BOOK II - CHAPTER ONE
PROLOG
Aku sekarat.
Terbaring di dasar jurang gelap tanpa bisa merasakan apa pun selain nyeri, itu satu-satunya yang terlintas dalam pikiran Réve. Mata biru kehijauannya menatap langit malam yang makin lama makin memburam. Senyap, hening, tidak ada jeritan. Sepertinya, para pengejarnya tidak bisa menyusulnya sampai ke ceruk lembah.
Mati seperti ini lebih baik, pikirnya. Setidaknya rasanya lebih damai ketimbang berada dalam cengkeraman mereka dan cuma bisa berteriak ketakutan ketika mereka membenamkan taring di leherku.
Maka, Revé memutuskan memejamkan mata. Kebas mengambil alih kepalanya. Pelan-pelan menumpulkan sakit. Gadis itu sudah nyaris benar-benar tidak sadarkan diri hingga lamat-lamat, dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dingin yang ganjil turun memberati udara. Réve mengernyit, tapi tidak kuasa membuka mata. Sekujur tubuhnya seolah-olah lumpuh.
"Gadis malang." Sosok asing bercita kelam itu berjongkok di dekat Réve.
Dari tangan dan kaki yang tergeletak secara tidak wajar, dia langsung tau kalau Réve mengalami patah tulang parah. Darah menggenang di bawah tubuhnya, membasahi hampir seluruh pakaiannya—secarik kain kusam yang kini berwarna merah gelap. Ada rekahan luka di pelipisnya, lecet dan lebam menghiasi tulang pipinya. Kondisinya benar-benar menyedihkan. Dia hanya tinggal selangkah lagi menuju kematian.
Namun sosok itu memutuskan, dia enggan menyerahkan Réve terhadap maut yang sudah menanti. Jari-jari pucatnya yang panjang terjulur, menyentuh dada Réve, tepat di titik di mana detak jantungnya yang lemah bisa dirasakan.
Selama sejenak, cahaya menyelubungi setiap jengkal kulit gadis itu. Lalu, darah yang sudah mengalir tertarik kembali ke dalam tubuhnya bagai pasir-pasir besi yang ditarik magnet. Cahaya itu turut mengatupkan kembali luka-luka yang menganga, memperbaiki tulang-tulang yang patah dan memulihkan lebam yang sudah menggelap. Dalam sekejap, Réve bersih dari luka. Kemudian perlahan, matanya terbuka.
Réve mengerjap, menatap sosok itu takut-takut. "Anda... siapa?"
"Seseorang yang memutuskan dirinya tidak lagi bernama." Sosok itu menjawab dari balik tudung kelam yang menaungi wajahnya.
Réve tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya ada dua bibir tipis berwarna merah cerah yang terlihat, serta rahang tajam berbungkus kulit pucat. Warnanya mirip cahaya rembulan, membuatnya lebih mirip mayat daripada orang hidup.
"Kamu sudah baik-baik saja." Sosok itu berujar. "Mereka tidak akan mengejarmu sampai ke lembah ini. Mereka tidak bisa merasakan energimu di sini."
"Mereka—"
"Mereka yang menyerang desamu dan menewaskan seluruh keluargamu."
Réve tercekat, dibuat gemetar manakala kengerian itu kembali memeluknya. Sosok itu benar. Desanya baru saja diserang oleh sekelompok orang berjubah hitam. Wajah mereka memesona pada awalnya, begitu indah, membuat orang-orang mengira mereka titisan malaikat. Tapi kemudian, mereka berubah jadi makhluk-makhluk haus darah. Mata mereka menghitam seluruhnya. Taring mereka memanjang. Dan mereka mulai membantai orang-orang. Réve pasti sudah tewas di tangan mereka jika saja ayahnya tidak mengorbankan diri, membiarkan dirinya diserang demi memberi kesempatan Réve berlari pergi.
"Jangan cemas, Nak. Mereka sudah pergi. Mereka sudah menjauh dari sini." Sosok itu berujar, lantas menyambung. "Sayangnya, tidak ada lagi yang berharga untukmu tertinggal di desa itu. Semua yang ada di desa malam ini sudah tewas."
Réve mereguk saliva. Duka membanjirinya. "Kalau begitu... kenapa anda menyelamatkan saya? Kenapa anda tidak membiarkan saya mati seperti yang lainnya? Saya sudah nyaris mati—"
"Mati itu mudah. Tetapi, apa kamu rela mati di lembah sepi sementara orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian keluargamu masih bebas dan hidup dengan baik di luar sana?"
Réve membisu, lidahnya terlalu kaku untuk menjawab.
"Tidakkah kamu ingin membalas dendam?"
"Saya—" kata-kata Réve tersendat. "—tentu saya ingin, seandainya saja saya bisa."
"Seandainya kamu bisa?"
"Mereka makhluk-makhluk aneh. Mereka jelas bukan manusia. Mata mereka begitu hitam, tapi kulit mereka sangat pucat. Dan taring mereka bisa memanjang. Saya tidak tau mereka makhluk apa, tapi saya tidak cukup kuat untuk melawan mereka. Mereka—" Réve menggigit bibir bawahnya sejenak. "—saya juga tidak tau mereka siapa."
"Tapi kamu berhasil mendapatkan sesuatu yang bisa saja jadi petunjuk tentang siapa mereka sebenarnya, kan?"
"Maksud anda?"
"Di tangan kananmu."
Di tengah kebingungannya, Réve membuka tangan kanannya yang terkepal. Ada sesuatu tergenggam di sana, sesuatu yang pasti tak sengaja direnggutnya dari salah satu penyerangnya saat dia mencoba meloloskan diri. Benda itu adalah seuntai kalung berliontinkan sebuah simbol asing yang tak dia kenal.
"Simbol itu adalah petunjuk. Jika kamu bertanya pada orang yang tepat, kamu pasti bisa menemukan siapa yang patut disalahkan atas pembantaian di desamu malam ini."
