lagi tegang. Mereka masih pucat, tapi mata mereka menyiratkan tekad. Entah tekad untuk apa.

Mungkinkah mereka tahu sesuatu?

Apa pun itu, Lara tidak punya waktu berspekulasi. Ada prioritas yang lebih penting.

Gadis itu berhenti di depan pintu sebuah rumah. Rumah itu tidak terlalu besar, berada tepat di ujung lain kota yang berbatasan langsung dengan tepi danau di mana muka air dan daratan saling mencumbu. Seluruh bangunannya terbuat dari kayu. Catnya telah kusam dimakan cuaca. Lara bisa saja menghambur masuk tanpa permisi, tapi dia mencoba bersabar dan mengetuk selayaknya orang beradab.

Pintu mengayun terbuka dalam waktu singkat—kelewat singkat, seakan-akan sang tuan rumah sudah menanti kedatangannya.

Seraut wajah milik laki-laki setengah baya menyambut Lara.

Rambut putihnya yang panjang dikepang satu, menggantung di punggungnya. Janggut berwarna serasi menghiasi rahangnya. Sepasang matanya yang berwarna ungu pucat memandang Lara sejenak, lantas dia membungkuk—gesturnya lebih mirip basa-basi dibanding tanda hormat sejati.

"Kiwa." Lara berujar, menyebut nama laki-laki di depannya. Usia lelaki itu hanya beberapa tahun lebih tua dari Lara, tapi dia memilih penampilan setengah baya yang membuat fisiknya tampak seumuran dengan Lorien. "Aku butuh bantuanmu."

Kiwa mengangguk. "Graha Arnawarma?"

Lara mengerjap. "Kamu... sudah tahu apa yang terjadi di sana?"

"Seluruh penduduk kota ini tahu apa yang akan terjadi di sana sejak detik pertama Benji Agnimara menginjakkan kakinya di dermaga." Kiwa menyahut muram.

"Dia membunuh—"

"Dia datang untuk menagih janji lama. Utang yang harus dibayar." Kiwa menghilang sejenak ke salah satu ruangan dalam rumahnya yang sederhana.

Kata-kata Kiwa membuat Lara bertanya-tanya, mungkinkah ketegangan dan kecemasan yang membayangi penduduk kota saat dia baru tiba adalah karena mereka mengkhawatirkan Basil, bukannya Keluarga Arnawarma?

Dia hanya tinggal sendiri. Masih melajang. Itu satu-satunya yang Lara tahu, selain fakta kalau mereka pernah beberapa kali bertemu ketika Kiwa masih menimba ilmu di akademi. Kini, laki-laki itu satu-satunya necromancer yang dimiliki Kota Sigra. Sewaktu muncul lagi, dia membawa sebuah koper kecil berukuran 20 x 30 sentimeter. Lapisan kulitnya sudah pecah-pecah nan kusam.

"Aku tidak yakin aku bisa membantumu, tapi pilihannya hanya aku pergi sukarela atau kamu akan menyeretku ke sana. Aku lebih suka yang kedua."

"Baguslah, kalau kamu sudah paham. Aku jadi tidak perlu buang-buang tenaga menyeretmu."

Mereka kembali ke Graha Agnimara. Jasad-jasad orang-orang kepercayaan Luka masih tergeletak di halaman. Lara mengabaikan mereka, punya prioritas yang lebih penting. Dia memimpin jalan masuk ke Graha Agnimara sementara Kiwa mengikutinya dari belakang. Darah yang menggenangi lantai tampak lebih pekat, mulai mengental dan mengering.

"Panggil roh Nohan Arnawarma." Lara berujar seraya menatap pada tubuh Nohan yang terkapar di lantai. Mata yang membeku dalam kematian berkabut, memandang kosong ke langit-langit ruangan. Batang lehernya terkoyak dalam sampai nyaris putus. Lara bersyukur lambungnya kosong karena dia tak makan apa-apa selama berhari-hari belakangan. Pemandangan itu bikin mual, tapi tidak ada yang bisa dia muntahkan. "Dia kepala keluarga. Aku ingin tahu apa yang terjadi, dan apa yang dirasakannya sesaat sebelum laki-laki yang selama ini dikenal orang-orang sebagai putranya menggorok lehernya."

"Akan kucoba, tapi jangan terlalu berharap."

Kiwa berlutut di lantai, lalu membuka kopernya. Dia mengeluarkan sebuah gelas kristal yang memendarkan warna pelangi saat ditimpa cahaya, serta dua batang hio berwarna hitam pekat. Setelah itu, Kiwa meraih sebuah kotak penyimpanan berajahkan simbol-simbol yang tidak Lara pahami apa maknanya. Simbol-simbol tersebut menonjol, disepuh perak mengilap. Kiwa membuka tutupnya, mengekspos tumpukan bubuk segelap jelaga. Dia mencelupkan jarinya ke bubuk itu, lalu menjilatnya. Hio dibakar. Asap hitam tipis menyelimuti ruangan. Mantra-mantra dirapal. Lara diam menunggu, menatap Kiwa dengan satu alis terangkat.

Lara sudah pernah menyaksikan pemanggilan roh oleh necromancer sebelumnya, dan sejauh yang dia lihat, Kiwa melakukan rangkaian proses yang benar.

Lima belas menit berlalu. Tidak ada yang terjadi. Asap tipis pelan-pelan memudar. Titik api di ujung hio tiba-tiba saja lenyap, padam.

"Well?"

"Roh Nohan menolak panggilanku."

"Menolak?"

"Dia mati atas persetujuannya. Begitu pula anggota keluarga Arnawarma yang lain. Mereka sudah tahu mereka bakal tewas hari ini. Mereka sudah tahu Benji Agnimara akan datang." Kiwa mengembuskan napas.

"Panggil roh istrinya."

"Dia tidak akan menjawab panggilanku." Kiwa membalas, memandang sekilas pada mayat-mayat di dekat mereka. "Kamu bisa coba memanggil siapa saja di antara mereka, tapi tidak akan ada yang menjawab. Mereka menolak datang. Semua yang berada di ruangan ini—mereka mati tanpa menyimpan dendam. Mereka menerima ajal mereka."

"Kenapa?"

"Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, Tuan Putri?" Kiwa berdecak. "Benji Agnimara ke mari untuk menagih janji. Utang yang harus dibayar. Utang yang sekarang sudah dilunasi oleh Nohan Arnawarma dan keluarganya."

"Utang apa?"

"Kalau kamu ingin tahu, kusarankan kamu bertanya langsung pada Benji Agnimara."

"Apa selama ini kalian semua tahu Basil Arnawarma adalah Benji Agnimara?"

"Jelas. Dunia bisa saja melupakan sosoknya, membuatnya jadi sebatas legenda. Mereduksinya jadi sekumpulan kisah yang dianggap dongeng oleh generasi muda. Generasi yang belum pernah melihat perang. Tapi bagi Keluarga Arnawarma dan penduduk Sigra akan selalu mengingatnya. Benji Agnimara adalah mimpi buruk terindah yang kami punya."

Lara menghela napas panjang. "Baiklah. Aku ingin kamu ikut denganku ke akademi dan bersaksi di depan Luka—soal apa yang kamu lihat, dan apa yang terjadi di sini."

"Aku menolak."

"Kiwa—"

"Aku menolak." Kiwa menegaskan. "Kamu hanya bisa membawaku keluar dari Sigra setelah mencabut nyawaku. Selama aku masih bernapas, aku tidak akan meninggalkan kota ini."

"Apa-apaan—"

"Kamu bisa menganggap kata-kataku ini sebagai pembangkangan, Tuan Putri. Atau penghinaan terhadap keluarga kerajaan. Kamu diperkenankan melaporkanku pada paman atau ayahmu, tapi kesetiaanku, sama seperti seluruh penduduk Sigra, telah kuserahkan pada Keluarga Agnimara."

