Part 15

Inseverable

Noah & Naya

###

Part 15

###

Naya menatap tak percaya jajaran menu yang terpampang di lembaran besar di kedua tangannya. Berbagai menu makanan dengan harga fantastis yang membuat Naya menahan napas. Meski ia sudah lama hidup di rumah mewah Noah dengan keluarga pria itu dan melihat isi kulkas dengan makanan-makanan yang sebagian besar belum pernah ia rasakan atau lihat. Ini adalah pertama kalinya ia memilih makanan di menu restoran mewah untuk dirinya sendiri. Terakhir kali makan pun, Noah lah yang memesankan makanan untuknya tanpa melihat menu.

Sepertinya Naya tak perlu khawatir kandungan gizi yang akan ia makan nanti cukup atau tidak untuk memenuhi kebutuhannya sebagai wanita hamil. Ia yakin restoran mahal ini akan membuat menu makanan yang ia pilih dengan bahan berkualitas tinggi.

Naya pun menjatuhkan pilihan pada risotto. Campuran nasi, potongan daging, sayur, dan keju yang tergambar di menu mendadak membuat air liur memenuhi mulutnya. Sepertinya itu pilihan yang tepat untuknya.

Setelah pelayan membawa menu meninggalkan mejanya, Naya mengamati jendela kaca yang ada di sampingnya. Melihat dua pengawal Noah menunggu di mobil. Lalu, kepalanya berputar, mengedarkan pandangan ke sekitar mejanya. Restoran Italia? Sepertinya ini pertama kalinya Naya pergi makan ke tempat semewah ini. Cafe tempatnya bekerja sewaktu kuliah dulu tak semewah ini. Dan sendirian duduk di meja untuk dilayani oleh orang lain membuat Naya merasa canggung. Tiba-tiba ia merasa membutuhkan Noah menemaninya makan di tempat ini.

"Apa Noah sudah sampai di bandara?" Naya segera menyadarkan diri saat pikirannya mulai berniat mencari tahu jawabannya. Ia tak akan meminjam ponsel pada pengawal di sana untuk menghubungi Noah. Tidak.

Banyu yang kebetulan melintasi meja Naya berhenti dan memanggil, "Naya?"

Lamunan Naya terpecah dan mendongak. Melihat Banyu dengan rambut yang tersisir rapi ke belakang menghentikan langkah dan mendekati mejanya. "Hai, Banyu."

"Bolehkah aku bergabung?" Dengan senyum ramahnya, Banyu memegang punggung kursi. Menunggu persetujuan Naya sebelum menarik kursi tersebut.

Naya meragu. Noah mengatakan bahwa pria itu pasti tahu jika ia tidak menghabiskan makanannya, bukankah itu berarti Noah menyuruh seseorang mengawasi dirinya? Atau pria itu memiliki koneksi dengan restoran ini? Noah pasti tahu jika ia bertemu dengan Banyu, tapi menolak Banyu membuatnya merasa tak enak hati. Naya pun mengangguk. Berpikir mungkin Banyu bisa membantunya mencari tahu keadaan adiknya.

"Mama memintaku memesan makanan kesukaannya di sini," jelas Banyu sambil meletakkan kotak makanan yang dibungkus plastik di kursi kosong lainnya. "Kebetulan bertemu denganmu di sini. Waktu itu kita tak sempat banyak mengobrol."

Naya mengangguk paham. Ya, keberadaan Noah di antara mereka membuat Naya canggung. Terutama saat mengetahui pengaruh kedekatannya dengan Banyu yang ternyata sangat mengganggu Noah. Hubungannya dengan Banyu tak pernah lebih dekat dari seorang teman biasa, dan Noah melihatnya seolah ia berselingkuh dari pria itu. Seharusnya pria itu lebih memahami bagaimana perasaannya saat melihat foto pria itu tengah berciuman dengan Ralia. Mabuk? Itu jawaban yang tak bertanggung jawab. Kepercayaan? Kepercayaan tolol. Ia tak ingin memercayai hal semacam itu saat matanya melihat hal yang sebaliknya.

