BOOK I - CHAPTER FIVE

Risa terbangun di tempat yang asing.

Dia berada di sebuah daratan luas berlapis rumput hijau yang berujung di sebuah tebing. Langit yang membentang di atasnya benar-benar biru. Matahari bersinar cerah, tapi panasnya tidak terasa menggigit. Di seberang tebing, terpisahkan oleh jurang lebar yang menganga, terdapat tiga air terjun bertingkat-tingkat. Bunga-bunga tumbuh menyembul di rerumputan, didominasi peony berwarna merah muda.

Risa menelan saliva.

Ini pasti bukan di Indonesia! Tapi kira-kira... di mana? Apa di Jepang? Atau di Switzerland? Tapi kok nggak ada sapinya...

"Trisha."

Suara lembut Nedia yang memanggil di belakangnya membuat Risa segera berbalik. Lagi-lagi, Risa dibikin terpesona. Beberapa meter di depannya, berdiri sebuah kastel yang terbuat dari kaca. Kaca itu tak seperti kaca yang sering Risa lihat di gedung-gedung pencakar langit ibukota. Kacanya membiaskan tujuh warna pelangi. Sarat kemilau di bawah sinar matahari.

"Nedia—ini... kita ada di mana?"

"Ini Arx gue."

Jadi ini tempat yang disebut Arx?

"Ini... semua ini nyata?" Risa makin bingung.

"Nyata, tapi dimensinya nggak sama dengan dunia fisik yang lo tahu. Semua makhluk bayangan punya tempat seperti ini dalam diri mereka. Serpent. Faen. Siren. Shapeshifter. Semuanya, tanpa terkecuali. Di sini, segalanya tentang jati diri seseorang disimpan. Memori-memori terpentingnya. Sumber kemampuan magisnya. Segalanya." Nedia menjelaskan. "Gue ngerti lo pasti bingung. Anggaplah, ini tempat yang terbatas bagi dunia fisik, tempat yang hanya bisa ditembus jiwa. Arx adalah tempat semacam itu."

Risa memandang sekeliling. "Tempat ini indah banget. Terang, cantik, dan penuh bunga."

"Bentuk Arx tergantung keinginan pemiliknya. Semakin rumit, semakin indah, berarti butuh semakin banyak energi. Semakin banyak yang harus dipelajari. Awalnya, tempat ini cuma padang rumput biasa dengan sebuah kotak di tengahnya."

"Kotak?"

"Kotak berisikan takdir gue, yang sekarang harus gue kasih ke lo."

"Hah?!" Risa terkesiap.

Nedia tersenyum sedih. "Maaf karena kebodohan gue akhirnya malah merepotkan lo."

"Gue nggak ngerti..."

"Dari kecil, gue sudah berkali-kali dikasih tahu kalau hadirnya gue ke dunia ini adalah untuk tujuan yang sangat penting, yang berhubungan sama kepentingan banyak orang. Makanya, gue diharapkan belajar dan hidup sebaik-baiknya sampai waktunya tiba. Kamu yang Terpilih. Begitu kata mereka." Nedia menghela napas. "Tapi malam ini, gue bertindak bodoh. Gue lengah. Dan dalam pertempuran, kelengahan biasanya harus dibayar mahal."

"Sebenarnya... apa yang terjadi?"

"Semua yang sudah terjadi." Nedia menyahut tenang. "Lo akan baik-baik aja setelah bangun nanti."

"Gimana sama lo?"

"Dengan penuh sesal, ini akan jadi pertemuan kita yang terakhir."

"Kenapa?" Risa mulai gusar. "Kenapa ini jadi pertemuan kita yang terakhir?!"

"Karena gue nggak bisa biarin lo mati. Jadi, gue putuskan untuk menggantikan tempat lo."

"Dan kenapa?!" Risa terus mendesak. "Kita baru kenal. Kenapa lo begitu—"

"Karena lo teman gue, Trisha." Jawaban tegas Nedia membungkam Risa. "Sama kayak lo, gue juga nggak pernah punya teman dekat. Terutama teman dekat perempuan. Ariella lebih kayak instruktur daripada teman. Gue kurang nyambung sama Lara. Yang lainnya... mereka nggak memperlakukan gue kayak teman. Mereka memperlakukan gue kayak Tuan Putri yang harus dihormati. Tapi lo berbeda. Lo menganggap gue teman. Lo merangkul gue waktu kita foto di photobox bareng dan—" muram di mata Nedia bertambah pekat. "Ada banyak alasan yang bikin gue nggak bisa biarin lo mati. Dan gue nggak punya cukup waktu untuk jelasin semuanya. Jadi, gue bikin singkat aja. Pertama, lo teman gue. Kedua, kalau lo mati malam ini, itu salah gue."

"Itu bukan salah lo—"

"Jelas salah gue." Nedia bersikeras. "Lo udah berusaha melepaskan diri. Kalau aja gue bisa mikir cepat, kalau aja gue nggak terdistraksi, gue bisa nyelamatin lo dari Windu."

"Nedia..."

"Alasan terakhir, karena gue tahu lo bisa menyelesaikan apa yang nggak bisa gue selesaikan."

"Gue nggak tahu apa yang harus lo selesaikan!" Risa hampir berteriak. "Gue bahkan nggak tahu gue punya Arx apa nggak!"

"Lo punya. Dan lo akan nemuin jalan lo sendiri ke sana. gue yakin itu."

"Kenapa lo seyakin itu?!" Risa membentak, mulai frustrasi.

"Karena gue merasa, kita berbagi takdir yang sama. Dan takdir akan selalu menemukan caranya sendiri untuk menjadi."

"Gue nggak—"

Sekonyong-konyong, tanah tempat mereka berpijak bergetar hebat. Retakan demi retakan muncul, membelah daratan jadi beberapa bagian. Terus menjalar hingga ke dinding kastel yang terbuat dari kaca. Risa panik, berbanding terbaik dengan Nedia yang tetap tenang.

"Sisa waktu gue nggak banyak, Trisha." Nedia mendekati Risa. "Sebelum gue benar-benar menghilang, lo harus menerima ini."

Nedia meraih tangan Risa, meletakkan sebentuk batu mulia berbentuk kubus yang memendarkan cahaya biru terang ke telapak tangannya. Gemuruh keras terdengar, berasal dari air terjun yang runtuh.

"Ini apa?" Risa menelan ludah.

"Gue nggak tahu ini apa, tapi benda ini sudah ada dalam Arx gue sejak pertama kali gue menginjakkan kaki di sini. Dari semua orang, cuma gue yang punya benda semacam ini. Bahkan Luka pun nggak punya. Gue merasa benda ini penting. Jadi, tolong jaga benda ini baik-baik. Dan sekali lagi, gue minta maaf." Nedia menekuk jemari Risa, memaksanya menggenggam batu mulia tersebut. "Ini bukan tanggung jawab yang mudah. Maaf. Tapi gue percaya, lo pasti bisa."

