BOOK I - CHAPTER TWO
Risa bersikap seperti biasa saat ibunya pulang kerja.
Dia tidak menyinggung kecoak albino yang meminta bantuannya. Waktu ibunya menanyakan kegiatannya di sekolah hari ini, Risa berdusta. Dia tidak menceritakan tentang sepatunya yang disembunyikan teman-teman sekelasnya. Dia tidak ingin ibunya kepikiran. Pekerjaan ibunya di bagian customer service sebuah jenama pakaian sudah cukup menguras emosi. Beban pikiran beliau tidak perlu ditambah perkara yang kurang penting.
Risa tahu ucapan Basil jauh dari kata masuk akal. Namun susah buat Risa mengabaikannya. Jika dia pikir-pikir lagi, ucapan Basil ada benarnya. Dari kecil sampai sekarang, Risa tidak pernah punya teman. Tidak ada yang mau berlama-lama berdekatan dengannya selain ibunya.
Setiap kali terluka, luka-luka Risa selalu sembuh dalam waktu singkat. Tidak sekejap, tapi lebih lekas dibanding kebanyakan orang. Selain itu, Risa mesti rutin menjalani transfusi darah setiap tiga bulan sekali karena punya anemia. Transfusi darahnya tidak boleh terlambat sehari pun. Kalau sampai terlambat, Risa bakal lemas hingga nyaris tidak bisa beranjak dari tempat tidur.
Lalu, ada beberapa memori masa kecil yang aneh. Risa ingat, dia pernah duduk di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh benda-benda yang melayang di udara. Dia juga pernah membuat kuntum bunga mawar yang masih kuncup mekar seketika hanya dengan menyentuhnya. Kala itu, ibunya berkata kalau Risa hanya bermimpi. Namun hari itu juga, ibunya menyingkirkan semua tanaman bunga yang tumbuh di depan rumah mereka.
Setelah sekian lama cuma bisa menerka apa yang salah dari dirinya, janji Basil untuk memberinya penjelasan terdengar menggiurkan.
"Kayaknya besok Mama nggak sempat masak karena mau ngantar anaknya Tante Uti ke Puskesmas. Nanti kamu beli uduk aja buat sarapan?"
Risa yang lagi mencuci piring kotor terakhir di depan wastafel menoleh sekilas. "Iya, nanti aku beli sarapan sendiri."
"Besok Sabtu ya? Kamu ada rencana keluar atau di rumah aja seharian?"
Sekolah Risa memang libur di hari Sabtu dan Minggu.
"Besok nggak ke mana-mana, tapi Minggu aku mau ke Kota Tua."
"Mau ngapain?"
"Jalan sama teman."
"Tumben." Ibu Risa terlihat senang.
"Iya, diajak main ke Kota Tua."
"Nah, begitu dong! Jangan di rumah terus. Mumpung masih muda, harus banyak jalan-jalan sama teman-teman—eh, panci sama sodetnya biarin aja, Risa. Nanti Mama yang cuci."
Risa mengangguk saja. Sehabis membasuh tangannya dari sisa sabun, Risa beranjak menuju kamar mandi untuk sikat gigi. Gadis itu baru saja membuka pintu kamar mandi saat dia dibikin tersentak kaget oleh kehadiran seekor kecoak putih yang sedang nangkring di tepi bak.
"Asta—heh!" Risa melotot sambil berbisik agar suaranya tidak sampai terdengar ibunya. Dia bisa dibawa ke rumah Ustadz Hanafi di RT sebelah buat dirukyah kalau sampai ketahuan lagi ngobrol sama kecoak di kamar mandi. "Ngapain lo di sini?! Kan udah gue bilang, tunggu di kamar! Nyokap gue paling benci sama yang namanya kecoak! Lo mau kena geprek?!"
'Lo lama banget nggak balik-balik ke kamar! Gue haus!'
"Terus lo minum air bak?"
'Iyalah! Nggak mungkin juga gue minum air WC! Gue ini bukan kecoak murni!'
Risa menahan segenap rasa dongkol. Dia mengambil sikat giginya, terus mengoleskan odol. Basil diam saja, menonton Risa sikat gigi. Kelar sikat gigi, Risa kumur-kumur.
'Nama lo Risa kan ya?'
"Iya. Kenapa?"
'Tali bra lo melorot.'
"Hah?!" Risa mengecek tali bra-nya. Benar saja. Salah satu tali branya sudah longsor dari pundak, menggantung pasrah di lengan atas. Gantungnya melewati garis lengan baju, jadi kelihatan. "Tengil banget lo jadi kecoak! Bisa-bisanya merhatiin tali beha cewek!"
'Nggak merhatiin kali. Emang kelihatan.'
