BOOK I - CHAPTER THREE

Sebenarnya, Risa terhitung jarang bermimpi buruk.

Tidurnya lebih sering tanpa mimpi. Tapi ada mimpi buruk yang terjaga dengan baik dalam ingatannya. Mimpi buruk yang biasa muncul saat Risa sedang lelah atau sedih. Mimpi yang bisa berulang beberapa malam berturut-turut, lalu lenyap dengan sendirinya.

Ada banyak kilas peristiwa yang Risa saksikan dalam mimpi buruk itu. Bayangan-bayangan yang berkelebat sangat cepat. Pohon berbatang gemuk berhias daun-daun bercahaya. Bulu-bulu sayap yang berpendar dalam gelap seraya berguguran ke tanah. sepasang mata cokelat terang. Mata yang tidak pernah Risa ketahui milik siapa karena dia belum pernah melihat mata seperti itu sebelumnya. Iris cokelat bertepikan garis keemasan. Mata yang unik.

Mata yang kini tengah ditatapnya.

Nedia mengangkat alis. "... iya?"

"Eh—" Risa tergagap bersamaan dengan Basil merayap keluar dari sakunya. Dia nangkring di pundak Risa. "—maaf, aduh—mulai dari mana ya—"

'Alay banget, ketemu cewek cantik aja langsung gagap gitu!'

Risa melirik jengkel ke Basil. "Sori—kenalan dulu aja kali ya? Nama gue Risa. Lo Nedia, kan?"

Nedia mengerjap kaget. Di dunia manusia, dia selalu menggunakan nama Nadya, bukan Nedia. "Lo tahu nama gue dari mana?"

Waktu Basil bercerita tentang Nedia, yang terbayang oleh Risa adalah gadis cantik berwajah tidak ramah berpakaian serba hitam. Macam penyihir sakti nan misterius dalam film-film fantasi. Namun sangkaannya salah.

Nedia terlihat seumuran dengannya. Gadis itu mengenakan setelan merah muda pucat yang menyempurnakan rona di kulit terangnya. Matanya indah dengan iris penuh daya magis. Rambut cokelat terangnya dikuncir satu, menampilkan lehernya yang jenjang. Dari dekat, garis bercahaya di lehernya tidak terlihat.

Apa tadi gue cuma berhalusinasi?

Nedia juga jauh dari kesan kuno. Tidak ada aura dukun sama sekali. Gaya bicaranya sangat kekinian nan luwes. Jika dia mengaku satu circle sama Prilly Latuconsina, Risa pasti percaya.

Mendadak, Risa merasa minder.

"Hng—gue ke sini mau nganterin orang—eh, kecoak! Eh, tapi tadinya orang sih—"

Basil yang masih berada di pundak Risa langsung mengusap wajah pakai satu kaki depan.

"—namanya Basil. Katanya dia kenal lo."

"Basil?" Tatapan Nedia berpindah ke kecoak di bahu Risa. "Ini Basil?"

"Iya." Risa meringis.

"Pantesan!" Nedia mencondongkan tubuh seraya terkekeh jail. "Kali ini, kamu bikin masalah apa lagi, Basil Arnawarma?"

Arwana—apa sih? Namanya kok aneh banget?! Risa membatin dalam hati.

Basil mengangkat kedua kaki depannya dan menyatukannya—terlihat seperti gestur memohon.

"Kejadian macam ini nggak akan jadi masalah besar seandainya kamu bisa nguasain Arx kamu." Nedia tampak prihatin. "Untungnya, kamu nemuin aku di sini. Oke. Aku ngerti. Kayaknya kita harus pindah ke tempat yang lebih private."

"Ke mana?" Risa bertanya.

"Ikut gue.

***

Nedia membawa Risa dan Basil ke salah satu bangunan lama yang berdiri di Kawasan Kota Tua.

Dari luar, bangunan itu terkesan angker. Cocok sekali dijadikan tempat syuting film horor. Namun bagian dalamnya berbanding terbalik dengan tampilan luarnya. Interiornya cantik dan sangat terawat. Dinding-dindingnya dicat krem muda, dihiasi ornamen berbentuk bunga peony di mana-mana.

"Tempat ini semacam rumah rahasia gue di dunia manusia. Kayak... persembunyian mungkin ya? Semacam basecamp." Nedia menjelaskan seolah-olah dia bisa membaca pikiran Risa. "Gue beli tempat ini sekitar dua tahun lalu, nggak lama setelah gue lulus dari akademi. Cuma gue yang tahu tempat ini. Yah, sekarang Basil juga tahu. Sengaja dibikin kelihatan jelek dari luar dan dikasih rapalan ilusi khusus supaya manusia nggak tertarik nyasar ke sini."

"Oh... ya... ya..." Risa manggut-manggut sok ngerti.

"Anyway, lo udah bisa turunin Basil ke lantai."

"Oke."

'Nggak usah! Gue bisa turun sendiri!' Basil berseru sebelum terbang dari pundak Risa dan mendarat di lantai kayu.

Nedia menggerakkan tangan kanannya. Liukan jemarinya indah nan lentur, mirip gerakan seorang penari. Jemarinya menekuk, mengepal, lalu membuka lagi. Lantas, Nedia meniupkan serbuk-serbuk cahaya berwarna merah muda yang muncul di telapak tangannya ke arah Basil. Serbuk-serbuk cahaya itu melayang, membentuk pusaran yang membungkus Basil. Saat serbuk-serbuk cahayanya memudar, Basil dalam wujud kecoak sudah menjelma jadi pemuda berambut hitam pekat.

Di detik pertama Basil menatap padanya, Risa ternganga sampai lupa menutup mulut.

Kontras dengan rambutnya yang sekelam jelaga, mata Basil berwarna abu-abu terang, dikelilingi tepi berwarna kebiruan. Matanya sama indahnya dengan mata Nedia. Lekuk hidungnya sempurna. Rahangnya tegas, namun garis bibirnya halus. Dia sangat tampan.

Basil mengejek. "Mingkem."

Refleks, Risa mengatupkan mulutnya. Dia sempat tidak percaya kalau kecoak jelek yang tidur di kandang mendiang hamsternya dua malam terakhir ternyata setampan itu. Namun dari suaranya, jelas pemuda di depannya memang benar-benar Basil.

