BOOK II - CHAPTER FOUR

"Tangan gue masih perih." Risa bergumam sambil memandang telapak tangannya setelah mereka tiba lagi di koridor akademi.

Alka yang berada di sebelahnya berdecak. "Baru sesi latihan pertama dan kamu sudah merengek?"

"Gue nggak merengek." Risa melotot sewot, lalu melambaikan tangan kanannya di depan Alka. "Kenapa tangan gue masih perih? Biasanya kalau lecet, perihnya cepat hilang."

"Mungkin cederamu belum sepenuhnya pulih. Cedera yang sebelumnya, maksudku. Secara kasatmata, memar-memarmu sudah hilang, tapi luka dalam yang kamu alami bukan sesuatu yang sepele. Kalau bukan karena Nauli, besar kemungkinan kamu sudah tewas dengan paru-paru terendam darah. Selain itu, latihan yang baru kamu lakukan tidak bisa dikatakan ringan. Kamu memukul batu besar pakai pedang kayu sebanyak seribu kali. Tahan sedikit perihnya. Setelah lecet-lecetnya membaik, telapak tanganmu bakal menebal."

"Kapalan maksudnya?"

"Dan genggamanmu pada gagang pedang nantinya akan lebih mantap."

Koridor akademi amat lengang, sepi dari lalu-lalang orang. Sore sudah menjemput. Langit meredup dan semburat jingga mulai bermunculan di angkasa.

"Lo selalu sekaku ini ya kalau ngomong?"

"Memangnya kenapa?"

"Bisa nggak, ngomongnya agak santai dikit gitu?" Risa bersedekap seraya terus berjalan. "Gue nggak tahu persisnya lo setua apa, tapi kayaknya nggak mungkin kalau di umur lo yang bisa saingan sama umur Jakarta lo nggak pernah ke dunia manusia. Kalau Bas—" Risa menelan saliva. Entah sejak kapan, menyebut nama Basil terasa seperti tindakan kriminal. Tapi Alka cuma mengangkat alis.

"Kenapa dengan Basil?"

Risa mengerjap, sempat kaget sejenak. Respon Alka berbeda jauh dengan reaksi orang-orang lain di sekitarnya setiap kali dia menyebut nama Basil. Mereka selalu bersikap seakan-akan pemilik nama itu sudah mati—meski mungkin nyatanya memang begitu, bahwa Basil Arnawarma yang Risa kenal sudah tiada, tapi hati kecil Risa masih tidak ingin percaya. Alka tampak biasa saja.

"Kenapa?" Alka mengulang pertanyaannya.

"Kalau Basil aja bisa ngomong santai dan nggak kaku, kenapa lo nggak bisa?"

"Kamu ingin aku bicara santai denganmu?"

"Kalau lo nggak mau juga nggak apa-apa sih." Risa buang muka, tiba-tiba merasa konyol. "Cuma—dari semua orang di sini, cuma Basil yang... lo tahu... ngomong normal ke gue—maksud gue, cara ngomong dia nggak formal kayak yang lain—cara ngomong yang familiar buat gue dan—oke. Lupain aja. Anggap gue nggak pernah ngomong apa-apa."

"Lo mau gue ngomong begini ke lo?"

Risa tercekat, melongo kehabisan kata-kata.

Alka berdecak. "Aku mencoba mengikuti keinginanmu dan kamu menatapku seolah-olah aku baru merangkak keluar dari lubang neraka. Maumu apa sih sebenarnya?"

"Nggak gitu. Cuma yang barusan tuh... anjrit moment banget..."

"Kenapa?"

"Nggak nyangka, ternyata lo fasih juga waktu ngomong lo-gue." Risa tertawa geli. Tawa yang berhasil membuat Alka terpana, walau cuma sebentar. "Bisa nggak ngomongnya gitu aja? Pakai lo-gue."

"Terserah." Alka mengangkat bahu.

Risa menarik senyum makin lebar. Kedengarannya sepele, namun itu penting buatnya. Di dunia yang ini, hanya Basil yang tidak bicara dengannya secara formal, atau menggunakan aku-kamu seperti Dante, Davi dan Persie. Dunia ini dan dunia yang dia kenal hanya dipisahkan oleh portal, tetapi jaraknya terasa sangat jauh. Risa butuh pengingat akan rumah selain kenangan dalam kepala, atau koper kusam penuh stiker yang dia bawa ke akademi.

"Thanks."

"Buat apa?"

"Buat hari ini."

Hangat yang tiba-tiba menyebar di dadanya membuat Alka melengos. Mereka melangkah melintasi persimpangan koridor. Mestinya, Alka dan Risa berpisah di sana, karena kamar pribadi Luka dan kamar pribadi Alka berbeda arah. Tapi Alka terus saja berjalan di sisi Risa.

"Lupa jalan ke kamar lo sendiri?"

"Kalau gue bilang gue mau nganter lo sampai kamar Luka, lo keberatan?"

"Nggak juga sih. Tapi biar apa?"

"Nggak apa-apa."

Sesampainya di depan pintu kamar pribadi Luka, barulah Risa bicara lagi. "Makasih udah dianterin sampai sini."

"Sama-sama. Ah ya, jangan lupa soal agenda panjat tebing kita besok."

"Nggak akan lupa."

"Kalau perihnya nggak hilang-hilang—" Alka melirik sepintas ke tangan Risa. "Cari Nauli dan minta salep ke dia. Bilang, tangan lo perih karena habis latihan. Dia pasti ngerti."

"Oke."

Alka memandang Risa beberapa lama. Sempat terjadi pergulatan dalam batinnya; haruskah dia melambai atau mengucapkan selamat malam atau melambai lalu mengucapkan selamat malam?

Ujung-ujungnya, Alka tidak melakukan ketiganya. Dia menyentuh lehernya dengan rikuh, lantas berbalik dan berjalan pergi tanpa mengatakan apa-apa. Tatapan heran Risa mengantarnya sampai dia menghilang ditelan belokan koridor.

Sepeninggal Alka, Risa masuk kamar, terus keluar lagi tidak sampai semenit kemudian. Kamar pribadi Luka kosong dan sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. Daripada bengong sendirian sembari menunggu makan malamnya diantarkan, Risa memilih jalan-jalan keliling koridor. Langkah tak tentu arahnya berujung di ruangan pribadi Luka—tempat di mana meja kerja, deretan rak buku, lemari dan peti-peti penyimpanan yang berisi entah apa ditempatkan.

Tadinya, dia berharap bakal menemukan Luka di sana. Tapi ternyata, keinginannya tidak terkabul. Ruangan itu sama heningnya. Risa menelan kekecewaannya, namun tetap meneruskan masuk. Dia menghampiri piano di sudut ruangan. Telunjuknya iseng menekan satu-dua tuts, mencipta denting yang memecah kesunyian.

Sampai kapan lo bakal sibuk kayak gini? Gue tahu, lo punya banyak urusan, tapi apa di antara sekian banyak urusan lo yang super penting itu, gue nggak termasuk di dalamnya?

Risa mereguk nelangsa.

Beralih dari piano, Risa memulai penjelajahan kecilnya di ruangan itu. Dia memperhatikan buku-buku di rak. Buku-buku yang tak pernah sempat diamatinya lekat-lekat dari jarak dekat dalam beberapa kali kunjungannya ke sana. Sebagian besar adalah buku-buku tua bersampul kulit. Lembar-lembar kertasnya sudah menguning, menguarkan aroma kuno yang kental waktu dibuka. Tapi kondisinya cukup baik dan terjaga dari debu.