"Jangan." Risa menggeleng putus asa. "Jangan percaya sama gue! Gimana mungkin lo percaya sama gue ketika gue aja nggak percaya sama diri gue sendiri?! Gue bukan siapa-siapa—"

"Lo istimewa, Trisha. Jangan izinin siapapun mengatakan sebaliknya. Termasuk lo sendiri."

"Nggak, gue nggak istimewa!" Risa hampir menangis. "Harusnya gue aja yang nggak ada! Kalau takdir lo sepenting itu, harusnya gue aja yang mati! Kalau gue yang mati, paling cuma nyokap gue yang nangis! Tapi kalau lo—"

Nedia mengeratkan genggaman tangannya. "Semua yang bisa gue lakukan, kelak akan bisa lo lakukan. Bahkan, lo mungkin akan melampaui gue."

Risa mulai terisak. "Kenapa harus begini? Kenapa harus lo—"

"Sekarang bukan waktunya menangis." Nedia menghapus air mata di pipi Risa. "Ingat baik-baik; saat lo masih bisa melawan, maka lawan. Saat lo nggak lagi bisa melawan, maka lo bertahan. Saat lo nggak bisa lagi bertahan, maka lo harus mundur. Ketika mundur bukan pilihan, menyerah adalah keputusan terbaik. Tapi saat menyerah jadi mustahil, maka kematian adalah jalan terakhir."

"Nedia—jangan pergi—"

"Maaf, Trisha. Tapi kita harus berpisah. Di perjumpaan kali ini, gue senang bisa kenal lo. Meski singkat."

"Nedia!"

Kastel kaca di belakang Nedia pecah berhamburan, kemudian semuanya gelap.

***

Risa tersentak bangun.

Dia mengerjapkan matanya yang basah beberapa kali, sejenak merasa silau karena sinar lampu di langit-langit. Pandangannya menyapu ke sekeliling. Risa mengenali ruangan tempatnya terbaring. Ini kamarnya. Bukan Arx Nedia.

Risa buru-buru bangun dari kasur. Sekujur tubuhnya lemas dan pegal, tapi dia tetap nekat beranjak menuju meja rias di pojok ruangan. Dia mematut dirinya di cermin.

Ulu hati Risa serasa ditonjok keras-keras saat melihat memar-memar gelap menghiasi wajahnya. Memar-memar itu tak lagi sakit ketika disentuh, namun keberadaannya jadi penanda kalau peristiwa yang dialaminya benar-benar nyata.

Itu berarti... Nedia...

Risa tertunduk getir. Tatapan matanya menusuk lantai sewaktu pintu kamar dikuak terbuka.

"Risa!"

Risa menoleh, mendapati ibunya tengah mendekat dengan wajah cemas. "Jangan banyak gerak dulu! Kamu masih babak-belur! Teman kamu bilang kalau kamu udah diobati dan udah nggak apa-apa, tapi Mama tetap mau mastiin! Ada yang pegal? Ada yang sakit? Kalau masih ada yang sakit, kita ke dokter sekarang—"

"Teman?" Risa mengerjap heran. "Siapa teman yang Mama maksud?"

"Semalam, dua temanmu ngantar kamu pulang."

"Cewek?" Risa sempat berharap kalau Nedia adalah teman yang dimaksud ibunya.

"Dua-duanya cowok. Mama cuma ingat Basil, karena yang satu lagi nggak memperkenalkan diri."

Siapa?

"Katanya, kamu habis kecelakaan. Tabrak-lari, tapi yang nabrak kabur. Dua temanmu bawa kamu ke rumah sakit. Memar kamu parah banget semalam. Hidung kamu sempat bengkak. Sekarang kelihatannya sudah mendingan ya? Masih sakit?"

Risa menelan salivanya yang terasa pahit. "Nggak, Ma. Nggak ada yang sakit."

"Baguslah kalau begitu—eh—" Terdengar suara ketukan di pintu depan. "Kayaknya ada yang ngetuk di depan. Sebentar, Mama cek dulu."

Risa ditinggal sendirian. Gadis itu menghela napas dalam-dalam. Perasaannya bergejolak. Dadanya terasa penuh, sesak, seakan-akan bisa meledak kapan saja. Risa ingin berteriak dan menangis keras-keras. Namun jika dia melakukannya, ibunya pasti bakal mengiranya sakit jiwa.

Berarti gue benar-benar nggak akan pernah melihat Nedia lagi?

Hati Risa hampa. Mereka baru mengenal. Belum sampai sehari. Namun persinggungannya dan Nedia teramat berkesan. Nedia adalah teman pertamanya. Mungkin yang terakhir. Dan Nedia terbunuh karenanya.

Di mana Nedia sekarang? Dia pasti punya orang tua, kan? Kayak apa perasaan orang tuanya? Apa mereka membenci gue? Apa mereka menyalahkan gue? Terus siapa yang nyerang kita malam itu? Gimana keadaan Basil sekarang? Kalau dia bisa ngantar gue pulang, harusnya dia baik-baik saja, kan?

"Udah sehat lo?"

Risa tersentak, refleks memandang ke pintu kamarnya yang masih dibiarkan terbuka. Basil berdiri di sana. Satu tangannya bertumpu ke kusen pintu. Gayanya masih tengil dan sok cool, namun bukannya kesal, Risa justru lega bercampur sedih. Tangis yang sedari tadi dia tahan pecah begitu saja.

Basil buru-buru menutup pintu, lalu memelesat ke arah Risa. "Sshhh—jangan nangis—aduh, gue kan nggak ngapa-ngapain! Masa ditanya gitu aja nangis, sih?!"

Bahu Risa mulai berguncang.

"Trisha, please—oke, oke, nggak apa-apa kalau lo mau nangis, tapi tolong jangan kencang-kencang ya? Kalau nyokap lo dengar terus gue dikira baru ngapa-ngapain lo gimana?! Tolong ya, nangisnya—" Basil menunjukkan gestur seolah-olah sedang memutar tombol volume speaker. "—dikecilin. Please?"

Risa masih tersedu, namun kini hampir tanpa suara. Basil membisu salah tingkah. Dia berpikir sejenak sebelum akhirnya ragu-ragu mengusap pundak Risa.

Saat Risa sudah lebih tenang, mereka bicara sambil duduk bersebelahan di pinggir kasur.

"Ngelihat lo nangis gini, kayaknya lo sudah tahu apa yang terjadi ke Nedia."

Risa tetap bungkam.

Basil sama murungnya. "Yah... yang terjadi dua malam lalu itu—"

"Dua malam?!" Risa tersentak. "Bukannya kejadiannya baru semalam?!"

"Kejadiannya dua malam lalu. Lo udah molor dua hari berturut-turut."

"Masa?!"

"Cek aja handphone lo kalau nggak percaya."