"Sama aja! Sekarang, mending lo balik ke kamar gue duluan."
'Kenapa nggak barengan aja? Rumah lo banyak tikus sama cicaknya. Rada-rada ngeri ngerayap sendiri ke kamar lo.'
"Lah, buktinya lo bisa sampai di sini dengan selamat tuh!"
'Itu karena tadi gue kehausan banget, jadi masih semangat menantang maut! Beda sama sekarang!'
"Yaudah, lo keluar dulu! Tunggu di depan kamar mandi, tapi jangan sampai kelihatan sama nyokap gue!"
'Kenapa harus tunggu di depan? Kenapa nggak tunggu di sini aja?'
"Soalnya dari suara lo, gue curiga lo ini cowok."
'Gue emang cowok.'
"Yaudah! Buruan keluar!"
'Kenapa harus keluar?'
"Karena gue mau pipis!"
'Wah...'
"Keluar atau gue siram lo di lubang WC?!"
'Oke sip, gue keluar.'
***
Jarum pendek jam tengah bergerak menuju angka sepuluh saat Risa masuk kamar. Basil hinggap di bahunya. Meski agak geli, Risa membiarkan Basil bertengger di sana karena selain tidak hitam legam seperti kecoak pada umumnya, Basil juga tidak bau.
'Nanti gue tidur di mana?'
"Suka-suka lo, asal jangan sekasur sama gue."
'Pelit.'
"Jangan ngelunjak! Walau kecoak jadi-jadian, wujud lo tetap aja kecoak. Tidur sama semut aja gue ogah, apalagi sama kecoak." Risa mengomel. "Kedua, lo cowok. Apa kata dunia kalau gue yang belum 18 tahun ini berbagi kasur sama cowok yang bukan suami gue?!"
'Gue mungkin bakal jadi satu-satunya cowok yang pernah berbagi kasur sama lo.'
"Sembarangan!"
'Punya temen aja nggak, gimana mau nikah?'
Risa bersungut-sungut. Egonya tertohok sebab kata-kata Basil ada benarnya. Lupakan pacar, teman saja tidak punya! Bukan sekali-dua kali Risa dibuat iri kalau melihat teman sekelasnya dijemput pacar di depan sekolah.
'Gue cuma bercanda. Jangan melas gitu.'
"Candaan lo nyakitin!"
'Kalau gitu, gue minta maaf."
Gentle juga nih kecoak satu, Risa membatin.
'Yah, derita lo juga sih, kenapa terlahir sebagai makhluk setengah-setengah. Di Dunia Terang, lo dijauhi manusia. Di Dunia Bayangan, lo pasti jadi buangan.'
Risa mengernyit. "Dunia Terang? Dunia Bayangan? Maksudnya?"
'Di alam semesta kita ini, ada banyak dunia lain di luar dunia manusia yang lo tau. Gue datang dari Dunia Bayangan. Di tempat gue, kami menyebut dunia lo Dunia Terang.'
"Masa iya? Kok kedengarannya kayak dongeng ya..."
'Lo susah percaya yang ginian karena lo hidup di satu dunia doang. Lo jadi ketularan sombongnya manusia.'
"Sombong gimana ya maksudnya?"
'Berpikir kalau dunia lo satu-satunya dunia di jagat raya yang maha luas ini sama aja berpikir kalau alam semesta cuma diciptain buat orang-orang di dunia lo. Buat manusia doang. Apa namanya kalau bukan sombong? Lagipula, hanya karena lo belum pernah melihat atau belum tahu sesuatu, bukan berarti sesuatu ini nggak ada. Kayak misalnya nih ya, di zaman dulu banget, sebelum teknologi berkembang, manusia nggak tahu kalau di luar angkasa sana, ada planet yang namanya Pluto. Manusia baru tahu kalau Pluto ada setelah punya teknologi yang cukup. Tapi apa berarti planet itu baru ada setelah manusia tahu? Nggak. Sebelum manusia tahu, planet itu sudah ada. Tahu atau nggak tahunya manusia bukan penentu planet itu ada atau nggak.'
"Belibet banget. Gue jadi pusing."
'Nggak heran. Kayaknya otak lo emang cuma seujung sendok Nyam-nyam.'
Risa berkacak pinggang. "Lo mau gue anter ke Kota Tua atau nggak?!"
'Ampun.' Basil menggoyangkan antena dan kedua kaki depannya, membuatnya terlihat seakan-akan lagi sembah-sujud ke Risa. 'Maksudnya tuh, diakui atau nggak oleh manusia, dunia lain selain Dunia Terang kayak Dunia Bayangan tuh ada. Eksistensi kami nggak butuh pengakuan manusia.'
