Part 3


Noah Naya

###

Part 3

###


"Apa kau belum tidur?" Noah akhirnya bertanya setelah merasa gerakan Naya mengganggu konsentrasinya pada layar laptop di pangkuannya. Sejak ia keluar dari kamar mandi dan memilih menyelesaikan beberapa pekerjaan kantornya di ranjang daripada di ruang kerjanya. Naya tak berhenti bergerak dengan gelisah. Membolak-balikkan badannya demi mendapatkan posisi nyaman yang tak juga ia dapatkan hingga menarik perhatian Noah.

Naya membalik badan menghadap Noah. Melihat pria itu melepas kaca mata sebelum mengulurkan tangan padanya. Dahinya mengerut terbengong melihat uluran tangan Noah.

"Kau biasa memegang tanganku sebelum terlelap." Jemari Noah mengisi jemari Naya lalu mengangkat dan mencium punggung tangan wanita itu. "Tidurlah."

Naya tersenyum malu. "Apakah biasanya aku melakukan ini?"

Noah mengangguk. Sejak Naya mengetahui dirinya hamil, Naya memang kerap kali kesusahan tidur. Diam-diam wanita itu memegang tangannya saat ia berpura-pura mulai terlelap. Lalu, sering terbangun tengah malam dan harus terbangun di pagi hari karena perut yang bergolak ingin mengosongkan isi. Morning Sickness, itu yang dikatakan dokter kandungan ketika secara diam-diam bertanya tentang keluhan-keluhan Naya. Seperti orang bodoh, ia pergi ke dokter kandungan memeriksakan janin dalam perut Naya tanpa membawa wanita itu.

"Tidurlah, aku akan menyusulmu sepuluh menit lagi."

Naya menarik selimut menutupi dada dan meletakkan genggaman tangannya dan Noah di pipi. Ia tak tahu biasanya ia hanya sekedar menggenggam tangan Noah atau memeluk pria itu saat tidur. Namun, nalurinya seperti sudah mengenali kebiasaannya. Sungguh ajaib, saat otaknya tak mengingat kebahagiaan yang mereka lewatkan, tubuh dan tangannya mengingat semua hal itu. Tak lama matanya mengantuk dan ia terlelap dengan cepat.

***

Naya terkesiap. Lenganya dipelintir dan ada tangan lain menarik kuncir rambutnya. "Auuwww," rintihnya.

"Pergilah kenakan bajumu! Banyu sudah menunggumu."

"Tapi Naya tidak mencintai Banyu, Kak."

"Jadi kau lebih memilih anak ingusan berandalan itu dibanding Banyu yang sudah jelas bisa menutupi kemiskinan keluarga kita dengan kekayaannya?"

"Noah tidak seperti yang kakak pikir."

"Oh ya? Yang kutahu, anak itu tidak bisa memberikan kakak uang untuk mencukupi kebutuhan kita. Apa kaupikir uang bisa jatuh dari langit?"

"Naya tidak mau menikah dengan Ba ... Aauuuwwww."

Tarikan jemari kakaknya di rambut Naya semakin keras. Kepalanya terdongak dan lehernya terasa sakit. Lalu wajah kakaknya mendekat dan bibirnya berbisik penuh ancaman. "Yang kutahu, kau akan berdandan dengan sangat cantik, mengenakan pakaian yang sudah kakak pilih, menemui Banyu di bawah, dan merayunya untuk segera menetapkan tanggal pernikahan kalian. Apa kau mengerti?"

Naya tersentak. Rasa sakit di kepala akibat jambakan kakaknya masih terasa begitu jelas meskipun ia baru tersadar bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. Atau itu hanya kepingan ingatan yang masih putus-putus akibat kecelakaan. Karena Naya masih ingat semua hal yang dilakukan kakak dan mamanya untuk mendekati Banyu demi kekayaan pria itu. Dan bukannya Banyu tertarik pada kakaknya, pria berumur dua puluh tujuh tahun itu malah berterus terang jatuh cinta padanya. Sesaat kakaknya sakit hati dan menyimpan dendam padanya, tapi tak menghentikan niat jahat mereka untuk menguras harta Banyu dan menjodohkan pria itu dengannya.