Lara ternganga, matanya menatap nanar ke wajah Kiwa yang memancarkan kebulatan hati—tekad yang serupa dengan yang dilihatnya di wajah para penduduk kota sewaktu dia dalam perjalanan menuju rumah Kiwa.

"Dia menunjukkan belas-kasih pada kami. Dia hanya menghukum para pendosa—mereka yang benar-benar pantas dihukum. Dia tidak menyentuh orang-orang tak bersalah." Kiwa berucap tanpa ragu. "Jika dia menginginkan seseorang mati, berarti orang itu pantas mendapatkannya."

Kedua tangan Lara terkepal kuat.

Jika Kiwa mengatakan apa yang baru saja dia katakan di hadapan sang Raja, Lara tahu Lorien pasti sudah menugaskan tiga algojo kerajaan menyeretnya, kemudian mengeksekusinya di depan umum menggunakan metode paling menyakitkan yang tidak akan membuat napasnya lepas secara lekas. Akan tetapi, Lara bukan Lorien. Bukan pula monster haus darah yang membunuh hanya untuk bersenang-senang.

"Baiklah."

"Aku baru saja melakukan penghinaan besar terhadap keluargamu." Kiwa berkata manakala dilihatnya Lara hendak berbalik pergi. "Dan kamu membiarkanku?"

"Aku bisa saja membunuhmu sekarang juga," Lara mengangkat bahu. "Tapi buat apa? Kematianmu tidak memberiku keuntungan apa-apa. Aku punya banyak urusan yang lebih penting. Aku tak ingin menyia-nyiakan tenagaku."

Ketika Lara beranjak menuju pintu depan, Kiwa tidak menghentikannya.

Lara membuang napas lelah. Setidaknya, Basil benar akan satu hal; Luka pasti kecewa padanya.

***

Keempat orang lainnya tengah duduk mengelilingi meja besar di ruang makan ketika Basil tiba di Puri Agnimara.

Bermacam makanan sudah dihidangkan, mulai dari hidangan pembuka seperti pretzel, bola-bola keju dan tomat berisi krim hingga pencuci mulut berupa biskuit, puding dan potongan buah. Sebatas formalitas, sebab mereka tahu mereka bisa bertahan hidup tanpa makan makanan manusia. Basil sengaja meminta para abdi puri menyiapkan tiap sesi makan malam sebaik-baiknya, karena hanya di momen itu mereka berlima bisa duduk bersama dan berdiskusi.

"Sepertinya kunjunganmu tidak berakhir baik." Chyndar berkomentar setelah Basil duduk. Mata merah mudanya melirik sepintas ke memar-memar di wajah Basil, juga bercak darah di kerah bajunya.

"Memar-memar konyol." Dany setengah mencemooh, tangan kanannya memegang gelas wine. "Kenapa kamu tidak menyembuhkannya? Asal tahu saja, memar-memar itu jauh dari kata seksi."

"Alasan sentimental. Kelihatannya." Adya nyeletuk. "Alih-alih kenapa, harusnya kamu tanya siapa. Siapa yang memberimu memar-memar itu, Benji?"

"Siapa pun dia, itu tidak penting." Basil mengibaskan tangan seraya meraih gelas wine-nya, lalu menyesap isinya perlahan. "Aku baru kembali dari Sigra. Utang sudah dilunasi."

"Nohan yang malang." Adya mengangkat bahu, turut mengangkat gelasnya ke udara. "Haruskah kita bersulang untuknya?"

"Apalah artinya penghormatan untuk orang yang sudah mati? Mereka tidak membutuhkannya." Basil membalas dingin.

"Kutebak, situasinya tidak berjalan sesuai rencanamu." Chyndar menyela. "Nohan dan keluarganya sudah tahu kalau kamu akan datang. Begitu pula dengan orang-orang Sigra. Mereka tidak akan melawan. Mereka tahu kamu harus melakukan apa yang semestinya sudah kamu lakukan beratus tahun yang lalu. Tinggal tersisa satu kemungkinan. Seseorang dari Raudra atau dari akademi datang ke Sigra. Kalian bertemu, dan dia menghajarmu."

"Gadis pintar." Adya menyeringai, melempar kerlingan jail ke arah Chyndar yang sontak bergidik jijik.

"Aku tidak butuh pujianmu." Gadis itu mendesis sinis.

"Jangan galak-galak." Adya terkekeh. "Meski kamu cantik, kalau kamu galak begitu, kamu tidak akan dapat pacar."

"Aku tidak butuh pacar."

"Oh, jadi kamu benar-benar tidak punya pacar?"

"Aku tidak punya waktu pacaran."

Adya mengulum senyum manis. "Aku bisa membuatmu berubah pikiran."

"Kendalikan berahimu, Adya!" Dany mendengus. "Kita di sini untuk diskusi, untuk membicarakan langkah kita selanjutnya. Untuk berbagi informasi. Bukan untuk mendengarkanmu menggoda gadis yang berabad-abad lebih muda darimu—dan tolonglah. Kayak tidak ada gadis lain yang lebih baik untuk digoda saja. Seleramu menyedihkan."

"Kusarankan kamu berkaca." Chyndar menyambar ketus.

"Aku berkaca setidaknya tujuh kali hari ini dan harus kuakui, aku suka apa yang kulihat." Dany tidak mau kalah.

"Berarti standarmu kelewat rendah."

"Anak kecil sepertimu tahu apa soal standar?"

"Girls—" Adya menyela. "Jangan cemburu begitu. Aku punya dua tangan dan waktu luang segudang yang cukup untuk kalian berdua. Jadi—"

"Diam!" Dany dan Chyndar berseru serentak, membuat Basil menghela napas dalam-dalam. Windu masih diam. Sejak awal kedatangannya ke Puri Agnimara, dia memang lebih banyak mengamati dan mendengarkan ketimbang bicara.

"Tidak bisakah kita punya momen makan malam yang tenang? Sekali saja." Basil berdecak. "Untuk sekarang, aku masih membiarkan kalian bersikap sesuka hati. Tapi ketika tiba waktunya kita bertindak, kuharapkan kalian semua berhenti main-main dan fokus pada tujuan kita."

"Kapan tepatnya kita akan bertindak?"

"Setelah aku bicara sekali lagi dengan Trisha. Empat mata. Hanya aku dan dia. Kesempatan terakhir. Jika dia menolak, maka kita tidak punya pilihan lain."

"Kamu memberi makhluk berdarah campuran itu terlalu banyak kesempatan. Kenapa tidak langsung culik dia dan paksa dia menghabisi dirinya sendiri? Dia setengah manusia, kan? Kudengar dia punya ibu di Dunia Terang. Bagaimana kalau kita bawa paksa ibunya ke mari dan suruh dia memilih antara hidupnya atau hidup ibunya?"

"Jangan kejam, Dany." Basil menukas. "Dia pantas diberi kesempatan sekali lagi."

"Kenapa?"

Karena dia temanku. Basil berpikir dalam hati. Pahit, tapi harus dia akui. Karena aku menyayanginya, dalam cara yang tidak akan pernah bisa kalian pahami. Karena aku ingin lingkaran sialan ini diputus tanpa menumpahkan terlalu banyak darah.

"Aku mencoba berbelas kasih. Lagipula, dia tidak benar-benar paham segawat apa situasinya. Seberbahaya apa keberadaannya."

"Benji Agnimara berbelas kasih. Kedengaran seperti sebuah penistaan." Adya mengulum senyum geli. "Kenapa, Benji? Jangan bilang waktu yang kamu habiskan bersamanya membuatmu punya titik lemah untuk makhluk itu?"

