Part 9

Noah Naya

###

Part 9

###

Masih ada yang nungguin Noah ama Naya?
Kalo banyak, Author usahain post seminggu sekali deh. Jangan nagih kalo belum seminggu, ye. Wkwkwkk

Special for Putrie-W
Cie cieee....
Sekalian numpang famous #eh
😂😂😂

###

"Naya?" Panggilan ringan dari arah belakang menghentikan langkah Noah dan Naya yang hendak menuruni tangga restoran.

Naya menoleh, terkejut sesaat mendapati Banyu datang menghampiri dari arah dalam restoran. Naya membalas sapaan Banyu meski merasakan tangan Noah yang melingkari pinggangnya semakin mengetat. "Hai, kau di sini?"

Banyu mengangguk. "Ini restoran langgananku."

Naya mengangguk-angguk mengerti.

"Bagaimana keadaanmu? Apa kau baik-baik saja?" Banyu mengabaikan ketegangan yang tampak begitu jelas di wajah Noah saat berhadapan dengannya. Ada alasan malam itu Naya tiba-tiba mendatangi dan meminta pertolongan padanya. Ada juga alasan kenapa wanita itu tiba-tiba menghilang tanpa kabar setelah Noah membawa paksa dan nomor Naya yang tak pernah aktif hingga sekarang. Tentu ia tak akan melewatkan kesempatan untuk bertemu Naya dan menuntut jawaban yang membuatnya tak pernah tenang memikirkan wanita itu sejak malam itu.

"Aku ... baik." Sedikit kecanggungan dengan keberadaan Noah dan Banyu di tempat yang sama. Naya tahu benar bagaimana interaksi kedua pria ini yang tak bisa dibilang cukup akrab. Bahkan Noah selalu melemparkan tatapan permusuhan pada Banyu meski Banyu tampak tak terlalu memedulikan sikap dingin Noah.

"Aku mengkhawatirkanmu karena tiba-tiba kau tak pernah kembali untuk membawa barang-barangmu dan nomor ponselmu tak bisa dihubungi. Aku sedikit lega bertemu denganmu di sini."

"Kita harus segera pergi," bisik Noah sedikit menunduk dan mendekatkan bibirnya di telinga Naya. Sebelum Banyu berbicara lebih banyak.

Naya mengernyitkan kening tak mengerti. Tak pernah kembali? Barang-barang?Ponsel? Ya, ponselnya memang menghilang karena kecelakaan itu, tapi barang-barang apa yang dimaksud oleh Banyu.

"Kami pergi," ucap Noah dengan tatapan dinginnya pada Banyu. Menarik pinggang Naya menjauh dari secepat mungkin.

"Maafkan aku, Banyu. Kami terburu."

Banyu memandang kepergian Noah dan Naya dengan kernyitan aneh di keningnya. Bertanya-tanya dengan keanehan sikap Noah dan reaksi Naya terhadap penuturannya. Apa yang terjadi?Apa yang dilakukan Noah pada Naya?

Seolah Naya tak tahu apa pun yang Banyu katakan. Bahkan Naya terlihat terkejut dengan kata-katanya. Haruskah ia mencari tahu lebih jauh? Hanya satu orang yang bisa membantunya. Arfa.

***

"Kenapa Banyu mengatakan tentang barang-barangku? Apa aku menitipkan barang padanya?" tanya Naya di mobil.

"Entahlah." Noah memutar kunci mobil, menginjak gas dan memasuki jalanan beraspal. Bergegas menjauh dari Banyu yang masih mematung di depan restoran menatap mobilnya.

Naya semakin dibuat terheran.

"Beberapa kali kau bertemu dengannya tanpa sepengetahuanku. Aku tak tahu." Noah kebingungan harus menjawab apa. Belum dengan konsentrasinya ke arah jalanan yang mulai pecah. Ia harus lebih berhati-hati atau akan membahayakan nyawa mereka berdua.

Naya tertegun. "Tanpa sepengetahuanmu? Kenapa?"