Réve tercenung, memandangi liontin di tangannya beberapa lama. Di bawah sorot cahaya bulan, simbol berwarna keemasan itu tampak berkilau. Kemungkinan besar, logamnya memang emas sungguhan. Bukan material yang murah, yang berarti, para penyerangnya jelas bukan berasal dari kalangan sembarangan.
"Saya mungkin akan tau, tapi bukan berarti saya mampu."
"Bagaimana jika aku memberimu kekuatan untuk membalas dendam?"
"Kekuatan?"
"Kamu sendiri yang mengatakan, mereka bukan manusia. Bagaimana jika kubilang aku bisa mengubahmu jadi bukan manusia? Jadi sesuatu yang cukup kuat untuk mengejar dan membalas dendammu pada mereka."
"Sesuatu... yang bukan manusia?" Réve agak gentar, tapi penawaran sosok itu terasa menggoda. Terutama, jika dia mengingat kembali gejolak keputus-asaan yang membayangi wajah ayahnya, kengerian di paras ibunya serta teriakan ketakutan adik-adiknya.
"Pernah dengar sesuatu tentang makhluk bayangan?"
Réve menggeleng. "Tidak."
"Penyerangmu adalah makhluk bayangan, dan mereka terhubung pada pemilik simbol yang sedang kamu pegang." Sosok itu tersenyum miring. "Aku bisa mengubahmu jadi seperti mereka. Aku akan memberikan kekuatanku padamu supaya kamu bisa melawan mereka."
"Tapi saya tidak ingin jadi seperti mereka—"
"Kenapa?"
Ada kebencian merayapi suara Réve ketika dia menjawab tegas. "Sebab mereka adalah monster."
"Monster hanya bisa dikalahkan oleh sesama monster, Sayang."
Réve terdiam.
"Tapi baiklah, jika kamu tidak menghendakinya, aku tidak akan memaksa. Kalau begitu, semoga selamat dan semoga beruntung."
Sosok bertudung gelap itu bermaksud bangkit, namun Réve tangkas menahan lengannya.
"Tidak, maaf kalau saya menyinggung anda." Réve segera berujar. "Jika saya bersedia... akankah anda benar-benar melakukannya? Bisakah anda membuatku jadi sekuat mereka?"
"Tentu bisa, dengan satu syarat sederhana."
"Syarat apa?"
"Jiwamu akan terikat padaku selamanya... sampai kamu memilih menyerah pada hidup."
"Maksud anda?"
"Setelah kamu selesai membalaskan dendammu dan menghukum orang-orang yang bersalah atas kematian keluargamu, kamu bebas memilih. Kamu bisa meneruskan hidup dan aku akan senantiasa bersamamu, atau kamu bisa memilih mati dan menyudahi segalanya. Aku tidak akan mengusikmu dalam kematian. Perjanjian kita selesai jika kamu memilih menyerah pada hidupmu."
"Hanya itu?"
Sosok bertudung kelam itu menyeringai. "Hanya itu."
***
CHAPTER ONE
Lara meluruskan kaki-kakinya yang pegal.
Sudah belasan jam dia dikurung di ruangan ini dengan kedua kaki dan tangan dipasung rantai perak. Luka telah memasang barrier yang sangat kuat di sekeliling ruangan, memastikan tidak ada yang bisa keluar dari sana bahkan seekor lalat sekalipun, namun tampaknya dia merasa itu belum cukup. Rantai yang membelenggu Lara diberati bandul-bandul logam, dan gesekan dengan perak membuat kulit pucat pergelangan tangan serta kaki Lara dipenuhi garis-garis merah. Lara kesal, tetapi memilih bungkam. Bagaimana pun juga, dia pantas menerimanya setelah membebaskan Basil.
Pintu ruangan dikuak membuka. Luka melangkah masuk. Wajahnya dingin. Ada murka bercampur kecewa yang membeku di matanya. Dia menghampiri Lara, melirik bilur-bilur di pergelangan tangan dan kaki saudari kembarnya.
"Sakit?"
"Tidak juga."
"Sayang sekali."
"Senang sudah bikin kamu kecewa."
"Kamu membuatku lebih dari kecewa." Luka menyahut. "Aku benci menghukummu seperti ini, tapi hukuman dariku jelas berkali-kali lipat lebih ringan dari yang akan Ayah berikan jika dia sampai tau apa yang sudah kamu lakukan." Luka berkata, suaranya menusuk. "Ke mana dia pergi dan apa yang direncanakannya?"
"Aku tidak tau."
"Omong kosong."
"Tarik paksa saja memoriku kalau kamu tidak percaya. Kamu bisa. Kenapa tidak kamu lakukan?" Lara menatap tajam. "Kuakui, aku salah karena sudah lengah dan memberinya kesempatan membuatku pingsan. Makanya, aku terima-terima saja dirantai seperti anjing begini. Tapi aku bicara jujur. Aku tidak tau ke mana dia pergi, apalagi rencananya. Terserah kamu mau percaya atau tidak. Aku sedang menerima hukumanku dengan penuh kerelaan. Jangan muncul di sini kalau cuma ingin membuatku kesal."
"Aku tidak ke sini hanya untuk membuatmu kesal." Luka menyergah. "Ledakan kekacauan ini perlu dibereskan. Aku akan berangkat ke Kastel Raudra sekarang."
"Oh ya?" Lara tersenyum miring, terkesan mengejek. "Biar kutebak, Ayah pasti sudah sangat merindukanmu."
"Jangan bikin gara-gara. Tetap dalam ruangan ini dan jangan coba-coba meninggalkan akademi."
"Kayak aku bisa saja. Kamu sudah merantaiku, juga membatasi ruangan ini dengan barrier energi super kuat."
"Harusnya tidak, tapi belakangan ini kamu tidak bisa ditebak."
"Pamitannya cukup. Sana pergi."
"Aku tidak sedang berpamitan."
"Terus apa kalau bukan pamitan?"
"Memperingatkanmu supaya kamu tidak macam-macam."
"Terserah."
Luka memandang sepintas pada bandul-bandul di rantai Lara. "Akan kuminta Denzel menambahkan bandul-bandul pemberatnya nanti."