"Bilang makasih kek!"

"Oh ya, hampir lupa!" Basil berpaling ke Nedia. "Makasih, Nedia."

Risa melipat tangan di dada sambil mendengus. Nedia tersenyum geli. Basil balik menyeringai tengil. "Kenapa?"

"Nggak, nggak apa-apa! Hidung gue cuma lagi gatal aja!"

"Banyak upilnya kali." Basil mencibir. "Makanya, kalau mandi tuh dibersihin!"

Risa menyahut sengit. "Kayaknya lo lebih suka lo pas lo jadi kecoak ketimbang pas lo jadi orang!"

"Masa? Perasaan tadi lo sampai lupa mingkem saking terkesimanya lihat wujud gue sebagai orang."

Cukup sudah. Kesabaran Risa yang lebih tipis dari sehelai tisu basah tidak bisa menolerir Basil lebih lama. Dia melepas sepatunya, kemudian melemparnya ke arah Basil. Gadis itu puas berat saat sepatunya berhasil membentur tepi dahi Basil.

"Sinting!" Basil melotot kesal. "Barbar banget lo jadi cewek!"

"Emang!" Risa berseru sambil mendekati Basil. Niatnya mau memungut sepatunya dari lantai. Namun sebelum Risa sempat meraihnya, Basil lebih dulu menendang sepatu itu ke sudut ruangan. Sontak saja, Risa memekik geram. "Lo ngeselin banget sih jadi orang?!"

"Suruh siapa lempar-lempar sepatu seenaknya?!"

"Lo duluan yang ngeledekkin gue!"

"Balasnya pakai ledekan juga dong! Bukan pakai kekerasan fisik!"

"Kekerasan fisik apanya?! Lebay banget!"

"Yang tadi itu namanya apa kalau bukan kekerasan fisik?!"

Perdebatan mereka diinterupsi tawa kecil Nedia. "Kalian lucu banget! Debatnya sudah kayak pasangan suami-istri aja!"

"Dih!" Basil keberatan.

"Males banget!" Risa tidak kalah keberatan.

"Nggak usah sok jual mahal deh lo! Bahkan selama hampir delapan belas tahun lo hidup, baru gue kan cowok yang ngajak lo ngobrol?! Oh ya, tambahan lagi, gue juga cowok pertama dan mungkin satu-satunya yang pernah tidur sekamar sama lo—"

"Bahasanya jangan aneh gitu bisa nggak?!"

Nedia berdecak. "Astaga. Masih lanjut ternyata. Kalian mau debat sampai kapan? Jujur, seru sih lihat kalian ribut gini. Hiburan. Hehe. Tapi ada beberapa hal yang kayaknya mesti kita omongin."

"Baik. Silakan. Anggap aja gue nggak ada."

"Gue bukan cuma mau ngomong sama Basil." Nedia menyergah. "To be honest, gue penasaran sama lo. Gue jarang ketemu makhluk setengah-setengah. Populasi mereka sedikit banget di Dunia Bayangan—eh, sori, lo sudah tahu sebelumnya tentang tiga dunia, kan?"

Risa mengangguk. "Basil udah cerita."

"Lo tahu tentang Dunia Bayangan sebelum ketemu Basil?"

Risa menggeleng. "Gue baru tahu dari Basil."

"Dan lo nggak ngerasa takut atau nganggap Basil gila?" Nedia bertanya hati-hati.

"Gue sempat mikir gue lagi berhalusinasi. Tapi yang dibilang Basil masuk akal, jadi ya... gue coba aja antar dia cari lo."

"Lo ngerasa yang dibilang Basil masuk akal?"

"Dia nggak tahu apa-apa soal dunia kita sampai dia ketemu aku, Nedia." Basil berujar sembari menyandarkan punggung ke tembok. "Tapi dia sadar kalau dari kecil, dia akrab sama yang namanya keanehan. Dia juga dijauhi manusia karena insting survival mereka. Dia curious, makanya dia langsung percaya."

"Hm. Oke." Nedia beralih ke Basil. "Kalau gitu, sekarang kita mulai dari kamu. Gimana ceritanya kamu bisa berubah jadi kecoak?"

"Biasalah."

"Biasalah gimana?!"

"Aku lagi kurang kerjaan, jadi iseng lewatin portal ke dunia manusia. Niatnya mau jajan street food yang lagi nge-tren. Eh, nggak sengaja ketemu iblis."

"Siapa?"

"Kenal Sombre?"

"Pimpinan para undertaker?"

Basil mengangguk. "Aku nggak sengaja lihat dia di Pasar Tanah Abang. Pakai kemeja batik. Bisa tebak warnanya apa? Pink. Neon, bukan pastel. Dia juga pakai kalung dan kacamata hitam nggak jelas. Gayanya super jamet. Aku meledeknya. Dia kesal, terus mengubahku jadi kecoak."

"Kamu keseringan bermasalah sama iblis."

"Salah mereka yang nggak bisa diajak bercanda."

"Tetap saja, nggak seharusnya kamu cari masalah sama mereka." Nedia menghela napas. "Ini tahun keberapa kamu di akademi? Sampai sekarang, aku nggak lihat tanda-tanda kalau kamu sudah bisa mengontrol Arx kamu sendiri."

"Lagi proses." Basil berkilah, tapi Risa bisa melihat murung terpancar di matanya.

Arx itu apa? Dan kenapa harus dikendalikan?

Risa tidak paham makna pembicaraan Basil dan Nedia, tapi melihat dari ekspresi wajah Basil, sepertinya Arx itu sesuatu yang sangat penting.

Apa Arx itu sumber kesaktikan makhluk kayak mereka?

"Dan gimana ceritanya kamu bisa ketemu Risa?"

"Aku dikejar tikus got, terus nyasar ke rumahnya. Pas lihat dia, aku langsung tahu kalau dia bukan manusia. Energinya berbeda. Ternyata betulan bukan manusia. Tapi dia buta banget, Nedia! Aku harus menjelaskan tentang dunia kita dari awal. Itu pun kayaknya dia belum benar-benar ngerti!" Basil menjelaskan panjang-lebar. "Alasan utama kenapa dia mau mengantarku nyari kamu ya karena dia penasaran soal dirinya sendiri."

