BOOK I - CHAPTER FOUR

"Gue bisa pulang sendiri kok!"

Risa bilang begitu saat mereka hampir mencapai halte bus, membuat Basil refleks menoleh padanya. Mata mereka bertemu. Hanya sebentar, karena Risa langsung buang muka. Menatap Basil lama-lama membuatnya salah tingkah sendiri.

"Jujur, gue juga malas sih ngantar lo balik!"

Astaga, dia nih nggak bisa basa-basi dikit apa ya?!

Risa masih cemberut ketika ujung kakinya terantuk batu berukuran cukup besar yang berada di tengah trotoar. Pencahayaan yang minim membuatnya tidak melihat batu tersebut. Risa tersandung, tapi untungnya tidak sampai tersungkur jatuh.

"Awas jatuh!" Basil berseru jail.

Risa mendelik sewot. "Telat!"

"Lah, kok malah ngamuk?"

"Nggak ngamuk!" Cengiran Basil membuat Risa makin jengkel. "Yaudah! Kalau lo emang malas ngantar gue balik, sana balik duluan! Gue bisa balik sendiri! Selama ini, gue juga selalu ke mana-mana sendiri!"

"Pengennya gue sih gitu, tapi sayangnya nggak bisa. Nedia udah kasih perintah. Gue harus ngantar lo sampai rumah. Titik."

"Gue nggak akan bilang-bilang Nedia. Dia nggak akan tahu kalau gue pulang sendiri."

"Nggak bisa! Pokoknya gue harus antar lo sampai rumah!"

"Nurut amat. Apa jangan-jangan... lo takut sama dia karena dia sakti mandraguna ya?"

Basil tertawa keras. "Kalau menurut standar manusia... Nedia emang bisa masuk kriteria sakti mandraguna sih. Tapi gue nggak takut sama dia. Gue setia. Dan gue respect dia."

Susah bagi Risa untuk percaya kalau pemuda setengil Basil bisa punya rasa hormat pada orang lain.

"Respect atau... sebenarnya lo suka sama Nedia?"

Basil mengangkat bahu. "Not in that way."

"In what way?"

"Dalam cara yang romantis. Pasti itu yang lo pikirin kan?" Basil menjawab. "Kami masuk ke akademi pertama kali berbarengan. Di satu angkatan yang sama. Nedia lulus dua tahun yang lalu. Di angkatan kami, cuma kami berdua yang punya elemen Cahaya. Nggak heran, dia jadi lulusan terbaik."

"Dia pintar banget ya?"

Basil mengangguk. "Pintar dan kuat. Meski awalnya, orang-orang mandang Nedia lemah. Memperlakukan dia kayak guci mahal yang harus dipegang secara hati-hati. Tapi setelah dia ngalahin Luka dalam duel satu lawan satu, nggak ada yang berani meragukannya. Yah, sempat ada selentingan rumor yang bilang kalau Luka sengaja mengalah ke sepupunya, tapi gue nggak percaya. Kalau Luka beneran ngalah, dia nggak akan menghabiskan waktu empat hari penuh untuk memulihkan diri dari cedera."

Mendengar nama Luka kembali disebut, Risa jadi penasaran akan lelaki itu.

Seperti apa tampangnya dan apa yang sudah dia lakukan sehingga Basil dan Nedia bicara tentangnya seakan-akan dia adalah legenda hidup?

"Kayak yang tadi sudah dibilang Nedia, Cahaya itu elemen penting buat Dunia Bayangan. Elemen sakral yang lebih tinggi dari keempat elemen lainnya. Cahaya adalah penentu bayang-bayang. Gelap-terang ditentukan sama ada nggak adanya Cahaya. Dan berdasar legenda, bangsa Serpent bermula dari Serpentine. Salah satu malaikat dari Dunia Gelap yang tercipta dari cahaya." Basil meneruskan ucapannya. "Serpent yang punya elemen Cahaya dipandang sebagai sosok-sosok ajaib. Ditakdirkan untuk kejayaan. So far, semuanya emang begitu. Kecuali gue."

"... kenapa?"

"Soalnya gue payah. Gue bahkan belum pernah masuk ke Arx gue sendiri. Gue nggak bisa menggunakan energi magis. Wajar kalau seisi akademi menganggap gue nista. Semuanya menjauhi gue. Cuma Nedia yang baik sama gue. Makanya, gue benar-benar menghormati dia. Kalau Nedia nyuruh gue lompat ke jurang, pasti bakal gue lakuin tanpa banyak tanya. Walau yah, Nedia nggak akan begitu sih."

"Oh..."

Lalu sekonyong-konyong, Basil berseru. "Eh—ya ampun, gue lupa minta kartu flazz ke Nedia!"

"Lah?!" Risa terhenyak, ikut-ikutan kaget. "Coba cek lagi yang benar!"

Seringai tengil Basil tertarik. "Kaget ya?"

"Ada nggak kartu flazz-nya?!"