"Dunia Bayangan tuh apa?"
'Dunia dalam bayang-bayang.'
"Kalau ditanya tuh bisa nggak ya jawabannya jangan bikin gue makin bingung?"
'Simpelnya gini, dunia lo atau dunia manusia tuh disebut Dunia Terang, karena semua makhluknya kelihatan, kayak manusia, hewan, tumbuhan dan kawan-kawannya. Bisa dilihat pakai mata. Dunia Bayangan, ya dalam bayang-bayang. Makhluk di sana bisa milih, mau kelihatan atau nggak. Mau pakai wujud asli atau nggak. Gitu-gitu.'
"Terus?"
'Nah, lo itu blasteran. Produk hasil kolaborasi dua dunia. Lo setengah Serpent.'
"Serpent itu apa?"
'Salah satu bangsa di Dunia Bayangan.' Basil menyambung. 'Gue bisa melihat energi. Energi tuh kayak apa ya kalau digambarkan... kayak semacam lingkaran warna yang mengelilingi seseorang. Tiap makhluk hidup punya energi dan warna aura yang beda-beda. Sekali lihat, gue tahu lo nggak sepenuhnya manusia.'
Risa mengerjap, butuh waktu lebih untuk mencerna informasi yang Basil beberkan
'Jangan bilang mustahil, karena lo pun sadar yang gue bilang ini ada benarnya. Lo nggak pernah punya teman, lo selalu dijauhi orang-orang. Lo suka bingung kenapa, karena lo nggak ngerasa lo bikin salah. Nyatanya, lo emang nggak bikin salah. Manusia ngejauh dari lo karena insting survival mereka yang maksa mereka ngejauhin bahaya. Lo predator mereka. Lo memburu mereka untuk bertahan hidup. Sama aja situasinya kayak zebra atau rusa yang lari kalau mereka ngerasa ada hewan buas yang lagi ngintai mereka.'
"Sori ya, tapi gue nggak pernah memburu manusia—"
'Tapi lo butuh donor darah rutin tiap beberapa bulan sekali kan?'
Risa terdiam. Tebakan Basil lagi-lagi telak.
'Semuanya udah kecentang ya, jadi nggak usah denial lagi deh! Lo nggak punya teman, lo sembuhnya cepet kalau luka, dan lo butuh donor darah rutin. Lo ini setengah Serpent. Titik.'
"Tapi nyokap gue—"
'Nyokap lo sepenuhnya manusia, kalau itu yang mau lo tanyakan.'
Risa menelan saliva. "Gue nggak paham."
'Lemot banget. Otak lo masih pentium satu ya?'
"Siap, Si Paling Pentium Empat!"
'Haha, jangan ngambek.' Basil membalas. 'Nanti kalau lo ketemu Nedia, lo tanyain aja ke dia. Dia pasti bisa jelasin lebih baik daripada gue. Nedia itu... aduh apa ya bahasanya kalau di dunia lo... hm... sakti. Gitu kali ya? Kesannya kayak tua banget, tapi ya Nedia emang begitu. Dia bahkan pernah ngalahin Luka.'
"Luka siapa?"
'Ada lah, Serpent juga. Lo nggak akan mau kenal ama dia. Dia juga ogah kenal ama makhluk kayak lo. Di matanya, makhluk setengah-setengah kayak lo ini sama rendahnya kayak manusia. Tapi tenang aja, Nedia nggak gitu. Nedia baik. Cuma dia yang mau jadi teman gue waktu kita masih sama-sama di akademi.' Basil menjelaskan. 'Karena lo setengah Serpent, lo pasti punya Arx. Kalau Nedia bisa masuk ke Arx lo, mungkin dia bisa tahu lo ini sebenarnya apa dan gimana bisa lo nggak tahu apa-apa soal Dunia Bayangan.'
Risa mulai mumet. Dia tidak bertanya lebih jauh. Dia tidak yakin kepalanya punya kapasitas cukup untuk menampung informasi-informasi aneh dari Basil.
"Yaudah, gue mau tidur!"
'Weh, jangan tidur dulu! Ini gue tidur di mana?!'
"Di mana kek! Kecoak harusnya bisa tidur di mana aja, kan?"
'Maunya sih gitu! Tapi di rumah lo ini tikus sama cicaknya banyak banget! Kalau gue lagi tidur terus gue dicaplok, gimana?!'
"Aduh, ribet banget!" Dengan ogah-ogahan, Risa membongkar kardus berdebu di kolong ranjangnya. Dia sempat batuk-batuk karena debu yang beterbangan, tapi tetap melanjutkan mencari. Dalam setengah menit, dia menemukan apa yang diperlukan. "Lo tidur di sini aja!"
'Itu apa?'