Basil ingin menggeram pada Adya dan memberi penegasan supaya mereka berhenti menyebut Risa dengan makhluk itu atau makhluk berdarah campuran itu, tapi kekesalan yang tidak perlu hanya akan membuatnya makin penasaran akan hubungannya dan Risa.

"Dan kapan tepatnya kamu akan bicara pada gadis itu?" Lama membisu, Windu akhirnya angkat bicara.

"Dia akan mendatangiku. Cepat atau lambat." Basil menyahut singkat. "Sejauh ini, hanya itu yang ingin kukabarkan pada kalian. Utang Nohan sudah dilunasi. Raudra akan segera tahu tentang yang terjadi di Sigra... serta respon para penduduk kota. Kemungkinan besar, Sein Diwangka akan mengirim pasukannya. Tapi dia tidak akan menyerang. Dia tidak cukup tangguh dan berani untuk melakukan itu. Sigra akan menutup pintu gerbangnya, dan sebagai formalitas, Sein Diwangka bakal melakukan pengepungan. Mencegah siapapun masuk atau keluar dari Sigra."

"Sekaligus melakukan embargo." Chyndar mencetus. "Mereka akan mencegah barang-barang dari luar masuk ke Sigra, dan menghalangi orang-orang Sigra menjual barang-barang mereka ke orang-orang dari kota dan wilayah lain."

"—yang tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap aktivitas orang-orang Sigra." Basil tangkas menjawab. "Sigra adalah kota mandiri. Dia punya semua sumber daya yang dibutuhkan. Sigra juga punya portal sendiri yang terhubung dengan dunia manusia. Sigra tidak bergantung pada siapa-siapa. Ketika waktunya tiba, kota itu, juga penduduknya akan jadi penyokong terpenting kita. Sigra akan jadi sekutu kita yang pertama, tapi bukan yang satu-satunya."

"Siapa sekutu yang lain?"

"Soal itu, kamu akan tahu nanti." Basil menyeringai, lalu menaruh gelasnya ke meja. "Silakan lanjutkan makan malamnya."

Laki-laki itu bangkit dari kursi, melangkah menuju tangga pualam dan naik ke lantai dua. Dia bergerak menuju balkon, berdiri di dekat pilar marmer putih seraya menatap langit gelap bertabur bintang. Di kejauhan, kumpulan titik cahaya di mana Sigra berada terlihat redup.

Basil bertanya-tanya, apakah Lara masih ada di kota itu, dan apakah mereka tengah sama-sama menengadah memandang angkasa, melihat ke arah bintang yang sama.

"Siapa?" tanya Dany terdengar, disusul sosoknya yang mendekat dan berhenti di samping Basil.

Basil menoleh ke Dany. "Hm?"

"Siapa yang menghajarmu?" Dany bertanya. "Memar-memar itu sepele. Dengan kemampuanmu, kamu bisa menyembuhkannya dalam waktu singkat. Kamu sengaja menahan proses penyembuhannya. Memar-memarmu masih bengkak dan pekat."

"Apa itu penting?"

"Kita sudah kenal sejak masih bocah. Aku tahu kamu orang yang seperti apa."

Basil sadar Dany benar. Dia bisa memudarkan memar-memar hasil hantaman bogem mentah Lara dalam waktu singkat. Tinjuan Lara bukan tinjuan fatal. Tapi Basil membiarkannya, sebab rasa sakit adalah pengingat bahwa perjumpaannya dengan Lara nyata. Bahwa dia benar-benar memegang tangan gadis itu. Bahwa Lara betul-betul memandangnya dengan mata yang berkaca-kaca. Mata yang sarat kebencian, bukan hanya untuk Basil, namun untuk dirinya sendiri.

Basil tertawa kecil. "Astaga."

"Tidak ada yang lucu. Kenapa malah tertawa?"

"Konyol sekali."

"Siapa?" Dany tetap mendesak.

"Kenapa kamu sebegitu ingin tahu?" Basil balik bertanya.

"Karena firasatku mengatakan, dia berarti untukmu. Kamu punya titik sentimental untuknya."

"Dan kalau pun dia berarti untukku, kalau pun aku punya titik sentimental untuknya, kenapa?"

"Jika makhluk berdarah campuran itu menolak menghormati belas kasihmu, kita akan memulai perang." Dany berkata hati-hati. "Dalam perang, kita membunuh atau dibunuh. Tidak ada pilihan lain. Jika aku tahu siapa dia, aku bisa meminimalisir kemungkinan panah atau pedangku berakhir membunuh seseorang yang kamu kasihi."

"Oh, jangan khawatir, Daenyra." Basil berujar lembut, matanya memancarkan emosi yang sukar Dany pahami. "Dia tidak mudah dibunuh."

Cara bicara Basil yang kelewat halus berhasil membuat Dany membisu.

"Kamu bisa saja membunuhnya, tapi dia juga bisa saja membunuhmu lebih dulu."

Dany menelan saliva. "Kalau kamu mesti bertaruh, siapa yang akan kamu pilih? Aku atau dia?"

Basil tersenyum penuh arti. Terkesan kejam nan kelam.

"Untuknya, Daenyra. Aku akan selalu bertaruh untuknya."

***

Lima hari berikutnya terasa begitu panjang dan penuh kebingungan.

Yah, Risa rasa, sepertinya hanya dia yang merasa demikian.

Semua orang kelihatannya punya kesibukan masing-masing. Mereka yang sibuk memperbaiki kerusakan di sejumlah bagian bangunan akademi. Mereka yang sibuk mengawasi pemulihan orang-orang yang cedera. Mereka yang sibuk berkemas menyambut libur semester yang sudah di depan mata. Mereka yang sibuk bersikap seakan-akan peristiwa itu tidak terjadi—peristiwa yang membuat Risa harus tirah baring seminggu penuh karena paru-paru yang robek. Peristiwa yang membuatnya didera mimpi buruk hampir setiap malam.

Semua orang punya kesibukan, kecuali Risa.

Dua hari lalu, Nauli mengizinkannya bangun dan berjalan-jalan di sekitar kamar tempatnya dirawat sepanjang minggu. Mulanya, Risa senang. Tapi lama-lama, dia bosan. Tidak ada aktivitas menarik yang dia lakukan. Ujung-ujungnya, dia cuma keliling koridor sendirian.

Luka jarang terlihat di akademi. Dari Nauli, Risa tahu kalau Luka sedang sibuk pergi ke banyak tempat. Ada orang-orang penting yang harus dia kunjungi dan urusan-urusan yang mesti dia bereskan. Entah siapa. entah apa. Nauli tidak menjelaskan lebih jauh, dan Risa terlalu canggung untuk bertanya.

Persie, Dante dan Davi ikut-ikutan menghilang. Ada yang bilang, mereka sempat dipanggil ke Raudra untuk diinterogasi karena hubungan dekat mereka dengan Basil. Risa jadi cemas, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia menunggu Alka mengunjunginya supaya dia bisa mengorek informasi, namun laki-laki itu tidak kunjung datang.

Risa bisa saja menjelajah seisi akademi untuk mencari Alka, tapi dia tidak melakukannya. Dia benci berpapasan dengan terlalu banyak orang di koridor. Benci beradu pandang dengan wajah-wajah yang menatapnya dalam cara yang... membuatnya tidak nyaman. Ada beberapa yang bersimpati, tapi ada lebih banyak yang menatap Risa seakan-akan dia bibit penyakit yang harus segera dibasmi.