"Bajingan."
"Salahmu sendiri." Luka mendesis. "Dia berbahaya. Dia bisa jadi malapetaka yang mengancam keluarga kita, dan kamu membebaskannya. Kenapa kamu membebaskannya?"
Lara mengunci bibir rapat-rapat.
"Aku tidak tolol, Lara. Dia memang membuatmu pingsan, tapi dia baru bisa melakukan itu kalau rantainya dilepas. Dia tidak akan bisa mengalahkanmu sebegitu gampangnya, dan meninggalkanmu tanpa cedera."
"Kamu berharap aku cedera?"
"Aku berharap saudari kembarku tidak mengkhianatiku."
Kata-kata Luka sangat menohok, dan Lara tidak sanggup membantahnya.
Jauh di dalam hatinya, dia sendiri pun bertanya-tanya; apa aku benar-benar mengkhianati Luka untuknya?
Luka mengabaikan kebisuan Lara, dan berbalik meneruskan langkah ke pintu.
Sebenarnya, dia enggan meninggalkan Risa di akademi, apalagi dalam kondisi rentan. Dia meninggalkan Risa untuk mencari Chyndar Tedjaratri, dan ketika dia kembali, Risa sudah babak-belur hingga hampir sekarat. Bakal lebih mudah membangkang jika hanya Lorien yang memanggilnya pulang. Tapi surat terbaru yang datang dari Kastel Raudra dua jam lalu disemati segel berhias simbol dinasti. Bukan hanya ayahnya, melainkan pamannya, Sang Raja juga menginginkannya setor muka ke Raudra.
Di tengah lorong akademi, Luka berpapasan dengan Novel.
"Ternyata situasinya lebih mencekam dari yang kukira." Novel jadi yang pertama bicara.
"Tidak heran. Sejumlah siswa tewas. Ada master yang tewas." Luka lanjut bertanya. "Di mana Chyndar Tedjaratri?"
"Entah. Dia pergi. Kami berpisah jalan. Aku tidak tanya dia mau ke mana."
"Kusangka kamu bakal mengikutinya. Kalian tampaknya punya kedekatan khusus."
"Tergantung definisimu tentang kedekatan khusus itu seperti apa."
"Kenapa kamu kembali ke sini?"
"Karena Alka ada di sini." Novel mengangkat bahu. "Aku setia padanya. Sampai aku tau dia akan berpihak ke siapa, aku akan mengambil posisi netral."
Luka menyipitkan mata. "Berpihak?"
"Jangan pura-pura tidak paham, Diwangka."
"Kamu bicara seakan-akan kita bakal berperang."
"Bukankah faktanya memang begitu?" Novel menyambar. "Perang tidak bisa dihindari. Cepat atau lambat, kabar tentang Basil Arnawarma dan jati dirinya sebagai Benji Agnimara bakal tersebar. Orang-orang akan penasaran. Apa yang membuat Benji Agnimara membuang tahun-tahun berharga eksistensinya menyamar sebagai Basil Arnawarma yang lemah dan dipandang sebelah mata? Apa yang membuatnya melakukan apa yang dia lakukan kemarin? Kemudian, saat orang-orang tau tentang ramalan itu, hanya ada dua kemungkinan—"
"Tutup mulutmu."
Novel mengabaikan geraman Luka. "Sebagian akan tetap meyakini kalau Trisha adalah juru selamat dunia kita. Pengganti Nedia. Sebagian sisanya bakal lebih percaya pada Benji Agnimara, dan berjuang bersamanya untuk melenyapkan Trisha. Bangsa kita akan terpecah ke dalam dua kubu. Apa namanya kalau bukan perang?"
"Tidak akan ada perang." Luka menegaskan, tangannya terkepal.
"Seyakin itu, Diwangka?"
"Tidak akan ada perang, karena aku tidak akan membiarkannya terjadi."
"Oh, aku tidak meragukan tekadmu." Novel membalas. "Tapi semesta ini tidak berjalan berdasar izinmu, kan?"
Luka tidak menghiraukan ucapan Novel dan beranjak pergi tanpa mengatakan apa-apa.
***
Di kali ketiga kepala Persie hampir membentur tepi ranjang karena tidak sanggup menahan kantuk, Alka bersuara.
"Kamu bisa kembali ke kamar asramamu, Persimmon. Aku yang akan menjaganya."
Persie tersentak, segera menengok ke Alka yang tengah separuh bersandar di ambang pintu kamar seraya bersedekap. Persie tidak tahu persis sejak kapan Alka berdiri di sana. Saking penatnya, dia tidak menyadari kehadiran energi Alka.
Luka sudah menitipkan Risa padanya. Laki-laki itu memintanya mengawasi Risa sementara dia pergi ke Kastel Raudra. Kombinasi fakta kalau seorang Luka Diwangka yang memintanya, dan persahabatannya dengan Risa membuat Persie mengiyakan tanpa pikir panjang kendati dia baru bisa tidur tiga jam selepas insiden di arena ujian kemarin.
"Tapi—"
"Akan kubilang ke Luka kalau aku yang memaksamu pergi. Kamu butuh istirahat. Besok, kamu bisa ke sini lagi."
Persie menghela napas. "Jaga Risa baik-baik. Kumohon."
Alka mengangguk. "Akan kupastikan dia tetap aman. Aku berjanji."
Persie bangkit dari kursi, memandang sekali lagi ke Risa yang terlelap di bawah efek ramuan sedatif sebelum meninggalkan ruangan.
Sepeninggal Persie, Alka beralih mengambil tempat duduk di samping ranjang. Dia menatap Risa beberapa lama. Pekat memar di wajahnya sudah memudar. Kemampuan regenerasi serpent membantunya pulih lebih cepat, tapi seperti yang sudah dikatakan Nauli, Risa perlu tirah baring setidaknya seminggu penuh. Dampak tusukan pisau di dadanya cukup parah. Butuh waktu lebih lama untuk merekatkan lagi paru-paru yang terkoyak. Wajahnya pucat, dan memperhatikannya lebih lekat membuat Alka tersadar betapa kecilnya tubuh gadis itu.