"Ada." Basil tergelak, bikin beberapa orang yang lagi sama-sama menunggu bus di halte kompak menoleh. Sebagian langsung buang muka sesaat kemudian, sedangkan beberapa gadis remaja malah sengaja berlama-lama menatap Basil. Sorot mata mereka mengesankan mereka tengah terpesona. "Bercanda doang. Tapi ternyata muka kaget lo tuh—"

"Muka kaget gue kenapa?!"

"Jelek."

Risa merengut.

"Oke, gue bercanda. Lo nggak jelek. Sebenarnya sih, lo cukup cute. Imut. Lucu. Seandainya lo bisa kontrol emosi lo itu sedikiiiiiiit aja!"

"Cewek sekalem Putri Solo juga bisa emosian kalau mesti ngehadapin cowok tengil kayak lo!"

Basil nyengir lagi.

Tidak lama kemudian, bus yang mereka tunggu tiba. Mereka masuk belakangan. Basil memimpin jalan. Risa mengekor di belakangnya.

Bus lumayan penuh, tapi mereka tidak sampai harus berdesakkan. Hanya tersisa satu kursi kosong. Risa sangka, Basil bakal mengambil tempat duduk itu untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata, pemuda itu cukup gentleman.

"Duduk." Basil berujar seraya meraih tsurikawa.

"Ceritanya lagi mau jadi gentleman nih?"

"Yaudah, kalau lo nggak mau, gue aja yang duduk!"

"Siapa bilang nggak mau?!" Risa buru-buru menempati kursi kosong itu. "Gue cuma kaget dikit karena ternyata lo nggak sekeji yang gue kira."

"Jangan baper." Basil menukas. "Lo bukan tipe gue."

Wajah Risa memerah. "Siapa juga yang mau baper?! Rada heran sih iya, soalnya lo kan suka banget lihat gue kesusahan!"

"Buat hari ini, gue udah cukup bikin lo kesusahan. Masih ada besok-besok." Basil nyengir. "Baguslah kalau lo nggak baperan! Hebat juga sih. Soalnya gue jelas-jelas cowok pertama yang ngajak lo jalan dan ngobrol. iya, kan?"

Risa memberengut. Dia ingin membantah, namun faktanya memang demikian. Jika dipikir-pikir, nelangsa betul. Dia hampir 18 tahun. Sudah menuju kedewasaan. Tapi jangankan merasakan momen uwu, dilirik lawan jenis saja Risa tidak pernah!

Bus berhenti di pemberhentian selanjutnya. Penumpang yang duduk di sebelah Risa beranjak. Tergesa, dia bergegas turun. Basil tersenyum puas, kemudian duduk di kursi yang baru saja kosong.

"Energi lo kayaknya kuat banget ya. Gue cukup sering main-main ke sini, tapi nggak pernah dijauhi sampai segitunya."

Risa balik berbisik. "Soalnya lo cakep."

"Lo juga cakep kali."

Risa terdiam.

"Jangan baper."

"Nggak baper!"

Pintu bus sudah hampir menutup sewaktu tangan milik sesosok laki-laki tinggi berpakaian serba kelabu menahannya, membuatnya kembali terbuka. Lelaki itu masuk bus, terus berjalan hingga melewati tempat duduk Basil dan Risa. Dia berhenti di area paling belakang bus. Karena tidak ada kursi kosong yang tersisa, dia berdiri. Tubuhnya menjulang kaku di tengah-tengah koridor bus, tegak tanpa berpegangan pada tsurikawa.

Basil sempat meliriknya sekilas. Saat laki-laki itu melewati tempat duduk mereka, Basil bisa merasakan hawa dingin yang ganjil. Naluri Basil mengatakan kalau lelaki itu bukan manusia.

Basil mencoba menjaga ketenangannya. Dia mencondongkan tubuh ke arah Risa, berkata lirih. "Kita turun di halte berikutnya."

"Loh?" Risa mengerjap. "Tapi kan masih jauh—"

"Jangan bantah. Darurat."

Wajah Risa memucat. "Kenapa?"

"Kayaknya di bus ini ada shloka."

"Shlo—apa?"

"Pemburu Bayangan."

Kontan, Risa terbungkam.

"Laki-laki yang tadi baru masuk. Dia berdiri di belakang. Jangan ngelihat ke dia. Pura-pura nggak tahu aja."

Risa tidak tahu persisnya apa yang bisa dilakukan Pemburu Bayangan terhadap mereka, tapi dari cerita Nedia, Pemburu Bayangan tampaknya sangat berbahaya.

Perjalanan menuju pemberhentian berikutnya terasa sangat panjang. Begitu bus yang mereka tumpangi berhenti, Basil cepat-cepat meraih tangan Risa, menariknya melangkah menuju pintu. Dalam waktu singkat, mereka sudah separuh berlari di trotoar. Risa sempat coba-coba menoleh ke belakang. Kengerian menyergapnya manakala tersadar kalau laki-laki yang berada di bus tadi memang mengikuti mereka.