"Jadi ini hari Selasa, bukan hari Senin?!" Risa terhenyak usai mengecek ponselnya. Basil tidak berbohong. "Berarti gue nggak ke sekolah dua hari berturut-turut?! Tapi kenapa nyokap gue nggak—"

"Nyokap lo jelas tahu lo ini apa. Waktu kita mau antar lo pulang, Luka nyuruh gue bilang ke nyokap lo kalau lo habis ketabrak mobil. Manusia normal jelas mesti dirawat di rumah sakit kalau habis ketabrak mobil. Apalagi yang sampai babak-belur kayak lo. Tapi nyokap lo nggak bawa lo ke rumah sakit. Kenapa? Karena nyokap lo tahu, tubuh lo mampu nyembuhin diri sendiri selama dikasih waktu istirahat yang cukup. Selama jantung dan kepala lo masih baik-baik aja. Kemampuan lo memulihkan diri di atas kemampuan manusia biasa." Basil menerangkan. "Windu Mainaki nggak menahan diri saat menghajar lo. Dia memaksimalkan energinya. Kalau lo manusia biasa, tulang rahang lo pasti udah geser dan minimal ada tiga rusuk lo yang patah."

"Bentar—Luka... yang lo maksud Luka yang diceritain Nedia?"

"Lo nggak ingat sama sekali ya?"

Risa menggeleng. "Beneran Luka yang itu?"

Basil mengangguk. "Iya, Luka sepupunya Nedia. Dia sampai di tempat kejadian sesaat sebelum lo game over. Windu hampir membunuh lo. Gue nggak bisa bergerak karena kaki gue yang dipatahkan belum pulih. Luka datang dan mencegahnya membunuh lo. Terus dia kabur."

"Terus?!"

"Gue lihat Luka pegang tangan Nedia sebelum Nedia... pergi." Basil menjeda sejenak. "Habis itu, dia mungut lo dari aspal."

"Mungut?!"

"Emang mungut!" Basil berseru. "Dia mungut lo dari aspal, terus gendong lo dan bawa lo pergi."

***

Luka memandang Risa yang masih terkapar beberapa lama.

Dia tidak mengerti bagaimana bisa energi Nedia muncul lagi, dan kini berpadu dengan energi Risa. Tidak persis sama, namun sangat mirip. Lelaki itu diam sebentar, lalu dihapusnya jejak basah di pipinya hingga tak bersisa. Dilepaskannya tangan Nedia dari genggamannya.

Luka ganti menghampiri Risa. Posisi Risa yang telungkup membuat Luka tidak langsung melihat wajahnya. Dari napas Risa yag lambat dan teratur, Luka tahu Risa cuma pingsan.

Tidak heran. Luka berpikir. Dia dihajar dengan kekuatan penuh. Sekalipun dengan tangan kosong, pukulan-pukulan sekeras itu sudah mampu membuatnya semaput.

Luka mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Risa. Sebentuk kerinduan yang janggal menghantamnya. Luka mengerjap kaget, merasa aneh.

Siapa kamu? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?

Perhatian Luka teralih sesaat waktu dia merasakan kehadiran Alka. Juga Denzel dan Novel. Mereka hampir tiba. Luka memutuskan meraih tubuh Risa dari aspal, menggendongnya semudah menggendong boneka kain. Sebelum membawa Risa pergi, dia menghampiri Basil lebih dahulu.

"Hotel Interkontinental. Dua kilometer dari sini. Temui aku di sana saat kakimu sudah bisa digunakan." Luka berkata dingin. Parasnya bersih dari emosi. "Alka, Denzel dan Novel akan sampai di sini sebentar lagi. Jelaskan apa yang terjadi pada mereka. Suruh mereka membawa sepupuku pulang ke Kastel Raudra. Bisa dipahami, Arnawarma?"

"Tunggu—" Basil memanggil sambil menahan sakit. "—kamu mau bawa Risa ke mana?!"

"Aku tidak akan menyakitinya." Luka menyahut. "Setidaknya, untuk saat ini."

Kemudian, Luka berlalu pergi. Basil tidak menahannya. Tidak ada seorang pun yang mampu memaksa Luka memberi penjelasan jika dia tidak ingin melakukannya. Luka hanya bicara seperlunya. Beberapa kali, Basil mendengar komentar miring Denzel yang menganggap Luka sok jago, kerap merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain.

Basil tidak menyalahkan Luka. Andaikan dia Luka, dengan stempel anak ajaib yang dilekatkan di dahinya sejak lahir serta statusnya sebagai sepupu pewaris tahta berikutnya, Basil pun akan sama sombongnya.

Luka dan Lara lahir 78 lebih dahulu dari Nedia. Ayah mereka adalah adik ayah Nedia, sang Raja yang sekarang berkuasa. Sebelum ada Nedia, jajaran penasehat Raudra dan perwakilan para bangsawan paling berpengaruh pernah mengusulkan penetapan Luka sebagai pewaris tahta berikutnya. Namun, Luka menolak. Lara tidak masuk pilihan karena dia perempuan. Pewaris tahta laki-laki lebih diutamakan dan diinginkan.

Sepanjang hampir seabad eksistensinya, Luka lebih banyak menghabiskan waktu menuntaskan misi-misi yang diberikan Mahkota padanya. Sebagian dari misi-misi itu mengharuskannya bersinggungan dengan dunia manusia. Luka tidak menganggap manusia sebagai makhluk yang setara, tapi mengerti kalau bantuan manusia kadang diperlukan untuk melancarkan misinya.

Berdasar alasan tersebut, Luka mampu berbaur dengan baik dan menciptakan jejaring koneksi pertemanan yang luas. Koneksi yang membuatnya selalu diterima di tempat-tempat bergengsi dan ekslusif di penjuru dunia manusia. Hotel Interkontinental adalah salah satunya. Dan ke sanalah dia membawa Risa.

Risa. Jadi, itu namanya.

Bukan nama yang pernah dia dengar. Bukan nama yang akrab di telinganya. Itu membuatnya kian penasaran. Kenapa Risa memiliki energi Nedia? Dan kenapa keberadaannya terasa familiar sekaligus membawa kerinduan yang sukar Luka namai?

Setibanya di lobi hotel, Luka disambut suasana yang lengang. Hanya ada dua resepsionis di belakang meja. Beberapa petugas keamanan yang berjaga. Wajah mereka memucat sekaligus terpesona begitu melihat Luka muncul. Kecemasan yang sesaat sempat dibubuhi rasa ingin tahu.

Luka pernah beberapa kali ke sana, tapi ini pertama kalinya dia membawa seseorang bersamanya.

Luka mengabaikan tatapan mereka, bergegas menuju kamar suite yang selalu dan hanya boleh ditempati olehnya. Pemilik Hotel Interkontinental sendiri yang memastikan itu.

Sehabis membaringkan Risa di tempat tidur yang masih rapi karena belum tersentuh, Luka beralih membuka lemari. Selain beberapa helai pakaian yang semuanya berwarna hitam, dia menyimpan kotak P3K di sana.

Sungguh tolol. Luka bergumam dalam hati ketika memeriksa wajah Risa yang penuh memar. Apa yang dia pikirkan saat menyerang Windu Mainaki? Dia bahkan tidak punya dasar beladiri sama sekali.