Mulanya, Alka protes ke Luka karena mengizinkan Nauli memberi Risa ramuan sedatif. Gadis itu lebih sering terlelap daripada bangun. Tetapi setelah melihat bagaimana Risa, menangis, kemudian menarik dirinya mundur dengan linglung dan menolak didekati siapapun, Alka akhirnya mengerti. Risa tengah menghadapi tahap-tahap awal kedukaan karena ditikam oleh salah satu orang yang paling dia percaya di dunia ini, baik secara harfiah maupun dalam kiasan. Ketidak sadaran membuat gadis itu lebih tenang.
Fisiknya gagal mengimbangi keberaniannya, Alka membatin. Dia terlalu berani, dan keberanian itu bisa saja membunuhnya.
Risa menggeliat sedikit dalam tidur, membuat Alka cepat-cepat mengusap lembut punggung tangan gadis itu supaya kembali tenang.
Dia mirip Nevna.
Alka baru sadar, itu salah satu alasan kenapa Risa terasa familiar. Gadis itu mirip Nevna, dan dia tidak sedang membicarakan kemiripan dari segi fisik. Satu-satunya yang sama dari fisik mereka hanya rambut yang hitam. Garis wajah Nevna lebih dewasa, juga lebih kalem, berbeda dengan Risa yang lebih imut-imut dan jail. Mata Nevna berwarna ambar. Cokelat terang, tapi tidak mengarah ke kehijauan seperti hazel. Warnanya lebih hangat, lebih ke kekuningan yang sering mengingatkan Alka pada cahaya senja.
Mereka sama-sama berani. Waktu melihat Risa memelesat cepat untuk mengadang pisau yang ditargetkan ke Luka tanpa ragu, Alka serasa kena déjà vu.
Keberanian Nevna membunuhnya. Akankah kelak keberanianmu juga membunuhmu?
Risa kembali bergerak. Wajahnya disaput gelisah. Peluh bermunculan di dahinya. Dia mulai berteriak dalam tidur. Tangannya terangkat menggapai udara kosong. Cepat-cepat, Alka meraih tangan Risa, membiarkan Risa balas menggenggam tangannya erat-erat. Lalu, mata Risa terbuka. Beragam emosi terpancar di sana, mulai dari takut, sedih, kecewa dan denial.
"Kamu baik-baik saja. Kamu aman. Tidak akan ada yang menyakitimu. Aku menjagamu."
"Sakit—" Risa ganti meremas bagian depan pakaiannya. Napasnya memburu. "—sakit—"
Alka tersentak. "Tunggu sebentar. Aku akan memanggil Nauli. Aku akan segera kembali."
Sejenak kemudian, Alka kembali bersama Nauli. Dengan wajah tenang, Nauli memeriksa luka di dada Risa, lalu meminta salah satu pegawai akademi membawakan secangkir ramuan sedatif. Alka menatap cemas ke Risa yang mengerutkan wajah menahan nyeri.
"Tidak apa-apa, Trisha." Nauli mendesus, membelai halus pipi Risa setelah membantu gadis itu menandaskan ramuan sedatifnya. "Cuma mimpi buruk. Setelah ini, kamu akan tidur kembali."
"Tapi—"
"Kamu akan baik-baik saja. Kami semua menjagamu."
Risa coba membantah, tapi efek ramuan sedatif sudah lebih dulu mengambil alih. Tangannya kembali terkulai lemah ke kasur, matanya yang berat pelan-pelan mengatup. Nauli menepuk pelan pundak Risa sampai dia benar-benar terlelap.
"Apa dia baik-baik saja?"
"Lukanya bersih, dan akan pulih dalam hitungan hari. Secara fisik, dia harusnya baik-baik saja. Tapi secara psikis, kita semua tau dia berantakan. Seberapa dekat dia dengan Benji?"
"Cukup dekat."
"Hanya cukup?" Nauli meragukan.
"Aku tidak tau secara detail mereka sedekat apa, tapi—" Alka mereguk saliva. "—mereka sering menghabiskan waktu bersama. Bukan hanya berdua. Berlima, bersama si Kembar Dalimunte dan Persimmon Wagiswari. Mereka—kurasa mereka bersahabat dekat."
"Dia sangat menyayangi Benji, makanya dia begitu kesakitan." Nauli membalas. "Hanya orang-orang yang kamu sayangi yang bisa menyakitimu sedalam itu. Gadis malang. Dia masih sangat muda. Dia juga setengah manusia, dan sepertinya belum terlalu paham dunia kita itu dunia yang seperti apa. Dia pasti bingung, sedih, takut."
Alka mengangguk. "Dia tidak pernah tau soal dunia kita sampai setidaknya enam bulan lalu."
Nauli memperhatikan Alka sebentar. "Alka,"
"Apa?"
"Gadis ini bukan Nevna. Dia sama beraninya dengan Nevna. Aku sadar itu setelah mendengar ceritamu tentang insiden yang terjadi kemarin. Tapi dia bukan Nevna. Berhenti memandangnya seperti itu."
Alka tangkas membantah. "Aku tidak memandangnya seperti itu."
"Begitukah?"
"Kuakui, aku punya titik lemah tersendiri untuknya, tapi itu bukan karena aku merasa dia mirip Nevna."
"Lalu karena apa?" Nauli menelengkan kepala. "Karena kamu mencintainya?"
"Dia adikku."
Nauli terhenyak sejenak, lalu ada pemakluman di wajahnya. "Pasti berat untukmu, karena Benji Agnimara sahabatmu, dan Benji menginginkan kematiannya."
Alka membuang napas lelah.
"Fate is a cruel mistress, isn't it?"
"Aku tidak akan membiarkan Benji menyakitinya."
"Berarti sekali lagi, perang akan terjadi."
"Tidak perlu ada perang—"
Nauli memotong. "Siapa yang coba kamu tipu? Aku tau seperti apa karaktermu, juga seperti apa karakter Benji. Apalagi, Adya bersamanya, kan? Adya ada di pihaknya."