Risa paham, tidak semua orang menerima kehadirannya di akademi. Dia satu-satunya makhluk berdarah campuran di antara deretan siswa berdarah murni. Sejak dulu, Risa sudah terbiasa tidak diterima di mana pun. Sudah akrab sama yang namanya dibenci. Tapi tatapan-tatapan itu... berbeda dengan apa yang telah familiar baginya.

Risa muak. Juga bingung. Dan kesepian.

Dia masih meraba-raba situasi, seperti orang buta yang menggapai tanpa tongkat dalam gelap.

Dari desas-desus yang dibisikkan lirih oleh orang-orang dan tidak sengaja Risa dengar, ada beberapa poin yang Risa ketahui.

Poin pertama, Basil Arnawarma adalah Benji Agnimara. Benji Agnimara adalah sosok yang dikenal sebagai legenda. Sosok berkemampuan magis adiluhung yang dihormati sekaligus ditakuti. Dan sosok itu menginginkan kematiannya, untuk alasan yang masih jadi misteri—setidaknya untuk Risa.

Poin kedua, Benji Agnimara sempat ditangkap, tapi berhasil meloloskan diri. Kabar burung mengatakan, dia kembali ke puri peninggalan leluhurnya. Orang-orang yang dahulu bersumpah setia padanya lalu mendatangi puri tersebut dan menekuk lutut di hadapannya, mengikrarkan bakti mereka.

Poin ketiga, Keluarga Arnawarma sudah dihabisi tanpa sisa. Familisida di tengah hari bolong. Konon, Benji Agnimara yang melakukannya. Tidak ada yang selamat, bahkan anak-anak pun tidak mendapat pengampunannya.

Poin keempat, Kota Sigra yang berada di tengah Danau Tundra sekaligus kota terdekat dari Puri Agnimara telah menutup pintu gerbang mereka. Para penduduk mendeklarasikan keberpihakan mereka kepada Benji Agnimara. Sein Diwangka tidak bisa melakukan apa-apa, selain mengirim satu peleton pasukan untuk melakukukan pengepungan. Tindakan sia-sia, sebab Kota Sigra adalah kota mandiri. Aktivitasnya tidak terganggu, bahkan oleh pengepungan.

Poin terakhir, Raudra dan Benji Agnimara tengah sama-sama mengangkat perisai masing-masing. Sama-sama berada dalam posisi bertahan, seolah-olah tengah menunggu sesuatu. Apa yang ditunggu... masih belum diketahui.

Risa makin gamang.

Sulit baginya membayangkan Basil, teman pertamanya, orang yang melindungi dan menjaganya, pemuda yang memeluknya dan tertawa bersamanya adalah Benji Agnimara, sosok bengis yang akan melakukan apa saja untuk menghabisinya.

Mereka pasti salah. Basil teman gue. Ini semua salah paham. Gue yakin, Basil punya alasan sendiri. Alasan yang nggak bisa dia jelaskan ke orang-orang. Tapi kalau kita bisa ngobrol... mungkin... mungkin dia bakal jelasin alasannya ke gue dan

"Dor!"

Risa tersentak, sontak menengadah ke dahan pohon yang terentang beberapa meter di atas kepalanya. Seraut wajah jail milik Davi muncul di antara dedaunan. Pemuda itu tergantung dalam posisi terbalik macam kelelawar yang lagi tidur siang.

"Davi?!"

Davi nyengir, lalu mendarat di dekat Risa. "Hai! Kangen nggak sama aku?"

Risa cepat-cepat beranjak dari bangku dan memeluk Davi. Davi terkekeh, balik mendekap sembari mengusap lembut punggung Risa beberapa kali.

"Oh, ternyata kangen." Pemuda itu bergumam tengil setelah pelukan mereka terlepas.

"Jelas." Risa cemberut, walau sesaat kemudian, dia bergumam. "Sori."

"Hm?"

"Kemarin-kemarin gue nolak ketemu lo, Dante sama Persie. Gue bikin kalian nunggu di depan pintu. Waktu itu, gue lagi—" Risa duduk lagi. "—bingung."

"Santai. Kita semua juga bingung kok!" Davi ikut duduk di samping Risa. "Kita bertiga sama-sama ngerti. Terus, kamu juga butuh waktu istirahat biar bisa cepat pulih."

"Gue nggak ngelihat kalian bertiga beberapa hari terakhir. Sempat ke kamar asrama lo, sama kamar asrama gue, tapi nggak ada tanda-tanda kalian tidur di sana. Kalian abis dari mana?"

"Ah ya, kami dipanggil ke Raudra buat ditanya-tanya."

"Diinterogasi?"

"Ditanya-tanya." Davi tertawa kecil. "Kejadian di Sigra bikin Lorien marah—anyway, kalau kamu belum tahu, Lorien itu ayahnya Luka sama Lara sekaligus adik sang Raja."

"Oh?"

"Kamu belum pernah ketemu dia?"

Risa tampak mengingat-ingat. "Kalau ketemu... kayaknya pernah. Tapi nggak pernah ngobrol."

"Bagus begitu. Aku sih lebih mending ngobrol sama batu daripada sama orang kayak Lorien. Dia yang paling banyak nanya-nanya. Lama banget, karena pertanyaannya banyak. Semuanya berhubungan sama Basil. Lorien sempat beberapa kali coba nanya-nanya tentang kamu, tapi Luka selalu ngembaliin fokus pertanyaan ke Basil."

"Luka ada di sana?"

"Mm-hm. Beberapa kali."

"Lorien—dia nanya apa tentang gue?" Risa resah. Perutnya mual manakala teringat bagaimana cara sebagian warga akademi menatapnya ketika mereka berpapasan di koridor dua hari belakangan. Tatapan yang membuatnya serasa wabah yang harus dijauhi.

"Nggak tahu, kan belum sempat ditanya-tanya." Davi mengangkat bahu. "Tapi kalau pun sempat ditanya, kami nggak akan bilang apa-apa. Kita nggak pernah tahu apa tujuan Lorien kepengin tahu banyak tentang kamu. Kemungkinan besar, tujuannya nggak baik. Beda sama kakaknya yang bijaksana, dia picik dan licik. Acara tanya-tanyanya baru selesai kemarin siang. Kami baru balik ke akademi kemarin malam, terus langsung tepar."

"Dante dan Persie?"

"Lagi sibuk beres-beres. Liburan sebentar lagi. Kami bakal pulang ke rumah masing-masing."

"Oh..."

"Sejujurnya, aku nggak pengen cepat-cepat ninggalin akademi, ninggalin kamu, setelah... semuanya. Tapi kalau aku sama Dante nggak pulang ke rumah, ibuku bisa-bisa mengobrak-abrik akademi ini terus nyumpahin aku sama Dante karena udah jadi anak durhaka."

Risa nyengir. "Sampai segitunya?"

"Kalau mempertimbangkan sifat seorang Sikka Dalimunte, mengobrak-abrik akademi sih masih masuk level ringan. Ibuku galak banget."

"Wajar. Kalau gue punya anak kembar kayak lo sama Dante, gue juga bakal galak."

"Sayangnya, kamu belum tentu bisa punya anak kembar sekeren aku sama Dante." Davi membalas sombong. "Eh, tapi emangnya kamu nggak pulang ke rumah?"

Mayoritas siswa akademi berkemas saat menyambut liburan, kecuali beberapa siswa yang tidak punya tempat pulang. Bisa karena sudah tidak punya orang tua, atau karena memang tidak ingin pulang. Risa tidak tergolong ke dalamnya. Dia punya rumah untuk dituju. Dia juga kangen ibunya. Namun dia tidak tahu, apakah dia bakal diizinkan meninggalkan akademi selama liburan. Dia belum sempat menanyakannya ke Luka.