"Kandang hamster. Dulu gue pernah punya hamster, tapi hamsternya mati dicomot kucing tetangga."
'Tapi aman nggak kalau gue tidur di situ?!'
"Aman. Kucing tetangga mana bisa masuk ke sini." Risa membersihkan debu yang menempel di kandang hamsternya menggunakan tisu. Kandang hamster itu tidak besar, berukuran sekitar 20 x 20 sentimeter, berbentuk mirip wadah sabun. Bedanya, tutupnya bisa dikunci dari luar dan ada lubang-lubang untuk sirkulasi udara. Setelah bersih, Risa meletakkan dua tumpuk kapas di dalamnya. "Tuh, gue kasih kasur sekalian!"
'Wah, terima kasih banyak!' Basil berseru sarkastik.
"Yaudah, kalau nggak mau! Lo tidur aja di meja! Syukur-syukur nggak dicaplok cicak—"
'Loh, gue kan bilang makasih!'
"Makasih lo nggak ikhlas!" Risa manyun seraya menaruh kandang hamsternya di atas meja belajar. Basil cepat-cepat merayap masuk, lanjut nongkrong di atas tumpukan kapas. Risa menutup wadah itu, menguncinya dari luar. "Udah kan?"
'Udah.'
"Oke, gue mau molor."
'Risa,'
"Apa lagi sih?"
'Makasih. Kali ini, beneran tulus nih. Makasih banyak.'
Risa terperangah sejenak. Dia tidak terbiasa mendengar orang bilang terima kasih padanya. Yah, secara tampilan, Basil bukan orang sih. Namun tetap saja, kata-katanya membuat Risa tersentuh.
"Sama-sama."
***
Keesokan paginya, Risa sengaja menunggu sampai ibunya berangkat, baru pergi beli nasi uduk buat sarapan.
Basil masih molor. Mempertimbangkan risiko dia diembat cicak atau tikus sewaktu-waktu, Risa memutuskan membiarkannya tetap dalam kandang. Sepulangnya dari warung nasi uduk, Risa langsung mengecek ke kamar dan mendapati Basil sudah bangun.
'Dari mana lo?'
"Beli nasi uduk."
'Asyik, gue suka nasi uduk!'
"Sori, gue belinya buat gue doang."
'Dih?! Pelit banget!'
"Mana gue tau kalau kecoak suka makan nasi uduk?!" Risa berdalih.
'Harus gue bilang berapa kali kalau gue bukan kecoak beneran?!' Basil menukas sengit. 'Bukain kandangnya dong! Sempit nih!'
"Bawel!"
'Tapi terus lo beneran nggak beliin sarapan buat gue?'
"Lo kan bukan manusia. Emang lo butuh makanan manusia?"
'Nggak sih, tapi gue suka rasa makanan manusia.'
"Tadi gue beli Good Time. Buat lo aja."
'Gue nggak suka Good Time. Gue sukanya Oreo.'
"Buset, bawel banget." Risa membuka kunci kandang, lalu mengangkat tutupnya. Basil terbang dengan tangkas, kemudian mendarat di atas meja. "Yaudah kalau nggak mau Good Time! Gue aja yang makan!"
'Terus beli Oreo ya?'
"Nggak. Males banget bolak-balik ke warung cuma buat nurutin maunya kecoak nggak jelas!"
'Dih, jahatnya!'
"Mau dianter ke Kota Tua apa nggak?!"
'Oke, maaf! Tapi boleh nggak, Good Time-nya buat gue aja?'
"Tadi katanya nggak suka Good Time."
'Yah, daripada nggak ada sama sekali...'
Mereka sarapan bareng di meja makan. Risa sempat ragu, karena sarapan semeja bersama seekor kecoak terkesan jorok banget. Kecoak kan identik dengan tempat kotor. Tapi setelah dia pikir-pikir lagi, Basil bukan kecoak murni dan dia juga tidak bau. Jadi harusnya tidak apa-apa.
'Habis ini kita ngapain?' Basil bertanya setelah mereka selesai makan.
"Kalau nggak rebahan, ya nonton anime. Tapi sebelum itu, gue mau siram-siram tanaman di depan dulu."
'Bosenin banget! Nggak main ke mana kek gitu?'
"Gue nggak punya temen. Bakal aneh kalau nongkrong di kafe atau Mekdi sendirian. Lo bukan orang, jadi lo nggak bisa dihitung." Risa menjawab. "Selain itu, jalan keluar juga butuh duit! Boros. Mending di rumah, cuma modal kuota."
'Oiya, gue lupa kalau lo tuh no life parah.'
"Makasih untuk pujiannya." Risa membalas sarkastik. "Mau balik kandang sekarang?"