Lidah Alka langsung kelu.
"Hanya mereka yang belum pernah melihat perang sungguhan yang mengharapkannya terjadi. Aku belum pulih dari perang terakhir. Tapi yah, melihat situasinya, perang jadi salah satu kemungkinan yang akan terjadi. Jangan coba menipu dirimu sendiri. Akui saja. Kamu sadar aku benar." Nauli melanjutkan seraya merapikan peralatannya. Matanya sepintas tertuju ke Risa sekali lagi. "Dia baru berumur delapan belas tahun. Sebaya dengan Nevna waktu itu. Ironi yang saking brengseknya, jadi terasa lucu."
"Kalau memang benar akan terjadi perang, kamu akan memilih berada di pihak siapa?"
"Aku?" Nauli menoleh ke Alka. "Aku tidak tau. Susah bagiku menentukan mana yang benar di antara kalian. Satu-satunya yang kutahu adalah, perang melahap banyak hal, terlalu banyak, hingga sekalipun kamu berhasil memenangkannya, yang tertinggal tidak sebanding dengan yang sudah hilang darimu."
Alka kehilangan kata-kata.
"History repeats itself, in such cunning disguise that we never detect the resemblance until the damage is done." Nauli berujar muram. "And each time history repeats itself, the price goes up."
***
Luka tidak tau harus lega atau justru waspada ketika dia memasuki balairung Kastel Raudra dan mendapati hanya ada tiga orang yang tengah menunggunya di sana; Sang Raja, Lorien dan Penasehat Utama.
"Aku sudah menerima suratmu yang pertama, tapi aku ingin kamu menjelaskan apa yang terjadi di akademi sekali lagi. Dengan sejelas-jelasnya, di hadapan ayahmu juga Penasehat Utama." Sein Diwangka berujar dalam suara yang amat terkontrol. Keteduhan menaungi tatapan matanya. Kearifan lekat di wajahnya. Keberadaannya adalah antitesis Lorien, yang terkadang bikin Luka sulit percaya keduanya bersaudara.
"Basil Arnawarma menyabotase ujian fisik di akademi kemarin. Dia merusak arena, memaksa pertarungan berjalan sesuai keinginannya. Dia mengurung sejumlah master di ruangan mereka, serta menyerang para petinggi akademi yang tidak sempat dikurung. Delapan siswa dan seorang master tewas. Rami Sambas tewas. Puluhan cedera, mulai dari yang ringan sampai yang berat, termasuk siswaku."
Lorien menarik senyum miring. "Siswamu?"
"Trisha ditikam di dada, namun dia sudah dirawat dengan baik. Dia perlu seminggu penuh istirahat di tempat tidur, tapi dia akan pulih."
"Suratmu yang pertama menyebutkan kalau Basil Arnawarma sudah ditangkap dan dijebloskan ke penjara bawah tanah akademi. Aku sempat lega. Tapi suratmu yang kedua mengatakan kalau dia berhasil meloloskan diri."
Luka mengangguk. "Sangat disesalkan."
"Ke mana dia pergi?"
"Aku belum tau. Dugaan awal, bisa saja dia melarikan diri ke kediaman Keluarga Arnawarma. Kemungkinannya kecil, tapi tidak ada salahnya mengirim orang untuk mengecek ke sana. Kusarankan untuk menahan kedua orang tua Basil dan menggali informasi dari mereka."
Lorien berdeham. "Ketika Basil Arnawarma menyabotase arena ujian, di mana kamu berada? Apa kamu juga terkurung di ruanganmu? Melihat jumlah orang yang tewas dan cedera, sepertinya Basil Arnawarma dibiarkan bersikap seenaknya cukup lama."
"Aku sedang ada perlu di luar akademi." Luka mendesis. "Aku mencari informasi penting tentang Basil, dan berhasil kudapatkan dari Chyndar Tedjaratri. Kuakui, aku terlambat kembali ke akademi."
"Jadi kamu melakukan misi rahasia tanpa mengabari Raudra?" Lorien memancing.
"Aku—"
"Itu tidak penting lagi sekarang." Sang Raja menyela, wajahnya keruh. "Lalu, apa motif Basil melakukan itu? Seingatku, dia salah satu teman Nedia. Bukankah Lara yang jadi masternya tahun ini? Dia baru mulai belajar. Bagaimana mungkin siswa yang baru enam bulan punya master bisa menyabotase ujian akhir yang dirancang oleh para petinggi akademi dengan sebaik-baiknya?"
Sebab, sebenarnya dia adalah Benji Agnimara. Pewaris terakhir Keluarga Agnimara yang selama ini dianggap legenda. Basil Arnawarma hanya topeng penyamarannya, Luka membatin.
"Dia menginginkan kematian Trisha."
Sang Raja dan Penasehat Utama sama-sama terhenyak, berbanding terbalik dengan Lorien yang malah menyeringai penuh arti.
"Itu makin tidak masuk akal." Sang Raja menukas. "Bukankah Trisha bertarung melawanmu sampai babak-belur hanya agar Basil punya master? Bukankah mereka berteman? Kenapa dia menginginkan kematian Trisha—"
Luka enggan membahas soal jati diri Basil yang sesungguhnya, namun dia sadar, dia tidak bisa menutupi fakta itu. Cepat atau lambat, orang-orang Raudra pasti akan tau kebenarannya. Jika dia menutupi kenyataan, bisa-bisa dia malah mengundang curiga.
"Basil Arnawarma hanya topeng. Itu identitas palsunya. Sebenarnya... dia adalah Benji Agnimara."
"Benji Agnimara?" Sang Raja lagi-lagi terkesiap. "Benji Agnimara yang itu?"
Luka mengangguk. "Benji Agnimara, satu-satunya anggota inti Keluarga Agnimara yang masih ada. Sosok yang selama ini hanya dianggap mitos dan mulai terlupakan oleh bangsa kita."