Windu menghajarnya tanpa ampun. Hidung Risa bengkak dan merah. Darah yang keluar sudah berhenti. Menyisakan jejak merah gelap yang mengering di pipi, bibir dan dagu Risa. Luka menyentuhnya perlahan, dan dalam ketidaksadaran, Risa mengernyit kesakitan.

Benar-benar merepotkan. Luka membatin, separuh menggerutu seraya membersihkan sisa darah dari wajah Risa. Dia mengoleskan salep khusus di memar-memar yang tersebar. Kemudian, Luka duduk diam sekalian menunggu Basil datang. Dari kursinya, dia menatap Risa beberapa lama.

Siapa kamu sebenarnya? Kita tidak mungkin pernah bertemu kan?

Tanya serupa berulang kali lewat di kepalanya.

Luka bersandar ke kursi, membuang napas gamang. Nedia sudah tiada. Tapi apa yang sepupunya itu ketahui dan dia tidak tahu?

Satu tanya tambahan, yang masih tak terjawab.

***

"Lo biarin dia bawa gue ke hotel?!"

Basil meringis.

"Wah, parah banget lo!" Risa berseru, wajahnya makin merah padam. "Bisa-bisanya lo biarin dia bawa gue ke hotel waktu gue lagi nggak sadar! Kalau gue diapa-apain gimana?! Gue belum 18 tahun loh! Gue memang udah punya KTP, tapi gue belum bisa dibilang orang dewasa seutuhnya! Terus dia—cowok itu, yang namanya Luka! Berapa umurnya?!"

Basil tergugu. "Hng—nggak tahu—kalau nggak salah, mungkin sekitar... 98 tahun? Atau 99 ya? Gue nggak terlalu ingat—"

"LO DIEM AJA KETIKA GUE DIBAWA PERGI KE HOTEL SAMA LAKI-LAKI BANGKOTAN YANG UMURNYA CUKUP BUAT JADI BUYUT GUE?!"

"Risa, nggak gitu ya!" Basil buru-buru membela diri. "Serpent nggak menua kayak gimana manusia menua! Emang sih, ada sebagian Serpent yang sengaja pengen kelihatan lebih tua atau lebih dewasa, tapi lebih banyak yang tetap maintenance penampilan umur dua puluhan mereka! Semuanya gampang selama ada energi yang cukup dalam Arx! Walau secara setelan pabrik, biasanya Serpent berhenti menua di umur dua puluh tahun—"

"Setelan pabrik?! Kalian tuh orang apa handphone Xiaomi?!"

"Udah deh, jangan ngomel-ngomel! Toh udah lewat juga!"

"Gimana gue nggak ngomel?!" Risa menukas. "Malam itu, lo sok heroik banget mau mastiin keselamatan gue! Lo bahkan sampai bilang rela nyerahin hidup lo asal mereka biarin gue pergi! Tapi lo diam aja waktu ada laki-laki bangkotan bawa gue ke hotel!"

"Lo belum pernah ketemu Luka! Kalau lo udah pernah ketemu dia, lo bakal ngerti kenapa gue nggak bisa membantahnya! Selain itu, kaki gue juga dipatahin! Ingat nggak? Gue nggak bisa ngejar Luka sekalipun gue mau!"

"Lo kan bisa merangkak!"

"Lo kira gue biawak?!" Basil mendelik. "Nggak usah masalahin sesuatu yang sepele, oke?! Yang penting, Luka nggak ngapa-ngapain lo! Malah, dia bersihin muka lo, olesin salep di memar lo. Gue tahu karena gue bisa nyium bau salep khusus memar waktu gue sampai di hotel!"

"Siapa yang tahu dia udah ngapain aja selama gue nggak sadar?"

"Luka nggak akan begitu." Basil menyergah. "Dia bukan cuma terkenal sebagai salah satu yang terkuat, tapi juga yang paling ganteng. Ada banyak banget cewek yang siap bertekuk lutut dan nyerahin diri mereka ke Luka. Percaya sama gue, kemungkinan besar lo bukan tipenya."

"Bentar, kok gue serasa lagi dikatain ya?!"

"Gini deh, gue tanya ke lo sekarang. Menurut lo, Nedia tuh cantik atau nggak?"

"Cantik. Kelewat cantik."

"Luka sama mempesonanya kayak dia!"

"Tetap aja, gue nggak suka dia bawa-bawa gue seenaknya! Ke hotel pula! Gue ini cewek 17 tahun yang masih polos dan suci ya!"

"Siap yang paling polos dan suci!" Basil meledek.

"Terus, kalian berdua ngantar gue pulang ke rumah?"

Basil mengangguk. "Luka nyuruh gue nyusul ke hotel setelah kaki gue pulih. Habis itu, kita pulangin lo. Nyokap lo yang bukain pintu."

"Terus?!"

"Luka lebih banyak diam. Gue yang jelasin kenapa lo bisa babak-belur. Alasan paling masuk akal yang kepikiran cuma tabrak-lari. Tapi bahkan Luka pun sadar kalau nyokap lo tahu lo nggak sepenuhnya manusia. Nyokap lo khawatir, tapi ya sudah. Beliau izinin Luka gendong lo masuk. Dia yang naruh lo di atas kasur."

"Dia masuk ke sini?!"

"Iyalah! Mana kuat nyokap lo ngegendong lo! Lo tuh berat!"

"Kamar gue... kamar gue udah nggak suci lagi..." Risa bergumam lesu. "Udah berapa banyak cowok yang seenaknya masuk ke sini coba?"

"Itu nggak penting!" Basil berdecak. "Yang terpenting sekarang adalah gimana lo... ke depannya... setelah semua kejadian ini."

Risa mual tatkala teringat batu mulia berbentuk kubus yang diserahkan Nedia padanya. Batu mulia yang memendarkan cahaya biru. Tidak ada benda mirip batu mulia itu ketika dia terbangun.

Apa itu artinya... batu mulia aneh yang Nedia kasih sekarang ada dalam... Arx gue?

"Nedia udah nggak ada." Basil berujar murung. "Energi lo nggak sama lagi kayak waktu pertama kali gue ketemu lo. Energi lo sama Nedia bercampur."

Risa membisu, bingung mesti berkata apa.

"Dua hari terakhir, orang-orang di Kastel Raudra menggelar banyak pertemuan. Isinya sama. Mereka membicarakan lo."

"Raudra?"

"Istana tempat Keluarga Diwangka tinggal. Pusat pemerintahan. Rumah Nedia, juga Luka."

"Nedia tinggal di istana?!"

Basil menjelaskan dengan sabar. "Sama kayak di dunia lo, di Dunia Bayangan, tiap bangsa punya penguasa masing-masing. Bangsa Serpent dikuasai Keluarga Diwangka. Nedia putri sang Raja. Anak satu-satunya setelah sang Ratu menghilang terus ditemukan tewas sepuluh tahun lalu."

Kepala Risa kontan pening. "Nedia sepenting itu... dan gara-gara gue—"

"Mereka sudah mengambil keputusan." Basil memberitahu. "Mereka mau lo dijemput dan dibawa ke Kastel Raudra. Setelah itu, lo bakal dikirim ke akademi."