"Gimana kalau kita cari tempat ramai?" Risa mengusulkan sambil terengah. Dia agak kesulitan mengimbangi langkah-langkah Basil yang panjang. Pemuda itu setidaknya sekepala lebih tinggi darinya. "Mungkin kalau di tempat ramai, dia nggak akan berani ngapa-ngapain—"

"Percuma." Basil berkata. "Semua makhluk bayangan bisa menciptakan ilusi magis. Bisa bikin barrier yang menyamarkan kita dari pandangan manusia. Selama kita berada di dalam barrier, mau kita saling bantai sekalipun, manusia nggak akan peduli. Mereka bakal mengabaikan kita kayak mengabaikan kerikil di pinggir jalan."

"Terus kita harus gimana?!" Risa jadi kalut.

"Berusaha agar nggak tertangkap. Kalau kita masuk dalam radius serangannya, kita tamat."

"Lo nggak bisa melawan mereka?"

"Ngubah wujud gue dari kecoak ke bentuk semula aja gue harus nyari Nedia, apalagi melawan shloka?!" Basil mulai gusar. "Aduh, gerak lo lambat banget sih!"

"Kaki gue pendek!"

Mereka berbelok meninggalkan jalan besar, masuk ke jalan permukiman yang lebih kecil. Shloka yang mengikuti mereka tidak menyerah. Mereka kembali berbelok ke jalan baru. Maksudnya untuk menyamarkan jejak. Tapi percuma, energi mereka bisa dideteksi shloka itu dengan mudah.

Keseringan berbelok di lingkungan permukiman yang masih asing membuat Risa dan Basil berakhir di seruas jalan sepi. Jalanan itu sangat lengang. Bangunan rumah di kiri-kanan jalan sudah lama dibiarkan kosong. Tampilan rumah-rumah itu kusam. Pagarnya karatan. Penerangan yang terbatas mencipta keremangan yang mencekam.

Basil tercekat saat dua shloka lainnya mengadang di depan mereka. Pakaian mereka tersamar oleh gelapnya malam, tapi batu giok ungu di cincin mereka tampak mencolok dalam temaram. Kulit mereka sangat pucat, membuat Risa merasa mereka lebih mirip patung porselen ketimbang manusia.

"Kami sedang buru-buru." Basil berusaha tetap tenang. "Dan kami tidak mengganggu siapapun. Aku sedang dalam perjalanan mengantarnya pulang. Di rumah, ibunya yang manusia sedang menunggunya. Ibunya akan cemas kalau dia sampai tidak pulang."

"Hm, begitu ya?"

"Kalian tidak diperkenankan melukai manusia." Basil menegaskan. "Urusan kalian denganku, bukan dengannya. Biarkan dia pergi."

"Memang benar, kami tidak diizinkan melukai manusia. Tapi tidak ada aturan yang menyatakan kami dilarang melukai makhluk setengah manusia."

"Omong kosong." Shloka lainnya menyergah. "Energinya jelas energi Serpent! Dia lebih mirip Serpent daripada manusia!"

"Kamu dengar itu, Sobat? Tidak ada dari kalian yang akan dibiarkan pergi. Kamu Serpent. Begitu pula dia."

Basil mereguk saliva, kemudian melepas tangan Risa dan ganti mendorong gadis itu agar berdiri di belakangnya.

"Risa," Basil merogoh ke dalam saku jaket yang dia kenakan. "Kalau gue bilang lari, lo harus lari. Lari sejauh-sejauhnya dari sini. Sekencang-kencangnya. Jangan noleh ke belakang. Ngerti?"

"Tapi lo gimana—"

"Itu nggak penting. Prioritas gue adalah lo sampai ke rumah dengan selamat." Basil menegaskan. "Nedia nyuruh gue ngantar lo pulang. Mungkin gue nggak bisa antar sampai rumah, tapi seenggaknya lo tetap bisa pulang."

"Basil—"

"Tiga... dua... lari!" Basil berseru seraya menarik keluar tangannya dari saku jaket. Dia menebar segenggam bubuk yang lalu membentuk gulungan asap ungu pucat.

Asap itu mengandung partikel perak yang digiling teramat halus. Sejumlah shloka yang sempat menghirupnya kompak batuk-batuk. Mata mereka memerah. Paru-paru mereka serasa terbakar dari dalam. Perak adalah salah satu kelemahan paling umum makhluk bayangan. Shloka tidak terkecuali.

Mengabaikan telapak tangannya yang melepuh usai meraup segenggam bubuk perak, Basil lanjut memelesat dalam kecepatan yang tidak manusiawi untuk menyusul Risa yang sudah lebih dulu berlari kabur. Dia tidak bisa menggunakan energi dari Arx-nya untuk menciptakan serangan magis, namun geraknya tetap secepat Serpent. Basil berhenti di depan Risa, lekas berjongkok.

"Naik!"

"Hah?!"

"Nggak ada waktu lagi! Naik ke punggung gue sekarang!"

Ragu-ragu, Risa naik ke punggung Basil. Tangannya berpegangan ke bahu pemuda itu. Basil menegakkan tubuh, bersiap membawa Risa pergi dari sana. Dia baru memelesat beberapa detik sewaktu salah satu shloka berhasil menyusulnya. Shloka itu menyerangnya. Sabetan pedang mengenai lengan Basil, membuatnya kehilangan keseimbangan. Mereka tersungkur, mendarat keras ke aspal. Risa berjengit kesakitan. Nyeri menyebar di sekujur tubuhnya.