"Kinda unexpected." Nedia berkata seraya menatap lekat ke Risa. "Energi yang lo punya benar-benar unik. Nggak biasa. Gue nggak pernah ketemu makhluk bayangan dengan energi kayak lo sebelumnya."

"Dalam artian buruk atau artian baik?" Basil bertanya.

"Artian baik." Nedia menyahut. "Something powerful lies in her. Something that I don't know... yet. But somehow... feels familiar."

Lidah Risa tiba-tiba kaku.

"Tapi kalau lo nggak pernah tahu apa-apa tentang Dunia Bayangan sebelumnya, berarti selama ini lo hidup selayaknya manusia pada umumnya?"

"Dia tinggal bareng ibunya." Lagi-lagi, Basil mewakili Risa menjawab. "Mereka tinggal berdua aja. Dari kecil, dia nggak pernah punya teman. Satu-satunya manusia yang mau dekat dengannya cuma ibunya."

Risa tahu kata-kata Basil tidak dimaksudkan untuk menghinanya, tapi tetap saja, kata-kata itu membuat Risa tertohok.

"Wajar. Dengan energi seperti lo punya, manusia pasti menjauh secara alami. Insting survival. Alam bawah sadar mereka tahu lo adalah predator yang mengancam mereka."

"Luka-lukanya cepat sembuh. Dia juga dapat donor darah rutin tiap beberapa bulan sekali." Basil menambahkan. "Make sense?"

Nedia mengangguk. "Very."

"Gue—" Ragu-ragu, Risa bersuara. "Ada yang mau gue tanyain ke lo..."

"Hm?"

"Waktu gue masih kecil, gue ingat pernah bikin benda-benda di sekeliling gue melayang. Atau bikin bunga yang masih kuncup langsung mekar cuma karena gue pegang. Gue ngerasa itu nyata. Tapi nyokap gue bilang itu cuma mimpi. Menurut lo... gimana?"

"Itu nyata." Nedia berujar tegas. "Dan sejujurnya, sangat menarik. Setahu gue, Serpent yang bisa bikin bunga mekar dengan sentuhan cuma Serpent yang punya elemen Cahaya."

Hah?!

"Serpent dengan elemen Cahaya nggak umum di Dunia Bayangan. Mereka exceptional. Sampai sekarang, Serpent yang diketahui punya elemen Cahaya cuma Ariella Tedjaratri, Chyndar Tedjaratri, dua sepupu gue, gue sendiri dan..." Nedia melirik Basil. "... Basil."

Basil berdeham.

"Gue... nggak paham..."

"Perumpamaan gampangnya begini... di dunia lo, lo tahu kan ada individu-individu tertentu yang terlahir jenius? Mereka yang secara alami memang berbakat, dan bakat bawaan itu nggak bisa dikejar sama orang-orang biasa meski sudah berlatih super keras? Bakat yang bikin orang-orang jenius dianggap sebagai anak-anak ajaib? Di Dunia Bayangan, makhluk berelemen Cahaya dianggap kayak gitu."

"Jadi... gue jenius?"

"Nggak, lo pe'a." Basil menyela, lalu nyengir ketika Risa melotot padanya.

"Gue bisa katakan iya. Dengan energi yang lo punya, dan kalau lo memang berelemen Cahaya, lo punya potensi melakukan hal-hal besar." Nedia beralih ke Basil. "Tadi kamu bilang, ibu Risa manusia?"

"Sepenuhnya."

"Dan bokap lo?" Nedia bertanya lagi ke Risa.

"Udah meninggal waktu gue kelas enam SD. Beliau pelaut. Kapalnya tenggelam."

"Gue ragu kalau bokap lo benar-benar meninggal di kecelakaan itu." Basil tangkas menanggapi.

"Mayatnya dibawa ke rumah!" Risa membantah. "Dan gue sama nyokap gue rutin ziarah ke makamnya tiap tahun!"

"Berarti, yang meninggal itu bukan bokap lo."

Kata-kata Basil seketika membungkam Risa.

"Basil!" Nedia memperingatkan. "Jangan jahat gitu sama Risa! Info dump ini mungkin terlalu masif dan nggak bisa langsung dia cerna—"

Risa mereguk saliva. "Gue... gue nggak tahu harus gimana..."

Risa memang butuh waktu untuk memproses segala yang baru dia dengar. Di satu sisi, kata-kata Basil dan Nedia terdengar seperti omong kosong. Namun di sisi lain, kata-kata mereka ada benarnya. Risa tidak pernah punya teman. Dia butuh donor darah rutin. Luka-lukanya sembuh dengan cepat.

Dan lagi, logika macam apa yang bisa menjelaskan bagaimana Basil berubah wujud dari kecoak albino jadi pemuda tinggi berambut hitam yang sangat tampan?!

"Gue yakin, nyokap lo sebenarnya tahu lo ini apa. Nyokap lo juga kan yang rutin bawa lo ke rumah sakit untuk donor darah?" Basil menghela napas. "Bakal lebih gampang kalau kamu sendiri yang memeriksa Arx dia, Nedia. Dia clueless. Dia nggak tahu apa-apa tentang dirinya."

"Bisa sih begitu." Nedia menjawab. "Tapi apa Risa ngizinin aku meriksa Arx-nya?"

"Arx itu apa?"

"Pusat kendali jiwa dan kemampuan magis yang lo punya. Semacam dunia tersendiri yang ada dalam diri lo. Bentuknya bisa macam-macam, tergantung gimana pemilik Arx mendesain dan membentuknya. Ada yang bentuknya kayak istana di atas awan atau kastel yang seluruh bangunannya terbuat dari kaca. Penyusun utama bentang alam dalam Arx biasanya berhubungan sama elemen yang dipunya pemilik Arx."

"Oh..." Risa tidak terlalu paham, tapi dia mulai bisa membayangkan.

"Arx bisa dimasuki makhluk bayangan lain, asal yang punya mengizinkan. Atau yang punya mengajak makhluk bayangan lain masuk ke Arx-nya. Kalau lagi berada di dalam Arx, biasanya fisik lo akan berada dalam kondisi nggak sadar."

"Kayak pingsan gitu?"

"Bukan pingsan. Lebih kayak... diam. Mematung. Kehilangan fokus ke dunia nyata, karena jiwa lo sepenuhnya lagi berada dalam Arx." Basil meneruskan. "Arx adalah tempat paling rapuh dan gampang banget dihancurkan dari dalam. Kalau Arx hancur, eksistensi lo berakhir."