Apa dia udah baca semua buku yang ada di sini? Kalau iya, hm... berarti dia bisa dibilang kutu buku ya.

Nanti, kalau dia udah nggak sibuk, kayaknya asyik kalau gue minta dia bacain sesuatu buat gue. Kayak misalnya... novel romantis.

Risa mesem-mesem sendiri membayangkan Luka membacakan dialog-dialog manis dalam novel romantis. Dia yakin, kata-kata puitis senorak apa pun akan jadi kedengaran mahal dan elegan jika suara Luka yang membawakannya. Sayangnya, senyum itu tidak bertahan lama. Dalam sekejap, Risa kembali merengut.

Yah... masalahnya... kapan dia nggak sibuk lagi? Udah berhari-hari, dan gue malah makin jarang ngelihat dia. Padahal waktu itu dia sendiri yang bilang kalau urusannya udah pada selesai!

Dari rak buku, Risa berpindah ke laci-laci meja. Laci-laci meja ruangan Luka jauh lebih rapi dibanding laci meja di kamar asrama Risa yang penuh barang-barang tidak jelas—dan seringkali absurd. Luka benar-benar pribadi yang tertata dan terencana. Pena-penanya bahkan dipisahkan sesuai ukuran dan warna.

Rapi sih, tapi nggak seru banget! Gue kira gue bakal nemu harta karun, tapi ternyata—eh, apa ini?

Risa menatap penuh tanya pada satu-satunya benda yang ditemukannya di dalam laci yang baru dia tarik.

Kain?

Benda itu terlihat seperti secarik kain. Tepinya tidak rata, mirip garis robekan. Kain tersebut kusam dan dekil, berwarna cokelat pudar. Risa tidak tahu pasti apakah warnanya memang cokelat pudar, atau waktu yang sudah mengubah kain yang semula putih menjadi kecokelatan.

Tunggu—ini bukan tali pocong, kan?!

Risa tersentak mundur dua langkah.

Tolol! Jelas bukan! Mana ada tali pocong bentuknya kayak gitu?! Dan buat apa juga Luka nyimpan tali pocongi?!

Risa maju lagi. Dia sempat ragu, tapi pada akhirnya, tangannya tetap terulur, bermaksud menyentuh kain tersebut.

Begitu terjadi kontak langsung antara jemarinya dan permukaan kasar kain, kelebatan kilas balik menghantam Risa bak cahaya yang membutakan, membuatnya ditenggelamkan dalam lautan memori yang tak dia pahami milik siapa.

Dia melihat Luka berdiri di depannya. Laki-laki itu berada di tepi sebuah sungai yang mengalir, tengah berdiri memunggunginya. Langit malam bertabur bintang membentang di atas mereka. Pelan-pelan, Risa mendekat. Suara langkahnya di rumput membuat Luka menoleh.

Risa terkesiap. Luka selalu indah. Di setiap sisi, dalam beragam fragmen. Namun melihatnya berdiri di bawah temaram cahaya bulan... jika keelokan rupa dianggap sebagai dosa, maka tak ada pengorbanan juru selamat mana pun yang bisa menebus jiwa Luka.

"Tuan Orion?" Risa bicara, dalam suara yang bukan miliknya. Gadis itu tertunduk, menatap sepasang tangan pucat. Juga bukan miliknya.

Sorot mata Luka menghangat. "Reverie?"

Ini... ingatan Reverie?

"Tentang tawaranmu untuk pergi bersama... meninggalkan tempat ini... kurasa... aku menginginkannya."

Apa ini bagian dari sesuatu yang terjadi di masa lalu? Tapi kenapa gue melihat ini? Dan kenapa Luka menatap Reverie kayak gitu? Gue kira—gue kira dia cuma menatap kayak gitu ke gue...

Dada Risa sesak oleh cemburu.

Luka melangkah mendekat, mempersempit jarak di antara mereka. Lantas, dia meraih tangan Risa—tidak, tangan Reverie. Ibu jarinya mengusap lembut punggung tangan Reverie beberapa kali.

"Aku akan membawamu ke tempat yang lebih baik. Tempat di mana tidak akan ada lagi yang bisa menyakitimu. Aku janji."

"Trisha?"

Risa terkesiap, sontak tersentak mundur. Segalanya lenyap. Dia tidak sedang berdiri di tepi sungai, melainkan di depan meja berhias banyak laci di ruangan pribadi Luka. Napasnya terengah. Pelipisnya berdenyut.

"Trisha?"

Risa menoleh ke asal suara, pada Luka yang berdiri di depan pintu ruangan yang tertutup. Entah kapan dia masuk. Mata gelapnya memancarkan kekhawatiran yang tidak repot-repot dia tutupi.

"Trisha, kamu baik-baik saja? Aku mencarimu ke kamar, tapi kamu tidak ada."

"Gue—" Risa berdeham, berusaha terlihat baik-baik saja. "Gue nggak apa-apa."

"Kamu terlihat pucat." Luka memelesat. Dalam sekejap, laki-laki itu sudah berada di sebelah Risa dan menyentuh lengannya. "Ada apa?"

"Gue cuma... gue... gue melihat sesuatu. Mungkin memori masa lalu." Risa menarik lepas tangannya, seolah-olah sengaja menghindari sentuhan Luka. "Kayaknya... itu memori Reverie."

Luka terkesiap, kemudian tersadar kalau salah satu laci mejanya tengah terbuka. Hanya ada satu benda yang tersimpan di sana; secarik kain yang dulu digunakan Reverie untuk melilit goresan berdarah di lengannya di malam mereka pertama kali bertemu. Secarik kain yang jadi satu-satunya kenang-kenangan akan Reverie yang Luka punya.

"Gue lihat lo berdiri di depan gue—di depan Reverie maksudnya—tapi dari sudut pandangnya, gue kayak lagi berada di dalam kepalanya. Aduh, konyol banget—" Risa ragu sebentar, meski pada akhirnya tetap melanjutkan. "Lo menatap Reverie—dan—" Risa benci ingatan itu. Membayangkan Luka menatap perempuan yang bukan dirinya dengan tatapan seperti itu membuatnya meradang.

"Dan apa?"

Risa menjawab getir. "Kayaknya lo nggak cuma sebatas hampir mencintai dia."

"Trisha—"

"Lo ngajak dia pergi dari sana sebelum dia tewas dibakar massa. Lo janji lo bakal bawa dia ke tempat di mana nggak ada yang bisa nyakitin dia. Orang yang cuma sebatas hampir mencintai nggak akan bertindak sejauh itu." Mata Risa mulai memanas. "Lo bukan sebatas hampir mencintai dia. Lo benar-benar mencintai dia."

"Reverie cuma masa lalu. Dia sudah tiada—"

"Benda yang ada di laci itu—itu apa?"

"Trisha—"

"Jawab."

Luka menghela napas dalam-dalam. "Waktu pertama kali bertemu Reverie, serpent nomaden buruanku hampir memangsanya. Aku menyelamatkan hidupnya sekaligus menuntaskan misiku. Buruanku sempat melawan. Dia membawa pisau perak. Pisaunya mengenai lenganku, dan berdarah. Bukannya melarikan diri, Reverie malah mendekatiku. Dia merobek sedikit pakaiannya untuk membebat lenganku yang berdarah. Benda yang ada di laci adalah robekan itu."

"Dan lo masih nyimpan benda itu."

"Kamu marah karena aku masih menyimpannya?"

"Nggak."

Gue lebih dari marah. Gue murka. Kekanakan banget, gue tahu. Tapi gue tetap murka karena gue cemburu, karena gue kayak lagi bersaing sama cewek yang udah lama mati—

"Tolong jangan marah."