"Belum tahu." Risa menjawab singkat. "Kalau Dante sama Persie sibuk beres-beres, lo ngapain di sini? Bukannya harusnya lo juga beres-beres?"

"Aku sengaja kabur."

"Dih."

"Biarin aja, beres-beresnya biar diwakilin Dante. Lagian, bukannya harusnya kamu senang?! Karena aku kabur, kamu jadi punya teman ngobrol." Davi menjulurkan lidah. "By the way, mau lihat trik keren nggak?"

"Trik keren apa?"

"Maskotmu kupu-kupu kan?"

"Maskot banget ya nyebutnya?"

"Maskot. Anima. Simbol. Sama saja." Davi menyahut cuek. "Sekarang, lihat ini—"

Pemuda itu menggerakkan jari-jari tangan kanannya, meletupkan api yang lalu dibentuknya jadi tiga kupu-kupu. Setelahnya, Davi menjentikkan jemari, membuat kawanan kupu-kupu buatannya terbang meninggalkan telapak tangannya. Kupu-kupu api itu meliuk di udara, mengelilingi Risa seraya mengepakkan sayap-sayap yang menyala jingga. Percik cahaya mirip kembang api mewarnai udara, mengikuti mereka layaknya debu peri. Indah dan terkendali.

Risa terpesona, masih menatap kupu-kupu api di sekelilingnya sewaktu Davi menjentikkan jarinya sekali lagi. Kupu-kupunya pun lenyap.

"Davi, yang tadi itu—"

"Keren?" Davi tersenyum angkuh. "Aduh, ke mana aja sih kamuuuuu?! Kok bisa-bisanya baru sadar kalau kamu punya teman sekeren aku?!"

Perlu kendali tingkat tinggi untuk menciptakan trik yang baru saja Davi tunjukkan. Risa memahami itu setelah berbulan-bulan melatih pengendalian energinya sendiri. Susah dipercaya kalau Davi Dalimunte yang selama ini dikenal sering membakar sesuatu secara tidak sengaja tiba-tiba punya kontrol diri yang cukup, yang membuatnya bisa menciptakan sesuatu yang sedemikian indah nan stabil menggunakan apinya.

"Justru gue kaget karena nggak biasanya lo sekeren ini." Risa berdecak. "Sejak kapan?"

"Triknya baru sempurna tiga hari yang lalu. Kami bertiga nggak ada kerjaan selain ditanya-tanya di Raudra. jadi ketika kami nggak ditanya-tanya, biasanya kami latihan. Entah itu sendiri, atau sparring ringan."

"Dan lo mempelajari trik yang barusan cuma dalam hitungan hari?!"

"Kedengarannya mustahil ya?" Davi tersenyum miring. "Terus terang, aku juga sempat rada nggak percaya sih. Kok bisa ya? Gitu. Tapi Kakanda—maksudku Denzel bilang, aku cepat belajar karena sekarang aku punya motivasi yang lebih penting daripada sekadar lulus ujian fisik."

"Motivasi apa?"

Sesuatu yang gelap berkelebat di mata Davi. Sebuah tekad. "Kejadian hari itu. Di arena ujian. Seumur hidupku, aku belum pernah merasa sangat nggak berdaya kayak hari itu. Aku terpaksa berhadapan sama kembaranku sendiri. Orang yang nggak pernah dipisahkan dariku sejak kami lahir. Dipaksa membunuhnya, kalau aku ingin selamat. Aku benci rasa nggak berdaya itu. Aku nggak ingin jadi orang lemah. Aku harus kuat, bukan cuma untuk diriku sendiri, tapi untuk Dante, untuk teman-temanku. Dan lagi, di Raudra, aku sempat dengar rumor—oh, oke. Abaikan aja. Anggap aku nggak pernah bilang apa-apa soal yang terakhir."

Risa melipat tangan di dada. "Rumor apa?"

Davi mengibaskan tangannya. "Nggak penting. Anyway, gimana keadaan kamu? Masih ada yang sakit nggak?'

"Sengaja mengalihkan pembicaraan ya?"

"Iya. Tapi aku beneran peduli sama keadaan kamu. Gimana?"

"Menurut lo gimana?"

Davi mengamati Risa sebentar. "Kayaknya udah mendingan banget. Memar-memar kamu udah hilang, dan kamu udah bisa jalan sendiri dari kamar ke sini."

"Nauli bilang, gue sembuh dengan baik."

"Baguslah." Davi mengembuskan napas lega. "Hari itu, aku sama Dante benar-benar siap kalau kami harus mati di sana. Aku akan selalu ngikut ke mana pun Dante pergi. Dante akan selalu ngikut ke mana pun aku pergi. Itu janji yang pernah kami buat waktu kami masih bocah."

"Emang sekarang bukan bocah?"

"Aku lebih tinggi dari kamu. Kalau aku bocah, berarti kamu bayi."

Risa melotot. "Bisa nggak, nggak usah bawa-bawa tinggi badan?"

"Nggak bisa, Pendek." Davi mengejek. "Tapi waktu aku lihat Basil nusuk kamu—aku benar-benar marah. Aku marah banget sampai rasanya aku sanggup membakar seluruh arena. Aku nggak peduli siapa yang bakal terluka, asal aku bisa nyakitin Basil, karena dia sudah nyakitin kamu."

"Basil nggak bermaksud—"

"Jangan bela dia, Risa. Seenggaknya, jangan di depanku."

"Basil teman kita, Davi. Dan dia—"

"Basil yang teman kita—Basil yang kita kenal—" Davi memotong tajam, dan Risa bisa melihat tangan pemuda itu terkepal. "Dia sudah mati. Dia mati hari itu, di arena. Dia mati ketika dia memutuskan menyabotase ujian dan ngorbanin orang-orang yang nggak bersalah untuk—untuk tujuan yang bahkan nggak kupahami. Dia sudah mati, Risa. Berhenti cari alasan untuk membenarkan tindakannya."

"Gue nggak cari alasan—"

"Aku nggak mau bahas Basil."

"Oke... kalau itu mau lo." Risa mengalah sebelum Davi benar-benar murka. "Kalau lo nggak mau bahas Basil, gimana kalau bahas rumor yang lo dengar di Raudra?"

Davi mengerang.

"Kalau rumor itu berhubungan sama gue, harusnya gue berhak tahu kan?"

"Kalau Luka sampai tahu—"

"Luka lagi nggak ada di sini." Risa menegaskan. "Dan dia nggak akan tahu. Gue janji."

Davi menatap Risa sejenak, lalu memulai hati-hati. "Ada rumor yang menyebar. Bukan cuma di Raudra, tapi di seantero dunia kita. Bukan cuma di teritori serpent, tapi juga sampai melewati perbatasan. Katanya—" Davi menelan saliva. "Benji Agnimara percaya kalau ramalan sakral yang selama ini kita yakini, ramalan tentang pembawa tanda unalome yang kelak akan mencegah kehancuran dunia kita itu salah. Ramalan itu cuma tipu-daya untuk menyamarkan apa yang sebenarnya akan terjadi. Ramalan itu kebohongan yang sengaja disebarkan supaya kita lengah, agar kita menganggap penghancur sebagai juru selamat. Menurut Benji Agnimara, sebaliknya, pembawa unalome harus segera dihabisi sebelum dia jadi terlalu kuat dan nggak bisa dikalahkan."

Risa terdiam, merenung.

"Kita semua tahu, pembawa unalome yang sesungguhnya itu Nedia. Lalu dalam cara yang sampai sekarang belum benar-benar kita pahami, Nedia memberikan takdirnya ke kamu."