"Kedengarannya... seram."

"Berakhirnya eksistensi itu sama dengan kematian untuk kaum kita. Buat mereka yang mencintai hidup, kematian pasti kedengaran menakutkan."

Meski Risa tidak yakin dia punya tempat semacam itu dalam dirinya, rasa ingin tahunya meluap-luap.

Sebenarnya gue ini apa?

Kalau pun gue bukan manusia sepenuhnya, apa gue sehina itu sampai-sampai nggak ada yang mau dekat sama gue selain Mama?

"Gue nggak tau gimana caranya kasih izin, tapi kalau lo mau masuk ke—hng—masuk ke yang namanya Arx itu, gue nggak larang kok."

"Lo yakin?"

Risa mengangguk. "Gue juga mau tau tentang diri gue sendiri. Gue itu siapa... dan kenapa gue nggak pernah punya teman?" Risa menggigit bibir bawahnya. "Selama ini, gue cuma bisa mikir sendiri... kenapa nggak ada yang mau dekat sama gue? Cuma bisa iri lihat anak-anak cewek di kelas ke kantin bareng... atau janjian nonton rame-rame... lihat mereka pacaran..."

"Duh, ngenesnya..." Basil bersiul.

"Diam!" Risa mendelik.

"Oke, kalau gitu, Risa, lihat mata gue sekarang—"

Risa menoleh, seketika tercekat melihat iris mata Nedia yang cokelat terang berganti ke warna merah, lalu ungu dan kemudian biru terang. Mata itu menghisapnya ke sebuah tempat tidak bernama. Tubuhnya serasa melayang. Kemudian, Risa mendengar suara dentuman keras. Sikunya membentur lantai, menyebarkan denyut sakit.

Risa mengerjap, melongo heran. Di depannya, Nedia masih berdiri. Napasnya terengah-engah. Perlahan, warna biru di iris matanya memudar jadi ungu, merah dan kembali lagi ke cokelat terang.

"Are you okay?" Basil bertanya ke Nedia, terlihat cemas.

"Aku nggak apa-apa." Nedia menelan saliva. "Tapi barusan itu... aku nggak bisa."

"Nggak bisa apanya?"

"Aku nggak bisa menembus Arx Risa."

Risa bertanya takut-takut. "... apa itu... artinya jelek?"

"Nggak, nggak jelek. Itu artinya, ada sesuatu... entah itu energi atau kuasa magis yang membentengi Arx lo, yang bikin Arx lo nggak bisa ditembus bahkan dengan okulis—" Ekspresi wajah Nedia sukar dibaca. "—sesuatu yang gue rasa... sama dengan apa yang menghalangi gue menembus Arx Basil."

Basil kehilangan kata-kata, sedangkan Risa makin pusing.

"Ini konyol, tapi—"

"Tapi apa?" Basil memotong.

"Aku rasa... kalian berdua memang ditakdirkan untuk saling menemukan."

***

"Sebelumnya, gue minta maaf karena nggak bisa ngasih jawaban yang lo cari. Tapi yang dibilang Basil itu benar. Lo bukan sepenuhnya manusia. Lo setengah Serpent. Sampai kapan pun, nggak akan ada manusia yang mau dekat sama lo. Bukan salah lo. Juga bukan salah manusia-manusia itu sendiri. Lo memang nggak pernah menyakiti manusia, atau punya niat ke sana, tapi insting untuk survive itu insting yang kuat, bagian dari alam bawah sadar manusia itu sendiri."

Risa agak kecewa, namun dia juga paham kalau itu bukan salah Nedia. Yah, setidaknya sekarang dia tahu kenapa tidak ada yang mau berteman dengannya dan kenapa orang-orang di sekitarnya kerap memandangnya sebelah mata.

"Tapi jangan khawatir. Lo setengah Serpent, yang berarti lo berhak mendapat perlindungan juga pendidikan di akademi untuk membuka potensi yang tersimpan dalam diri lo. Setelah ini, gue akan minta perwakilan akademi dan perwakilan dari Keluarga Diwangka buat berkunjung ke rumah lo—"

"Hah, mau ngapain?!" Risa malah panik.

"Buat memastikan jati diri lo, sekaligus mengorek informasi dari nyokap lo. Tenang, mereka nggak akan nyakitin siapa pun, termasuk nyokap lo."

Risa masih ragu.

"Lo setengah Serpent, Risa. Lo nggak akan pernah bisa hidup normal kayak manusia pada umumnya. Selain itu, lo juga butuh perlindungan. Kalau lo ketemu shloka, mereka nggak akan segan-segan menghabisi lo. Lo perlu belajar cara melindungi diri sendiri."

"Shloka... itu apa?"

"Pemburu Bayangan." Basil menyahut. "Yah, lo ini setengah manusia, dan Pemburu Bayangan eksis untuk melindungi manusia dari makhluk bayangan, terutama Serpent. Energi lo lebih mirip energi Serpent daripada energi manusia. So... yah, kalau lo ketemu mereka, mereka pasti menghabisi lo."

"Waspada itu perlu, tapi jangan panik." Nedia menenangkan Risa. "Semuanya bakal baik-baik saja. Selama ini, Risa bisa nyembunyiin eksistensinya dengan sangat baik. Setelah ini, dia akan belajar di akademi supaya bisa ngelindungin dirinya sendiri. Lo percaya sama gue kan, Risa?"

Percaya?

Dalam situasi normal, pasti Risa membantah. Bagaimana bisa dia percaya pada Nedia yang belum sampai dua jam dia kenal? Namun, cara bicara Nedia yang apik, ekspresi wajahnya yang teduh dan kata-katanya yang menenangkan berhasil membuat Risa mengangguk.

"Nggak ada lagi yang bisa gue jawab, atau gue jelaskan. Tapi karena kita udah di sini... gimana... kalau kita jalan-jalan dulu?"

Basil dan Risa saling pandang.

"Dufan kan di dekat sini!" Nedia berseru, matanya penuh harap. "Gue belum pernah ke Dufan sama teman-teman sebelumnya!"

Risa agak salah tingkah. "Gue juga... belum pernah ke Dufan sama teman-teman..."