'Nggak dulu. Tuh kandang sempit banget! Gue pusing lama-lama di tempat sempit.'
"Terus maunya apa?"
'Ngikut lo aja nyiram tanaman.'
"Sesuka hati lo aja."
Risa beranjak ke depan rumah. Rumahnya mungil, tapi lebih dari cukup untuk dua orang. Bangunannya sudah tua. Cat dindingnya mengusam dimakan cuaca dan waktu. Namun, Risa menyukai rumahnya. Tidak seperti kebanyakan rumah di lingkungan permukiman padat ibukota, ibunya masih menyisakan sedikit lahan di depan rumah untuk tempat meletakkan pot-pot tanaman. Meski yah... tidak ada satu pun tanaman bunga.
Basil terbang mengekori Risa, lalu mendarat di tepi salah satu pot tanaman.
Risa lagi sibuk menyiram tanaman memakai air dari selang ketika kucing berbulu oranye milik tetangga seberang rumah melesat masuk melewati sela-sela jeruji pagar rumahnya. Rupanya, kucing itu sudah mengintai Basil sejak tadi. Segalanya terjadi amat cepat. Dalam sekejap, Risa mendengar seruan panik Basil.
'Argh, toloooooongggggggg!'
Risa melotot panik melihat Basil disergap oleh kucing tetangga. Kucing oranye itu memungut Basil dengan mulutnya, lalu ngacir menuju pagar depan.
'Risaaaaa, tolongin gueeeeeee!'
Risa memekik kalut. "Oyen!"
Percuma saja, kucing yang sudah terkenal bandel itu terus berlari.
Risa buru-buru mematikan keran air yang terhubung ke selang. Sehabis itu, dia mengejar kucing yang membawa Basil kabur. Dari seruan Basil—yang hanya bisa didengar Risa—dia tahu kalau cowok dalam wujud kecoak itu masih hidup. Sepertinya, kucing tetangga tidak langsung mengunyahnya.
Risa berlari sampai napasnya terengah. Bagian tengah dadanya mulai sakit karena dia tidak biasa berolahraga. Untungnya, kucing itu berhenti di dekat pos ronda, kemudian melepaskan Basil yang sudah lemas dari mulutnya. Penuh rasa ingin tahu, kucing tersebut menoel-noel Basil dengan salah satu paw-nya.
"Oyen!"
Kucing itu memandang Risa tajam, langsung hissing. Bulu-bulunya berdiri semua, membuatnya kelihatan garang.
"Buset dah, malah marah! Pagi-pagi udah nakal aja! Mana asal aja ngembat orang—eh, bukan orang sih, tapi ya pokoknya gitu lah!" Risa mulai mengomel. "Balikin kecoaknya sekarang! Dia bukan kecoak beneran, tahu!"
Oyen makin sensi, geramannya makin keras dan hissing-nya makin kencang.
"Oyen!"
Rawwwwwrrrrr...
Entah karena kesal sama Risa atau memang pada dasarnya terlahir sebagai kucing sensi-an, Oyen lanjut menerjang. Risa mencoba menghindar, tapi kakinya sempat kena cakar.
"Auwwwwwww—heh, Oyen! Nakal banget sih kamu! Sakit tahu!" Risa berseru kesal. Lalu, matanya tertuju ke sapu lidi kurus yang tergeletak di lantai kayu pos ronda. Tanpa pikir panjang, Risa mengambil sapu lidi tersebut. Tampaknya, Oyen punya trauma tersembunyi sama sapu lidi. Kucing itu kontan ngacir menjauh.
'Pusing banget...'
"Lo nggak apa-apa?"
'Nggak apa-apa gimana?! Gue baru diuwel-uwel sama kucing! Mana mulutnya bau banget kayak bau cicak mati!'
Risa berkacak pinggang. "Kok lo malah nyolot sama gue sih?! Udah bagus gue mau bela-belain ngejar si Oyen sampai ke sini demi nolongin lo! Lihat nih, kaki gue kena cakar!"
'Kenapa malah jadi lo yang marah-marah?!'
"Karena lo duluan yang nyolotin gue!"
'Yaudah, kalau gitu gue minta maaf! Jangan marah-marah dong, pusing kepala gue!'
"Terus sekarang mau lo apa?"
'Gue nggak kuat jalan, apalagi terbang. Gendong.'
"Najis, manja banget!" Risa memutar bola matanya. Kalau saja ada orang lewat yang melihatnya, mereka pasti mengira dia orang gila karena bicara dan marah-marah sendiri. Untungnya sih, lagi tidak ada orang yang lewat.
