Part 16

Inseverable

Noah & Naya

###

Part 16

###

"Noah?" Naya mengerang. Menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari lilitan kedua tangan Noah. "Aku tak bisa bernapas."

Noah sedikit mengendurkan lengannya. Napas Naya yang terengah sedikit memuaskan hatinya dan di saat yang bersamaan hatinya merasa bersalah atas kepuasan tersebut. Naya benar-benar begitu dalam menguasai hati dan pikirannya. Mendengar laporan dari pengawalnya membuat Noah kesulitan memusatkan konsentrasi pada pekerjaan. Tak berhenti terhanyut dalam kubangan pikiran-pikiran liar yang menyiksa. Pikiran tentang apa saja yang mungkin dibicarakan Banyu dan Naya di belakangnya. Apakah Naya tersenyum pada Banyu? Apakah Naya meminta bantuan pada Banyu? Kalaupun ya, tentu saja ia tak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Maaf," bisik Noah. Bibirnya mengecup leher Naya sekali sebelum melanjutkan. "Aku hanya tak mampu mengatasi imajinasi liar yang memenuhi kepalaku melihatmu berdua dengan pria lain. Kau bahkan meminjam ponselnya untuk..."

"Aku hanya meminta tolong untuk menghubungi adikku, Noah," sela Naya. Mencegah pikiran liar Noah mulai meracuni otak pria itu. Dan Naya tak tahu kenapa dia melakukan hal itu.

"Aku sudah mengatakan padamu untuk menunggu hatinya terbuka untukku."

"Setidaknya biarkan aku membujuk Arfa untuk meyakinkan dia bahwa kebahagiaannku adalah bersamamu. Kau tak perlu bertindak sejauh ini untuk mengekangku," sergah Naya dalam sekali tarikan napas.

Salah satu sudut bibir Noah terangkat. Meyakinkan Arfa bahwa kebahagiaan Naya adalah bersamanya, Noah mengulang kalimat yang diucapkan Naya. Sesak di dadanya terasa mereda saat memikirkan bahwa Naya mulai sedikit berusaha dalam hubungan ini. "Jadi, apa sekarang kau tahu di mana letak kebahagiaanmu?"

Naya membeku. Baru tersadar akan apa yang telah terucap dari bibirnya adalah kejujuran dalam hatinya. Yang tentunya akan membuat Noah besar kepala.

"Aku ..." Naya tergugup. "Kau tak memberiku pilihan!"

"Karena aku tahu kau akan meninggalkanku jika aku memberimu pilihan."

Naya kehabisan kata untuk melawan.

"Beri aku satu kesempatan. Ah, tidak. Beri kita berdua kesempatan untuk memperbaiki rumah tangga kita."

"Bagaimana jika tidak berhasil?"

"Bagaimana jika berhasil?"

Naya kembali terdiam. Naya bahkan tak bisa membayangkan jika pernikahan mereka benar-benar hancur atau tetap bertahan meski apa pun yang mereka miliki tidak akan sama seperti sebelumnya. Saat ini, yang ia lakukan hanya menjalani apa pun yang ada di hadapannya.

"Setiap hari, pikirkan apa yang membuatmu begitu membenciku dan malam harinya aku akan memelukmu dan mendengarkan apa pun yang kau keluarkan dari dari hatimu. Kau harus mengeluarkan segala keburukan yang mengendap di hatimu. Agar kau merasa ringan dan sungguh aku tak menginginkan keburukan itu membuatku semakin tersiksa. Kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semua, Naya."

'Aku tak pernah sungguh-sungguh membencimu, Noah.' Kata itu sudah di ujung lidah, tapi Naya menolak mengakui saat kilasan foto-foto Noah dan Ralia kembali muncul ke permukaan pikirannya, Naya tak mampu menahan keraguan yang terus mengguncang hatinya. Sungguh ia berusaha keras untuk memercayai kata-kata Noah. Bahwa saat itu Noah hanya terlalu mabuk.

'Aku sedang mabuk. Saat itu, aku begitu marah pada kata-kata mamaku dan sikap diammu semakin membuatku frustrasi.'

'Kau memang selalu marah dan bersikap dingin padaku. Ingat?'

'Aku punya alasanku. Dan sungguh aku menyesal tak pernah menyaring semua cerita yang disampaikan padaku tanpa bertanya padamu.'

Noah termakan cerita palsu tentang kisah cintanya dan Banyu, lalu apakah hal itu memberi pria itu ijin untuk membalas perselingkuhan semu antara dirinya dan Banyu?

"Noah suami Naya, Ma. Naya tidak bisa meninggalkannya."

"Sebelum menjadi suamimu, Noah adalah anakku. Apakah itu memberimu alasan untuk melepaskannya sekarang? Aku berhak menentukan kebahagiaan untuk anakku sendiri."

"Maafkan Naya, Ma. Tapi Noahlah yang paling berhak menentukan kebahagiaan untuk dirinya sendiri."

"Lihatlah dirimu, Naya. Bangunlah dari mimpimu. Apa kau tak melihat apa yang terjadi di sekitarmu?"

Naya melihat ke arah sofa di ruang tengah. Noah tengah berbincang dengan Ralia. Pria itu bahkan tersenyum ketika Ralia berkata-kata lalu keduanya terbahak bersama. Tawa yang lama tak pernah Naya lihat menghiasi wajah Noah.

Naya memejamkan mata, mengusir ingatannya kembali karena kepedihan yang ia rasakan saat itu terasa mengiris hatinya. Peristiwa itu sudah lama terjadi, tapi rasa perih di hatinya masih sangat terasa.