"Kelihatannya, kami terlalu meremehkanmu." Salah satu shloka mendekati Basil yang terduduk di jalan. Napasnya terengah. Darah merah pekat mengalir dari lengannya yang terkoyak mata pedang. Basil menahan kucuran darah menggunakan tangannya. Seketika, jari-jarinya berlumuran darah. "Tadinya, kami berencana membuat segalanya cepat dan mudah. Kalian masih muda. Sangat muda. Dosa terbesar yang kalian lakukan, mungkin, adalah terlahir sebagai makhluk yang mesti kami buru hingga akhir waktu. Tapi reaksimu membuatku tertarik. Siapa sesungguhnya makhluk berdarah campuran itu sampai-sampai kamu berjuang sekeras ini untuk menyelamatkannya dari kami?"

"Bukan siapa-siapa." Basil mendesis ketus.

"Oh ya?"

"Biarkan dia pergi!" Basil menggeram marah. "Bunuh saja aku! Tapi biarkan dia pergi!"

Risa tercekat. "Basil—nggak—jangan—"

"Diam."

"Gue nggak akan diam!" Risa mengepalkan tangannya yang gemetar kuat-kuat. "Ingat, lo udah janji ke Nedia kalau lo bakal antar gue sampai rumah! Gue nggak akan pulang kalau nggak sama lo!"

"Oh, dia kenal Nedia?"

"Berarti dia orang penting?"

"Maksudnya Nedia Diwangka... si Tuan Putri itu?"

"Tidak salah lagi, dia pasti orang penting!"

Basil memejamkan mata sejenak seraya menghela napas dalam-dalam. Risa baru saja melakukan kesalahan besar. Semestinya, dia tidak membawa-bawa nama Nedia. Jika sudah begini, situasinya pasti makin runyam. Mereka bakal makin sulit meloloskan diri.

Tapi aku sudah berjanji ke Nedia kalau aku akan mengantarnya sampai ke rumah dengan selamat.

Basil baru membuka matanya lagi ketika salah satu shloka menerjangnya, memaksanya rebah sempurna ke atas aspal. Kemudian, shloka itu melipat lengan Basil hingga pemuda itu berteriak kesakitan. Tak berhenti sampai terdengar suara berderak mengerikan khas bunyi tulang yang dipatahkan.

Campuran kekalutan dan kengerian berpadu dalam tatapan mata Risa. Tubuhnya dikuasai tremor yang tak mampu dia kendalikan.

"Jangan hanya lengannya. Patahkan juga kakinya. Pastikan dia tidak bisa bergerak sampai urusan kita dan makhluk berdarah campuran ini selesai."

"Nggak—please, jangan! Gue nggak akan ke mana-mana, tapi tolong, tolong banget, jangan sakiti Basil—" Kata-kata Risa diputus oleh jeritannya sendiri manakala shloka yang memegangi Basil lanjut mematahkan kaki pemuda itu semudah mematahkan sebatang lidi. Risa pikir dia nyaris semaput saking takutnya. "Kenapa kalian—KALIAN SEMUA SINTING YA?!"

"Jawab selagi aku masih bicara baik-baik." Salah satu shloka berjongkok di depan Risa. "Siapa sebenarnya kamu?"

Risa mereguk saliva. Suaranya keluar teramat lirih. "... bukan... bukan siapa-siapa—"

"Bohong. Kalau kamu kenal Nedia Diwangka, kamu pasti bukan gadis biasa. Siapa kamu?"

"Ferrier, bukan seperti itu caranya menginterogasi." Shloka yang berada di belakang Ferrier menyela. "Jangan terlalu lembut."

"Ah ya, benar." Ferrier mengeluarkan sebilah belati perak dari balik pakaiannya.

Sontak, Basil memekik murka. "Jangan sentuh dia!"

"Sabar. Giliranmu akan tiba nanti." Shloka yang memegangi Basil menempeleng wajah pemuda itu. "Sekarang, diamlah! Atau kupatahkan kakimu yang satu lagi!"

Risa menggigil ketakutan ketika Ferrier mengulurkan tangan kirinya, menyentuh tepi wajahnya. Tangan kanan lelaki itu masih memegang pisau. Disusurinya garis rahang Risa memakai ujung pisau yang tajam. "Perlu berapa irisan untuk membuatmu menjawab pertanyaanku sejujurnya, Makhluk Campuran?"

Risa bergeming, tetap membisu.

"Baiklah kalau begitu." Ferrier terkekeh. "Bagaimana kalau kita mulai dari sini—"

Risa menjerit saat ujung pisau mengiris kulitnya. Perih menjalar. Darah mengalir dari dagunya yang baru disayat, menetes ke jalan. Aroma karat memenuhi hidung Risa. Nyeri membuat pandangannya mulai berputar. Ferrier baru berhenti usai menorehkan luka panjang di bagian bawah wajah Risa.