"Itu cuma ramalan. Prediksi. Perkiraan." Risa membalas, suaranya pelan. "Kenapa semua orang menganggapnya serius banget—"

"Ramalan adalah dasar fundamental Dunia Bayangan." Davi menyergah. Belum pernah Risa melihat temannya seserius itu. "Ramalan adalah benang dari tenun dunia kita. Pesan kiasan yang ditinggalkan Serpentine untuk kita, bangsa yang ada karena pembangkangannya."

"Oh... oke..."

"Wajar kalau kamu belum paham. Dunia Bayangan itu luas. Jauh lebih luas dari akademi ini." Davi meneruskan. "Apa pun itu, di mata Benji Agnimara sekarang, kamu nggak lebih dari sekadar monster yang harus dilenyapkan. Jadi tolong, jangan coba ngebela dia lagi."

Hati Risa disengat nyeri.

"Gimana dengan lo?" Risa tercekat. "... apa lo juga berpikir sama?"

"Apanya?"

"Apa di mata lo, gue juga monster?"

Davi tertawa kecil, lantas membalas tegas. "Jelas nggak. Kamu bukan monster. Jangan besar kepala ya, tapi kamu itu salah satu orang terbaik yang pernah kukenal. Yang terpendek juga—"

"Sialan."

Tawa Davi makin keras. "Kamu temanku. Basil—atau Benji—persetan siapa pun dia, bisa berpikir sesuka hatinya. Dia bebas memercayai apa yang mau dia percayai. Tapi kamu temanku. Kalau Basil mau nyakitin kamu, dia harus melangkahi mayatku dulu."

"Jangan ngomong gitu." Risa menyambar. "Jangan ngomongin mayat. Jangan ngomongin mati. Gue nggak mau kehilangan teman lagi."

"Jangan khawatir." Davi mengedipkan sebelah matanya. "Aku juga nggak kepengin mati kok! Tapi aku tetap mau jaga kamu. Jaga Dante. Jaga Persie. Jadi, aku bakal lanjut berlatih sebaik-baiknya supaya nggak gampang dikalahkan. Kayaknya, Persie sama Dante juga mikir yang sama. Mereka makin rajin latihan."

"Berarti, di antara kita semua, cuma gue yang nggak latihan sama sekali dan malah lebih banyak rebahan." Risa berujar kecut.

"Kamu habis cedera. Kamu butuh waktu untuk mulihin diri."

"Gue udah sembuh sejak dua hari lalu."

"Kelihatannya begitu, walau kamu jelas masih kelihatan kurang tidur."

Mimpi-mimpi buruk masih setia mendatanginya, dan itu bikin jam tidur Risa berkurang. Tidak drastis, tapi tetap berhasil menurunkan kualitas waktu istirahatnya.

"Spar with me?"

"Mau-mau aja sih. Tapi nggak dulu."

"Kenapa?"

"Kalau Luka tahu aku sparring sama kamu, dia pasti ngamuk."

"Lo takut sama Luka?"

"Segan." Davi mengoreksi. "Aku nggak takut sama siapapun. Tapi di luar reputasi dan kemampuannya, posisi Luka sekarang... berbeda."

"Berbeda gimana?"

"Sepeninggal Nedia, cuma ada dua pilihan untuk pewaris tahta berikutnya. Luka atau Lara. Kemungkinan besar, para tetua dan bangsawan lebih memilih Luka. Dia laki-laki, dia lebih tua beberapa menit dari Lara, reputasinya lebih melegenda. Kalau konflik ini berkembang jadi sesuatu yang lebih serius, raja yang berkuasa sekarang nggak akan ambil risiko. Beliau akan netapin siapa pewaris tahta berikutnya untuk menghindari kemungkinan gesekan internal."

"Apa karena itu... Luka jadi jarang kelihatan di akademi akhir-akhir ini?"

"Mungkin. Waktu aku ketemu dia di Raudra, dia kelihatan capek. Kayaknya lagi banyak pikiran. Tapi kamu nggak perlu cemas. Pewaris tahta atau bukan, kewajibannya ke kamu sebagai master tetap harus dituntaskan. Cuma, sekarang udah mau masuk masa liburan. Luka nggak wajib stand-by di akademi dan ngawasin kamu kayak hari-hari biasa."

Risa manggut-manggut mengerti—kendati hatinya mencelus, sebagian besar karena rindu.

Kemunculan Alka di ujung koridor menghentikan obrolan mereka. Dia mengenakan setelan serba hitam—celana panjang, kaus dan jaket yang memeluk sempurna kedua bahu tegapnya. Dia batang gagang pedang yang terbuat kayu mencuat dari balik punggungnya. Mata laki-laki itu menatap lurus ke depan saat dia melangkah mendekati bangku tempat Davi dan Risa duduk.

"Sudah sehat?" Alka bertanya tanpa basa-basi setelah dia cukup dekat.

"Kelihatannya?" Risa membalas sarkastik.

"Tampaknya kamu sudah cukup sehat untuk kembali jadi orang paling menyebalkan yang pernah kuajak bicara."

"Kalau nyebelin, ya jangan diajak ngomong."

Alka mengabaikan Risa, ganti memandang Davi. "Trisha perlu latihan."

Davi memasang muka heran. "Kukira masternya Luka."

"Luka sedang sibuk, dan kami sudah sepakat berbagi peran. Ada beberapa hal yang tidak bisa Luka ajarkan, tapi penting Risa kuasai."

"Oh, oke." Davi mengerti kalau Alka sedang mengusirnya secara halus. Dia bangkit. "Aku duluan kalau gitu. Selamat latihan."

Risa mengangguk.

Setelah Davi menjauh pergi, barulah Risa bicara lagi ke Alka. "Latihan apa?"

"Latihan yang berhubungan dengan okulismu."

"Udah bilang Luka?"

"Sudah kukatakan kan tadi? Kami sudah sepakat."

"Luka nggak bilang apa-apa—"

"Luka belum bilang apa-apa." Alka meralat ucapan Risa. "Dia sedang sibuk, tapi kujamin dia sudah tahu dan setuju. Luka masih bertanggung jawab atas pelatihanmu dalam urusan-urusan lain, tapi aku sepenuhnya bertanggung jawab atas pelatihan okulismu."

Okulis. Kuasa visual yang membuat orang-orang berjengit gentar bahkan hanya dengan mendengar namanya disebut. Kemampuan yang membuat Serena Punakata tidak bisa menggunakan kemampuan magisnya selama berbulan-bulan. Sesuatu yang Risa miliki, tapi tidak dia kuasai.

"Yaudah. Kapan kita mulai latihan?"

"Sekarang."

***

Tadinya, Risa kira Alka bakal mengajaknya ke lapangan berumput yang berada dekat danau di belakang akademi.

Tempat itu cocok dijadikan lokasi latihan. Selain jarang dilewati orang, lapisan rumput yang terbentang bagai permadani juga cukup tebal. Jatuh di atas rumput tidak akan sesakit kalau jatuh di tanah biasa, jadi bisa meminimalisir cedera. Tapi perkiraan Risa tidak terbukti. Alka memang membawanya ke area di belakang akademi, tapi itu bukan tujuan akhir mereka.

Sesampainya di tepi danau, tiba-tiba laki-laki itu berhenti dan berbalik menghadapi Risa yang mengekor di belakangnya.

"Kemarikan tanganmu."

"Hah?"

"Kemarikan tanganmu."

Risa mengulurkan tangan kanannya, yang langsung Alka raih. Laki-laki itu menyentuh telapak tangan Risa sekilas, lalu berdecak. "Selembut pantat bayi."

Risa mengerjap sembari menarik tangannya. "Thanks, I guess?"

"Itu bukan pujian." Alka mendengus. "Jika kamu seorang tuan putri, menyebut tanganmu lembut boleh jadi sebuah sanjungan. Tapi kalau kamu petarung, yang baru kukatakan adalah penghinaan."