"Kenapa dia menginginkan kematian Trisha? Trisha adalah pemilik tanda unalome setelah Nedia. Berdasar ramalan yang sudah diyakini turun-temurun, eksistensi Trisha sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dunia kita. Hanya dia kekuatan besar yang bisa menghalau akhir dari Dunia Bayangan. Cuma dia yang bisa melawan monster yang diciptakan untuk menamatkan riwayat bangsa kita."
"Benji berpikir sebaliknya." Luka berujar, wajahnya tenang tanpa riak. "Dia menganggap ramalan itu palsu. Trisha atau siapa saja yang memiliki tanda unalome harus dilenyapkan. Baginya, ramalan yang selama ini kita yakini sesat. Trisha bukan juru selamat. Justru ialah monster yang akan menghancurkan kita, yang harus segera dilenyapkan sebelum terlambat."
Senyap sejenak, tiga laki-laki yang duduk di depan Luka tampak sama-sama butuh waktu mencerna apa yang baru mereka dengar.
"Tapi aku tidak percaya padanya." Luka menegaskan. "Nedia punya tanda unalome, dan dia bukan monster. Dia benci bertarung. Dia tidak suka menyakiti orang lain. Menyebut Nedia monster adalah penghinaan sekaligus kebohongan besar. Begitu pula dengan Trisha. Dia agak impulsif, namun dia sama baiknya dengan Nedia. Selama ini, dia hanya menyerang untuk membela diri, atau membela teman-temannya."
Sang Raja melempar pandang ke arah Penasehat Utama yang tetap bergeming tanpa bergerak di tempat duduknya. "Aku harus setuju denganmu soal itu, Luka. Tapi Basil Arnawarma... apakah dia benar-benar Benji Agnimara? Bukan penipu yang hanya mengaku-ngaku?"
"Menurutku, itu tidak penting lagi. Siapapun dia, dia adalah ancaman. Dia harus segera ditangkap dan diadili. Dia harus bertanggung jawab atas kematian master dan para siswa. Dia juga berniat menikam jantungku. Melukai anggota keluarga kerajaan masih tindakan kejahatan yang tidak termaafkan, kan?"
"Dia hanya nyaris menikammu. Kelihatannya, dia tidak sungguh-sungguh berhasil melukaimu." Lorien berkomentar.
"Kalau bukan karena Trisha, dia pasti sudah menikamku, Ayah." Luka menyergah. "Trisha menghalanginya. Pisau Basil berakhir menusuk dadanya. Paru-parunya robek. Dia mungkin sudah tewas kehabisan darah jika kami terlambat menangani cederanya."
"Trisha bukan anggota keluarga kerajaan."
"Trisha memiliki energi Nedia." Luka menyambar muak. "Dia sama pentingnya dengan Nedia. Dia juga siswaku, dan aku berutang hidupku padanya. Trisha melindungiku."
"Begitukah?" Lorien berdecak, terkesan mengejek. "Semestinya, kamu tidak bangga akan itu, Nak. Sungguh memalukan mendengar putra kebanggaanku yang punya reputasi melegenda ternyata diselamatkan makhluk setengah manusia sepertinya."
Lamat-lamat, kedua tangan Luka terkepal kuat.
"Apa yang dikatakan Luka ada benarnya." Sang Raja menyela. "Kita harus menangkap Benji Agnimara. Tetapi sebelum itu, kekacauan ini harus dikendalikan. Luka, pastikan situasi di akademi tetap kondusif. Aku akan mengirim kabar ke para bangsawan, walikota dan jajaran adipati di daerah dan meminta mereka tetap tenang supaya tidak gegabah. Setelah situasinya cukup kondusif, aku akan membentuk satuan khusus untuk menangkap Benji Agnimara. Dia akan diadili sesuai tindak kejahatan yang sudah dia lakukan."
"Bolehkah aku menyarankan satu hal lagi?"
"Katakan saja, Nak."
"Jangan sebut dia Benji Agnimara. Sebut dia Basil Arnawarma. Menyebutnya Benji Agnimara berarti mengakui jati dirinya. Sosok Benji cukup melegenda. Aku tidak ingin dia mengumpulkan penggemar atau simpatisan yang akan mempersulit penangkapannya. Semakin sedikit orang yang tau tentang jati dirinya sebenarnya, akan semakin baik."
"Masuk akal." Penasehat Utama yang sedari tadi membisu akhirnya angkat bicara. "Aku setuju."
"Baiklah, kami akan melakukannya sesuai saranmu."
"Kalau sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, bolehkah aku kembali ke akademi? Aku punya tanggung jawab terhadap siswaku."
"Silakan."
"Tunggu." Lorien beranjak. "Kita perlu bicara."
"Ayah, aku tidak punya—"
"Sebentar saja. Hanya bicara."
Nada otoriter yang menyemati suara Lorien membuat Luka sadar kalau dia tidak punya pilihan selain menurut.
"Sebentar saja." tegasnya, lantas dia mengikuti Lorien menuju pintu balairung.
***
Lorien menuntaskan langkahnya di tepi taman bunga peoni, dan Luka berhenti di belakangnya.
"Kudengar kamu dekat dengan makhluk setengah manusia itu."
"Dia punya nama." Luka menahan geram.
"Oh, manis sekali." Lorien terkekeh. "Kamu membelanya."
"Aku memberitahumu kalau dia punya nama. Tunjukkan sedikit rasa hormat ketika Ayah bicara tentangnya."
"Kenapa? Karena dia jalang kecilmu?"
"Jika aku mendengarmu bicara seperti itu tentangnya sekali lagi, tinjuku akan mendarat di wajahmu."
"Ah, jadi kamu mencintainya."
Luka mendesis sengit. "Itu bukan urusan Ayah."
"Ternyata benar. Kamu memang mencintainya." Lorien menarik seulas senyum licik, dan Luka benci bercampur resah melihat ekspresi macam itu di wajah ayahnya.