"Masih tidak mau menjawabku? Haruskah kulanjutkan ke mata? Matamu cantik, sungguh. Sangat disesalkan kalau aku sampai harus merusaknya. Tapi apa boleh buat—"

Refleks, Risa memejamkan matanya kuat-kuat. Tubuhnya bergetar hebat. Dia mempersiapkan diri menghadapi rasa sakit yang lebih buruk sewaktu angin lembut berembus mendadak di sebelahnya. Diikuti pancaran energi hangat yang ganjil. Lalu, teriakan Ferrier terdengar.

Risa membuka matanya. Yang pertama dilihatnya adalah Ferrier yang berlutut di depannya. Darah menyembur dari dada lelaki itu. Lantas dalam waktu singkat, tubuh Ferrier terbakar habis hingga hanya meninggalkan abu.

"Lo baik-baik aja, Risa?"

Risa menoleh, nyaris menangis mendapati Nedia ada di sebelahnya. Gadis itu cukup berantakan. Bagian depan pakaiannya ternoda darah. Noda serupa turut menghiasi pipi dan rahangnya. Di tangannya, tergenggam dua pedang perak yang juga berlumur darah.

"Gue—gue nggak apa-apa—"

"Lo terluka." Nedia bergumam muram. "Kita akan urus itu nanti."

Risa belum sempat menyahut, tapi Nedia sudah memelesat, menyerbu para shloka seorang diri. Gerakannya teramat cepat sekaligus elegan. Pertarungan serupa pertunjukkan seni. Ayunan pedangnya selalu tepat sasaran, senantiasa berbuah kulit yang menganga serta semburan darah. Tidak sampai tiga menit, Nedia sudah menghabisi para shloka yang menyerang mereka—termasuk shloka yang menahan Basil agar tetap terkapar di jalan.

Risa masih membisu seraya terduduk di aspal saat seseorang meraihnya dari belakang dan menempelkan pisau yang dingin di lehernya.

"Mengesankan."

Nedia berbalik, lalu menghela napas panjang. "Lepaskan dia. Aku janji aku akan membiarkanmu pergi tanpa terluka kalau kamu melepaskannya."

"Apa yang membuatnya sebegitu penting bagimu, Tuan Putri?"

Tuan Putri?

"Dia temanku. Dan kamu punya waktu lima detik untuk melepaskannya."

"Kalau tidak?" Sosok yang menahan Risa tersenyum tipis. "Kamu akan melakukan apa?"

"Sesuatu yang tidak akan kamu sukai." Nedia tersenyum lembut, tapi sorot matanya letal. "Lepaskan dia sekarang."

Risa melihat mata Nedia yang mulanya cokelat terang perlahan berganti ke warna merah... lalu ke ungu...

"Okulis tidak akan membantumu, Tuan Putri. Arx yang kupunya tidak bisa kamu tembus. Harusnya Alka Wiranata sudah memberitahumu soal itu, kan?"

Mata Nedia kembali cokelat terang. "Windu Mainaki?"

"Tepat."

"Aku tersanjung." Nedia berdecak. "Apa yang membuatku pantas diganjar kehormatan ini?"

"Aku di sini untuk kamu." Windu mengeratkan cekalannya pada lengan Risa. Genggamannya menyakitkan. "Dan untuknya."

"Kurasa kamu salah paham, Windu. Aku di sini bukan karena niat buruk. Begitu pula dia. Dia tidak bersalah. Lepaskan dia. Jangan libatkan dia dalam masalah ini." Nedia melanjutkan. "Urusanmu adalah denganku. Lepaskan dia, dan aku akan menyerahkan diri padamu."

Risa bisa merasakan cengkeraman Windu di tangannya mengendur. Gadis itu menelan ludah. Dia mengumpulkan keberaniannya, lalu nekat menggigit punggung tangan Windu. Kekagetan membuat Windu melepaskan tangannya dari Risa.

Risa cepat-cepat berlari ke arah Nedia. Sayangnya, dia terlalu lambat. Windu mampu meraih bagian belakang bajunya dengan mudah. Disentakkannya tepi baju Risa sampai robek. Risa berbalik, berusaha melawan Windu. Berjuang melepaskan diri dari lelaki itu.

Semestinya, Nedia lekas mengambil kesempatan. Namun dia sudah telanjur terdistraksi oleh tanda yang berpendar di pundak belakang Risa. Tanda familiar yang tidak mungkin salah dia kenali, sebab dia terlahir dengan tanda yang sama di belakang lehernya. Tanda yang hanya bisa dilihat orang-orang tertentu dan tersembunyi dari mayoritas lainnya.

Itu... tanda Unalome.

Kali ini, Nedia benar-benar kehilangan ketenangannya.

"Windu! Lepaskan dia!"

Windu menarik lengan Risa, memeganginya kuat-kuat. Kini, mata pisaunya sudah menekan kulit leher Risa, menciptakan segaris goresan tipis yang merembeskan merah darah.