Risa jadi sewot. "Jangan bertele-tele bisa nggak? Langsung aja ke intinya kenapa sih?"

"Tanganmu terlalu lembut. Genggamanmu ke gagang pedang tidak akan cukup mantap dengan tangan selembut itu."

"Nggak juga. Waktu sparring sama Basil—" Risa berdeham. "—gue bisa megang pedang gue dengan baik."

"Baiklah. Mari kita buktikan." Alka menarik dua bilah pedang yang tersimpan di balik punggungnya. Seluruh bagian pedang itu terbuat dari kayu. Tidak ada bagian tajam yang bisa mengiris atau mengoyak. Salah satunya dia berikan ke Risa. "Pegang ini. Hunuskan ke arahku."

Risa menurut. Kesepuluh jemarinya melekat erat ke gagang pedang. Dia membentuk posisi kuda-kuda, lalu menghunus pedang itu ke arah Alka.

Alka memutari Risa beberapa kali, kemudian tanpa aba-aba, dia menghantamkan ujung pedang kayunya ke sejumlah titik di tubuh Risa; pundak, bagian tengah punggung, belakang lutut. Risa mengerang protes. Kuda-kudanya goyah.

"Apa-apaan?!" Risa mendesis sambil menahan sakit.

"Kuncian pundakmu tidak cukup kuat. Otot pahamu tidak terlatih." Alka memiringkan wajah. "Kekuatan inti tubuhmu, terutama di perut dan dada sangat lemah. Tanganmu lembut. Lenganmu seperti lembek seperti agar-agar."

Risa melotot sengit. "Luka bilang gue cepat belajar. Dan gue jago nonjok orang."

"Ah ya, aku tidak akan meragukan penilaiannya." Alka manggut-manggut, suaranya kental oleh sarkasme. "Harus kuakui, dalam pertarungan satu lawan satu melawan siswa tahun pertama, kamu cukup bagus. Tinjuan yang tepat sasaran. Teknik yang cukup rapi. Tapi kalau kamu berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tangguh... seperti misalnya Adya Wiranata... atau Benji Agnimara, mereka bisa membunuhmu hanya dengan dua serangan fatal. Tiga, kalau kamu lagi beruntung."

"Adya menghajar gue dan gue masih hidup—"

"Dia menyerangmu untuk menyakitimu, bukan untuk membunuhmu. Jangan mendebatku soal itu. Aku lebih mengenalnya daripada kamu."

Risa menyipitkan matanya. "Gue nggak nyangka lo bisa sebrengsek ini ketika ngajarin orang."

"Aku di sini bukan untuk memanjakanmu, Trisha." Alka menegaskan.

Aku di sini untuk memastikan kamu tetap hidup.

Alka berputar, menyarangkan satu tendangan mendadak ke tangan Risa yang masih memegang gagang pedang. Risa terkesiap, tidak menduga bakal diserang tiba-tiba. Dia melotot kesal sewaktu genggamannya di gagang pedang terlepas. Pedang kayu itu terlempar ke udara, lalu mendarat di rumput.

"Lihat? Genggamanmu tidak mantap sama sekali."

"Gue nggak siap—" Risa berdalih sembari memungut pedangnya.

"Dalam pertarungan di dunia nyata, kurasa lawanmu tidak akan cukup baik hati menunggumu siap menerima serangan mereka."

"Iya, tapi kita kan cuma lagi latihan—"

"Latihan adalah simulasi dari situasi yang mungkin akan kamu hadapi di kenyataan." Alka memotong. "Aku tidak tahu bagaimana Luka melatihmu, tapi denganku, kamu wajib menganggap sesi latihan sama seriusnya dengan pertarungan sungguhan."

"Lo bersikap seakan-akan lo mau ngirim gue ke medan perang." Risa menggerutu.

"Kemungkinan itu selalu ada."

"Oh ya?" Risa memiringkan wajah.

"Tidakkah Luka bilang kalau Benji Agnimara menginginkan kematianmu?"

Wajah Risa memucat. "Soal itu—"

"Lupakan perang. Kalau aku jadi kamu, kalau aku tahu Benji Agnimara menginginkanku tewas, aku akan menghabiskan minimal dua belas jam dalam sehari untuk berlatih. Untuk memastikan aku cukup kuat menghadapinya. Aku mungkin akan mati saat melawannya, tapi aku tidak akan mati dengan mudah di tangannya. Harga diriku tidak akan mengizinkan itu." Alka membalas, suaranya pedas dan menohok. Rasanya lebih buruk daripada tamparan fisik. "Kalau kamu punya harga diri—"

"Gue juga punya harga diri!" Risa berseru jengkel. "Tapi—Basil—" Kata-kata Risa tersendat. "Dia—"

"Temanmu?" Alka berdecak. "Tsk. Konyol sekali."

"Sebenarnya lo mau bantu gue berlatih, atau cuma pengen bikin gue kesal?!"

"Tentu saja, aku ingin membantumu berlatih. Sekarang, aku sedang mencoba memberimu alasan untuk berlatih sungguh-sungguh, karena yang menunggumu bukan lagi sebatas ujian fisik. Yang dipertaruhkan bukan lagi sebatas kelulusanmu, melainkan nyawamu. Hidupmu. Tidak ada waktu untuk main-main."

"Tapi Luka—"

"Berhenti membandingkanku dengan Luka. Aku bukan Luka." Alka menyambar cepat. "Luka akan mengatakan apa saja untuk membuatmu tenang. Dia boleh saja bersumpah akan melindungimu dengan hidupnya, tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu. Tapi kuberitahu, tidak semua janji diucap untuk ditepati."

Akan selalu ada situasi di mana kamu tidak punya siapa-siapa untuk diandalkan, selain dirimu sendiri. Aku ingin saat kamu berada dalam situasi itu, kamu punya pilihan dan bisa melawan.

Risa terdiam.

"Supaya kamu tidak kaget, akan kukatakan ini di awal. Aku akan melakukan apa saja yang mesti kulakukan untuk membuatmu menguasai okulis, juga memastikan kamu cukup kuat untuk membela dirimu sendiri. Kamu mungkin tidak akan suka beberapa caraku. Kamu mungkin bakal menganggapku konyol, atau mengadukanku pada Luka. Silakan saja. Tapi kujanjikan padamu—" Alka menatap Risa lekat. "—selama kita berlatih, selama aku jadi mastermu untuk penguasaan okulis, aku akan selalu jujur padamu dalam apa pun. Terutama dalam menilai kemampuanmu."

Risa berdeham. "Oke. Gue ngerti. Masih ada petuah yang mau disampaikan?"

"Apa yang tadi kukatakan bukan sebatas petuah—"

"Gue ngerti. Iya. Lo benar. Gue lemah." Risa membalas. "Masih ada lagi?"

Alka sempat mengira Risa bakal defensif terhadap kritiknya. Namun gadis itu menerima kata-katanya dengan lapang dada.

Dia bisa menekan egonya. Permulaan yang bagus.

"Tadinya, aku berniat mengajakmu beradu pedang sambil mendemonstrasikan konsep dasar cara kerja okulis. Okulis adalah kemampuan visual. Mata keduamu, yang jauh lebih kuat dibanding matamu yang biasa. Jika kamu sudah menguasainya, kamu bisa melihat sekelilingmu secara jelas bahkan dengan mata tertutup. Kamu bisa melihat aliran energi orang lain, atau menyusup masuk ke dalam Arx mereka tanpa diundang. Tapi fisikmu masih terlalu lemah. Jadi kita akan mulai dari yang paling dasar."

Risa menyimak, membiarkan Alka melanjutkan penjelasannya.