Tidak seperti Sein, Lorien mewarisi kebengisan ayahnya, kakek Luka yang bertahta sekian puluh tahun lalu. Luka tidak mencemaskan dirinya. Dia sudah biasa dihajar habis-habisan sejak masih bocah. Dia pernah dipaksa bertarung semalam suntuk di tengah danau yang membeku, di atas lapisan es yang begitu tipis hingga dia mesti luar biasa berhati-hati kalau tidak ingin tergelincir masuk ke dalam air bersuhu di bawah nol derajat. Dia pernah ditekan melawan sekompi prajurit Raudra—seratus orang sekaligus di umurnya yang baru dua belas tahun. Kekalahan kerap diganjar seratus pecutan di punggung, dan kemenangan selalu dianggap sebagai sebatas pemenuhan kewajiban.
Luka sudah terbiasa menghadapi kekejaman ayahnya. Tapi Risa tidak. Dan Luka tidak ingin Risa bersinggungan dengan sisi Lorien yang satu itu.
"Aku tidak mencintainya." Luka berdusta.
"Jangan coba-coba membohongiku, Luka."
"Aku tidak mencintainya." Luka mengulang lebih keras.
"Kamu membelanya."
"Dia siswaku. Berdasar kemampuan bertarung dan potensi yang dia punya, penilaian objektifku menganggapnya pantas dihormati."
"Kamu menjaganya, dekat dengannya. Mau tau apa lagi yang kudengar? Kamu membawanya ke ruangan pribadimu. Kamu bermain piano untuknya."
"Karena dia siswaku, dan kami berada di akademi." Luka menyahut dingin. "Dia ingin mendengar permainan pianoku. Dia sudah berlatih dengan sangat baik hari itu, jadi tidak ada salahnya membuatnya senang sedikit."
"Apa kamu juga tidur dengannya?"
"Jaga ucapanmu, Ayah."
"Tidak hanya itu, kamu pun membiarkannya memakai simbolmu."
"Dia siswaku. Yang pertama, dan akan jadi yang terakhir. Aku tidak akan pernah menerima siswa lagi setelah ini. Dia berhak memakai simbolku."
"Kamu punya titik lemah untuknya."
"Tentu saja aku punya titik lemah untuknya. Dia siswaku. Aku ingin dia berhasil dan membuat orang-orang yang sudah meremehkannya menyesal." Luka meneruskan, masih sarat kesinisan. "Aku tidak punya waktu untuk omong kosong ini. Ada tumpukan pekerjaan yang menantiku di akademi."
Kemudian, lelaki itu beranjak pergi.
***
Basil nyaris lupa rasanya menginjakkan kaki di depan puri leluhurnya.
Sudah sangat lama sejak terakhir kali dia berdiri di depan gerbangnya—yang kini dililiti tanaman merambat di mana-mana. Kompleks bangunan itu megah, meski kalah telak jika disandingkan dengan Kastel Raudra.
Keluarga Agnimara bisa saja membangun kediaman yang jauh lebih impresif, namun mereka terlalu santun untuk melakukannya. Tidak sepatutnya mereka menyaingi keagungan Istana Liwa—tempat yang dulu jadi rumah tinggal Wangsa Wiranata semasa berkuasa.
Basil mengangkat tangannya ke udara, menyemburkan cahaya yang mengalir deras dari ujung-ujung jemari yang lantas menyelubungi seantero kompleks bangunan. Kompleks bangunan yang lama gelap itu berpendar dalam kelamnya malam. Sulur-sulur tanaman liar serta rerumputan tertarik mundur. Debu-debu terempas lenyap. Sewaktu cahaya itu padam, kecantikan Puri Agnimara sudah kembali dengan sempurna.
Basil mendengar suara langkah seseorang mendekatinya dari belakang. Dia tidak perlu menoleh. Dia tau siapa pemilik langkah itu lewat energi yang terasa. Itu Adya.
"Lama sekali baru tiba." Adya melirik ke pergelangan tangan Basil yang dinodai bilur-bilur merah. "Mereka merantaimu?"
"Dengan perak." Basil menjawab tanpa menoleh, ingin merutuki dirinya sendiri sebab dia malah teringat Lara.
Bagian paling memuakkan adalah ketika Basil sadar dia mencemaskan gadis itu, juga penyesalannya karena sudah meninggalkan Lara begitu saja. Harusnya dia melukai Lara—entah menusuk paha gadis itu pakai belati, atau menggores sedikit torsonya. Dengan begitu, Lara punya alasan berkilah dan menghindari hukuman yang mungkin diberikan Luka.
"Yang penting, kamu sudah di sini." Adya mengangkat bahu. "Seperti apa rasanya pulang?"
Pulang?
Basil memandang tidak yakin pada pucuk deretan menara puri di hadapannya. Tempat ini sudah jadi kediaman keluarganya selama berabad-abad. Apakah Basil merasa dia sudah pulang? Tidak sama sekali. Tempat ini cuma bangunan kosong penuh kenangan tanpa jiwa. Tidak lebih dari itu.
Untunglah, Basil tidak harus menjawab kata-kata Adya. Seseorang lainnya ikut bergabung dengan mereka. Adya menoleh, tertawa kecil saat matanya menemukan sepasang mata jingga milik gadis cantik berambut sedagu.
"Lama tidak bertemu, Benji."
"Terima kasih sudah datang, Dany." Basil menyahut.
"Cuma seorang Daenyra Lazuardi? Kupikir kita punya lebih banyak sekutu." Adya mengangkat alis, menyebut sebaris nama milik satu-satunya kakak perempuan yang Denzel punya.
"Sekutu akan terkumpul seiring dengan berjalannya waktu." Basil menjawab. "Malam ini, masih ada dua orang lainnya yang akan datang."
"Siapa?"
"Tunggu saja. Mereka sudah dekat."
Tidak sampai lima belas menit kemudian, salah satu dari dua sosok yang dibilang Basil menunjukkan batang hidungnya. Cahaya bulan yang pucat menimpa kulit porselennya, menciptakan bayang-bayang yang membuat sosoknya kelihatan terlalu indah untuk jadi nyata. Rambut hitam pekatnya dikuncir ekor kuda. Iris matanya merah muda.