Apa Noah akan memercayai dirinya saat ia benar-benar berciuman di depan pria itu dan mengatakan bahwa hal itu tidak sengaja? Oh, Naya ingat. Hanya karena foto-fotonya yang secara kebetulan berdiri di depan hotel dengan Banyu, dan pria itu melakukan tes DNA untuk memastikan siapa ayah dari anak dalam kandungannya. Apakah itu seperti itu sebuah kepercayaan yang dibicarakan Noah? sengit Naya dalam hati.

"Bagaimana kabarmu?"

Naya mengerjap sekali, lalu mengedikkan bahu. "Baik."

"Sendirian?"

"Ya, Noah harus keluar kota."

"Sepertinya ... pernikahanmu masih mengalami masalah," tebak Banyu dengan nada ditarik-tarik.

Naya mendesah letih. "Aku hanya tak tahu apa yang tengah kupertahankan. Aku hanya menunggu dan membiarkan semua berjalan. Suatu saat, dia pasti merasa bosan dan sadar bahwa tak ada apa pun yang bisa kami pertahankan."

Banyu mengulurkan tangannya menyentuh jemari Naya.

Naya tersentak dan segera menjauhkan tangannya.

"Maaf, aku sama sekali tidak memiliki niat apa pun selain ingin meredakan bebanmu."

Naya menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku ... aku ... dan Noah. Ka ... mi sedikit salah paham karena kau."

"Aku paham," tangkap Banyu. Menarik kembali tangannya. "Kau tahu kau selalu bisa mengandalkanku jika ..." Banyu berhenti, berdehem sekali dengan sikap was-was dengan reaksi Naya. "Jika kejadian seperti yang lalu kembali terulang."

Mata Naya melebar sedikit.

"Bukan berarti aku mengharapkan keburukan dalam rumah tanggamu dan Noah." Banyu buru-buru menjelaskan. "Aku hanya ingin kau bahagia. Apa pun pilihan yang kauambil."

"Terima kasih." Kalimat itu mengingatkan Naya akan adik laki-lakinya. "Hm, Banyu?"

"Ya."

"Apa ... apakah aku bisa meminta tolong padamu?"

"Tentu saja."

"Bisakah aku meminjam ponselmu untuk menghubungi Arfa?"

Banyu mengangguk, menyerahkan ponselnya pada Naya setelah menghubungkan panggilan pada Arfa. "Arfa menghubungiku beberapa hari yang lalu," jelas Banyu melihat keheranan melintasi wajah Naya yang dengan mudahnya bisa menghubungi Arfa. "Dia mendatangi apartemenku untuk meminta bantuan mencari keberadaanmu."

Naya merasa tak enak hati dengan kemelut keluarga dan rumah tangganya yang cukup banyak diketahui oleh Banyu. Ia tak ingin terlihat menyedihkan di pandangan Banyu. Ia melarikan diri dari pernikahannya dengan Banyu hanya untuk penderitaan ini?

Cinta, itulah yang ia perjuangkan dulu. Tetapi apa yang ia dapatkan? Sepadankah cintanya dengan semua derita dan kepedihan ini? Naya berhenti memikirkan perbandingan yang hanya membuat hatinya semakin pedih. Ia pernah saling mencintai dengan Noah. Ia pernah bahagia dengan Naya. Itulah yang harus ia syukuri. Ia hanya akan mengingat kenangan indahnya dengan Noah demi ketenangan batin.

"Kak Banyu?"

"Arfa."

"Kak Naya?"

"Ya."

"Apa yang terjadi? Apa ingatan kakak sudah kembali."

Naya belum sempat menjawab pertanyaan Arfa, ponsel yang menempel di telinganya mendadak ditarik menjauh dan Naya tercengang, mendongak ke belakang.