Naya ingin tahu apa yang terjadi dan dilakukan Noah dengan perjodohan itu hingga berakhir menjadi istri Noah. Ya, meskipun ada kelegaan karena ia juga tak menginginkan pernikahannya dengan Banyu benar-benar terjadi. Setidaknya, ia lebih mengenal Noah dibandingkan Banyu. Dan keluarganya tak perlu menjadikannya sebagai wanita penguras harta laki-laki hanya demi kemewahan yang ingin dipertahankan oleh Mama dan kakak perempuannya.

Dengan perlahan, Naya mengangkat lengan Noah yang melingkari perut dan memutar tubuh menghadap suaminya. Sesaat ia merasa semua ini hanyalah mimpi. Berada dalam pelukan Noah. Bisa menyentuh wajah pria itu sesukanya. Hingga detik ini, ia masih tak percaya semua ini adalah anugerah yang telah dilimpahkan padanya.

Noah menggeliat merasakan sentuhan di wajahnya. Matanya terbuka sedikit dan menyadari Naya juga melakukan hal sama, seketika matanya terbuka lebar dan mulai panik. "Kenapa? Apa kau tidak bisa tidur lagi?"

'Lagi?' Dahi Naya berkerut sedikit. 'Apa aku sering kesulitan untuk tidur?'

"Atau kau haus?"

Naya mengangguk ketika tenggorokannya tiba-tiba terasa kering saat pertanyaan Noah selesai.

Noah beranjak duduk, menyalakan lampu nakas, dan mengambil gelas air putih yang tersedia di sana. "Minumlah."

Naya terheran dengan rasa haus yang lebih besar dari yang ia kira setelah menandaskan isi gelas tersebut dengan cepat. Apa mungkin karena mimpi buruknya?

"Tidurlah." Noah membawa Naya dalam pelukanya. Menarik selimut menutupi tubuh mereka dan mengusap rambut Naya.

Naya tersenyum, mimpi buruknya telah berakhir. Tanpa tahu bahwa mimpi buruk yang lain baru saja mencengkeramnya erat-erat.

***

Naya menatap lobi yang lengang itu dengan bingung. Noah menyuruhnya masuk, tapi ia tidak tahu di lantai berapa ruangan pria itu. Lalu ia mencari ponsel untuk menghubungi pria itu.

"Hai, kenapa kau belum datang juga?"

"Aku ... aku tidak tahu di mana ruanganmu."

Terdengar desahan penuh sesal dari seberang. "Maafkan aku. Seharusnya aku memberitahumu lebih dulu. Pergilah ke bagian resepsionis."

Naya memutar kepala mencari meja yang dimaksud Noah. Setelah menemukannya, ia memutus panggilan sepihak dan berjalan mendekat.

Wanita cantik yang bertugas di balik meja menatapnya dengan enggan ketika melihat Naya dengan tumpukan kotak-kotak makanan di tangan kiri. Lalu tertawa mencemooh saat ia mengatakan tujuan datang kemari.

"Apa Anda sudah mengatur janji temu dengan beliau?"

"Ya. Baru saja," jawab Naya dengan lugas sambil menunjukkan ponselnya.

Wanita itu terkikik. Membuat Naya terbengong. Apa ada yang salah dengan penampilannya? Apa luka di dahinya masih begitu kentara? Atau wajahnya terlihat konyol karena antusiasmenya yang begitu kentara ingin menemui suaminya sendiri?

"Tuan Samudra tidak di sini. Sekarang."