"Nggak, gue nggak marah."

"Jelas kamu marah."

"Kesal dikit memangnya nggak boleh?" Risa membalas masam. "Kalau Reverie masih ada, jangankan peduli sama gue, melirik gue pun kayaknya lo nggak akan!"

"Trisha, dengar—"

"Gue belum selesai ngomong." Risa menukas tajam. "Seandainya Reverie masih ada, lo pasti lebih milih dia kan daripada gue? Cara lo natap dia—dan bayangan itu—gimana lo nangis di depan sisa-sisa tubuh hangusnya—" Risa tercekik oleh ucapannya sendiri. "—lo cinta sama dia. Mungkin, lebih dari lo cinta sama gue."

Luka mengerjap. "Kamu cemburu?"

"Nggak sama sekali." Risa berdusta.

"Tentang Reverie—"

"Gue nggak mau bahas dia!" Risa setengah membentak. Pipinya memanas. Cepat-cepat, dia menjauhi Luka, melangkah menuju pintu ruangan. Luka menyusulnya dengan mudah.

"Trisha—arah menuju kamarku bukan ke sana—"

"Gue nggak mau balik ke kamar lo."

"Aku tahu kamu sudah mulai pulih, tapi kamu masih—"

"Gue mau balik ke kamar asrama gue sendiri. Udah waktunya juga. Gue udah baik-baik aja. Lo bisa lihat sendiri. Harusnya gue udah balik ke kamar asrama gue sejak dua hari lalu!"

"Baiklah, aku akan mengantarmu ke kamarmu." Luka mengalah. "Ah ya, kudengar hari ini kamu latihan perdana sama Alka. Maaf, aku belum sempat memberitahumu. Ada lebih banyak sisa urusan yang harus kubereskan. Tapi jangan khawatir. Mulai minggu depan, aku akan berbagi tugas dengan Lara. Jadi—"

"Oh, nggak usah repot-repot!" Risa memotong. "Gue paham kok kalau lo sibuk banget sekarang! After all, di dunia ini, lo pangeran sekaligus pewaris tahta. Pasti ada banyak masalah yang mesti diprioritaskan. Urusan-urusan yang jauh lebih penting daripada gue, jadi emang bagusnya lo nggak membuang waktu lo yang berharga untuk gue yang bukan siapa-siapa ini—"

"Pewaris tahta apa—siapa yang bilang begitu?"

"Nggak ada. Gue menyimpulkan sendiri. Tadinya, pewaris tahtanya Nedia, kan? Tapi Nedia sudah nggak ada. Selain Nedia, pilihan yang tersisa ya lo, kalau nggak Lara. Lo lebih tua dari Lara walau cuma beberapa menit. Udah sewajarnya, lo yang ngegantiin posisi Nedia."

"Kamu marah karena cemburu pada Reverie, dan kamu kesal karena aku kembali meninggalkanmu berhari-hari. Begitu ya?"

"Nggak sama sekali! Udah gue bilang, gue ngerti. Fokus aja nyelesain apa yang harus lo selesain. Sebagai calon raja berikutnya—"

"Aku tidak pernah tertarik jadi raja berikutnya!" Luka mendesis, mulai kesal. "Aku melakukan apa yang kulakukan berminggu-minggu ini bukan untuk kekuasaan, tapi untuk kamu! Agar aku bisa melindungimu—"

"Oh ya, ngomong-ngomong soal itu—" Risa lagi-lagi menyela. "Liburan semester udah di depan mata. Apa gue bakal diizinin pulang dan ketemu nyokap gue?"

Ekspresi wajah Luka melunak. "Aku... belum bisa memastikan."

"Liburan semester satu bulan. Masa dari satu bulan itu, gue nggak bisa pulang ke rumah? Semua teman-teman gue pulang."

"Sekarang ini, situasinya masih belum kondusif. Aku belum tahu siapa saja yang bersimpati ke Basil dan berpihak pada Raudra. Ada indikasi, Basil bekerja sama dengan pimpinan para shloka. Dan lagi, Alka sudah berkomitmen kalau dia akan melatihmu sebaik-baiknya sepanjang masa liburan. Karena itu—"

"Beberapa hari aja. Beneran nggak bisa?"

"Trisha—"

"Oh, jadi nggak bisa." Risa berbelok ke koridor yang lain. Luka tetap setia mengikutinya. "Oke. Gue ngerti. Tentang Reverie, tentang kesibukan lo dan tentang kemungkinan kalau nggak kayak teman-teman gue yang lain, gue nggak diizinkan pulang ke rumah di masa liburan ini. Sekarang, berhenti ngikutin gue!"

"Trisha, kumohon—"

"Berhenti ngikutin gue! Kata-kata gue kurang jelas di mananya?"

Di ujung koridor, Lara mengernyit heran ke mereka berdua. Luka menarik napas dalam-dalam. Dia ingin menjelaskan situasi sesungguhnya ke Risa. Tentang pengepungan Kota Sigra serta dilema yang melanda Sein Diwangka, kecurigaan Lorien akan hubungan istimewa mereka berdua dan spekulasi terkait alasan kenapa Benji Agnimara terkesan seperti tengah menahan diri. Tentang Reverie dan masa lalu yang mereka bagi. Tentang kenapa Risa sebaiknya tetap berada dekat dengannya dan Alka. Tetapi Risa sudah telanjur marah. Gadis itu tak akan mau mendengarkannya. Jadi, Luka mengalah. Dia berhenti mengikuti Risa. Risa berlalu angkuh ketika berpapasan dengan Lara. Jangankan menyapa, melirik pun tidak.

Dalam situasi biasa, Lara pasti sudah tersinggung berat. Namun kali ini, gadis itu justru penasaran.

"Cekcok rumah tangga?" tanyanya seraya menarik senyum tipis yang terkesan mengejek.

"Dia cuma lagi cemburu."

"Siapa yang membuatnya cemburu?"

"Dirinya sendiri."

***

"Persie, surpriswhat?!"

Seruan Risa terputus berbarengan dengan langkahnya yang terhenti tepat di ambang pintu kamar asrama. Persie yang sedang duduk di ranjangnya sambil memangku buku yang terbuka sontak menoleh kaget. Sedangkan Davi yang tengah berbaring di tempat tidur Risa hanya menoleh santai diikuti tarikan seutas senyum lebar nan tengil.

"Oh, hai, Trisha!" Davi melambaikan tangan.

Persie menutup bukunya, seketika turun dari kasur. Dia mendekati Risa dan menariknya ke dalam pelukan. Risa serasa ditubruk. Tubuh Persie tidak sebesar Davi, namun tetap saja, gadis itu lebih tinggi darinya. Namun tentu saja, Risa balik memeluk Persie tidak kalah erat.

"Aku nggak nyangka bakal ada saatnya aku bilang gini!" Persie berseru usai melepas pelukan mereka.

"Bilang apa?"

"Bilang kalau aku kangen banget banget banget sama kamu!"

"Kangen tapi nggak pernah ke kamar gue lagi setelah berhari-hari lalu? Cukup tahu aja!" Risa mendengus, sengaja begurau.

"Maaf." Persie meringis. "Waktu aku ke sana sama Dante dan Davi, kamu kayaknya... lagi nggak kepengen ketemu siapa-siapa. Terus kami bertiga sempat dipanggil ke Kastel Raudra dan—"

"Bercanda, Persie." Risa nyengir. "Gue udah tahu soal kalian yang terpaksa stay berhari-hari di sana untuk diinterogasi. Tadi siang, gue sama Davi sempat ketemu. Dia udah cerita."