"Sebentar—jangan bilang kalau sekarang lo ada di sini untuk—"

Basil mengangguk. "Hari ini, gue nggak datang sendiri. Dan orang yang datang bersama gue lagi bicara sama nyokap lo."

***

Sesaat setelah membuka pintu, Ana disambut wajah milik Basil.

Tentu, dia mengenal pemuda itu. Basil bersama seorang temannya yang mengantar Risa pulang dua malam yang lalu. Penampilan Basil dan temannya itu tidak biasa. Mereka kelewat mempesona, teramat mengintimidasi. Terutama teman Basil yang tidak memperkenalkan diri. Dia membawa aroma hujan yang dingin bersamanya. Namun, Ana masih mencoba berbaik sangka. Lagipula, mereka mengaku sebagai teman-teman Risa. Tak banyak orang yang mau jadi teman Risa.

"Loh, Basil?"

"Iya. Maaf sudah mengganggu."

"Nggak kok. Nggak ganggu sama sekali." Ana membuka pintu rumahnya lebih lebar. "Kamu nggak sekolah?"

"Saya udah lulus, Tante. Jadi udah nggak perlu ke sekolah."

Naluri Ana mengatakan kalau itu dusta.

"Oh, mau ketemu Risa?"

"Risa udah baik-baik aja?"

"Dia di dalam. Luka-lukanya sudah jauh mendingan dan kayaknya, kami nggak perlu ke rumah sakit."

Basil mengangguk. "Sebelumnya, maaf lagi, tapi kali ini, saya nggak sendirian."

"Kamu sama temanmu yang waktu itu?"

"Bukan."

Basil tidak perlu menjelaskan lebih jauh, karena sosok yang menyertainya sudah muncul di depan pintu pagar. Ana terperangah. Sosok itu balik menatapnya, dengan sorot mata setenang permukaan danau yang dalam. Tidak ada riak emosi di sana. Dia melangkah melewati pagar depan, kemudian berhenti di teras rumah.

"Apa kabar, Ana?"

Ana benar-benar tidak bisa berkata-kata.

Basil merasa perlu memberi mereka privasi, jadi dia masuk ke rumah, langsung menuju kamar Risa tanpa basa-basi, meninggalkan Ana dan sosok itu saling berhadapan.

Hati kecil Ana selalu tahu kalau hari ini akan tiba. Tidak peduli betapa besar keinginannya agar Risa selalu bersamanya dan hidup seperti manusia pada umumnya, akan datang hari di mana dia mesti merelakan gadis itu pergi. Sosok yang kini berada di depannya yang mengatakan itu hampir dua puluh tahun yang lalu. Sosok yang tak berubah, sementara dirinya terus menua.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya."

Ana tersentak, lalu menjawab hati-hati. "Kabar saya... baik."

"Sudah berapa tahun berlalu?"

"Hampir dua puluh, mungkin."

"Dan kamu sama sekali tidak berubah."

Ana tersenyum kecut. Kata-kata itu bermantel gula. Hanya basa-basi semata. Dia jelas tidak lagi sama seperti dirinya dua puluh tahun lalu.

"Kamu pasti tahu alasan saya berada di sini."

Ana menelan saliva. "Saya bisa menebak. Walau saya harap, tebakan saya salah."

"Bisa kita bicara sambil duduk?"

Saking tegang dan cemasnya, dia bahkan tidak terpikir menawari tamunya duduk. Dengan rikuh, Ana mempersilakan sosok itu duduk. Dia pun ikut duduk.

"Tebakanmu tidak salah. Saya ke sini untuk menjemput dia."

"Secepat ini?"

"Tidak ada yang dipercepat, tidak ada yang diperlambat. Semuanya tepat waktu. Saya tahu, kamu menginginkan dia hidup normal di dunia kamu, tapi kehidupan semacam itu bukan takdirnya. Insiden yang terjadi dua malam lalu, saat dia pulang dalam keadaan penuh memar, itu bukan karena peristiwa tabrak-lari. Kamu pasti tahu itu."

Ana tidak menjawab.

"Tidak mudah membiarkannya pergi, tapi dia tidak sepenuhnya direnggut darimu. Dia masih bisa kembali ke sini saat akademi sedang libur. Dia perlu tahu tentang dirinya. Perlu belajar melindungi dirinya. Jika dia tetap di sini, dia akan mati. Ada banyak yang akan memburunya di luar sana."

Ana tersentak, kecemasan di wajahnya menegas.

"Dari awal, kamu sudah tahu saya sebenarnya apa. Kita sama-sama sepakat."

"Trisha itu anak saya. Dia milik saya."

"Dia bukan cuma milik kamu, tapi juga milik saya." Sosok itu menekankan. "Dan saya tidak akan mencurinya dari kamu. Saya tidak akan memutus komunikasi di antara kalian. Dia bisa kembali ke sini saat tidak sedang belajar di akademi. Dia perlu belajar, atau yang akan terjadi nantinya bakal lebih buruk dari kejadian dua malam lalu. Jika kejadiannya lebih buruk, kamu bisa saja kehilangan dia. Untuk selamanya. Kita berdua sama-sama tidak menginginkan itu, kan?"

Ana tau, dia sudah kalah.

***

Awalnya, Risa terkejut saat ibunya mengizinkannya pergi tanpa menuntut banyak penjelasan.

Beliau bahkan membantunya membereskan barang-barang yang hendak dia bawa, walau tidak banyak. Tapi kemudian Risa paham. Sepertinya yang dikatakan Basil dan Nedia itu benar adanya. Ibunya sudah tahu sejak awal kalau dia tak sepenuhnya manusia.

Saat Risa berpamitan, ibunya memeluknya erat-erat. Risa balik mendekapnya lebih lama dari biasanya. Tidak ada jaminan dia bisa melihat ibunya lagi, meski Basil sempat bilang kalau dia diizinkan pulang ke rumah di masa liburan. Tapi ya... siapa yang bisa menduga apa yang mungkin saja terjadi ke depannya? Minggu lalu, dia tidak punya bayangan sama sekali kalau hidupnya bakal berubah arah secara ekstrem.

Perjalanan menuju Kastel Raudra berlalu tanpa terasa. Basil tidak sendirian, melainkan bersama sesosok pria tinggi berwajah teduh. Dia tampan, terlihat berwibawa. Dari penampilan fisiknya, dia tampak seperti laki-laki di pertengahan usia tiga puluhan. Umur aslinya mungkin lebih tua dari itu. Bagi makhluk seperti Serpent, usia hanya bilangan angka yang tidak tercermin di penampilan. Basil memperkenalkannya sebagai penasehat utama sang Raja.

Mereka meninggalkan ibukota menggunakan sebuah sedan mulus mengilat. Risa mencoba tetap terjaga, karena dia penasaran, bagaimana caranya mereka tiba di sana. Tapi usahanya sia-sia. Di tengah perjalanan, rasa bosan mendatangkan kantuk. Lalu begitu saja, dia tertidur.