Risa mendekati Basil, lalu memungutnya dari tanah. Risa masih jijik sama serangga termasuk kecoak, jadi dia agak geli ketika menempatkan Basil yang letih tak bertenaga di telapak tangannya. Tak berapa lama, Risa meringis saat sadar luka cakar di kakinya mengalirkan darah.
'Konfirmasi lainnya kalau lo emang setengah Serpent. Warna darah lo.'
"Darah gue kenapa?"
'Warnanya merah, tapi lebih gelap dari darah manusia tulen. Walau begitu, warna darah lo juga nggak segelap Serpent.'
Risa mengeluh. "Ah, gara-gara lo nih gue jadi kena cakar! Kalau gini, kudu jalan dulu ke Indomaret!"
'Hah, mau ngapain ke Indomaret?!'
"Beli alkohol buat luka. Kalau gue kena penyakit aneh-aneh karena dicakar Oyen gimana?"
'Lo setengah Serpent. Nggak bakal ada virus sama bakteri yang berani sama lo.'
"Masa?!"
'Pernah nggak, pas lagi musim sakit, orang-orang pada flu, pilek, batuk, demam, tapi lo sehat-sehat aja?'
Risa membisu, tapi itu sudah cukup jadi jawaban.
'Kan.'
Susah juga mau tidak percaya pada Basil, karena sejauh ini, tebakannya tentang Risa selalu tepat.
***
Alka langsung merasa ada yang tidak beres ketika Denzel dan Novel kembali ke Raudra saat fajar tanpa Nedia.
"Di mana Nedia?"
"404." Denzel menyahut pendek seraya menghempaskan tubuh ke sofa panjang.
Alka memiringkan wajah. "Maksudnya?"
"Not found."
"Tolong ya, kita lagi ngomongin urusan penting. Jangan suka pakai istilah yang susah dimengerti." Alka berpaling ke Novel. "Apa maksudnya dengan not found? Kalian gagal menemukan Nedia?"
Novel merogoh saku celananya, kemudian melempar seuntai kalung yang Alka tangkap dengan cekatan. Alka mengenalinya sebagai benda pribadi milik Nedia, berupa kalung rantai dengan liontin kubah kaca berisi miniatur bunga peony. Sesuai dengan royal seal Nedia yang juga berbentuk bunga peony. Kubah kaca liontin tersebut terisi penuh oleh energi Nedia.
"Aku dan Denzel mencari energinya semalaman. Ketika kami menemukannya, kami disambut kamar hotel yang kosong. Tamunya check-in atas nama Nadya, nama yang suka Nedia pakai di Dunia Terang, tapi Nedia belum kembali ke sana sejak check-in. Dia sengaja meninggalkan liontin kalung itu di sana untuk mengecohku dan Denzel."
Alka terhenyak. "Astaga, apa maksudnya ini?"
"Gitu aja masih nanya! Lemot deh!" Denzel mencibir. "Kali ini, Nedia memang nggak ingin kita temukan."
Alka terperanjat tak percaya.
"Oh, come on! Masa begitu aja kamu nggak nyadar, Alka? Ini seorang Nedia loh! Dia pernah ngalahin Luka dalam duel. Gampang banget kalau dia mau nyamarin energinya dari kita biar nggak bisa ditemukan. Selama ini, alasan kenapa kita selalu bisa nemuin dia kalau dia lagi kabur ke Dunia Terang ya karena dia ngizinin kita menemukannya. Bukan karena dia takut sama kita atau kita yang berhasil nemuin dia." Denzel berkata.
"Aku tahu. Tapi kenapa dia tiba-tiba begini?"
"Dia kayak lagi masuk mode in cognito. Manusia biasanya pakai mode in cognito pas lagi internetan karena mau melihat atau mencari informasi terkait topik-topik yang mencurigakan."
"Seperti misalnya?"
"Bokep."
"Serius, Denzel!"
"Aku juga serius kali!" Denzel terkekeh. "Situasinya mirip-mirip. Mungkin Nedia lagi nyari sesuatu, atau mau ketemu seseorang dan dia nggak mau kita tau. After all, dia itu satu-satunya Serpent yang lahir dengan tanda unalome. Aku yakin, dia bisa jaga diri. Cuma ya... nanti kalau dia udah pulang, bolehlah kita marahin dia dikit-dikit biar dia nggak gini lagi."
"Sejujurnya, aku khawatir." Novel menyela. "Apa pun alasannya, Nedia tidak boleh sampai lepas dari pengawasan kita. Apalagi, dia lagi berada di Dunia Terang. Kalau Luka sampai tahu, Denzel juga tak akan bisa sesantai itu—"
"Dia lagi ada urusan kan? Disuruh nge-handle Samir dan teman-temannya yang ngacau di area pendakian manusia. Dia nggak akan tahu."