"Maafkan saya, Nyonya. Tuan berpesan ..." Pengawal Noah yang Naya ingat tadi berdiri di samping mobil, kini berdiri menjulang di sampingnya. Memutus panggilan dari ponsel dalam genggamannya.

"Apa yang kaulakukan?!" bentak Banyu berdiri dari duduknya. Mendorong dada pengawal itu dengan kasar.

Napas Naya tercekat ketika pengawal tersebut sedikit terhuyung ke belakang dan mengakibatkan jasnya yang tak terkancing tersingkap ke belakang. Menampakkan pistol di pinggang yang membuat jantung Naya berdegup kencang.

Noah benar-benar tak main-main dengan sikap posesif pria itu terhadap dirinya. Naya melompat berdiri dan menahan lengan Banyu yang sudah terangkat hendak melemparkan tinju ke arah pengawal itu. "Banyu."

Banyu menoleh ke belakang. "Dia hanya menghubungi adiknya!"

"Saya hanya melakukan tugas yang diperintahkan tuan, Nyonya." Pengawal itu sepenuhnya mengabaikan kekesalan Banyu.

Naya ingin memaki, tapi ia tahu itu akan membuat mereka bertiga menjadi pusat perhatian di antara para pelanggan restoran. Dari kata-kata pengawal itu, Naya tahu bahwa Banyu duduk di meja dan bebas mengobrol dengannya selama beberapa menit yang lalu pasti karena persetujuan Noah.

"Kembalikan ponsel itu padanya, aku akan pulang," perintah Naya dingin.

Pengawal itu menyerahkan ponsel Banyu dengan patuh.

"Beri aku waktu dua menit dan tunggu aku di mobil."

Pengawal itu tak bergerak sebagai isyarat penolakan.

Merasa begitu kesal, Naya menjaga suara bentakannya agar tak sampai menarik perhatian pelanggan yang duduk beberapa meter dari tempat mereka bertiga. "Balikkan badanmu, aku butuh bicara sebentar dengan temanku atau aku benar-benar akan merepotkanmu di depan umum," ancam Naya. Ia sudah menanggalkan urat malunya di detik pengawal itu muncul dan berani merampas ponsel Banyu darinya.

Pengawal itu mengamati sekitar sejenak, lalu berbalik dan menjaga jarak beberapa meter memberikan Naya dan Banyu ruang untuk berbicara.

"Maafkan aku, Banyu. Aku harus pergi. Tolong sampaikan pada Arfa aku baik-baik saja. Katakan juga aku akan segera menghubunginya."

Banyu menatap sangsi ke arah Naya. "Ada apa ini, Naya? Apa dia bahkan melarangmu menelpon adikmu sendiri? Karena itu kau meminjam ponselku?"

"Aku bisa mengatasi masalahku sendiri, Banyu."

"Dia merenggut kebebasanmu!"

"Aku ... harus pergi."

Banyu menangkap pergelangan tangan Naya. "Aku akan menyelamatkanmu."

Naya menggeleng. Bukan Banyu orang yang seharusnya menyelamatkan dirinya dari kekangan Noah. "Terima kasih, Banyu, tapi aku baik-baik saja. Kami akan menyelesaikan masalah kami sendiri. Maaf."

Naya meninggalkan Banyu.

***

Naya terbangun dari tidurnya yang tak terlalu lelap ketika pintu kamar berderit terbuka. Suara langkah kali yang melintasi ruangan dan mendekat ke arah ranjang membuat Naya menyipitkan mata di antara keremangan kamar. Naya terkesiap ketika mendapati Noah tiba-tiba saja sudah berdiri menjulang di pinggiran ranjang. Lalu membungkuk mendekatkan wajah ke wajahnya.

"Apa aku membangunkanmu?"