Ketika dia terbangun, mobil yang mereka kendarai sudah berada di pelataran depan sebuah istana megah. Istana itu sangat indah, dilengkapi sejumlah menara tinggi menjulang di beberapa sudutnya. Dindingnya terbuat dari batu-bata merah, senada dengan warna daun-daun pepohonan di sekeliling istana. Semuanya berwarna cokelat-kemerahan, menciptakan suasana khas musim gugur.

"Selamat datang di Kastel Raudra." Basil berbisik. "Raudra artinya merah. Disebut gitu karena nuansa bangunan dan lingkungan di sekitar kota ini mayoritas berwarna merah."

"Gimana kita bisa sampai di sini?" Risa menguap.

"Lewat portal."

"Portal?"

"Dunia manusia dan Dunia Bayangan berbeda dimensi. Sebagian besar manusia, terutama mereka yang buta sama hal-hal spritual atau nggak percaya kalau yang ghaib itu nyata nggak akan bisa sampai ke sini. Portal penghubung antara dua dunia nggak bisa ditembus sembarangan. Meski dalam situasi-situasi tertentu, bisa ada pengecualian. Atau error sedikit."

"Error gimana maksudnya?"

"Pernah nggak dengar cerita tentang mobil yang tiba-tiba ada di tengah hutan, padahal nggak ada jalan yang bisa dilewati mobil buat sampai di sana? Atau bus yang out of nowhere nyasar ke tempat-tempat yang nggak wajar? Atau pesawat yang sempat ngilang bertahun-tahun, tapi abis itu tahu-tahu muncul lagi?"

Risa mengangguk. "Pernah."

"Itu karena mereka nggak sengaja ngelewatin portal antara dua dunia. Bisa karena ada orang-orang yang gifted secara spiritual diantara mereka, atau pure karena nggak sengaja. Keberadaan Dunia Bayangan nggak boleh diketahui secara luas sama manusia, jadi kalau ada yang trlanjur masuk, orang-orang dari Sharaprastha biasanya bakal cepat-cepat ngembaliin mereka ke dunia manusia. Itu yang bikin mobil atau bus mendadak ada di tengah hutan, atau tempat-tempat yang nggak wajar." Basil menjelaskan. "Udah mau turun sekarang?"

"Udah boleh turun?"

"Kita di sini nunggu lo bangun doang."

"Masa?!"

"Penasehat Utama udah turun dari tadi. Dia nyuruh gue ngantar lo ke kamar lo selama lo di sini."

"Katanya gue bakal ke akademi—"

"Lo cuma sebentar di sini, untuk nemuin orang-orang Raudra yang penasaran sama lo. Juga ketemu ayahnya Nedia. Sang Raja."

Risa menelan saliva. "Ayah Nedia... pasti benci sama gue. Iya kan?"

"Beliau berduka, tapi gue nggak akan bilang beliau benci lo." Basil menukas. "Kita turun sekarang bisa nggak ya? Sumpah, gue udah pegal banget nungguin lo bangun dari tadi!"

"Emangnya gue tidur selama itu?!"

"Emang selama itu. Mana tidurnya ngiler pula."

"Masa?!" Risa melotot.

Basil nyengir tengil. "Tapi bohong. Hehe."

"Sekali lagi lo bohong nggak jelas gitu, gue tonjok ya!" Risa mendengus geram.

Mereka turun dari mobil. Risa pikir-pikir, makhluk bayangan lumayan canggih juga. Nedia punya kartu kredit, sepupunya membawa Risa ke hotel dan sekarang mereka menjemputnya pakai mobil mewah. Tapi di saat yang sama, fakta itu tidak terlalu mengherankan. Risa pernah baca cerita horor di mana hantunya bisa berkirim WhatsApp, order jasa ojek online dan sebagainya. Pernah juga ada cerita selebriti ibukota manggung di kota ghaib yang penghuninya bukan manusia.

Basil membawakan koper Risa yang hanya sebiji, membuat Risa leluasa mengagumi apa yang ada di sekitarnya.

Bagian dalam istana itu jauh lebih indah daripada tampilan luarnya. Mereka melintasi koridor berlangit-langit tinggi yang penuh nuansa merah gelap. Pilar-pilar penyokongnya berwarna putih, dihiasi oleh ukiran sulur-sulur tanaman berbunga berwarna hitam, merah gelap dan keemasan. Di bagian kanan koridor, berderet jendela-jendela kaca berukuran super besar yang terkesan vintage. Melalui jendela-jendela kaca itu, Risa bisa melihat hamparan taman yang penuh kuntum-kuntum bunga mawar merah. Seorang laki-laki berseragam memimpin di depan mereka untuk jadi penunjuk jalan.

"Itu taman pribadi punya Lara Diwangka. Bangunan di sana itu kamarnya."

"Lara?"

"Kembarannya Luka. Gue cuma papasan sama dia sekali. Jangan expect dia bakal kayak Nedia. Dia kebalikannya Nedia. Mereka beda banget."

Risa mengangguk. Tempat ini memang indah, tapi di saat yang sama, menguarkan hawa mengintimidasi yang begitu kuat. Dia lega saat mereka tiba di ruangan yang jadi kamarnya.

Ruangan itu sangat luas, sama-sama didominasi warna merah gelap, keemasan dan hitam. Ranjangnya berukuran king size, dengan empat tiang di tiap sudut, yang digelantungi kelambu transparan. Dia takjub sekaligus merasa salah tempat.

"Nah, karena lo udah sampai di kamar lo—"

Risa menoleh panik. "Jangan bilang kalau lo mau ninggalin gue sendiri di sini?!"

Basil terkekeh melihat kekalutan di paras Risa. "Gue tahu lo bakal panik begini, jadi gue mengajukan diri buat nemenin lo. Kamar gue ada di sebelah. Dari sini, kita bakal ke akademi bareng-bareng."

Risa tidak lantas percaya. "Beneran?!"

"Bener. Gue kesamber gledek kalau gue bohong."

Risa mengembuskan napas lega. "Syukur deh kalau gitu! Nggak kebayang bakal kayak gimana gue kalau gue sendirian di sini! Tempat ini asing, orang-orangnya apalagi!"

Basil menatap Risa penuh simpati. Sejujurnya, dia kasihan sama Risa. Dunia Bayangan benar-benar asing buatnya, tapi kini, gadis itu sudah terjebak dalam situasi yang rumit.

"Tapi kenapa tiba-tiba lo jadi baik gini sama gue?" Risa menyipitkan mata, tiba-tiba curiga. "Lo ngajuin diri buat nemenin gue? Kayaknya out of character banget ya..."

"Karena kejadian waktu itu... terus terang, bikin gue merasa bersalah. Gue janji ke Nedia, gue bakal mulangin lo dengan selamat. Antar lo sampai rumah dengan aman. Yang terjadi malah kebalikannya. Jadi ya, untuk ngelindungin harga diri gue sendiri, gue ngerasa perlu mastiin lo baik-baik aja, seenggaknya sampai lo tiba di akademi nanti."

Risa tertunduk, kembali muram.