Alka membalas cepat. "Luka sudah tahu."
"Hah?!"
"Dia dan Lara kembali tadi malam. Dia langsung tau kalau ada yang tidak beres."
"Oh, shit." Denzel mengerang. "Terus, di mana dia sekarang?"
"Pergi. Kemungkinan besar, mencari Nedia."
"Oh, okelah kalau gitu."
Novel protes. "Kok kamu santai banget sih?!"
"Kalau Luka sudah turun tangan, dia nggak bakal berhenti sampai urusannya beres. Kalau kita ikut-ikutan, dia malah bakal kesal karena ngerasa kita ikut campur urusannya. Dia kan anaknya show-off banget, selalu pengen kelihatan si paling si paling."
Di antara mereka bertiga, Denzel adalah yang paling pratirasa edengan Luka. Di matanya, Luka itu sok jago dan arogan.
Alka mengembuskan napas lelah. "Baiklah, aku yang akan mencari Nedia."
"Nggak usah buru-buru. Paling sebentar lagi juga pulang sama Luka. Aku yakin, Nedia juga nggak mau kamu berlebihan kayak gini, Alka."
"Iya kalau pulang. Seandainya tidak?"
"Alasan macam apa yang bikin Nedia nggak pulang? Selama ini, mau minggat sejauh apa pun, Nedia nggak pernah lupa pulang."
Kata-kata Denzel itu ada benarnya, tapi Alka tetap memelesat meninggalkan ruangan.
***
Sebelum berangkat ke Kota Tua, Risa lebih dulu menjabarkan sejumlah aturan yang tidak boleh Basil langgar.
"Pertama, lo harus tetap dalam tas gue! Jangan sampai keluar, apalagi terbang pas kita lagi di Transjakarta! Lo ini public enemy buat sebagian besar manusia, jadi turutin gue kalau lo mau selamat! Oke?!"
'Siap!' Basil membalas sigap seraya mengangkat salah satu kaki depannya ke udara, seakan tengah memberi hormat.
"Kedua, jangan kencing atau berak sembarangan! Kalau lo sampai kencing atau berak di tas gue, gue bakal semprot lo pakai parfum! Lo nggak mau kan mati karena mabok Pucelle?!"
'Astaga, harus gue bilang berapa kali sih?! Gue ini bukan kecoak murni dan gue paham tatakrama ya! Kencing dan berak sembarangan tuh bukan adat gue!'
"Semalem lo kencing sembarangan." Risa mencibir.
'Itu namanya ngompol! Nggak sengaja!'
"Sama aja! Kencing sembarangan, ngompol, itu tuh beda istilah doang!"
'Lo ini beneran nggak punya hati! Coba posisiin diri lo di posisi gue, sekali aja! Berempati kek gitu! Gue habis dicomot kucing pakai mulutnya yang bau bangke, terus diuwel-uwel kayak mainan karet! Lo nggak expect kalau gue bakal trauma dan mimpi buruk malamnya?! Anak kecil aja bisa sawan kalau abis lihat yang aneh-aneh!'
"Aduh, bawelnya kecoak satu ini! Bodo ya! Pokoknya jangan sampai lo kencing atau berak sembarangan! Tinggal jawab 'iya' aja apa susahnya sih?!"
'Iya! Siap! Oke!' Basil berseru. Dari suaranya, kentara sekali dia kesal sama Risa.
Mereka pun bergegas ke halte. Supaya hemat, Risa sengaja naik Transjakarta. Beruntung, armada yang mereka tumpangi tidak padat dan bau ketek seperti saat rush hour. Risa bisa kebagian tempat duduk. Dia lagi duduk dengan tenang ketika terdengar suara Basil dari dalam tas.
'Hoek—tolong dong! Buka dikit—'
Buset, kenapa lagi nih kecoak—
'Minyak kayu putih lo tumpah—hoek! Pedes nih mata gue! Tolong buka dikit risleting tas lo sebelum gue mati lemas dalam keadaan anti masuk angin!'
Risa berbisik lirih. "Aduh, bawelnya—" tapi dia membuka risleting tasnya. Maksud hati mau sekalian mengeluarkan botol minyak kayu putih yang lupa ditutup. Tapi Basil yang lagi keleyengan memanfaatkan kesempatan itu untuk merayap keluar dari tas, lalu nongkrong di paha Risa.
'Edan, gue kira gue hampir tewas karena tenggelam dalam lautan cairan Eucalyptus—'
"IH, KECOAK!!" Gadis remaja yang duduk di samping Risa tersentak kaget begitu melihat Basil.
Risa yang baru menutup botol minyak kayu putihnya sontak menoleh. "Eh—"
"Mbak, itu ada kecoak—" Gadis remaja tersebut bergidik jijik.