"Pas banget kan?!"

"Haduh, ini sih bukan jalan ke Dufan namanya, tapi jagain cewek-cewek!" Belum apa-apa, Basil sudah mengeluh.

"Ke Dufan sambil jagain cewek-cewek." Nedia mengoreksi. "Kamu bersedia ikut kan, Basil?"

Basil pura-pura batuk. Sebenarnya sih, dia gengsi. Dia paling malas berurusan dengan para gadis, apalagi mesti mengikuti mereka ke mana-mana macam bayangan di tempat yang panas dan ramai seperti Dufan.

Akan tetapi, selain masih penasaran sama Risa, Basil juga tidak kuasa menolak permintaan Nedia. Saat mereka berdua masih sama-sama di akademi, ketika semua orang menganggapnya sebagai beban dan harus dijauhi karena terlalu lemah, cuma Nedia yang memperlakukannya dengan baik dan mau jadi temannya.

"Oke."

"Risa?"

"Uh... oke..."

***

Mendekati jam sebelas siang, mereka bertiga meninggalkan basecamp Nedia.

Matahari bersinar terik, tapi tak menggigit. Embus angin mengikuti ke mana pun mereka pergi, membuat hawa di sekitar mereka jadi tidak terlalu gerah. Risa rasa, angin sejuk yang mengikuti mereka itu datang dari Nedia.

Sebelum ke Dufan, mereka mampir sebentar di sebuah toko pinggir jalan yang menjual beraneka topi.

"Pilih aja topi yang kalian mau." Nedia mempersilakan.

"Gue nggak pakai topi juga nggak apa-apa kok." Risa menolak halus. "Gue udah biasa kepanasan soalnya."

"Alah, ngeles. Bilang aja lo sayang duit buat beli topi." Basil meledek.

Risa merengut. "Nggak gitu—"

"Santai aja, Nedia itu kaya-raya, mau itu di Dunia Bayangan, atau di Dunia Terang! Topi ginian sih kecil buat dia! Lagian, kita perlu pakai topi biar nggak terlalu menarik perhatian orang-orang! Kalau soal panas matahari doang sih, Nedia bisa bikin langit mendung dalam sekejap!"

Buset, dia juga sebangsa pawang hujankah?!

"Lo bisa bikin langit mendung?"

"Sebenarnya nggak tepat dibilang bikin langit mendung. Gue cuma menggerakkan awan aja. Lo tau kan, awan itu gampang berpindah tempat karena ketiup angin? Yang gue lakukan cuma mempercepat geraknya aja biar pindah ke bagian langit yang lain." Nedia menjelaskan dengan suara rendah supaya cuma mereka saja yang mendengar. "Pilih topi yang lo mau. Bebas."

Risa memilih bucket hat berwarna senada dengan outfitnya—sama seperti Nedia, sedangkan Basil memilih baseball cap warna hitam.

Kenapa ya... cowok tuh jadi berkali lipat lebih ganteng kalau lagi pakai baseball cap? Risa membatin, sesekali curi-curi pandang ke Basil.

Baseball cap yang berwarna gelap kontras dengan warna kulitnya yang terang. Karena dia memakai cap, bagian atas wajahnya sampai ke bawah mata jadi agak tersembunyi, menegaskan lekuk hidungnya yang tinggi dan mancung.

"Apa lihat-lihat?" Basil mendesis, membuat Risa tersentak.

"Karena gue punya mata, makanya gue lihat-lihat!" Risa berdalih.

Nedia terkekeh. "Astaga... kalian tuh nggak capek apa debat mulu dari tadi?"

Sinar matahari yang tadinya cukup garang lambat-laun melembut. Ketika Risa menengadah, dia kumpulan awan-awan di langit yang berada di atas mereka. Bukan tipe awan kelabu tebal yang biasa jadi penanda datangnya hujan, tapi mendung yang sebatas membuat cahaya matahari meredup.

Mereka naik Transjakarta menuju Dufan. Meski sudah melihat Nedia membayar belanjaan mereka di toko topi, Risa tetap tidak bisa menyembunyikan kekagetannya ketika tahu Nedia punya beberapa kartu flazz di dompetnya.

"Nyiapin aja, just in case ada yang tiba-tiba nyusulin gue dan mereka butuh pakai kartu flazz atau e-money." Nedia memberitahu.

"Yang nyusulin itu pengawal-pengawalnya." Basil menambahkan, menujukan informasi itu untuk Risa.

"Lo punya pengawal?! Anjrit, kayak princess aja! Ada pengawalnya segala!"

"Beberapa teman baik, bukan pengawal." Nedia mengoreksi.

"Oh, jadi bukan pengawal beneran?"

"Bukan."

"Oh..." Risa manggut-manggut.

Setibanya di Dufan, lagi-lagi Nedia yang membayar tiket masuk. Kali ini menggunakan kartu kredit berwarna hitam. Risa sudah tidak terlalu syok lagi, walau tak bisa dipungkiri, pikirannya dipenuhi tanya.

Gimana caranya Nedia yang bukan manusia bisa punya kartu kredit platinum kayak gitu?

Selain itu, kalau Risa pikir-pikir lagi, baik Nedia dan Basil sama-sama luwes saat berkomunikasi dengannya. Mereka jauh dari kesan gaptek, tampak sangat memahami teknologi yang familiar dalam rutinitas harian manusia-manusia ibukota.

Risa jadi makin penasaran, Dunia Bayangan itu dunia yang seperti apa.

Wahana pertama yang mereka kendarai adalah arung jeram. Satu perahu hanya diisi mereka bertiga. Padahal hari ini hari Minggu, dan ada banyak orang yang mengantre di belakang mereka. Tapi tidak ada yang mau satu perahu dengan mereka. Sebelum-sebelumnya, Risa sering bitter tiap diperlakukan seperti itu. Namun kali ini, dia lebih santai. Mungkin karena ada Basil dan Nedia bersamanya, jadi dia tidak merasa sendirian. Dia merasa punya teman.

Wait... teman?

Sepertinya terlalu dini untuk menyebut Basil dan Nedia teman, meski jelas mereka memperlakukannya dengan baik.

Kalau gue ngikutin omongan Nedia tadi... soal akademi... apa mungkin nantinya gue bakal punya teman?