"Aku tak tahu Naya. Terkadang kau mengatakan padaku bertemu dengannya entah di mana tapi kau tak pernah mengatakan lebih dari itu." Tentu saja karena komunikasi mereka yang tiba-tiba menjauh dan mereka tak punya waktu berdua mengobrolkan kegiatan masing-masing seperti saat mereka berpacaran. Hanya mengingatkan Noah bagaimana bobroknya rumah tangga mereka karena ketidakpedulian dirinya. Ia yang terlalu merasa paling berjuang dalam hubungan mereka, tanpa tahu bahwa Naya juga menderita di bawah tekanan mamanya yang begitu membenci istrinya.

"Apakah aku seperti itu?" Naya bertanya dengan tak yakin. Naya merasa telah melakukan kesalahan besar. Hubungannya dengan Noah selalu didasarkan pada kepercayaan dan keterbukaan. Mereka tak pernah memohon untuk saling mencintai.

"Bukan kesalahanmu, Naya." Noah mengambil tangan Naya. Mencium punggung tangan Naya dan meletakkan genggaman kedua tangan mereka di pangkuannya. Meyakinkan Naya bahwa semua kerenggangan hubungan mereka bukan karena wanita itu. "Hanya aku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan kantorku dan sering pulang terlambat. Sesampai di rumah pun, biasanya badanku sudah lelah dan memilih beristirahat. Semua kesalahanku."

Naya masih tertegun. "Apakah hubungan kita sempat merenggang?"

Noah berusaha keras mengendalikan ketidakstabilan pikirannya. Naya tidak boleh memikirkan retakan besar dalam rumah tangga mereka. "Hanya karena kesibukanku, kau pun memahaminya."

Naya mengangguk mengerti. Ya, sejak keluar dari rumah sakit, ia memang memahami kesibukan Noah. Pria itu bahkan sering membawa pekerjaan kantor ke apartemen mereka. "Kita saling berjuang untuk satu sama lain," gumamnya lirih.

"Apa kau berjanji akan berjuang untukku?"

"Tentu saja, Noah. Pertanyaan macam apa itu?!"

Noah tertawa ringan. Sekali lagi membawa tangan Naya di bibirnya.

***

Sesampai di apartemen, sopir Noah menghampiri mereka dan menyerahkan dua berkas bermap biru pada Noah. "Nona Lita menitipkan ini pada saya. Untuk meeting pagi," katanya.

Noah mengangguk singkat. Sekilas memeriksa berkas itu sambil berjalan masuk ke kamar mereka. "Tunggu di bawah tepat jam sembilan," pintahnya pada si sopir sebelum ia benar-benar melewati pintu kamar.

"Apa ada pertemuan pagi?" tanya Naya.

Noah mengangguk. "Bisakah kau mengisi daya ponselku. Aku harus memeriksa ini lebih dulu." Noah menyodorkan ponselnya ke arah Naya sedangkan matanya tertuju pada jam di tangan. Ia hanya punya waktu kurang dari tiga puluh menit sebelum sampai di kantor. Dan ia bahkan belum mengganti pakaiannya.

Naya bergegas mengambil ponsel Noah dan berjalan ke nakas. Sedangkan pria itu duduk di set sofa dan mulai membuka berkas.

Naya ke kamar mandi. Membersihkan badan karena belum sempat mandi ketika meninggalkan rumah mertuanya dan mengganti pakaiannya. Sepuluh menit kemudian, ia keluar dan Noah masih sibuk membaca. Pria itu pasti memiliki pekerjaan yang sangat berat dengan keningnya yang sering berkerut.

"Apa kau ingin minum? Secangkir kopi atau coklat mungkin?" tawar Naya.

Noah mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Naya. Tak lama setelah Naya keluar, dering ponsel di nakas membuatnya menoleh. Sekretarisnya, Noah pun mengangkat panggilan tersebut.

"Ada apa?"

"Orang dari Widjaja Group sedang dalam perjalanan ke mari, Pak."

Noah menepuk kepalanya. Baru teringat akan pertemuan pagi dengan pimpinan Widjaja Grup.

"Baiklah. Aku akan sampai dalam dua puluh menit. Pastikan kau mengulur waktu."