Naya tak menjawab, menggeser tubuhnya menjauh ke sisi ranjang tempat biasanya ia berbaring. Tadi, setelah makan malam dan meminum vitamin, Naya tertidur setelah membaca buku-buku tentang kehamilan yang ia temukan di laci nakas sambil berbaring. Di sisi ranjang yang biasanya ditempati Noah ketika ingatannya belum kembali. Meski Noah sering mondar-mandir ke kamar ini untuk mengambil pakaian, mereka tidak lagi tidur di ranjang yang sama. Jadi, Naya bisa menggunakan sisi ranjang sesukanya. Yang terkadang menimbulkan kekosongan ketika menatap ke samping dan menemukan dirinya sendirian di kasur yang dingin.

"Apa kau sudah makan malam?" Noah berdiri dan menyalakan saklar lampu kamar yang ada di sisi kepala ranjang. Seketika ruangan menjadi terang dan jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam.

Naya mengangguk singkat. Tubuhnya yang sudah terbiasa menghampiri Noah ketika pulang dari perjalanan jauh untuk menyambut pria itu, mendadak tertahan dengan kaku. Ia tak ingin terlihat peduli pada Noah lalu pria itu mengartikan tindakannya sebagai harapan yang baik untuk perkembangan hubungan yang dipaksakan Noah untuk mereka.

"Vitaminmu?"

Sekali lagi Naya mengangguk singkat.

Merasa puas dengan jawaban Naya, Noah berjalan ke sofa.

Naya membuang wajah, mengusir keinginan untuk membantu Noah yang sibuk melepas jas dan sepatu di sofa saat melihat gurat letih di wajah pria itu. Bahkan di antara kelelahan setelah keluar kota, pria itu masih menyempatkan diri untuk bertanya jadwal makannya.

Berbeda dengan sikap Noah yang dulu. Yang terkesan dingin ketika ia menyambut kedatangan pria itu. Menjawab singkat pertanyaannya dan bergegas ke kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi, pria itu akan langsung naik ke tempat tidur. Tidur atau mengerjakan pekerjaan kantor di kasur. Satu-satunya interaksi yang intens dan intim adalah saat pria itu menidurinya. Yang terkadang melukai hati Naya, karena semakin lama ia merasa hanyalah sebagai pemuas nafsu Noah.

Saat Noah masuk ke kamar mandi, Naya menarik selimut hingga ke dada dan mengambil posisi tidur memunggungi pintu kamar mandi. Berharap ia bisa berpura-pura tertidur ketika pria itu selesai mandi. Akan tetapi, saat Noah keluar kamar mandi dan Naya memejamkan mata untuk melakukan rencananya. Tiba-tiba sisi kasur di belakangnya melesak dan tubuh Noah menyelinap di balik selimut. Bergeser mendekat hingga punggung Naya menempel di dada Noah.

"Noah ..." Naya menggeliat. Berusaha mengurai pelukan Noah.

Noah mengetatkan kedua dekapan tangannya di dada dan perut Naya. Wajahnya menempel di belakang kepala Naya dan bibirnya berbisik di telinga Naya dengan suara letih dan sedikit kuat. "Aku harus mengejar penerbangan pagi dan penerbangan sore agar bisa bermalam di rumah. Hargai sedikit usahaku untuk memelukmu malam ini, Naya."

Rontaan Naya terhenti meronta. Tercenung mendalami kalimat Noah.

"Setidaknya lakukan itu sebagai permintaan maaf karena kau masih saja bertemu dengan pria itu di belakangku."

Tubuh Naya menegang. Kemarahan Noah yang bergetar di belakang punggung, menembus tubuhnya dan mengalirkan gemetar ketakutan di seluruh tubuhnya. Apakah Noah akan meluapkan kemarahan dengan menyakiti tubuhnya? Karena sekarang pelukan Noah membuat Naya tak bisa bernapas dan seolah disengaja.

"Kau bahkan meminjam ponselnya, apa kau benar-benar ingin memancing kegilaanku lebih jauh lagi, Naya?"

***

Thursday, 25 June 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top