Yah, mereka bukan manusia sih, tapi kalau mereka bisa nge-treat gue lebih baik dari teman-teman di sekolah yang manusiakalau dengan begitu gue bisa punya teman dan nggak sendirian lagi...

Lamunan Risa terpecah sewaktu perahu yang mereka tumpangi terguncang karena bertabrakan dengan gelombang air. Air yang terciprat membuat wajah Risa terbasuh hingga kuyup. Risa batuk-batuk karena sempat tersedak.

"Makanya jangan ngelamun!" Basil berseru.

"Siapa yang melamun?!" Risa membantah.

"Dari tadi lo melongo nggak jelas—" Perahu mereka berguncang lagi, disusul air yang menciprati Basil dari belakang. Bajunya basah seketika.

"Rasain!" Risa berseru puas, bikin Basil merengut.

Mereka mengakhiri perjalanan arung jeram mereka dengan baju basah. Dari ketiganya, baju Risa yang paling kuyup.

"Abis mandi di mana lo?" Basil mengejek, membuat Risa menatapnya penuh dendam. "Untung aja lo nggak bisa masuk angin! Kalau nggak, kayaknya besok fix lo meriang."

"Basil, jangan ngeledek Risa terus!" Nedia membela Risa. "Baju yang basah itu urusan gampang! Tapi pertama-tama, kita harus cari toilet dulu."

"Mau ngapain? Lo kebelet?" Risa mengangkat alis.

"Nggak, tapi kita perlu keringin baju."

"Hah, maksudnya?"

"Udah, ikut aja yuk!" Nedia menggandeng Risa. Basil malas-malasan mengikuti.

Begitu menemukan toilet yang mereka cari, Nedia menarik Risa masuk ke sana. Mereka sempat antre, meski tidak terlalu lama.

"Eh—" Risa tercekat ketika Nedia membawanya masuk ke dalam kubikel toilet yang sama.

"Ssttt."

"Tapi apa kata orang-orang di luar kalau mereka lihat kita masuk bareng ke sini—"

"Mereka nggak akan bilang apa-apa, karena nanti setelah kita keluar dari sini, mereka bakal lupa sama apa yang udah mereka lihat." Nedia tersenyum, lantas tangannya bergerak.

Hanya gerak sepele yang singkat, tapi tetap mampu membuat Risa terpesona. Gerakan tangan Nedia bagai bagian sebuah koreografi anggun nan indah. Mengikuti gerakan tangannya, bulir-bulir air terangkat dari pakaian Risa, melayang sejenak sebelum akhirnya menguap bersama udara. Dalam sepersekian detik, baju Risa yang semula basah kuyup kering sempurna.

"See?"

Risa mengerjap takjub. "Wow—"

"Kalau lo diajari oleh orang yang tepat dan bisa maksimalin potensi yang lo punya, lo bisa melakukan lebih dari apa yang baru gue lakukan." Nedia memberitahu setelah dia mengeringkan pakaiannya sendiri.

"Misalkan... gue nurutin omongan lo yang tadi... soal akademi dan... yang lainnya..." Risa terbata. "Apa gue bakal diajari sampai bisa jadi... kayak lo?"

Nedia mengangguk. "Malah, gue bakal senang banget kalau dikasih kesempatan mengajari lo secara langsung. Elemen kita sama-sama Cahaya. Biasanya, pengajar dan yang diajar selalu punya elemen yang sama. Waktu masih di akademi, gue banyak belajar dari Ariella, salah satu dari sedikit Serpent yang punya elemen Cahaya. Tapi gue ragu mereka bakal kasih gue izin. Mereka nolak ketika gue mengajukan diri buat ngajarin Basil. Sayangnya, dua sepupu gue juga nggak ada yang bersedia ngebimbing dia, dan gue nggak bisa memaksa mereka. Buat lo... gue nggak tau nantinya bakal gimana. Tapi seandainya gue nggak diizinin, gue akan berusaha bujuk salah satu dari sepupu gue supaya mereka mau ngajarin lo."

"Kenapa... Basil perlu dibantu?" Dari sekian banyak yang Nedia katakan, Risa tertarik pada kata-katanya tentang Basil.

"Karena dia nggak sekuat yang seharusnya. Dan setiap siswa selalu butuh master." Nedia terlihat sedih. "Tapi yah... gue nggak berhak menceritakan kenapa dia begitu ke lo. Itu ceritanya Basil. Cuma Basil yang boleh cerita."

Mereka keluar dari toilet, terus lanjut ke wahana-wahana berikutnya. Risa paling puas ketika mereka naik Tornado. Basil yang tadinya sok tengil langsung pucat pasi begitu wahana tersebut melambungkan mereka ke udara. Dia menjerit keras-keras ketika mereka dibolak-balik di ketinggian, terus muntah saat mereka sudah turun dari wahana.

"Aduh, cemennya cowok ini! Baru naik Tornado aja udah muntah-muntah kayak bumil ngidam..." Risa meledek.

Basil melotot sambil kumur-kumur pakai air mineral, sedangkan Nedia mengusap punggungnya sembari memasang muka prihatin.

Mereka meneruskan berpetualang dari wahana ke wahana. Kebanyakan bukan wahana ekstrem, karena Basil sudah trauma duluan setelah naik Tornado.

Saat menemukan photobox, mereka pun mampir buat berfoto bareng. Tidak tanggung-tanggung, mereka foto-foto sampai tiga sesi. Risa belum pernah pakai photobox sebelumnya, apalagi sama teman-teman. Makanya, dia agak mellow waktu Nedia menyodorkan selembar foto mereka dalam empat frame yang semuanya beda-beda gaya.

"Lo simpan yang ini—Basil, yang ini buat lo—dan yang ini, gue yang simpen." Nedia nyengir. "Cute banget ya? Selama ini, gue cuma pernah photobox sama Alka, Denzel dan Novel. Mereka kaku banget kalau foto, cuma diem dan natap kosong ke kamera. Yang ini gemas, apalagi Basil—gue nggak nyangka ternyata lo jago juga masang ekspresi duck-face—"

Basil mendesah ketika melirik foto yang berada di tangannya. "Ah, sial! Tadi tuh gue mati gaya! Mana timer-nya cepet banget! Jadi gue berpose nggak pakai mikir—"

"Tapi bagus." Nedia tertawa kecil. "Risa juga cantik banget di sini."