Persie cuma meringis.

"Seru nggak? Interogasinya, maksud gue."

"Aku nggak bisa bilang prosesnya menyenangkan, karena walau mereka nggak menyentuh kami bertiga secara fisik, trik permainan mental yang mereka pakai cukup bikin otakku kecapekan."

"Siapa yang sangka kalau otak seorang Persimmon Wagiswari bisa kecapekan?" Davi menukas, lalu tertawa mengejek.

"Daripada buang-buang waktu mengejekku, mending kamu beresin barang-barang yang mau kamu bawa pulang besok!" Persie melotot sengit ke Davi. "Sana, balik ke kamar asramamu!"

"Don't worry about that, Love. Semuanya udah diberesin sama Dante kok!"

"Ngomong-ngomong, Dante di mana?" Risa bertanya.

"Di kamarnya, lagi sibuk merajut."

"Merajut as in—" Risa menggerakkan kedua tangannya, memeragakan gerakan orang yang lagi merajut. "—nguwel-nguwel benang?"

"Exactly." Davi mengubah posisi jadi duduk. "Katanya, dia butuh ketenangan. Dia sempat ngambek sama aku karena aku kabur dan malah enak-enakan ketemu kamu. Setelah tahu kalau kamu sudah cukup sehat untuk bisa jalan-jalan sendirian di koridor, dia berniat nyamperin kamu. Tapi kubilang aja, kamu lagi latihan sama Alka."

"Now that we're talking about it—" Persie menyela. "Jadinya gimana sih? Kamu beneran punya dua master?"

"Gue sendiri nggak begitu ngerti situasi pastinya gimana, tapi Alka bilang, dia sama Luka berbagi tugas. Luka tetap master gue, tapi Alka yang akan ngajarin gue cara menggunakan okulis. Alasannya simpel; karena Luka nggak punya okulis. Jadi dia nggak bisa ngebimbing gue dalam urusan yang satu itu."

"Berarti Alka punya okulis?"

"Masa masih harus ditanya sih, Persimmon Sayang?" Davi mengerang. "Mana bisa dia ngajarin Risa cara pakai okulis kalau dia sendiri nggak punya?!"

"Itu berarti, dia masih keturunan keluarga-keluarga anggota Panca Aryaka—" Persie terkesiap. "Apa dia benar-benar Alka Wiranata yang itu?"

"Mungkin aja. Buktinya orang yang selama ini kita anggap teman konon katanya adalah Benji Agnimara, pewaris terakhir Keluarga Agnimara yang sudah berabad-abad menghilang." Davi menyahut masam, seakan-akan membicarakan Basil mengotori lidahnya.

"Reaksimu santai banget." Persie berujar. "Kalau dia betulan Alka Wiranata yang itu—berarti kita bersinggungan langsung sama legenda hidup!"

"Setelah semua yang terjadi, aku udah nggak kaget lagi. Segala kemungkinan bisa terjadi, bahkan yang tadinya kupikir mustahil sekalipun." Davi ganti memandang Risa. Matanya menatap lekat sahabatnya sesaat. "Kamu latihan sama Alka, kan? Dan untuk mempelajari okulis. Kudengar, latihan yang berhubungan sama okulis biasanya lumayan brutal. Ibuku pernah cerita, katanya Nedia pernah cedera parah saat latihan, sampai-sampai Paduka Raja memulangkannya dari akademi untuk dirawat sementara di Raudra. Tapi kamu kelihatan baik-baik aja. Nggak ada memar. Nggak ada patah tulang."

Risa mendelik. "Lo berharap gue patah tulang?"

"Nggak. Cuma heran aja—yah, walau aku tahu, dalam tubuhmu yang kecil itu, kamu menyimpan kekuatan yang jauh lebih monster daripada aku atau Dante." Davi nyengir.

"Gue belum mulai latihan—maksud gue, belum mulai latihan yang berhubungan sama okulis. Alka bilang, gue harus nguatin fisik gue dulu." Risa menjelaskan. "I have to work on my grip and my core muscle."

"Oh, itu menjelaskan telapak tanganmu yang merah-merah, kalau begitu."

"Mm-hm."

"Good luck aja deh."

"Makasih." Risa mengangguk, kemudian tersadar kalau Davi masih duduk santai di atas tempat tidurnya. "Anyway, gue mau protes! Apa-apaan ini?"

"Apa-apaan apanya?"

Risa bertolak pinggang. "Siapa yang kasih lo izin nempatin kasur gue?!"

Davi membalas dengan muka polos bagai anak kucing yang tak berdosa. "Persimmon."

"Bohong." Persie menyambat cepat, melotot galak ke Davi. Davi balik mengedip genit padanya, lalu cengar-cengir. "Dia yang nyuruh dirinya sendiri. Waktu di Raudra, kamarku dan kamarnya berseberangan. Dia hobi main ke kamarku. Kadang ngajak Dante. Kayaknya, kebiasaannya itu masih kebawa sampai ke sini."

"Harusnya kamu berterima kasih ke aku, Risa."

"Terima kasih buat apa ya kalau boleh tahu?" Risa bertanya penuh sarkasme.

"Karena aku sudah menghangatkan kasurmu selagi kamu nggak ada."

"Menghangatkan kasur terdengar sangat salah."

"Buatku sih kedengarannya romantis dan penuh gairah."

"Jaga kata-katamu, Anak Muda." Persie berdecak sambil geleng-geleng kepala.

"Tolong sadar diri kalau lo baru enam belas tahun, Dalimunte." Risa menambahkan.

"Dua bulan lagi aku tujuh belas." Davi berkilah.

"Tetap belum dewasa." Risa menyergah.

"Siapa yang peduli? Nggak akan ada yang menganggapku anak-anak ketika aku berdiri di depan mereka sambil memegang senjata. Atau waktu aku membentuk phoenix." Davi terkekeh. "Apalagi, kalau perang benar-benar terjadi."

"Berhenti ngomongin soal perang." Persie menukas. "Aku nggak suka dengarnya."

"Suka nggak suka, kalau memang terjadi ya tetap bakal terjadi. Denial nggak akan membantu kita siap menghadapinya." Davi mengangkat bahu. "Si vis pacem, para bellum."

Risa mengerutkan dahi, tak paham makna kalimat Davi yang terakhir, sementara Persie menghela napas.

"Apa artinya tuh?" Risa akhirnya bertanya.

"If you wish for peace, prepare for war. Jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah berperang."

Ucapan Davi berbalas ketukan di pintu kamar asrama yang tertutup, diikuti suara halus nan rendah milik Dante. "Persimmon?"

"Masuk aja, Nte."

Pintu dikuak terbuka. Sosok Dante muncul. Risa berbalik, terperangah sesaat manakala matanya dan mata Dante bertemu.

Pemuda itu ternganga kaget. "Trisha?!"

Belum sampai dua minggu lewat sejak terakhir kali Risa melihat Dante, namun Risa dibuat tertegun oleh perubahan yang tampak di fisik temannya. Massa otot Dante jelas meningkat pesat. Dia mencukur rambutnya yang semula agak gondrong jadi lebih pendek, dengan undercut rapi di kedua sisi kepalanya. Kulitnya yang biasanya pucat terlihat lebih kecokelatan—pertanda jelas kalau akhir-akhir ini, Dante sering menghabiskan waktunya di bawah siraman sinar matahari. Seuntai kalung baja melingkar di lehernya—berbentuk phoenix yang sedang merentangkan sayapnya. Risa baru sadar kalau Davi juga mengenakan kalung berliontinkan simbol yang sama.