"Tunggu—mata merah muda—"
"Chyndar Tedjaratri." Basil menoleh, menatap lurus ke Chyndar. "Selamat datang."
"Tidak perlu basa-basi." Chyndar berdecak. "Sejujurnya, jika punya pilihan, aku pun tidak ingin ada di sini."
"Tunggu." Dany menyela. "Apa dia termasuk komplotan kita?"
"Komplotan. Sebutan yang menjijikkan." Chyndar berkomentar. "Kemampuanku lebih dari cukup untuk bergabung ke satuan khusus prajurit elit kerajaan. Jadi bagian sebuah komplotan bukan levelku."
"Jaga ucapanmu." Dany mendelik.
"Kamu yang harusnya jaga ucapanmu." Chyndar tidak mau kalah.
"Kamu tidak sungguh-sungguh kan, Benji?!" Dany menyentak kesal. "Kamu membenci Keluarga Tedjaratri dan Keluarga Diwangka lebih dari apa pun! Bagaimana mungkin kamu mengajak sundal rendahan ini bekerja sama?!"
"Katakan lagi—" Chyndar mengepalkan tinju. "—katakan itu sekali lagi, dan akan kubuat gigi-gigimu rontok!"
"Gadis-gadis—" Adya mendesah. "Ini bukan waktunya bertengkar—"
"Tutup mulutmu, Adya!" Dany menghardik.
"Siapa yang memberimu izin untuk bicara?!" Chyndar menimpali.
"Jangan bertengkar." Basil berucap tegas. "Keluarga Tedjarati berutang banyak terhadap keluargaku. Mendiang ibunya sudah berjanji akan mengabdikan hidupnya dan hidup seluruh anggota keluarganya untuk membantuku mencapai tujuanku. Kemampuan Chyndar bisa berguna. Karenanya, cobalah berkompromi dan belajar bekerja sama mulai dari sekarang."
Dany dan Chyndar sama-sama bungkam.
"Satu lagi siapa?" Adya menukas.
"Dia sudah datang—" Basil memandang ke barisan pepohonan berjarak beberapa puluh meter dari tempat mereka berdiri. "Jangan malu-malu, Mainaki! Tunjukkan dirimu!"
Baik Chyndar, Dany maupun Adya kompak tercengang saat sosok terakhir melangkah keluar dari balik bayang-bayang dan mendekati mereka.
"Demi Pohon Kehidupan—" Dany hampir tidak mampu mempercayai penglihatannya. "Kamu pasti bercanda—"
"Seriously? Pemimpin para shloka? Sejak kapan kita bisa bekerja sama dan memercayai para shloka?"
"Musuh dari musuhku adalah temanku." Windu membalas, suaranya datar tanpa ekspresi.
"Windu punya kepentingan tersendiri yang sejalan dengan niat kita. Dia tidak setia padaku, tapi setia pada kepentingannya, dan itu membuatnya cukup bisa kupercaya."
"Benji benar."
"Percaya pada shloka adalah kesalahan besar!" Dany tetap keberatan.
"Jangan pertanyakan keputusanku, Dany. Aku tidak sedang buka forum diskusi di sini."
"Ini kombinasi anggota komplotan yang tidak terduga, tapi yah, cukup menarik." Adya melirik Windu.
"Aku menolak disebut anggota komplotan!" Chyndar mendesis jengkel, lantas berpaling ke Basil. "Lalu, setelah ini apa? Luka Diwangka sudah tau soal ramalan yang kamu yakini. Tentang Trisha dan ancaman yang dibawanya. Dia cinta setengah mati pada gadis itu. Dia tidak akan membiarkanmu menyentuhnya, apalagi menyakitinya. Kuharap kamu punya rencana."
"Dia sudah mengikuti gadis itu sampai ke siklus ketiga kehidupannya. Dia jelas punya rencana." Adya memberitahu. "Tapi aku punya ide! Kita kirim surat ke Kastel Raudra, ke Sein Diwangka sialan itu. Beri dia ultimatum, paksa dia menyerahkan gadis itu. Jika dia menolak, kita bisa mulai menyebarkan rumor tentang Benji Agnimara. Orang-orang akan terbagi. Sebagian akan tetap memihak Wangsa Diwangka, sebagian yang tau siapa Benji Agnimara bakal berpihak pada kita. Para bangsawan itu pengecut, tapi di antara mereka ada juga yang setia. Mereka menerima kehadiran Keluarga Diwangka karena terpaksa. Mereka pasti lebih suka diperintah Keluarga Agnimara daripada Keluarga Diwangka. Orang-orang itu bakal percaya dan bersedia membantumu."
"Itu rencana cadanganku."
"Lalu apa rencana utamamu?"
"Simpan dulu fakta tentang jati diriku sebagai Benji Agnimara. Jangan bicarakan dengan sembarang orang, jangan sampai jadi gosip yang tersebar."
"Kenapa?"
"Sebab itu berarti memulai perang."
"Apa bedanya?" Adya menukas. "Perang sudah di depan mata, Benji! Tidakkah kamu sadar, dengan meyakini apa yang kamu yakini, kamu sudah menantang ramalan paling sakral yang sudah mengakar kuat di bangsa kita? Akan selalu ada yang tidak setuju. Kamu tidak bisa memaksa semua orang sepemikiran dan percaya padamu."
"Tidak perlu perang, kalau Trisha mau bekerja sama. Jika dia bersedia mengakhiri hidupnya sendiri—"
"Kamu sudah memberinya kesempatan di arena ujian. Dia menolak."
Basil teringat bagaimana Risa menampik berkorban untuknya, tapi tak pikir panjang ketika memutuskan mengadang pisau yang diarahkannya ke Luka. "Tidak. Dia belum tau apa-apa. Dia belum tau bahaya macam apa yang akan dia bawa. Aku akan memberinya kesempatan sekali lagi."
"Dan kalau setelah itu dia masih tidak mau menyerahkan hidupnya?"
"Maka, aku tidak punya pilihan lain." Basil membalas dingin. "Akan kurenggut semua alasannya untuk tetap hidup."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top