Gue... cantik?

Risa menelan saliva. Sesuatu yang baru lainnya. Dia tidak pernah dipuji cantik selain oleh ibunya. Dipuji cowok mungkin terasa menyenangkan, tapi dipuji sesama cewek... apalagi yang sangat cantik seperti Nedia... rasanya... luar biasa. Risa tidak kuasa berkata-kata. Nedia terdengar tulus, selayaknya teman yang lagi memuji teman ceweknya.

Risa tidak tahu apakah dia bisa menganggap Nedia temannya. Mereka baru saja kenal. Namun, Nedia jelas memperlakukannya seperti teman. Mereka naik wahana bareng, bergandengan tangan ketika berjalan di antara keramaian, saling cicip es krim karena mereka beli rasa es krim yang berbeda, ke toilet bareng, berpose konyol di dalam photobox.

Itu yang biasa dilakukan gadis-gadis bersama teman-teman mereka, kan?

Risa belum berani menjawabnya.

Tersadar hari sudah menjelang sore, Nedia mengajak Basil dan Risa ke Seaworld. Mereka tiba di sana satu setengah jam sebelum tempat itu tutup. Ketiganya menyusuri sudut tiap sudut, menonton ikan-ikan berenang dalam akuarium. Basil masih keliling-keliling ketika Nedia dan Risa melipir ke Jellyfish Sphere, tempat di mana akuarium berisi ubur-ubur ditempatkan. Suasananya gelap, membuat ubur-ubur dalam akuarium terlihat bercahaya.

Mereka berdiri di depan salah satu bagian akuarium yang berbentuk lingkaran. Risa ternganga. Dia belum pernah ke sana sebelumnya. Ibunya selalu sibuk bekerja dan dia tidak punya teman untuk diajak ke sana. Keindahan makhluk bawah laut itu menghipnotisnya. Tanpa sadar, Risa menempelkan telapak tangannya di kaca akuarium.

Mulanya, hanya satu ubur-ubur yang berenang mendekat ke tangannya yang melekat ke kaca akuarium. Namun makin lama, ubur-ubur yang berkumpul makin banyak. Lalu pada akhirnya, semua ubur-ubur dalam akuarium itu berdesakan di dekat kaca.

"Ya ampun—"

"Mereka ngumpul di situ karena energi lo." Nedia berujar lembut. "Sekitar setengah dari total spesies ubur-ubur bisa menghasilkan cahaya. Kalau berdasar ilmu sains di dunia manusia, kemampuan itu disebut luminescence. Mereka menggunakan cahaya yang mereka hasilkan untuk melindungi diri. Manusia menjauhi lo karena merasa terancam, tapi ubur-ubur yang ada di sini... mereka mengenali lo sebagai sesama makhluk cahaya. Karena sama kayak mereka, kekuatan lo sumbernya dari cahaya."

Risa menelan saliva.

"Nggak apa-apa kalau lo masih ngerasa semuanya susah dimengerti. Wajar kalau lo kaget. Lo dapat terlalu banyak informasi hari ini. Pasti butuh waktu buat mencerna semuanya. Tapi setelah hari ini, lo nggak bisa kembali ke rutinitas hidup lo yang lama. Semuanya sudah berubah."

"Kalau... kalau nanti gue akademi... apa pun itu... tempat yang lo sebut tadi—" Susah payah, Risa berusaha menyusun kata-katanya. "Apa kita bakal ketemu lagi?" Risa menghela napas. "Gue nggak tau gue boleh bilang gini apa nggak, tapi ini pertama kalinya gue jalan-jalan sama orang-orang yang kayak... teman. Gue nggak pernah foto di photobox sebelumnya. Nggak pernah jalan-jalan ke Dufan, gandengan sama teman cewek, makan es krim bareng. Karena kayak yang lo tau, nggak ada yang mau dekat sama gue." Risa mengambil jeda untuk menata perasaannya. "Lo... memperlakukan gue kayak teman."

"Tentu, kita bisa temenan." Nedia menarik senyum. "Jujur, sebenarnya sama kayak lo... gue pun nggak pernah punya teman dekat cewek. Apalagi yang sama-sama punya elemen Cahaya kayak gue."

"Hah, masa?!"

Sukar bagi Risa membayangkan kalau tidak ada yang mau berteman dengan Nedia. Gadis itu bukan hanya cantik, tapi juga ramah dan baik hati. Pembawaannya lembut, elegan dan menyenangkan. Berada di dekatnya membuat Risa nyaman.

Nedia mengangguk. "Kayak yang gue bilang tadi, cuma ada sedikit Serpent yang terlahir dengan elemen Cahaya. Selama di akademi, gue temenan sama Basil. Tapi ya... teman cowok dan teman cewek itu beda, kan? Ariella terlalu sibuk buat nemenin gue jalan-jalan nggak penting. Begitu juga sama Lara."

"Lara?"

"Sepupu gue."

"Oh..." Risa manggut-manggut paham. "Terus sepupu lo yang satu lagi? Tadi lo bilang sepupu lo ada dua."

"Dia cowok, kembarannya Lara." Nedia nyengir. "Kalau Luka sih... bukan cuma sibuk ke sana-kemari ngurus misinya, dia juga nggak ekspresif. Masih lebih enak ngajak Novel atau Denzel ke mana-mana. Lebih seru ngobrol sama tembok daripada sama Luka."

"Oh..."

"Lo nggak perlu khawatir soal nantinya bakal gimana. Gue nggak akan mengabaikan lo begitu aja. Lo setengah Serpent, yang artinya, lo berada dalam tanggung jawab Keluarga Diwangka juga. At least, kita harus bantu lo figure out lo sebenarnya siapa, dan bantu lo belajar supaya bisa melindungi diri lo, terutama dari para shloka." Nedia menjelaskan. "Di luar itu, gue akan sangat happy kalau bisa jadi teman lo."

"Thank you."

"My gratitude goes to you too, Risa."

"It's Trisha."

"Hm?"

"Nama gue. Trisha."

Nedia tersenyum lagi. "Nama yang cantik. Cocok buat lo."

Risa balik tersenyum.

***

Mereka berpisah jalan setelah petang.