Risa tersenyum sembari mengangkat tangan kanannya ke udara. "Hal—"

Sapa Risa masih menggantung ketika Dante memelesat mendekatinya, lalu menariknya ke dalam pelukan. Pelukan Dante jauh lebih kuat dan mendesak dibanding pelukan Davi atau Persie. Kedua lengan kokohnya merengkuh Risa amat erat, bikin kaki Risa hampir tidak lagi menapak ke lantai. Davi berdecak, sedangkan Persie terkekeh seraya geleng-geleng kepala. Dante mengabaikan kedua teman mereka yang lain. Sejenak, dia membenamkan wajahnya di bahu kecil Risa.

"Nte—"

"... ya?"

"Pelukan lo anget banget dan bikin nyaman, tapi di saat yang sama, rasanya gue kayak lagi digeprek—"

"Ops—" Dante cepat-cepat melepas pelukannya. "Sori—"

Risa nyengir. "Nggak apa-apa."

"Aku tahu kamu udah boleh turun dari tempat tidur. Davi bilang, kamu udah baik-baik aja, tapi kamu ada sesi latihan sama Alka. Alka dikenal lumayan strict soal latihan, makanya aku nggak mengunjungi kamu, karena kupikir kamu pasti butuh istirahat—"

"Latihannya lumayan keras, tapi gue baik-baik aja."

"Memangnya kalian latihan apa? Aku agak heran, soalnya kamu kan sudah punya master."

"Luka nggak bisa ngajarin gue menguasai okulis."

"Dan Alka bisa?" Dante terperanjat.

"Nggak usah kaget-kaget amat, Nte. Belakangan ini, dunia emang lagi di luar nalar." Davi berujar.

Dante menelan saliva. "Tapi kalau kamu belajar okulis... kok kamu masih... utuh? Maksudku, nggak berdarah-darah atau minimalnya memar—"

"Belum mulai ke intinya. Kata Alka, gue harus menguatkan grip dan core muscle gue dulu." Risa menunjukkan telapak tangannya yang masih agak perih ke Dante. "Still a long way to go, but yah. I'm working on it."

"Semangat! Aku percaya kamu pasti bisa!"

Risa tersenyum. "Thanks, Dante. Nice hair, by the way. Lo cakep dengan rambut agak gondrong, tapi rambut pendek dan undercut gini... super ganteng!"

Wajah Dante merona. "Makasih..."

"Ngapain kamu ke sini?" Davi menyela. "Kutebak, bukan karena kamu kangen aku. Kenapa? Berubah pikiran dan mulai ngerasa kalau merajut tuh membosankan?"

"Aku belum berubah pikiran, dan proyek rajutku masih berjalan." Dante membantah.

"Woah, lo beneran merajut!?" Risa hampir memekik saking antusiasnya. "Lagi ngerajut apa?!"

"... scarf, tapi masih proses."

"Aduh, nggak sabar lihat nanti kalau sudah jadi bakal gimana! Pasti bagus!"

Dante tersipu. "Kalau scarf-nya udah jadi, kamu akan jadi orang pertama yang melihatnya."

"Bakal gue tunggu!"

"Sip!" Dante mengacungkan jempol, lalu berpaling ke Davi. "Ibu kirim memo."

"Apa katanya?"

"Besok, kita dijemput jam delapan pagi. Ibu wanti-wanti agar kamu nggak begadang, biar besok kamu nggak telat bangun."

"Ibu selalu ribet ngurusin yang nggak penting diurusin."

"Namanya juga ibu-ibu." Dante mengangkat bahu. "Kamu sendiri dijemput jam berapa, Persimmon?"

"Jam delapan mungkin. Atau jam sembilan. Tergantung, ayahku sampai di sini jam berapa."

"Oh, oke." Dante memandang Risa lagi. "Gimana sama kamu? Eh ya—kayaknya alih-alih dijemput, mungkin kamu bakal diantar ya?"

Risa langsung murung. "Gue belum tahu gue bakal pulang atau nggak."

"Loh, kenapa?"

"Gue sendiri nggak tahu... tapi yah... Luka bilangnya gitu."

"Oh..." Persie manggut-manggut. Matanya sarat simpati. "Aku paham. Pasti rumit dan ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan."

"Iya."

"Tapi tenang aja, aku sama Dante nggak akan full sebulan di rumah kok! Kami berencana balik ke akademi setelah maksimal dua minggu. Atau mungkin seminggu, jika aku berhasil meyakinkan ibuku kalau aku sama Dante butuh lebih banyak berlatih. Kami juga bisa minta tolong Kakanda Guru kirim surat ke Ibu supaya kamu diizinkan balik ke akademi lebih awal."

"Aku juga." Persie sependapat.

"Atau mungkin, kamu bisa main ke rumahku dan Davi." Dante menyela. "Graha Dalimunte nggak semegah Kastel Raudra, tapi aku yakin, kamu bakal senang di sana! Apalagi, kami punya kolam renang sendiri!"

"Masa?!"

"Dan kolam itu jauh lebih indah daripada kolam renang mana pun yang pernah kamu lihat." Davi menambahkan seraya bermuka sombong.

"Aku terpaksa setuju." Persie membenarkan.

"Mau banget!" Risa berseru. "Tapi gue nggak tahu... apa gue dibolehin main ke rumah kalian—dan terutama, apa orang tua kalian akan kasih izin gue main ke rumah kalian?"

"Pasti kasih izin!" Dante berseru penuh keyakinan. "Coba saja ngomong ke Luka. Kalau dia ngebolehin, kamu tinggal berangkat."

"Mungkin nanti, tapi nggak dalam waktu dekat ini."

"Loh, kenapa?"

"Gue lagi cuti ngomong sama Luka."

"Cuti kenapa?"

Risa cuma mengedikkan bahu.

"Ah, I see. Lover's spat." Davi berkomentar genit. "Jangan muram-muram amat. Ayahku bilang, pertengkaran antara pasangan itu wajar. Namanya juga bumbu-bumbu hubungan."

"Lo baru enam belas tahun dan belum punya pengalaman pacaran. Jangan berlagak kayak pakar." Risa mencibir.

Davi tertawa menggoda. "Mau coba adu pengalaman?"

"Nggak tertarik. Sekarang, berhenti ketawa dan turun dari kasur gue!"

***

Sepanjang perjalanan pulangnya dari Shali menuju akademi, Luka diselimuti rindu yang menggebu-gebu.

Dia merasa bersalah harus kembali meninggalkan gadis itu sendirian berhari-hari, tapi kewajiban tetap kewajiban. Blokade yang berlangsung terhadap Sigra hanya permulaan. Sigra serta Danau Tundra yang mengelilinginya adalah penghalang pertama antara satu peleton pasukan kiriman Kastel Raudra dengan Puri Agnimara.

Jika Sigra jatuh—yang mana tidak akan mudah, sebab selain lokasinya yang terletak di tengah danau super luas, kota tersebut juga merupakan kota mandiri yang bisa menyokong aktivitas penduduk di dalamnya tanpa bantuan siapa pun—maka kontak fisik dengan Benji Agnimara tidak akan bisa dihindari. Percikan awal yang akan memicu perang. Luka perlu memastikan di mana kesetiaan para keluarga bangsawan dan tetua paling berpengaruh berada. Kepada trah Diwangka yang tengah berkuasa, atau pada Benji Agnimara.

Dalam rentang waktu lima hari, dia berkeliling ke banyak wilayah. Menemui para kepala keluarga, berdiplomasi, melakukan lobi-lobi, menguatkan konsolidasi. Luka muak berurusan dengan politik, kendati bisa dikatakan, bakatnya di bidang itu tak bisa dianggap sepele.