"Sayang sekali, Tuan Putri. Tidak semua keinginanmu bisa terwujud, kan? Ucapkan selamat tinggal padanya—"

Sesaat sebelum pisau Windu menghunjam jantung Risa, Nedia mengaktifkan okulis-nya. Dalam sekedipan mata, dia sudah bertukar tempat dengan Risa. Pisau berakhir menusuk jantungnya.

Segalanya terasa surreal. Dunia seolah-olah melambat, terputar dalam mode slow-motion. Risa baru tersadar saat melihat Nedia jatuh berlutut ke tanah bersama pisau yang menancap kuat di dadanya. Gadis berambut cokelat terang itu terbatuk, memuntahkan darah pekat dari mulutnya. Di belakangnya, Windu terhenyak tak percaya.

"Nedia!" Risa berseru seraya menghambur ke depan. Bulir-bulir air mata menetes begitu saja di pipinya. "Nedia—nggak—Nedia! Nedia, tetap buka mata—"

Nedia tidak menyahut. Tubuhnya segera melunglai di atas aspal.

Risa mulai terisak. "Nedia! Nedia, bangun—"

"Tolol." Windu bergumam. "Sungguh tolol."

Kesedihan yang baru sejenak memeluk Risa seketika terganti oleh murka. Gadis itu menengadah, memandang Windu dengan wajah bersimbah air mata. Tanpa pikir panjang, Risa beranjak. Risa tidak pernah ikut beladiri sebelumnya. Dia tidak tahu bagaimana caranya meninju orang. Tapi dia kelewat marah. Dia ingin menyakiti Windu. Dia ingin membunuh Windu.

Risa mencoba menonjok Windu. Serangannya gagal. Mudah saja bagi lelaki itu menahan kepalan tangannya. Kemudian, Windu balas menampar Risa. Berkali-kali, hingga Risa merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari hidungnya. Pukulan terakhir menghantam rahangnya tanpa ampun, membuat Risa kehilangan keseimbangan. Telinganya berdenging. Pandangan matanya menggelap.

"Sama seperti Nedia Diwangka, riwayatmu pun akan berakhir di sini—" Windu mencabut pedangnya, bersiap mengirimkan serangan penutup yang Risa tahu bakal memutus nyawanya.

Sebelum ujung pedang benar-benar menembus tubuhnya, kesadaran Risa terbang lebih dulu.

Tubuhnya lemas sempurna, siap menyongsong maut tanpa perlawanan.

***

Luka Diwangka menghabiskan dua hari berkeliling ke tempat-tempat yang mungkin didatangi sepupunya, namun masih tidak mendapatkan hasil yang berarti.

Dia tidak bisa mendeteksi energi Nedia. Gadis itu pasti sengaja berkamuflase, memecah dan menyamarkan energinya agar dia tidak bisa ditemukan. Bukan sesuatu yang mudah, tapi juga tak mustahil dilakukan. Apalagi oleh Serpent dengan kemampuan seperti Nedia.

Luka baru bisa mendeteksi energi Nedia sekitar lima belas menit yang lalu.

Awalnya dia lega, karena energi Nedia terasa amat kuat. Tapi lambat laun, energinya melemah. Luka jadi khawatir. Dan benar saja, firasat buruknya terbukti. Sesampainya di titik asal energi itu, dia langsung disambut kekacauan.

Di tengah jalan sebuah lingkungan permukiman manusia yang sudah lama ditinggalkan, berserakan tumpukan abu dan cincin batu giok ungu. Luka tahu, tumpukan abu itu pastilah sisa-sisa dari para shloka yang telah dikalahkan.

Di sisi kiri jalan, Basil terkapar. Kaki dan tangannya menekuk secara janggal. Tulang-tulangnya sengaja dipatahkan supaya dia tidak bisa bergerak hingga kaki dan tangannya yang patah pulih dengan sendirinya—dan itu perlu waktu setidaknya beberapa jam.

Tapi yang membuat ulu hati Luka serasa tertinju keras-keras adalah Nedia yang berada di sisi kanan jalan. Sepupunya itu sudah terbaring pasrah. Napasnya tersengal. Belati tertancap di dadanya. Darah merembes di pakaiannya.

Luka nyaris memelesat menuju Nedia, tapi perhatiannya lebih dulu tersita oleh sesosok gadis yang tengah menyerbu ke arah Windu Mainaki. Tindakan yang gegabah. Dari caranya mengepalkan tinju, terlihat kalau gadis itu tak menguasai dasar-dasar beladiri. Namun dia tetap ngotot melawan. Windu menghajarnya hingga dia tersungkur di jalan. Kemudian, pedangnya terhunus. Windu sudah siap menusukkannya ke tubuh gadis itu ketika Luka menginterupsi.

Luka menggerakkan jemarinya, mengendalikan darah di lengan Windu. Tangannya yang menghunus pedang seketika tertahan di udara. Pedang yang berada di genggamannya terlepas, jatuh berdenting ketika menghantam permukaan keras jalan. Sontak saja, Windu menatap ke arah Luka. Tangan kirinya bergerak, memunculkan bola-bola api yang lalu diluncurkannya pada Luka. Luka berkelit, mampu menghindari bola-bola api tersebut dengan mudah sementara Windu mengambil kesempatan untuk melarikan diri, lenyap dalam gelapnya malam.