"Baik, Pak."

Noah bergegas ke kamar, mengganti pakaian secepat mungkin. Tepat ketika ia keluar dari kamar mandi, Naya masuk dengan nampan berisi secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.

"Kau sudah akan berangkat?" tanya Naya melihat Noah yang sudah rapi dengan setelan kantornya dan wajah yang lebih segar.

Noah berjalan mendekat. Menyesap kopinya seteguk dan mencium kening Naya. "Aku harus berangkat sekarang. Sampai jumpa nanti malam."

Naya mengangguk. Meletakkan nampan di tangannya ke meja dan mengikuti Noah hingga di pintu depan. "Hati-hati."

Noah mengangguk singkat dan tersenyum. Lalu, melepaskan pegangan tangannya di handle pintu. Mendekati Naya dan mengecup bibir wanita itu. "Aku benar-benar merindukanmu, Naya."

Naya terkikik. Pipinya menghangat. "Kita bahkan masih saling melihat, Noah."

Noah hanya mengangkat bahu. Ya, ia sangat merindukan Naya meski wanita masih ada dalam dekapannya, masih bisa ia sentuh. Seakan semua kehidupan bahagia mereka saat ini hanyalah khayalannya saja.

"Berangkatlah!" Naya mendorong Noah menjauh.

"Bye." Noah pun menghilang di balik pintu apartemen.

Cukup lama, Naya tertegun menatap pintu. Senyum tertambat erat di kedua sudut bibirnya. Keromantisan Noah tak pernah berubah. Noah selalu mengatakan rindu meski saat itu ia tengah berada dalam dekapan pria itu.

Saat Naya kembali ke kamar, ia menemukan berkas yang sempat dibaca Noah masih tergeletak di ranjang mereka. Segera Naya mengambil ponsel, menghubungi nomor Naya, dan deringan di nakas membuatnya menoleh sebelum mendesah keras. Noah juga meninggalkan ponsel pria itu.

Merasa berkas itu penting dan akan dibutuhkan Noah untuk pekerjaannya hari ini. Naya segera mencari tasnya. Berniat mengantarkan berkar dan ponsel Noah ke kantor.

***

Lita bergegas berdiri dari tepat duduknya ketika lift terbuka dan muncul tuannya. Begitupun dua temannya yang lain, bersamaan membungkuk sebagai penghormatan saat Noah berjalan di depan mereka. Meraih handle pintu dan membukanya untuk Noah dengan satu agenda berada di tangannya yang lain.

Noah berhenti di depan Lita. "Suruh seseorang ke apartemenku mengambil ponsel dan berkas yang tertinggal."

"Baik, Tuan." Lita mengangguk. Mulutnya hendak membuka mengatakan sesuatu ketika Noah menyela.

"Bagaimana dengan Widjaja?"

"Terjebak macet, sepertinya ada kecelakaan yang menahan mobil mereka. Tapi dalam sepuluh menit akan sampai. Dan siang ada pertemuan dengan dewan direksi mengenai peluncuran produk terbaru. Tapi ..."

Sekilas Noah menyadari nada gugup yang melumuri suara Lita dan menemukan apa penyebab wanita muda yang selama setahun menemani pekerjaannya kini tampak ketakutan dan penuh keraguan. Langkah Noah terhenti tepat di ambang pintu, wajahnya mengeras menatap sosok feminim lainnya yang dengan lancang duduk di kursi kebesarannya. Senyum polos yang licik dan penuh tipuan terpasang begitu apik hingga membuat Noah begitu muak. Keinginan untuk melenyapkan senyum itu untuk selamanya tiba-tiba menggodanya seperti bisikan iblis.

"Selamat pagi, Noah," sambut Ralia dengan kedua tangan membentang.

"Nona Ralia berkeras menunggu Anda di dalam." Lita menjaga nada suaranya setenang mungkin agar tuannya tak punya alasan untuk meluapkan amarah yang seperti mendidih di ubun-ubun ikut menciprati dirinya.