"Apa yang udah lewat, udah lewat. Disesali, diratapi sekalipun, nggak akan ngubah keadaan. Kalau lo merasa bersalah ke Nedia, yang bisa lo lakukan adalah ngejalanin tugas yang dia kasih ke lo dengan sebaik-baiknya."

"Tapi gue nggak yakin bisa... gue bahkan nggak kenal dunia ini... gue nggak tahu gue siapa... gue juga nggak paham tugas yang dimaksud itu apa. Gue terlalu clueless. Ujung-ujungnya, gue cuma akan bikin kecewa."

"Nedia nggak berpikir kayak gitu. Gue rasa, apa pun itu, dia percaya sama lo." Basil berusaha membesarkan hati Risa. "Jadi, meski rasanya mustahil, lo tetap harus coba sekuat yang lo mampu. Lo harus buktiin kalau Nedia nggak salah karena udah percaya sama lo." Basil sempat terpikir mau mengusap bahu Risa. Tapi dia ragu, dan akhirnya mengurungkan niatnya. "Lo nggak perlu khawatir. Entah Luka atau Lara, salah satu dari mereka akan bantu lo menguasai elemen lo. Kemampuan mereka nggak main-main. Mereka bisa diandalkan."

Risa merebahkan tubuh di atas tempat tidur.

"Nedia sempat bawa lo ke dalam Arx-nya ya?" Basil bertanya.

Risa terkenang lagi akan momen-momen horor sewaktu kastel kaca di belakang Nedia pecah berkeping-keping. "Iya. Tempat itu indah banget."

"Lo juga bisa punya Arx seindah itu nanti."

"Gimana sama lo?"

"Apanya?"

"Gimana sama Arx lo?"

Basil tersenyum pahit. "Nggak ada apa-apa di Arx gue. Gue bahkan belum pernah benar-benar masuk ke sana."

"Kenapa gitu?"

"Gue sendiri nggak tahu."

"Kenapa gitu?" tanya Risa tetap sama.

"Mungkin karena nggak ada yang bersedia membantu gue menguasai elemen gue. Nggak tahu kenapa." Ada frustrasi yang berusaha ditutupi dalam suara Basil. "Serpent yang terlahir dengan elemen Cahaya itu langka banget. Selain kita berdua, yang diketahui cuma Luka, Lara, Nedia, Ariella dan Chyndar Tedjaratri. Nedia seangkatan sama gue waktu di akademi dulu, dan Ariella yang ngajarin dia. Setelah lulus, Nedia sempat ngajuin diri buat ngajarin gue, tapi pengajuannya ditolak. Luka dan Lara... yah, mereka nggak suka gue. Jadi gue nggak bisa mengharapkan mereka."

Risa membisu.

"Tapi nggak apa-apa. Gue bakal tetap coba. Mungkin gue bisa melakukannya sendiri. Atau kalau nggak bisa, gue bakal nunggu lo lulus. Lo mau kan ngajarin gue?"

Risa berdeham. "Mungkin. Kalau lo bersedia bertekuk lutut terus cium kaki gue."

"Yailah, belum apa-apa, lo udah sombong duluan."

Risa nyengir. "Kita lihat nanti. Kalau lo kurang-kurangin jailnya lo itu, mungkin bisa gue pertimbangin."

"Kalau soal itu sih, gue nggak janji."

Balasan Basil bikin Risa merengut.

***

Menjelang pukul empat sore, kamar Risa didatangi dua perempuan muda berseragam.

Satu berambut merah, dan satu laginya berambut cokelat. Mereka sangat cantik, dengan kulit pucat dan warna mata yang sama-sama hijau zamrud. Salah satu dari mereka memberitahu kalau Risa mesti bersiap-siap karena Luka hendak bertemu.

Ini maksudnya... gue diminta ketemu kakek-kakek?!

Meski Basil sudah bilang kalau Luka sama menawannya seperti Nedia, setelah mendengar umurnya, susah buat Risa untuk tidak membayangkan sosok kakek-kakek peyot tiap mendengar nama Luka disebut.

Tetapi dia hanya bisa menurut ketika dua perempuan muda itu membantunya bersiap-siap. Mereka memberi Risa terusan putih sederhana berpotongan elegan. Tadinya, mereka berniat membantu Risa ganti baju. Tentu saja, Risa menolak mentah-mentah. Dia tidak ingin setengah telanjang di depan orang yang tidak dia kenal, meski mereka sama-sama perempuan.

Usai menyisir dan mengepang rambut panjang Risa, kedua perempuan itu membimbingnya menuju sebuah ruangan.

Benar-benar super astaga! Ketemu kakek-kakek aja mesti dandan dulu! Padahal baju yang gue pakai dari rumah juga nggak jelek kali!

Mereka berhenti di depan pintu ruangan berukuran besar yang dihiasi simbol ular dan mawar. Dua lelaki tegap yang berjaga membukakan pintu untuk Risa. Ragu-ragu, Risa melangkah masuk. Ruangan di baliknya sangat luas. Langit-langitnya tinggi, berbentuk cekung dan dihiasi lukisan bergaya zaman Renaisans. Terdapat perapian yang tidak sedang dinyalakan di sudut lain ruangan serta rak-rak buku tinggi menjulang. Jendela-jendela raksasa yang dihiasi tirai bertumpuk-tumpuk memperkuat nuansa mewah ruangan tersebut. Kursi-kursinya berwarna merah gelap, berhias aksen keemasan.

Langkah Risa seketika terhenti saat dia melihat sesosok laki-laki yang sedang berdiri memunggunginya. Lelaki itu menghadap ke jendela. Dari tempatnya berdiri, Risa bisa melihat kuncup-kuncup bunga peony merah muda di luar jendela.

Nedia suka bunga peony.

Lelaki itu tetap membisu, jadi Risa berinisiatif menyapa lebih dulu. "Eh—sori..."

Dua kata darinya membuat laki-laki itu berbalik. Risa dibuat ternganga. Dia kehabisan kata-kata. Otaknya serasa beku tiba-tiba. Dunianya seolah-olah menyusut, terpusat hanya pada seraut wajah tampan yang tengah membuatnya terpana.

Risa tolol! Mana ada kakek-kakek kayak gini!

Basil tidak berbohong. Luka memang mempesona. Tidak. Bagi Risa, lelaki itu lebih dari sekadar mempesona. Pembawaannya dingin. Wajahnya tanpa ekspresi. Tapi tatapan matanya amat tajam, serupa elang yang sedang mengintai mangsa. Hawa yang dibawanya teramat mengintimidasi. Risa tidak sanggup berlama-lama menatapnya.

Laki-laki itu terlihat seperti pangeran. Bukan tipikal pangeran manja yang tidak pernah berbuat apa-apa selain ongkang-ongkang kaki seumur hidupnya. Melainkan jenis pangeran yang sudah memenangi banyak pertarungan. Yang akrab dengan darah dan pertempuran. Yang menawan namun letal nan mematikan.

"Duduk."