"Basil, ini bukan cuma permintaan, tapi tugas. Antar Trisha ke rumahnya dengan selamat. Jangan mampir ke mana-mana lagi. Selama beberapa hari ini, aku harap kalian berdua tetap saling komunikasi."

"As you wish, Princess."

"Dan Trisha, sori banget karena gue nggak bisa ikut ngantar lo pulang." Nedia beralih ke Risa. "Tapi dalam beberapa hari, gue bakal nemuin lo lagi kok! Jangan cemas soal nyokap lo. Kayak yang dibilang Basil, gue yakin beliau pun tahu lo itu apa. Jangan overthinking. Oke?"

Risa mengangguk. "Oke."

"Tapi kenapa kamu buru-buru banget?" Basil bertanya. "Dan tumben banget, sampai sekarang, nggak ada satu pun dari Alka, Denzel atau Novel yang muncul buat jemput kamu?"

"Aku perlu ketemu seseorang."

"Siapa?"

"Rahasia, Basil."

"Jangan aneh-aneh." Basil mengingatkan. "Kalau Luka tahu—"

"Luka nggak perlu tahu. Dan nggak akan tahu. Aku berencana langsung pulang ke Raudra setelah aku ketemu orang ini."

"Ya, ya. Best luck on your personal mission, then." Basil mengangkat bahu. "Yuk, kita pulang!"

Risa melambai ke Nedia, kemudian berbalik dan berlari kecil mengejar Basil yang sudah lebih dulu melangkah pergi. Nedia tetap di sana, memandangi punggung Risa dan Basil sampai keduanya menghilang di tengah keramaian, kemudian dia pergi ke arah lain.

Nedia bisa saja memelesat cepat bagai kelebatan angin untuk mencapai tempat yang dia tuju, tapi dia memilih menggunakan cara manusia. Ini Minggu malam, di mana jalanan dan tempat umum sedang ramai-ramainya oleh orang. Ada resiko dia bisa menabrak manusia atau kendaraan, dan itu akan jadi fatal buat mereka yang ditabraknya.

Setelah mengendarai Transjakarta beberapa lama, Nedia turun di salah satu halte pemberhentian. Dari sana, dia melangkah menuju tempat pertemuan yang sudah disepakati; sebuah rumah kosong yang telah lama ditinggalkan pemiliknya. Rumah itu besar, tapi bangunannya tidak lagi utuh. Ada tanaman tumbuh merambat di dinding depan, bagian dalam dan serta atap rumah yang hanya tersisa separuh. Warga sekitar cenderung menjauhi tempat itu karena menganggapnya berhantu.

Nedia belum lagi benar-benar tiba di sana ketika sejumlah sosok bertudung kelam muncul dari bayang-bayang. Wajah mereka tidak terlihat jelas, tapi dari kulit mereka yang kelabu serta cincin berbatu giok ungu di jemari mereka, Nedia langsung tahu siapa mereka sebenarnya. Para shloka.

"Sedang berjalan-jalan sendirian, Tuan Putri?"

Nedia menarik senyum tipis. Ketenangan tidak meninggalkan wajahnya. "Aku memberi kalian waktu sepuluh detik untuk meninggalkan tempat ini kalau kalian masih ingin hidup."

"Apa itu ancaman?"

"Peringatan." Nedia mengoreksi dengan nada manis. "Sekaligus belas kasihan."

"Kematian terdengar lebih agung ketimbang belas kasihan dari makhluk sepertimu."

"Well—kalau begitu, aku tidak punya pilihan lain."

Sebelum ucapannya sempat berbalas, Nedia sudah lebih dulu menggerakkan tangannya, menciptakan ilusi magis yang mengelilingi mereka. Ilusi magis itu penting untuk menyamarkan mereka dari manusia yang mungkin melintas.

Dua shloka menyerbu Nedia. Pedang perak yang mereka genggam memantulkan cahaya bulan. Nedia bergeming di tempat. Saat jarak dua shloka itu sudah cukup dekat, dia menghentakkan kakinya ke tanah, menciptakan lapisin tipis es yang menjalar cepat menuju dua penyerangnya. Tubuh mereka terbekukan dari ujung kaki sampai pergelangan tangan, membuat mereka tidak bisa bergerak.

Hanya dalam sekedipan mata, Nedia melesat dan meraih pedang-pedang perak dari tangan mereka, kemudian meremukkan tubuh-tubuh yang sudah separuh beku dalam pelukan es hanya dengan satu gerakan tangan. Darah merah gelap mengalir, yang kemudian menguap ke udara. Potongan tubuh yang berserakan ikut menguap, menyisakan tumpukan abu berwarna kelabu.

Nedia memainkan dua pedang perak di kedua tangannya. Bilah tajamnya berkilau saat meliuk di udara. "Kalian memilih lawan yang salah."

Lima shloka yang tersisa terlihat geram. Mereka lanjut menyerang Nedia secara membabi buta. Nedia tidak gentar sama sekali. Dia menatap ke depan dengan tenang, kedua tangannya menyilangkan pedang, menunggu beberapa detik untuk memperhitungkan jarak, lalu berlari menyongsong para penyerangnya.

Gerak tubuhnya luwes dan ringan, membuatnya lebih terlihat seperi sedang menari ketimbang bertarung. Satu sabetan ke leher, satu sabetan lainnya menusuk jantung. Darah terciprat ke wajahnya ketika dia menarik pedangnya dari tubuh salah satu shloka, kemudian dia melanjutkan dansanya yang letal.

Pedangnya menembus tubuh para shloka semudah pisau roti menusuk bongkahan mentega. Satu demi satu shloka tumbang, menyisakan shloka terakhir yang berdiri dengan wajah pucat pasi. Malang, sebelum shloka itu sempat kabur, Nedia sudah lebih dulu menatapnya... dengan mata cokelat terang yang berubah warna menuju merah... lalu ungu... kemudian biru cerah. Sepersekian detik kemudian, shloka itu tumbang ke tanah. Tubuhnya menguap hingga meninggalkan abu.

Nedia membuang napas, mengeluh dalam hati saat sadar bagian depan pakaiannya ternoda oleh cipratan darah yang tak bisa dibilang sedikit.

Kalau Luka sampai melihat ini...

Suara batin Nedia tidak sempat terlanjutkan, sebab sekonyong-konyong, dia mendengar suara teriakan.

Itu jeritan Risa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top