"Dia baru saja menelponku. Menyuruhku menemui bagian resepsionis untuk menunjukkan ruangannya. Sekarang," tandas Naya mulai kesal. Apa ia belum pernah ke kantor Noah? Apa tidak ada yang tahu bahwa ia adalah istri Noah? Apa pernikahan ...

"Saya khawatir seseorang mempermainkan Anda, Nona."

"Maaf, Nyonya." Seorang pria dengan setelan hitam pekat muncul dan membungkuk sedikit sebagai salam hormat pada Naya. Terkejut, wajah si resepsionis langsung memucat mengenali si pria. Kaki tangan dan kepercayaan pemimpin perusahaan.

Naya tiba-tiba merasa canggung diperlakukan dengan sopan. Karena kebanyakan orang selalu memperlakukannya dengan kasar seperti yang resepsionis itu lakukan.

"Tuan Noah berpesan, pastikan kau mengenali wajah istrinya dengan baik, Vivi." Kata-kata pria itu seketika membuat mata si resepsionis berkaca-kaca. "Ini peringatan pertama dan terakhir untuk kalian berdua. Jangan membuat wajah Samudra Group tercoreng karena pelayanan kalian terhadap tamu yang kurang sopan."

"Ma ... maafkan saya." Resepsionis itu menunduk terlalu dalam. Begitu pun temannya yang lain.

Naya merasa tak enak hati, ia merasa kehidupan seseorang bergantung pada sikap yang diberikan padanya. Sesuatu yang belum pernah terjadi. Seakan ia mengontrol dan membolak-balikkan hidup sesorang dengan jentikan jarinya. Berkebalikan dengan apa yang selama ini ia rasakan.

"Mari, Nyonya. Ruangan tuan ada di lantai tertinggi, jadi kita perlu menggunakan lift pribadi. Sebelah sini." Pria itu mengarahkan Naya ke gedung sebelah barat. Melewati jalur khusus dengan kedua penjaga yang sepertinya bertugas mengamankan area tersebut.

Lalu perasaan asing dan tak terbiasa membuatnya menjadi kikuk. Hidupnya dan Noah benar-benar sudah berubah. Dari yang terendah hingga menjadi begitu berkuasa. Apakah mereka bahagia dengan semua kekayaan ini? Alasan apa yang membuat Noah meninggalkan keluarga pria itu? Apakah kekayaan ini yang menyelamatkannya dari pernikahannya dengan Banyu? Apakah keluarganya meminta ganti rugi secara materi pada keluarga Noah? Tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul di benaknya.

Merasa pusing saat berusaha keras memikirkan jawaban-jawaban pertanyaannya sendiri, Naya menggelengkan kepala. Yang Naya tahu, ia bahagia berada dekat dengan Noah. Hanya itu yang harus ia pikirkan.

***

"Itu hanya kecelakaan dan aku sedang dalam keadaan mabuk. Sama sekali tak berarti apa pun!"

"Tapi bukan itu yang kurasakan, Noah. Kedekatan kita, keluh kesahmu tentang pernikahan kalian, dan ciuman itu membuktikan bahwa ..."

"Lalu apa yang kauinginkan?"

"Pengakuanmu."

"Pengakuan?"

"Mamamu mengatakan tentang perceraianmu dengan Naya."

"Dan kauingin menggantikan posisi Naya?"

Ralia terdiam sebagai jawaban ya. Dengan tanpa malunya ia mengemis cinta, ia sudah tak memedulikan harga dirinya. Setelah semua usaha demi mendekatkan diri dengan Noah, tentu tidak mudah berhasil membuat retakan begitu besar di rumah tangga Noah dan Naya. Membangun reputasi-reputasi di hadapan umum bahwa hanya ialah yang pantas bersanding di sisi Noah. Lalu, setelah semua hasil usaha itu berada di genggaman tangannya, tiba-tiba Noah mendepaknya dengan tanpa ampun dan membawa wanita itu kembali melekat seperti parasit di kehidupan sempurna Noah. Sungguh ia belum siap dengan kekecewaan tersebut. Tak akan pernah siap.