Itu bukan saran, apalagi ajakan. Itu perintah yang tidak boleh dilawan. Tergagap, Risa pun duduk. Kedua tangannya tergeletak kaku di pangkuannya. Dia salah tingkah karena Luka tidak kunjung berhenti menatapnya.

"Aku tidak suka basa-basi, jadi kita akan langsung ke intinya. Nedia sudah tidak ada."

"Maaf—" Risa berujar takut-takut. "Maaf—dan gu—maaf, aku turut berduka."

"Duka?" Luka tersenyum miring. Terkesan mengejek. "Lihat aku baik-baik."

Risa merutuk dalam hati.

Gue salah ngomong apa coba?! Nih orang boleh aja ganteng berat, tapi kok agak-agak—

"Lihat. Aku."

Napas Risa disentak paksa dari paru-parunya saat sebentuk energi tak kasatmata memaksa wajahnya terangkat, membuatnya tak punya pilihan selain memandang Luka. Lehernya kaku, benar-benar tidak bisa digerakkan sama sekali.

"Aturan pertama; fokus saat aku sedang bicara padamu."

Risa mereguk saliva. "O... oke."

"Sekarang, lihat aku baik-baik. Apa aku terlihat seperti seseorang yang lagi berduka?"

"Mungkin."

"Mungkin?"

"Duka nggak selalu kelihatan, kan? Ada orang yang di luarnya baik-baik aja, tapi di dalamnya nggak. Nedia—" Kata-kata Risa tersendat. "Nedia itu sepupu kamu. Dari cerita Nedia tentang kamu, kayaknya kalian lumayan dekat. Jadi kupikir—"

"Aku tidak berduka."

"Oh?" Risa mengerjap. "Oke... sip... kalau gitu..."

"Namun jelas, apa yang terjadi malam itu sudah mengubah keadaan. Takdir Nedia sekarang jadi takdirmu. Dan aku diminta membantumu menguasai elemenmu."

"Iya. Sudah tahu kok. Basil sudah bilang—"

"Aku belum memberimu izin bicara."

Anjrit, sensian banget kayak pantat bayi?!

"Oke... sip... maaf... siap salah!"

"Ada beberapa syarat yang harus kamu setujui jika ingin jadi siswaku. Pertama, aku berhak menyuruhmu melakukan apa saja selama tujuannya jelas untuk membantu meningkatkan kemampuanmu. Secara fisik dan secara non fisik. Kedua, kamu tidak akan protes terhadap caraku mengajarimu. Ketiga, kamu siap kalau-kalau harus sampai mengalami cedera berat saat latihan. keempat—"

"Wow, wow, wow! Tunggu sebentar!" Risa memotong, membuat Luka mengepalkan tangan menahan geram. Belum sepuluh menit mereka bicara, tapi Risa sudah memotong ucapannya beberapa kali.

Makhluk setengah manusia ini... dia kira dia siapa?!

"Kamu memotong ucapanku. Lagi."

"Oke. Maaf. Sori. Siap salah. Tapi bentar nih ya, bentar banget, mohon maaf, kenapa poin-poin aturannya kedengaran ekstrem ya?"

"Sebab latihan yang akan kamu jalani memang ekstrem." Luka membalas. "Dalam berlatih, rasa sakit seringkali diperlukan. Rasa sakit membantumu fokus. Dan latihan yang fokus akan membuatmu lebih kuat."

"Tapi—"

"Kamu belum kuberi izin bicara."

"Oh ya. Maaf."

Luka melanjutkan. "Tapi aku akan berusaha menjagamu tetap hidup. Itu yang mereka inginkan. Aku juga tidak akan memanfaatkan posisiku sebagai mastermu untuk menyuruhmu melakukan tindakan yang mencederai kehormatanmu, serta tindakan-tindakan yang tidak berhubungan dengan tujuan belajar."

"Trims. Sangat melegakan." Risa menjawab sarkastik. "Gue—eh, aku percaya sama kamu. Dari apa kata orang-orang, kayaknya aku cukup penting. Kamu nggak bisa membunuhku. Jadi oke, aku setuju sama syaratmu. Tapi aku juga punya syarat tersendiri."

"Kamu tidak dalam posisi yang memungkinkan tawar-menawar denganku."

"Begitu ya?" Risa tersenyum kelewat manis. "Tapi misal nih ya, misal aja, aku nggak mau belajar. Kira-kira, bakal ada berapa banyak orang yang kesal sama kamu?"

"Kamu mengancamku?"

"Nggak sama sekali. Cuma nanya aja." Jujur saja, tatapan Luka membuat Risa agak ngeri-ngeri sedap. Namun, dia memilih nekat.

Sebenarnya gue takut, tapi gue ngotot percaya diri aja.

"Syarat apa?"

"Temanku. Namanya Basil. Dia juga punya elemen Cahaya. Tapi nggak tahu kenapa, nggak ada yang mau ngajarin dia."

Luka bergeming.

"Setahuku, kamu punya saudara kembar. Elemennya Cahaya juga, kan? Syaratku... aku bersedia belajar sama kamu, asalkan kembaran kamu mau bantu ngajarin Basil."

Tatapan Luka tertuju lurus ke Risa. "Ditolak."

"Apa?"

"Syaratmu ditolak."

Risa melotot, langsung kesal. Dia tahu, tidak seharusnya dia bersikap kurang ajar ke Luka. Selain jauh lebih tua darinya, Luka juga sepupu Nedia. Berarti, lelaki itu bangsawan. Selevel pangeran. Masih anggota keluarga dekat Sang Raja. Tetapi Risa tidak ingin mundur. Egonya, serta kepeduliannya untuk Basil membuatnya memaksa diri tetap ngotot.

"Kalau gitu, aku nggak mau belajar sama kamu."

"Oh ya?" Luka mengejek. "Sepertinya, kamu akan lebih senang jika diajari Lara."

"Aku juga nolak belajar sama kembaran kamu."

"Kamu tidak dalam posisi untuk bisa tawar-menawar. Kamu tahu itu?"

"Nggak tahu, makanya ini iseng nyoba."

Luka membuang napas kesal. Melihat dari ekspresi wajah Risa, dia tahu gadis ini bakal menyulitkannya. Jadi balasnya, "Tujuh serangan."

"Apa?"

"Tujuh serangan." Luka mengulang. "Kalau kamu masih berdiri setelah menerima tujuh serangan dariku, aku akan meminta Lara mengajari teman pecundangmu yang payah itu. Tapi jika kamu gagal, kita tidak akan bicara soal omong kosong ini lagi."

Risa menelan ludah.

Tujuh serangan?! Edan kali! Kemarin-kemarin aja gue langsung semaput setelah ditabok beberapa kali!

Luka tersenyum miring, puas melihat Risa memucat. "Takut?"

Senyum Luka yang amat merendahkan menyenggol ego Risa. Emosinya tersulut, merambat naik dengan cepat.

"Siapa yang takut?! Boleh dicoba sekarang!"

Naif. Sungguh naif. Dan impulsif. Luka membatin.

"Kalau begitu, bangun dan temui aku di luar dalam lima menit."

Risa tersadar, dia baru saja melakukan kesalahan besar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top