"Lain kali, kau harus lebih keras kepala mengusirnya dari ruanganku atau aku yang akan memecatmu, Lita," desis Noah. "Sebaiknya perjuangkan pekerjaanmu seakan kau menjaga nyawamu."

Lita memejamkan mata dan mengangguk singkat. Cukup ketegangan yang menguar dari tubuh tuannya pada model brand ambassador perusahaan membuat napasnya berhenti dan menelan ludahnya dengan getir. Bagaimana Ralia tampak begitu tolol dengan senyum ceria sementara tatapan membunuh dan aura membakar diluncurkan pada wanita itu. Hanya untuk wanita itu.

Kemudian, suara denting lift yang terbuka membuat wajahnya menoleh dan memucat menemukan istri tuannya muncul dari dalam lift. Dengan sebuah berkas dalam pelukannya dan senyum kecil di wajahnya yang ramah.

"Tuan," panggilnya dengan suara lirih. Namun, sepertinya kemarahan menulikan telinga tuannya dari suaranya yang tak cukup keras.

Dengan langkah besar-besar, Noah menyeberangi ruang kerjanya mendekati Ralia. Dengan geraman kemurkaan yang membuat tubuh pria itu bergetar hebat.

Ralia yang merasa berbangga diri melihat langkah besar-besar Noah menghambur ke arahnya, ikut berdiri dan mendekati Noah. Mengabaikan kemarahan di wajah pria itu.

Hanya butuh tak lebih dari satu detik, ketika kedua tubuh itu saling bertemu di tengah, lalu Noah menyambar leher Ralia dan membanting wanita itu ke dinding terdekat.

Bruukkk ....

Tubuh Ralia membentur tembok dengan tangan Noah mencengkeram leher jenjang wanita itu. Amarahnya menulikannya dari pekik kesakitan Ralia. Tentu saja ia harus menghukum wanita itu.

"Beraninya kau menampakkan wajahmu di hadapanku setelah apa yang kau katakan pada Naya?"

Kedua tangan Ralia berusaha menarik pergelangan tangan Noah dari lehernya. Napasnya tertahan dan tubuhnya berusaha meronta. Tetapi kekuatan pria milik Noah ditambah kemarahan yang membakar pria itu, tentu tak ada harapan baginya udara bisa melewati tenggorokannya dengan mudah.

"No ... No ... aa." Ralia mulai merasa ketakutan dengan kematian yang menggantung di atas kepalanya. Kakinya menggapai-gapai mencari pijakan yang bisa menambah sedikit kekuatannya untuk melawan kungkungan pria itu. Sial! Tubuh Noah terlalu tinggi. Mata pria itu masih digelapkan oleh kemurkaan yang tak pernah Ralia kira akan seserius ini.

"Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya," desis Noah geram.

"Noah?!" Suara Naya tiba-tiba muncul dari arah belakang Noah. Berkas dan ponsel Noah dalam pelukannya kini meluncur mulus dan berhamburan di lantai.

Noah membeku. Suara Naya menyadarkannya. Kepalanya menoleh, menemukan Naya berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sepucat mayat. Cengkeraman di leher Ralia melemah.

"Apa ..." Naya berhenti. Membasahi tenggorokannya yang kering karena keterkejutan "Apa yang kaulakukan?" lirihnya.

Ralia tersungkur di lantai. Memegang lehernya yang terasa nyeri dan terbatuk-batuk. Napasnya tersengal saat berusaha mengisi paru-parunya dengan udara. Air mata jatuh membasahi wajahnya yang memerah.

Noah masih terpaku di tempatnya. Tahu apa pun yang disaksikan Naya saat ini, akan merubah seluruh pandangan Naya terhadap dirinya. Tiba-tiba saja ia merasa dihadapkan pada sebuah jurang yang gelap dan sangat dalam. Bayangan saat Naya berteriak membenci dirinya menggantung berat di atas kepalanya.

Pandangan Naya turun ke arah Ralia. Lalu berlari menghampiri wanita itu. Bersimpuh di samping Ralia dan mengelus punggungnya. "Apa kau baik-baik saja?"

###

Wednesday, 6 May 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top