Shali adalah pemberhentian terakhirnya sebelum dia bisa kembali menuju akademi.

Tapi malam ini, alih-alih terlelap sambil merengkuh Risa dalam pelukannya, dia justru terbaring sendirian di tempat tidur sambil memandangi langit-langit. Tempat tidur yang sama yang ditempati Risa selama masa pemulihan cedera. Aroma stroberi yang dibawa olehnya melekat ke bantal, membuat Luka kian dicekik kangen.

Bagian paling menggelikannya adalah... dia marah karena cemburu... pada dirinya sendiri.

Luka menghabiskan semalaman melamun. Waktu berlalu tanpa terasa, bergulir lalu lenyap bagai garam yang disapu air. Tahu-tahu, fajar sudah menjelang. Kemudian, pintu kamarnya dibuka tanpa permisi.

"Kamu berbaring seperti mayat dalam peti mati." Lara berkomentar.

"Apa susahnya mengetuk dulu sebelum masuk?" Luka membalas tanpa melihat ke arah Lara.

"Tidak susah, tapi kurang seru. Aku suka bikin kamu kesal." Lara terkekeh. "Sudahi galau tidak jelasmu itu dan bangunlah! Jangan mau kalah sama matahari!"

"Aku tidak peduli. Matahari bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Jangan ganggu aku."

"Tsk." Lara berdecak sembari berjalan mendekati ranjang. "Kalau kamu segitu murungnya, kenapa tidak terus terang saja ke gadis kesayanganmu itu? Tentang Reverie—dan semua yang berhubungan dengan masa lalunya."

"Aku tidak ingin menghancurkan hatinya."

Lara memiringkan wajah. "Memangnya kenapa?"

"Dia sudah lihat sendiri apa yang Basil lakukan. Sabotase ujian. Tentang Basil yang menginginkan kematiannya. Bahkan Basil sudah menusuknya di dada. Dia tetap denial. Bukan karena dia tidak mau percaya, melainkan karena dia takut percaya. Denial adalah perisai terakhir yang melindunginya dari sakit hati." Luka membuang napas lelah. "Perasaannya pasti hancur kalau dia tahu, Basil bukan hanya menginginkan kematiannya di kehidupan yang ini. Dalam kehidupannya sebagai Revé, Basil membunuhnya tanpa penyesalan. Dalam kehidupannya sebagai Reverie, Basil membuatnya tewas secara tragis. Aku tidak ingin dia hancur."

"Cepat atau lambat, dia pasti tahu."

"Jika dia tahu lebih lambat, ada kemungkinan saat itu, dia sudah siap. Tapi tidak sekarang." Luka beralih duduk di kasur. "Kenapa?"

"Spar with me?"

"Tidak biasanya."

"Aku lagi butuh pengalih perhatian. Aku yakin, kamu juga begitu."

"Pengalih perhatian dari apa?"

"Dari Trisha."

"Bukan aku yang kumaksud, melainkan kamu."

Lara terdiam, mengambil jeda sejenak, sebab dia tidak mungkin menyebut nama itu.

Dia tidak mungkin menyebut nama Basil, atau bercerita tentang mimpi buruknya semalam—yang dipenuhi oleh senyum miring Basil selagi lelaki itu menancapkan pisau ke jantungnya.

"Dari keresahan akan perang yang mungkin terjadi nantinya."

"Oh."

"Come on."

Setengah jam kemudian, mereka sudah berdiri berhadapan di sebidang plaza yang berada dekat kamar pribadi Lara. Keduanya sama-sama menggenggam sebilah sabre di tangan kanan—sabre adalah pedang kurus dengan bilah tajam berbentuk v-shape yang biasa digunakan untuk fencing. Terpisahkan jarak yang cukup jauh, Lara dan Luka membungkuk bersamaan untuk memberi hormat. Tipikal protokol standar. Setelah itu, barulah mereka mengambil posisi. Kaki kanan di depan, tangan kanan yang memegang sabre terjulur lurus, sedangkan tangan kiri tertekuk di belakang pinggang.

Lara menyerang lebih dulu, menusukkan sabre-nya secara agresif. Luka berkelit mundur, menghindar. Pedang sekurus sabre tidak akan menimbulkan cedera, sebab tujuan utama latihan mereka bukan untuk saling adu serangan fatal. Duel menggunakan sabre lebih fokus melatih koordinasi, kelincahan, keseimbangan dan stamina.

"Kalau kamu tidak memberitahu Risa soal kehidupannya yang sebelumnya dan hubungannya dengan Reverie, bagaimana mungkin kalian bisa baikan?" Lara berkata seraya menghindari terjangan ujung sabre Luka.

"Akan kupikirkan caranya nanti. Lagipula, hari ini dia masih punya sesi kedua bersama Alka. Giliranku baru dimulai lagi besok."

"Karena aku lagi baik hati, kudoakan dia cepat memaafkanmu." Lara berujar dalam suara yang terkesan mengejek. "Walau kurasa, cemburu pada Reverie hanya permulaan."

"Maksudmu?"

"Kuperkirakan, akan ada banyak situasi dan orang yang membuatnya cemburu."

"Dia tidak punya alasan untuk cemburu." Luka membantah.

Tidak, ketika dia selalu jadi yang satu-satunya. Sebagai Reverie. Sebagai Trisha.

Luka jadi penasaran, andai kata dia berkesempatan bertemu Risa dalam kehidupannya sebagai Réve, akankah dia juga mencintai gadis itu mati-matian?

"Kamu benar-benar tidak mengerti hati perempuan. Kami semua punya insecurity." Lara merangsek maju. Frekuensi serangannya makin intens. Tapi pertahanan Luka juga tidak mudah ditembus. "Bagaimana hasil kunjunganmu beberapa hari kemarin?"

"Sebagian bersumpah mereka akan setia pada Raudra. Tapi ada tiga wilayah yang belum mengambil sikap."

"Kutebak, Gatra adalah salah satu dari tiga wilayah itu." Lara menyebut nama sebuah kota yang berada di antara Danau Tundra dan Sharaprastha.

Luka tampak gamang. "Manik Triloka berkata dia perlu waktu untuk... membaca situasi." Manik Triloka adalah pemimpin yang disegani oleh penduduk Gatra.

"Too bad."

Luka mengangguk setuju. Puri Agnimara berada tepat di ujung wilayah kekuasaan serpent dan berbatasan langsung dengan wilayah para fae di sebelah Barat. Sharaprastha, Kota Gatra, Danau Tundra dengan Kota Sigra di tengahnya serta Pegunungan Kazan berturut-turut berjajar serupa pagar yang melindungi puri itu. Jika Manik Triloka memutuskan mendukung Benji Agnimara, mereka akan makin kesulitan menangkapnya. Sigra dan Gatra tidak akan membiarkan pasukan mereka lewat, sedangkan Sharaprastha adalah daerah netral yang tak akan mengizinkan wilayah mereka jadi jalur mobilisasi tentara. Pegunungan Kazan bukan medan yang mudah dilewati, bahkan dengan kemampuan mereka sebagai makhluk bayangan.

"Manik Triloka bukan laki-laki bodoh. Dia pasti tahu dia punya bargaining power."

"Aku sudah mencoba menawarkan sejumlah imbalan kalau dia tetap setia pada Raudra, tapi dia menolak. Dia bersikeras kalau dia butuh waktu untuk berpikir."

"Sudahkah kamu menawarkan dirimu sendiri?"