Hanya satu hal yang Naya yakini saat itu. Tidak sedikit pun Naya memiliki niat untuk membalas rasa sakit hatinya pada Noah dengan menggunakan Banyu. Jika memang Noah lebih memilih Ralia, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah mundur meski hal itu menghancurkan dirinya. Dan baginya foto itu adalah pilihan yang telah diambil oleh Noah. Selesai.

'... Kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semua, Naya.'

Keyakinan itu tak pernah ada di hati Naya.

"Karena satu-satunya kebencianku padamu hanya karena keberadaan pria itu di hidupmu yang sudah kuungkapkan semua padamu. Mungkin ... aku akan mengatakan alasanku mencintaimu dan tak bisa melepaskan dirimu," lanjut Noah. Kegemingan Naya benar-benar menyiksanya. Wanita itu berada dalam pelukannya tapi tak ada apa pun yang ia miliki selain sebuah tubuh. Hati wanita itu seolah tak bisa Noah raih lagi, sekuat dan seingin ia mencoba menggapai.

"Mungkin sekarang pun hanya satu alasanmu tak bisa melepaskanku." Naya berhenti sesaat. "Anak ini."

Noah menyentuhkan telapak tangannya di perut Naya. Kehangatan itu masih menyusup di antara kulit telapak tangannya dan menjalar ke dalam hatinya. Butuh beberapa menit bagi Noah untuk mengalihkan fokus dari hatinya yang berdebar oleh kebahagiaan ke kebahagiaan lain yang ada dalam pelukannya saat ini. "Aku tak pernah pulang terlambat meski pekerjaan di kantor menumpuk. Apa kau tahu kenapa, Naya?" Noah menunggu sejenak walaupun tahu Naya tak akan menjawab pertanyaannya. "Seberapa pun marahnya aku pada kau dan pria itu, aku tetap tak bisa melewatkan melihat wajahmu meski hanya untuk satu menit."

Mata Naya mulai memanas, dan ia baru menyadari kenyataan yang tak bisa ia tampik. Kecuali malam itu, Noah tak pernah pulang terlambat meski sikapnya selalu dingin. Jamuan makan malam, pesta, atau urusan apa pun di atas jam kerja, Noah selalu memberitahunya di rumah dan selalu kembali tepat seperti yang pria itu janjikan. Saat ia tertidur karena menunggu, esok paginya pun ia selalu terbangun dalam pelukan Noah.

Dalam sikap dinginnya, Naya tak pernah sekali pun tahu kemarahan yang Noah pendam. Saat menidurinya pun, Noah selalu menyentuhnya dengan sangat lembut. Memuja tubuhnya dan ia akan terhanyut dalam keintiman yang dipimpin oleh Noah. Tatapan cinta itu masih sama dan kehangatan dekapan Noah masih ia miliki.

"Aku tahu mama menekanmu. Kau selalu berusaha mengambil hati mamaku meski itu sia-sia. Dan aku tahu kau begitu terganggu dengan kedekatanku dan Ralia. Tapi kau selalu memilih diam di balik derita yang kau alami. Aku merasa tak memiliki arti apa pun di matamu."

"Bahkan sedikit pun kau tak mengungkapkan kecemburuanmu. Bolehkah aku berasumsi bahwa kau sudah tak mencintaiku lagi?"

Naya semakin dibuat tersudut.

"Apa aku salah, Naya?"

Naya tak pernah tahu kepedihan yang ia rasakan ternyata sama besarnya dengan yang Noah alami. Kerenggangan dalam rumah tangga mereka bukan semata-mata karena kesalahan Noah. Campur tangannya jugalah yang membuat keretakan itu semakin menjadi.

Selama ini, Naya selalu menimpakan semua kesalahan pada Noah atas derita yang ia dapatkan. Tanpa menginstrospeksi diri bahwa keterdiamannya juga menyiksa Noah dalam hubungan mereka yang semakin retak.

"Alih-alih memikirkan mencari tahu cara berkomunikasi untuk saling mengerti, kita berdua memilih diam dan memendam kepedihan kita sendiri. Dengan dalih menjaga perasaan satu dengan yang lainnya. Tanpa sadar, hal itu malah membuat kesalahpahaman di antara kita semakin menumpuk."

"Tapi hal itu tidak membenarkanmu untuk berselingkuh di belakangku, Noah."

"Aku tak pernah berselingkuh denganmu," desis Noah.

"Kau mencekiknya di ruanganmu. Butuh alasan lebih dari sekedar sebagai orang ketiga untuk membunuh seseorang, Noah. Dia "

Mata Noah terpejam. "Kuakui itu berlebihan."

"Sangat."

"Hidupku terancam dan aku tak bisa berpikir dengan jernih," dalih Noah.

"Karenanya atau bukan, suatu saat ingatanaku akan kembali. Kaupikir sampai kapan kau akan membodohiku seperti ini?"

"Aku ... hanya ingin menikmati sebentar kehangatan yang pernah kita miliki." Noah diam sejenak. "Kau tahu hubungan kita semakin dingin setelah kita kembali ke rumahku. Dan aku merindukan saat di mana kau begitu bahagia hanya karena menatapku."

Mata Naya terpejam dan setetes air mata jatuh dalam diam ke bantal. Ia selalu bahagia saat menatap Noah, tidakkah pria itu melihatnya?

Hening cukup lama.

"Jadi, apa kau ingin mencoba kembali, Naya?"

Naya masih tenggelam dalam pemikirannya. Mencoba kembali? Bagaimana jika ia terluka lagi? Bagaimana jika mereka berdua berhasil? Butuh beberapa saat lebih lama sebelum menjawab, "Ya."

Jika memang ia harus terluka, maka terlukalah.

***

Thursday, 9 July 2020





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top