Sepeninggal Windu, Luka lanjut menghampiri Nedia. Dia berusaha tetap tenang kendati jantungnya serasa bakal rontok dari tempatnya.

"Damn it." Luka merutuk waktu sadar kalau belati Windu menusuk Nedia di titik fatal. Satu-satunya alasan kenapa Nedia masih belum kehilangan kesadaran adalah karena dia istimewa. Tapi bukan berarti dia kebal dari ajal.

Luka sukar mengerti. Bagaimana bisa Nedia bisa berakhir seperti ini? Sepupunya adalah petarung cermat yang tidak mudah dikalahkan. Bahkan oleh dirinya.

"Nedia—"

Susah payah, Nedia mengatur napas. Tangan kanannya yang gemetar menarik keluar seuntai liontin dari saku pakaiannya. Luka menelan saliva, menggenggam erat tangan Nedia yang memegang liontin.

Hanya senyap yang menyertai hingga napas Nedia terhenti. Tangannya terkulai dalam genggaman Luka. Bertemankan sunyi, Luka tertunduk. Setetes-dua tetes air mata bergulir di wajahnya. Hanya pembuka untuk tetes-tetes lainnya yang mengalir deras bagai air bah.

Kemudian, tangis tanpa suaranya terhenti ketika dia menyadari sesuatu.

Energi Nedia yang telah menghilang seiring dengan kehidupan yang ditarik pergi dari jasadnya, tiba-tiba meletup, lalu muncul lagi dalam intensitas yang lebih besar. Letupan yang mirip kembang api. Meledak, lalu tersebar luas di udara.

Luka mengangkat wajah, terhenyak tak percaya. Letupan energi itu tidak datang dari jasad yang tangannya sedang dia genggam.

Energi itu berasal dari sesosok gadis yang terkapar tak jauh dari tempat Nedia tergeletak.

***

Sepanjang dua hari berikutnya, bangsa Serpent dihadapkan pada kekacauan.

Ada banyak pertemuan dadakan yang digelar. Orang-orang yang dipanggil untuk diinterogasi. Luka termasuk salah satunya. Namun dia menolak datang. Dia memilih mengurung diri di kamarnya. Tidak ada yang berani mengganggunya, termasuk pamannya, sang Raja, yang kini dalam masa berkabung.

Meski tidak pernah terang-terangan menunjukkannya, semua orang tahu kalau Nedia penting bagi Luka. Nedia bukan hanya sepupunya, melainkan juga figur yang sangat Luka hormati. Selama ini, Luka dan Lara dibesarkan sebagai senjata terbaik yang dimiliki Keluarga Diwangka. Mereka didoktrin bahwa logika harus selalu ditempatkan di atas rasa. Bahwa belas kasih adalah sumber kelemahan. Tapi kehadiran Nedia mampu mematahkan doktrin itu. Nedia sangat lembut, begitu baik dan ramah pada siapa pun. Namun dia tidak lemah. Bahkan, dia lebih kuat dari Luka.

Melalui residu energi yang tertinggal di liontin yang dia berikan saat momen-momen terakhirnya, Nedia sempat hadir dalam mimpi Luka. Dan di alam mimpi, Nedia terlihat baik-baik saja.

"Ini pasti mimpi." Luka berkata setelah melihat Nedia.

"Dan bukan mimpi biasa." Nedia tersenyum. "Tapi tenang, setelah residu energi di liontin yang kuberikan padamu habis, kamu tidak akan melihatku lagi."

"Jadi ini alasannya kamu memberikan liontin itu padaku?"

"Aku berencana memberikannya pada siapa pun yang berada di dekatku saat maut menghampiriku. Kebetulan saja, malam itu kamu yang muncul." Nedia menyahut ringan. "Maaf. Tapi aku hadir ke dunia ini bersama tanggung jawab yang berhubungan sama orang banyak. Kalau aku harus pergi sebelum menyelesaikan tanggung jawabku, setidaknya aku harus memastikan kalau tanggung jawab itu tidak terabaikan."

Luka menghela napas. "Malam itu... apa yang sesungguhnya terjadi?"

"Aku bertarung dan aku kalah."

"Kamu tidak seceroboh itu. Pasti ada sesuatu yang membuat konsentrasimu buyar."

"Tepat sekali." Nedia tampak santai. "Aku yakin kamu sudah melihat gadis yang bersamaku malam itu."

"Dia setengah Serpent, dan entah bagaimana, dia memiliki energimu. Tapi bukan sepenuhnya energimu."

"Karena energiku selalu berpadu dengan energinya. Sama seperti takdirku, yang akan diteruskan olehnya."

"Bagaimana mungkin?"

"Tentu saja mungkin. Dia punya tanda Unalome. Sama sepertiku. Hanya letaknya saja yang berbeda."