"Eh—iya, santai aja, Mbak. Ini peliharaan saya."
"... hah?! Peliharaan gimana maksudnya?!"
"Ini emang kecoak, tapi dia bukan kecoak biasa—dia—hng—dia kecoak London! Mbak lihat kan, warnanya putih gini! Itu karena dia kecoak bule, Mbak. Di habitat aslinya, dia jarang kena matahari. Terus dia juga lebih sering makan roti daripada makan tumis kacang panjang sisa kemarin—" Risa merasa konyol karena mulai meracau tak jelas yang membuatnya ditatap aneh oleh sebagian penumpang lain.
"Oh... gitu ya, Mbak..."
Risa hanya bisa meringis sekalian menebalkan muka supaya bisa bertahan sampai ke halte pemberhentian yang dia tuju.
Pasca perjalanan yang terasa canggung dan bikin Risa ingin ditelan Bumi, mereka tiba di Halte Kota. Risa turun, melanjutkan berjalan kaki menuju kawasan Kota Tua. Tidak jauh, hanya beberapa ratus meter.
"Terus sekarang gimana?"
'Cari Nedia—eh, boleh nggak gue keluar dari tas terus masuk ke kantong baju lo aja?'
Risa menatap ke bajunya sendiri. Dia baru sadar, kalau atasan yang dia pakai punya kantung kecil di bagian dada. Kecil banget sih, paling hanya cukup untuk menyimpan dua koin lima ratusan.
"Emang muat?"
'Muat.'
"Tapi kantongnya pas di dada gue."
'Terus kenapa?'
"Takut aja, nanti lo ngerasa keempukan."
'Ngerasa keempukan gimana? Bantalan empuknya aja nyaris nggak ada.'
Risa melotot dengan wajah merah. "Lo tuh nggak bisa apa ya manis dikit kalau ngomong sama cewek?!"
'Lah, emang nyatanya begitu—'
"Yaudah! Buruan pindah ke kantong kalau mau pindah!"
'Hehe—' Basil pun merayap dari bukaan kecil risleting tas Risa ke saku baju yang dimaksud. Separuh tubuhnya tersembunyi di kantong, sedangkan kepala dan antenanya menyembul keluar.
"Kita nyari Nedia di mana?"
'Di Kota Tua.'
"Ini kita udah di Kota Tua!"
'Keliling aja dulu. Nedia pasti di sini seharian kok! Gue juga bisa ngerasain energinya. Dia ada di sekitar sini...'
"Sori ya, tapi gue nggak bisa ngelihat energi."
'Ikutin aja arah yang gue tunjukkin—belok kiri—'
Spontan, Risa langsung belok kiri. Perubahan arah langkahnya yang mendadak membuatnya nyaris menabrak seorang anak punk berambut mohawk. Risa cepat-cepat meminta maaf ketika sadar anak punk itu menatapnya sinis. Kebanyakan orang yang ditemuinya memang kerap begitu. Mereka memandangnya seakan-akan dirinya adalah wabah penyakit.
"Jangan tiba-tiba dong kalau nyuruh belok kanan atau kiri atau nyeberang!" Risa berseru jengkel.
'Sori, namanya juga refleks.' Basil membela diri. 'Lo ikut lihat-lihat sekeliling aja. Cari yang cantik. Nedia cantik.'
"Di sini banyak cewek cantik. Yang spesifik dong!"
'Rambutnya cokelat terang. Matanya juga. Kulitnya pucat, tapi pipinya merah muda. Lo pasti langsung ngenalin dia kalau ngelihat.'
"Oke."
Sembari berjalan, Risa menatap sekeliling. Sejenak kemudian, dia menemukan sesosok gadis berambut cokelat terang yang diikat ekor kuda. Gadis itu memunggunginya, tapi tanda bercahaya dalam bentuk garis rumit di belakang lehernya yang terekspos menarik perhatian Risa.
'Itu Nedia.'
"Yang lehernya bercahaya itu?"
'Bercahaya gimana maksudnya?' Basil malah heran. 'Lehernya nggak bercahaya.'
"Buta ya lo?! Jelas-jelas tanda garis di lehernya bercahaya—"
'Lo yang aneh. Kalau garis di lehernya bercahaya, orang-orang pasti pada nengok dan kepo! Udah buruan, samperin dia!'
"Iya, iya! Bawel banget!"
Risa segera menghampiri Nedia. Ragu-ragu, dipanggilnya gadis itu. "... Nedia?"
Nedia menoleh. Risa terkesiap ketika melihat matanya.
Sepasang mata cokelatterang itu... persis sepasang mata yang beberapa kali dilihatnya dalam mimpi buruknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top