"Kau ingin aku bertanggung jawab untuk sebuah ciuman yang bahkan aku lupa bagaimana rasanya di bibirku karena pengaruh alkohol?" Noah mendecih. Berkata dengan nada dan ekspresi menjijikkan. "Harga yang sangat mahal untuk sebuah ciuman, Ralia. Sama sekali tak sepadan dengan apa yang kudapatkan."

Rahang Ralia mengeras. Menguasai diri dengan sangat baik akan rasa terhina yang melintas di wajahnya. Bagaimana dirinya yang sempurna bisa dibandingkan dengan seorang Naya yang hanya wanita miskin dan pengeruk kekayaan? Mereka berada di derajat yang berbeda, dan tentu Naya bukan saingan yang sepadan untuknya. Ia bisa menyingkirkan wanita itu dengan mudahnya.

"Jika kau mengukur sebuah kepantasan menjadi istriku dari sentuhan fisik, kau berada jauh di bawah Naya, Ralia. Aku menguasai setiap inci kulit Naya dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Dan aku bahkan tak bisa melupakan setiap rasa manis seperti candu ketika aku mencecapi tubuhnya. Kau sama sekali bukan apa-apa dibandingkan istriku."

Kedua tangan Ralia terkepal hingga kuku wanita itu melukai telapak tangannya. Kali ini tidak bisa menahan ekspresi terhina memenuhi wajahnya.

"Sebaiknya kau keluar. Sekarang." Noah menyela sebelum Ralia sempat membuka mulut untuk menyumpahi dirinya. "Sebentar lagi istriku datang dan aku tak ingin mengulangi kesalahanku untuk kedua kalinya."

"Lalu, apa yang kaupikirkan jika istrimu mengetahui kebohongan keduamu ini?"

"Yang pasti, aku tahu darimana dan siapa yang harus kucari," ancam Noah. "Pikirkan itu sebelum kau mencoba merencanakan ide busukmu pada Naya."

Ralia tersentak. Kemarahannya kini berubah menjadi ekspresi ketakutan yang membekukan tubuh dan bibirnya. Tatapan tajam pria itu menusuknya dengan kejam dan membuat tubuhnya merinding. Sebelum pria itu berniat memanggil keamanan untuk menyeret dirinya, Ralia berdesis, "Kau tahu aku tak akan berhenti sampai di sini, Noah."

"Maka kau hanya akan melukai dirimu sendiri."

"Ya, tidak ada luka, tidak ada kemenangan." Ralia mengakhiri perbincangan tegang mereka dan berbalik menuju pintu. Baru tiga langkah ia keluar dari ruangan Noah, ia berpapasan dengan Naya.

Sejenak ia terkejut, lalu ide itu muncul dan ia mendekati Naya dengan senyum manis yang ia tata sebaik mungkin. "Hai, Naya."

Naya berhenti. Tersenyum dengan kaku. Mengamati Ralia dari atas ke bawah. Wanita itu sangat cantik. Dengan tinggi semampai, rambut gelombang memenuhi punggung. Penampilan wanita itu sangat sempurna dan tiba-tiba membuatnya berkecil hati. Noah memang pantas dikelilingi wanita-wanita sesempurna itu.

"Bagaimana kabarmu? Aku mendengar tentang kecelakaanmu. Maafkan aku tak sempat menjengukmu."

Naya mengangguk. Tak tahu harus berkata apa karena wanita itu terasa begitu asing. Apakah ia bahkan punya teman secantik ini? Dari cara berpakaian pun mereka berada di level yang berbeda.

"Aku ..."

"Sebelah sini, Nyonya." Seorang pria dengan setelan berwarna hitam menuntunnya menjauh dari Ralia. Membukakan pintu untuknya. Naya memutar kepala melihat wanita yang baru saja menyapanya. Wanita itu pergi begitu saja. Sama sekali tak terlihat tersinggung ketika terang-terangan pengawal Noah mengusirnya.