"Itu mustahil—"

"Awalnya, aku juga berpikir begitu. Aku kaget saat melihatnya punya tanda itu. Mungkin gara-gara itu juga, aku jadi terdistraksi." Nedia menjawab muram. "Tapi yang sudah terjadi hanya bisa direlakan. Dia temanku. Aku ingin melindunginya. Tolong bantu dia. Jaga dia. Kamu bersedia kan, Luka?"

"Tidak."

"Bantu aku sekali ini saja."

"Aku bukan baby-sitter."

"Dia punya elemen Cahaya. Harapannya hanya kamu atau Lara. Dan aku tidak yakin dia akan cocok dengan Lara."

"Jawabaku masih sama. Tidak."

Sebelum Nedia sempat bicara lagi, Luka terjaga. Nedia lenyap. Luka kembali berada di kamarnya yang temaram. Langit di luar jendela kamarnya masih gelap karena matahari belum terbit. Dirundung penat, Luka bangun dari tempat tidurnya. Diraihnya liontin pemberian Nedia dari nakas di sisi tempat tidur. Lalu, Luka berjalan menuju jendela. Sambil menatap langit yang kelam, diremasnya liontin itu kuat-kuat hingga berbentuk serbuk.

Liontin itu sudah musnah. Nedia tidak akan muncul lagi dalam mimpinya.

Dia pikir dia siapa? Berani-beraninya dia mengambil tindakan gegabah macam itu dan melibatkan makhluk setengah manusia yang bahkan tidak pantas menginjakkan kaki di Dunia Bayangan! Dan dia ingin melibatkan aku di dalamnya? Mimpi saja!

Luka membuka kepalan tangannya. Serbuk berkilauan segera berjatuhan ke lantai. Dia masih tak mengerti apa yang terjadi malam itu. Masih tidak paham akan perpindahan takdir, tanda Unalome dan jati diri gadis setengah manusia yang belakangan jadi perbincangan heboh di dunia mereka. Tapi yang jelas, dia marah. Hidup Nedia tidak selayaknya berakhir dalam tragedi.

Nedia tidak mungkin dikalahkan semudah itu.

Luka benar-benar kacau. Dia mulai berlaku sekehendak hati. Lara yang mendatangi kamarnya dan memaksa masuk dua jam kemudian dibuat ternganga sebal.

"Bisa jelaskan apa yang terjadi di sini?"

Luka yang berdiri di depan jendela balas bergeming. Lara berdecak seraya memandang ke tumpukan tube cat lukis yang isinya berceceran menodai lantai, tumpukan serbuk berkilauan di karpet, berbatang-batang kuas yang patah, serta kanvas kosong yang sebagian besarnya sudah hangus terbakar.

"Bukan apa-apa. Aku hanya sedang agak... emosional."

"Murka, maksudmu?" Lara menukas. "Yah, kita tidak akan pernah mengerti apa yang sebenarnya ingin dilakukan Tuan Putri kita."

"Lupakan soal itu." Luka membalas geram. "Kenapa kamu ke sini?"

"Oh, jadi sekarang aku harus punya alasan untuk mengunjungi kamarmu. Begitu?"

Luka berbalik dan memandang Lara. "Ada apa?"

"Sempat terjadi perdebatan, tapi seperti biasa, paman kita yang tersayang akan selalu mendengarkan kata-kata penasehatnya. Keputusan akhir sudah dibuat. Mereka akan membawa gadis itu ke Kastel Raudra, lalu mengirimnya ke akademi."

Luka membisu. Rahangnya kaku.

"Jangan terlalu kesal. Aku pun tidak setuju. Buat apa makhluk setengah manusia itu dibawa ke sini? Dia tidak pantas dapat tempat di antara kita. Tapi penasehat paman kita berkata kalau kita perlu mengenal gadis itu lebih jauh. Untuk memastikan dan mengetahui banyak hal, termasuk soal energi Nedia yang kini bercampur dengan energinya. Apalagi Basil, si anak payah yang tidak kunjung lulus dari akademi itu bilang kalau gadis setengah manusia itu memiliki elemen Cahaya."

"Oh."

"Berita buruknya bukan hanya itu."

"Apa lagi?"

"Karena gadis setengah manusia itu punya elemen Cahaya dan dia benar-benar buta tentang dunia kita, salah satu dari kita harus membantunya belajar. Aku, atau kamu. Ariella masih tak diketahui berada di mana. Membayangkannya saja aku sudah malas. Kesabaranku setipis tisu yang sudah dibasahi air. Mana bisa aku mengajari makhluk setengah manusia? Tapi apa boleh buat, kamu jelas tidak akan mau—"

"Jangan cemas. Aku yang akan mengajarinya."

"You—what?!"

"Aku yang akan mengajarinya." Luka berujar dalam suara yang amat terkontrol. "Paman pasti akan memaksa salah satu dari kita mengajarinya. Aku akan mengajukan sejumlah syarat yang harus dia penuhi. Jika dia bisa memenuhi syarat itu, aku akan mengajarinya."

"Dan jika tidak?"

"Aku akan menghancurkannya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top