"Langkah pertama pertama yang harus kamu lakukan adalah berlatih lebih keras. Tanganmu terlalu halus. Genggamanmu terlalu lemah. Tangan itu tangan gadis muda yang belum mengenal dunia, bukan tangan seorang petarung, apalagi pejuang. Aku curiga, Luka terlalu lembut padamu belakangan ini."

Risa mencibir. "Ada lagi?"

"Kuasai rasa takutmu, terutama di saat-saat mendesak, ketika kamu merasa nyawamu terancam. Rasa takut membuat okulismu susah dikendalikan. Jika kamu tidak bisa mengendalikan okulismu, kemampuan itu bukan hanya akan melukaimu, tapi juga melukai orang-orang di sekitarmu."

"Contohnya kayak apa?"

"Ingat waktu kamu hampir menghancurkan Arx Serena Punakata secara permanen? Saat kamu tidak sadar? Luka nekat mendekatimu dan memelukmu. Dia beruntung, karena kamu sempat sadar sebelum pingsan. Dalam kondisi seperti itu, kamu tidak terkendali. Kamu bisa saja menganggap Luka ancaman dan mencabut keluar jantungnya dari dada."

Risa tersentak kaget. "... apa Luka tahu soal itu?"

"Tadinya tidak. Tapi sekarang dia sudah tahu. Meski begitu, aku tidak ragu dia akan tetap memelesat ke arahmu dan memelukmu sekalipun dia tahu kamu bisa saja menyakitinya, atau bahkan membunuhnya."

Membayangkan dirinya menyakiti Luka saat sedang tidak sadar rasanya tak tertahankan. Perut Risa diguncang mual.

"Kendalikan rasa takutmu." Alka menegaskan sekali lagi.

Risa terkenang pada keputus asaan yang menyergapnya saat kabut hijau yang Serena ciptakan mencekik jalan napasnya. Sesuatu yang dingin mengaliri tulang belakangnya. "Lebih mudah dikatakan daripada dilakukan."

"Aku tidak bilang itu bakal gampang, sebab selama kamu masih punya sesuatu atau seseorang yang berharga bagimu, kamu akan selalu punya rasa takut."

"Dan sepanjang gue punya rasa takut, gue akan selalu takut."

"Tidak kalau kamu mengubah rasa takutmu jadi sesuatu yang lain."

"Kayak apa misalnya?"

"Keberanian." Alka membalas. "Ubah rasa takutmu jadi keberanian, ubah rasa takutmu jadi tekad kuat untuk melindungi sesuatu dan seseorang yang berharga bagimu."

"Bakal gue coba." Risa menelan ludah. "Ada lagi?"

"Ada sejumlah aktivitas yang akan kuwajibkan kamu lakukan untuk membantumu menempa fisikmu."

Risa mengernyit. "Contohnya?"

Alka mengulurkan tangan ke arah Risa. "Kamu akan tahu... sebentar lagi."

Senyum miring di wajah Alka membuat Risa menebak apa pun itu, dia tidak akan menyukainya. Tapi kata-kata Alka terdengar begitu meyakinkan, dan Risa tidak ingin ambil risiko. Dia tidak tahu apa yang mungkin bakal terjadi ke depannya, dan dia tak ingin kegagalannya mengendalikan okulis membuatnya menyakiti teman-temannya. Menyakiti Luka.

Maka, Risa meraih tangan Alka, merasakan telapak tangan kasar laki-laki itu balik menggenggamnya.

Tangan seorang petarung, Risa bergumam dalam hati.

Sesaat kemudian, mereka memelesat bagai peluru meninggalkan tempat itu.

***

Alka membawanya ke sebuah tebing di sisi bukit yang menjulang di tengah danau.

Risa pernah ke sana sebelumnya bersama Dante, hanya sekadar untuk berjalan-jalan—sekaligus bikin Luka kesal karena dia menghilang seharian dari akademi. Tapi kali ini, Risa sadar ada yang berbeda di tebing itu. Sebuah batu besar yang sebelumnya tidak ada di sana tampak teronggok di bibir tebing. Bentuknya oval, mirip telur raksasa. Batu itu mungkin hanya dua puluh sentimeter lebih pendek dari Risa.

"Latihan pertama, untuk memperkuat genggaman tanganmu." Alka mengambil posisi di depan batu besar tersebut. Dia memastikan kuncian kuda-kudanya mantap, lalu menggenggam gagang pedang kayunya menggunakan kedua tangan. Laki-laki itu menatap lurus ke depan. Satu tarikan napas dalam, dan pedangnya terayun, menghantam keras batu di depannya. Batu itu bergeming. Tidak retak apalagi bergeser. Alka menegakkan menoleh ke Risa yang masih berdiri di belakangnya. "Lakukan seperti yang kucontohkan."

"Kita ke sini buat... ngegebuk batu?"

"Untuk melatih genggaman tanganmu." Alka mengoreksi. "Lakukan sambil menghitung."

"Berapa kali?"

"Seribu kali."

Risa melotot. "Lo gila ya?!"

"Seribu kali. Tidak ada diskon. Semakin cepat kamu mulai, semakin cepat kita selesai. Besok, aku akan mengajakmu panjat tebing untuk melatih otot-ototmu."

"Panjat—what?!"

"Panjat tebing. Itu bagus untuk menguatkan lengan, bahu, punggung dan kakimu. Sesuai target kita. Kalau fisikmu sudah cukup bagus, kita akan mulai mempelajari okulis."

Alka menjentikkan jarinya, menciptakan semacam sofa empuk yang tercipta dari bayangan hitam. Dia duduk di sana, lalu menuding Risa pakai kakinya. "Segera mulai. Seribu kali."

Risa merengut, walau ujung-ujungnya tetap menurut. Dia mengambil posisi di depan batu tersebut. Meniru gerakan Alka sebelumnya, dia memantapkan genggaman kesepuluh jemarinya pada gagang pedang.

Tarik napas... dan

Risa menghantamkan bilah pedang kayunya ke batu. Dampak benturan antara bilah pedang dan batu merambat di sepanjang pedang, membuat tangannya tersentak dan gemetar. Alka melakukannya dengan sangat mudah, membuatnya kelihatan sepele. Tidak seperti Risa, waktu memberi contoh tadi, tangan Alka tidak bergetar sama sekali. Genggamannya pada gagang pedang tidak bergeser barang sesenti.

"Tidak semudah kelihatannya, kan?" Alka tersenyum miring. "Lanjut."

Risa mengulangi gerakannya.

"Dua. Lakukan sambil menghitung."

"Tiga."

Cletak!

"Empat."

Cletak!

"Lima."

Cletak!

Tangan Risa mulai sakit. Alka duduk santai di belakangnya, mulai memejamkan mata. Risa melanjutkan menghantamkan pedangnya ke batu, tetap menghitung.

"Dua puluh dua."

Cletak!

"Dua puluh lima."

Cletak!

"Dua puluh tiga." Alka mengoreksi masih dengan mata yang terpejam. "Jangan korupsi, Trisha."

Risa melotot. Dia kira Alka sudah tidur, karena laki-laki itu duduk bersandar di sofa bayangannya tanpa bergerak sama sekali.

"Kenapa?" Alka membuka mata. "Kaget karena ternyata aku tidak tidur?"

"Sialan." Risa memaki dalam bisik.

"Dua puluh tiga." Alka menegaskan. "Dan kalau kamu coba curang lagi, kita akan mulai dari awal lagi. Sekarang, lanjut hantam batu itu dengan pedangmu."

Risa melanjutkan latihannya sesuai instruksi Alka, dan ketika hitungan keseribu diteriakkan, tidak ada bagian telapak tangannya yang tak dihiasi luka lecet.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top