Luka mengerjap heran. Fokusnya buyar, membuat permukaan tajam sabre Lara berhasil menggores bagian lengan kemejanya. "Apa maksudmu?"

"Sudahkah kamu menawarkan dirimu sendiri?" Lara mengulang. Kali ini, mereka bicara sambil berdiri berhadapan tanpa berusaha saling menyerang. "Sudah jadi rahasia umum kalau Manik Triloka adalah laki-laki yang penuh ambisi."

"Lalu?"

"Dan sudah jadi rahasia umum juga kalau anak perempuannya, Milena Triloka menyukaimu sejak lama."

"Jangan mulai—"

"Bagaimana kalau itu harga yang dimintanya untuk kesetiaannya terhadap Raudra?" Lara tersenyum penuh arti. "Bagaimana kalau harga yang harus kamu bayar untuk kesetiaan Manik Triloka adalah sebuah pernikahan?"

Rahang Luka langsung kaku. "Itu tidak akan terjadi."

"Oh ya, jelas. Tapi kalau itu sampai terjadi... Risa pasti murka—oh, tidak. Lebih dari itu. Dia akan membunuh Milena, lalu membunuhmu, lalu membunuh dirinya sendiri setelah itu."

Luka melemparkan sabre-nya ke rumput. "Aku tidak tertarik melanjutkan duel ini."

Tawa manis Lara mengantar Luka melangkah menjauh menuju koridor akademi.

***

Pagi ini, Persie menyempatkan diri menjalin rambut panjang Risa ke dalam satu kepangan besar sebelum dia meninggalkan akademi.

"Kepangan lebih kuat daripada kuncir ekor kuda yang biasa. Kalau kamu panjat tebing, berarti kamu bakal berada di ketinggian. Di ketinggian, anginnya biasanya lebih kencang. Jangan sampai fokusmu keganggu karena rambutmu ke mana-mana. Serpent memang punya kemampuan regenerasi sel yang bagus, tapi jatuh dari ketinggian tetap saja sakit dan bisa bikin kamu cedera parah." Persie berkata seraya menghias ujung kepangan Risa dengan sehelai pita berwarna ungu pucat. "Sudah selesai. Baru sadar kalau rambutmu udah makin panjang. Cantik."

"Persie, makasih banyak." Risa berbalik, lalu meraih tangan Persie. "Padahal lo udah mau pulang, tapi masih sempat-sempatnya ngepangin rambut gue."

Persie tersenyum. "Semoga latihan hari ini lancar ya."

"Makasih." Risa beranjak. "Oh ya, salamin ke Davi sama Dante ya. Sori banget gue nggak bisa nemenin kalian bertiga nunggu dijemput. Alka nyuruh gue ketemuan—astaga, udah jam segini?!" Risa memekik kaget saat tersadar kalau tinggal lima menit tersisa sebelum waktu ketemuan yang ditetapkan Alka.

"Mereka pasti ngerti. Good luck buat hari ini!"

"Siap!"

Risa memelesat cepat menuruni tangga, kemudian melewati koridor akademi. Hari masih pagi, tapi koridor ramai oleh para siswa. Sebagian besar menyeret koper. Risa mengabaikan tatapan penuh tanya yang diarahkan kepadanya, bergegas menuju sebuah pohon besar di tepi danau belakang akademi yang dijadikan Alka sebagai titik pertemuan.

Alka sudah berada di sana waktu Risa tiba.

"Lo telat dua menit."

Risa tidak menjawab, sibuk membungkuk seraya memegangi kedua lututnya. Napasnya terengah karena habis berlari.

"Menurut lo, lo perlu dihukum nggak?"

"Bukannya—" Risa menelan saliva sambil mengatur napas. "—bukannya—hhh—latihan sama lo—hhh—aja—udah bisa dianggap—hhh—hukuman?"

"Nggak salah juga sih." Alka manggut-manggut, lantas mengulurkan tangan. "Yaudah. Mending langsung kita mulai aja."

Tanpa pikir panjang, Risa balik meraih tangan Alka. Lelaki itu membawanya melesat melintasi danau. Mereka bergerak sangat cepat serupa kelebatan angin, membuat Risa hampir tidak merasakan permukaan tanah di bawah kakinya. Saat Alka berhenti, mereka sudah berada di dasar sebuah tebing curam berbatu yang berada di sisi lain danau. Tebing itu tampak terjal. Hanya ada daratan sempit di bawah tebing tersebut, sehingga kalau ada orang yang jatuh dari puncak tebing, besar kemungkinan dia akan berakhir tercebur ke danau.

"Safety measure." Alka berkata. "Kita nggak akan pakai tali atau pengaman apa pun waktu manjat—tapi kalau lo mau membentuk perisai untuk menahan tubuh lo saat jatuh, gue izinkan. Lo bebas ngapain aja untuk menghindari cedera parah. Oh ya, gimana tangan lo?"

"Udah nggak perih."

"Bagus, karena hari ini, saat kita selesai, tangan lo bakal penuh lecet lagi." Alka merogoh ke balik jaketnya, mengeluarkan sebuah kantong belacu yang ternyata berisi bubuk kapur. "Lumuri tangan lo pakai ini. Makin kasar dan makin kering tangan lo, genggaman lo bakal makin kuat."

Risa melumuri telapak tangannya dengan bubuk kapur sesuai instruksi Alka. "Terus?"

"Pilih batu-batu yang menonjol untuk diraih. Pastiin batunya tertancap cukup kuat dan bisa nahan bobot tubuh lo."

"Oke."

"Mulai. Gue bakal ngikutin di belakang lo."

Risa mereguk saliva sejenak sebelum dia melangkah lebih dekat ke dinding tebing yang terjal. Alka berdiri di belakangnya, sibuk mengawasi hingga matanya tertuju pada pita ungu pucat di ujung kepangan rambut Risa yang menjuntai di punggung. Alka terkesiap manakala sekeping ingatan terputar dalam kepalanya tanpa permisi.

"Yang lain dapat warna biru muda. Kenapa punyaku ungu?"

"Itu bukan ungu. Itu lavender."

"Ungu pucat kan? Sama saja, tetap ungu."

"Maknanya berbeda dengan ungu yang biasa. Ungu yang biasa sering dipakai sebagai simbol kekayaan dan kemewahan. Kadang juga kesombongan."

"Dan ungu yang ini?"

"As for lavender... lavender is for that person I met and instantly clicked with. The sweetest, most genuine person I've ever laid my eyes on. The only person that walked into my life as he had always lived here, and being in his presence brings out the best version of myself. For me... Alka Wiranata... you're that person. You're my lavender."

"Aduh—"

Rintihan Risa yang baru saja tergelincir dari pijakannya di dinding batu membuat Alka disentak keluar dari lamunan. Laki-laki itu mengerjap kaget. Dia kembali memusatkan perhatiannya ke Risa yang sudah memanjat cukup tinggi, walau kedua tangannya yang berpegangan pada batu-batu yang mencuat tampak gemetar.

Untuk pemula, dia cukup bagus. Dia cepat belajar soal teknik. Masalahnya cuma ada di stamina dan power—dan itu wajar, karena fisiknya belum terbiasa dan otot-ototnya belum benar-benar terlatih.

"Teknik lo udah benar. Lanjutkan."

Risa menahan diri supaya tidak melontarkan makian. Hanya dengan melihat, Risa sudah tahu kalau panjat tebing itu bukan sesuatu yang gampang. Namun setelah dilakukan...

Ampun dah! Siapa orang sinting pertama yang ngide kalau panjat tebing itu olahraga super seru?!