"Siapa dia?" tanya Naya pada pengawal Noah.

"Tuan Noah sudah menunggu Anda." Pengawal itu tidak memberinya jawaban. Membuatnya mengerutkan kening, tapi rasa penasarannya teralihkan ketika matanya menemukan sosok Noah.

Noah tersentak ketika pintu ruang kerjanya terbuka dan Naya masuk dengan membawa kotak makanan tersenyum untuknya. Wajahnya memucat, Ralia keluar hanya beberapa detik sebelum Naya masuk. Kedua wanita itu pasti berpapasan di lorong. Namun, matanya berbicara dengan pengawal yang masih berdiri di ambang pintu. Pengawal itu memberinya isyarat anggukan dan membuat paru-parunya bernapas dengan lega karena sudah mengurus kekhawatirannya yang satu itu.

"Sepertinya kau memiliki tamu?" Naya membuyarkan kontak mata Noah.

"Ya, beberapa." Noah berusaha menutupi kegugupannya. Berdiri dari kursinya dan memutari meja menyambut Naya. Satu kecupan singkat di bibir sebelum ia membawa wanita itu duduk di set sofa paling dekat dinding.

"Siapa wanita itu?"

"Kenapa?" Jantung Noah berhenti berdetak.

"Apakah aku mengenalnya? Wanita itu menyapaku dan aku tak sempat meminta maaf karena tak mengenalnya. Pengawalmu ..."

Ketakutan menghiasi mulut dan menggelapkan mata Noah. "Dia bukan siapa-siapa. Kau tak perlu memikirkannya."

Naya mengerutkan kening penuh selidik dengan jawaban Noah. "Bukan siapa-siapa hanya menunjukkan bahwa wanita itu memiliki arti lebih, Noah."

Tulang punggung Noah menegang dan keringat dingin seakan membasahi seluruh tubuhnya. "Dia model brand ambassador perusahaan. Dan bagiku itu bukan apa-apa." Noah menjaga agar suaranya tak bergetar.

"Woww." Naya merasa takjub. Seumur hidup, ia tak pernah memikirkan akan bertemu apalagi mempunyai kenalan seorang model terkenal.

"Aku melihat ketidakpercayaan diri dalam pertanyaanmu, Naya. Aku tidak suka. Itulah sebabnya aku menjawab sesingkat itu, dan bukan berarti dia mempunyai arti lebih saat di belakangmu." Noah menjelaskan dengan tulus, meskipun ada harapan kata-kata itu dapat melibas kecurigaan Naya tentang Ralia dan dirinya.

Naya mengangguk-angguk mengerti. Sambil mulai membuka kotak makanan, ia berucap tak kalah tulusnya. "Aku memercayaimu, Noah."

Sungguh, ketulusan Naya terasa seperti beban ribuan ton yang dijejalkan di dadanya. Menghimpitnya dengan cara paling kejam. "Sebaiknya kau menjauh saat dia mendekatimu. Dia bukan orang yang baik."

"Hmm, jadi kau berbisnis dengan orang yang tidak baik?"

Noah mematung. Sekali lagi jantungnya berhenti berdetak.

"Kenapa wajahmu sangat pucat, Noah? Aku hanya bercanda." Naya tertawa.

Noah tersenyum tipis. "Apa yang kau masak? Tiba-tiba perutku terasa lapar," katanya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Tidak banyak." Naya menunjukkan kotak berisi tumis udang dan nasi putih.

"Hanya ini?"

"Ya, cukup untuk kita berdua."

Noah tahu Naya tidak terlalu pintar memasak, tapi masakan istrinya tak cukup buruk rasanya. Dan baginya, makanan apa pun yang dibuat oleh tangan Naya, adalah masakan terbaik.

***


Monday, 6 January 2020


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top