Andaikan bisa bicara, seluruh otot tubuh Risa pasti sudah menjerit protes. Kedua tangan dan kakinya bekerja keras sampai tremor. Napasnya mulai terengah. Adrenalin mengalir deras di darahnya, memacu detak jantungnya. Beberapa kali, saking tegangnya, Risa bahkan lupa menarik napas. Bubuk kapur memang membantu menguatkan genggamannya ke tonjolan batu-batu yang dia jadikan pegangan, tapi dengan segera, tepi dan ujung tajam batu meninggalkan lecet-lecet di telapak tangannya yang mulai kasar.

Begitu posisi Risa sudah cukup tinggi, Alka menyusul memanjat. Risa sempat melirik sepintas ke lelaki itu. Dia bertanya-tanya, bagaimana bisa Alka membuat panjat tebing jadi begitu mudah, seakan-akan dia masih bersaudara jauh sama Peter Parker.

Makin meningkat ketinggian yang mereka panjat, sekeliling Risa makin berangin. Dalam hati, Risa berterima kasih pada Persie karena sudah mengepang rambutnya. Tanpa terdistraksi oleh rambut saja dia sudah kepayahan, apalagi kalau rambutnya sampai berterbangan atau menusuk matanya. Risa pasti sudah jatuh dari tadi.

Meski yah... ujung-ujungnya... Risa tetap jatuh juga.

Sesaat, Risa melayang di udara setelah perih menyengat telapak tangannya, membuat pegangannya ke batu terlepas. Lalu, gravitasi menariknya ke bawah, membuat menghantam danau yang sudah menunggu. Risa megap-megap, sedang mencoba kembali menggapai jalannya menuju permukaan ketika air danau di bawahnya membentuk pusaran. Pusaran itu mendorongnya ke atas, melontarkannya ke udara. Kemudian, Alka menangkap tubuhnya dan melesat menuju puncak tebing.

Sesudah Alka menurunkannya, Risa berjongkok di tanah, sibuk batuk-batuk untuk mengeluarkan sisa air danau yang sempat tertelan.

"Jangan sampai jatuh."

"Udah telanjur jatuh."

Alka menjawabnya dengan mengembuskan udara hangat ke arah Risa melalui telapak tangan kanannya. Risa serasa tengah disembur oleh hairdryer raksasa. Dalam sekejap, baju dan rambutnya yang semula basah kuyup kering kembali.

"Ayo lanjut."

"Lagi?!"

"Gue berencana bikin lo memanjat tebing minimal tiga jam. Lima jam, kalau memungkinkan."

"Nggak bisa gitu kita istirahat sebentar?"

"Nggak bisa. Ayo lanjut."

Risa bersungut-sungut, walau tetap menuruti kemauan Alka. Mereka meneruskan memanjat tebing. Risa jatuh lagi setidaknya tiga kali, tapi setelah agenda panjat tebing mereka diakhiri tiga jam setengah kemudian, lelaki itu tampak puas. Risa hanya memberengut seraya menahan rasa sakit yang menjalari setiap bagian otot tubuhnya.

Sehabis itu, Alka membawa Risa kembali ke hamparan padang rumput di tepi danau belakang akademi. Namun berbeda dari hari sebelumnya, Risa tidak ingin langsung balik ke kamar asramanya. Dia malah membaringkan tubuh di rumput, di bawah naungan bayang-bayang dahan pohon besar yang terentang.

"Lo ngapain?"

"Rebahan. Capek." Risa menatap telapak tangannya yang dekil dan penuh lecet. "Badan gue sakit semua."

"Kayaknya lebih nyaman tiduran di kasur daripada di rumput."

"Tiga teman gue yang lain udah pada pulang ke rumah masing-masing. Gue sendirian. Daripada bengong nggak jelas di kamar, mending bengong nggak jelas di sini. Seenggaknya kalau di sini, gue bisa lihat langit."

Alka tidak menjawab.

"Sini, cobain rebahan juga!"

Alka berpikir sebentar, terlihat menimbang-nimbang. Lantas dia memilih duduk, ikut berbaring di atas rumput, tepat di samping Risa.

"Sebenarnya, gue pengen pulang ke rumah. Gue kangen nyokap gue. Pengen makan masakannya." Risa mulai curhat tanpa permisi. "Tapi Luka kayaknya nggak akan ngizinin gue pulang."

"Dia punya alasannya sendiri." Alka berujar.

"Lo ngebelain Luka?"

"Bukan ngebelain." Alka mengoreksi. "Kalau dia lagi benar, gue bakal bilang dia benar. Begitu juga kalau dia salah. Gue bakal bilang dia salah."

"Semua orang pada pulang ke rumah masing-masing." Risa tersenyum pahit. "Sedangkan gue kesepian di sini."

Ada aku. Jangan merasa kesepian, karena ada aku.

Alka menahan lidahnya, sehingga kata-kata itu hanya terlontar sebatas dalam pikirannya.

"Gue nanya pendapat lo aja nih ya—semalam Dante ngundang gue main ke rumahnya. Katanya, mereka punya kolam renang yang cantik banget! Kalau gue bilang ke Luka, menurut lo, Luka bakal izinin gue main ke rumahnya Dante sama Davi nggak?"

"Gue nggak tahu. Lo harus coba tanya ke Luka."

"Kayaknya sih nggak ya..." Risa makin murung.

Kesedihan di wajah Risa bikin Alka cepat-cepat berucap. "Tapi gue bisa coba ngomong ke Luka. Mungkin... dia bisa kasih kelonggaran."

Mata Risa berbinar. "Lo bakal ngomong ke Luka?!"

"Mungkin, kalau lo berlatih sungguh-sungguh sampai gue bisa anggap lo pantas dapat reward."

"Beneran?!"

"Cuma kalau lo berlatih dengan baik." Alka mengingatkan.

Risa tersenyum senang, lantas mengubah posisi berbaringnya jadi duduk. Alka turut beranjak. "Oke! Gue janji gue bakal berlatih dengan baik!"

"We'll see."

"Makasih ya. Karena udah mau coba ngomong ke Luka. Karena udah bersabar ngajarin gue hari ini. Dan karena udah mau dengarin curhat colongan gue. Kalau next time lo kepengen curhat dan nggak tahu mau cerita ke siapa, nggak apa-apa kalau mau cerita ke gue. Rahasia lo bakal aman. Beneran deh!"

Alka berdeham, agak canggung. Hatinya menghangat, merambat sampai ke wajahnya. "... sama-sama."

Risa tersenyum makin lebar, lantas menempatkan setangkai dandelion yang entah kapan dipetiknya. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke Alka, lalu meniup dandelion tersebut. Bulir-bulir halus dandelion dihempas angin, beterbangan dan menabrak wajah Alka, membuat Alka refleks memejamkan mata.

Saat Alka membuka lagi matanya, Risa sudah berlari menjauh sambil tertawa riang.

"Sampai ketemu di latihan berikutnya!" Risa berseru seraya melambai. Wajahnya diwarnai keceriaan.

As for lavender... lavender is for that person I met and instantly clicked with. The sweetest, most genuine person I've ever laid my eyes on. The only person that walked into my life as he had always lived here, and being in his presence brings out the best version of myself.

Alka terperangah manakala sebentuk kesadaran menghantamnya, diikuti pengakuan yang dibisikkan oleh sudut terdalam pikirannya.

That person I met and instantly clicked with.

The sweetest, most genuine person I've ever laid my eyes on.

The only person that walked into my life as she had always lived here.

She is... that kind of person for me.

She is... my lavender.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top