Part 14


Inseverable

Noah & Naya

###

Part 14

###


Naya melirik Noah yang sibuk dengan beberapa tumpukan berkas di meja dan mac di pangkuan pria itu sambil mengunyah suapan terakhir sup dagingnya di mangkuk. Mengamati Noah yang sesekali meregangkan badan karena pegal sembari melahap potongan buah yang disiapkan sekretaris pria itu.

Sejak ia masuk rumah sakit, Noah memboyong semua pekerjaan ke ruang perawatan Naya. Sesekali pria itu melakukan pertemuan di luar atau ke kantor. Tetapi lebih banyak menghabiskan waktu di meja yang Naya pikir tak pernah rapi oleh serakan map-map berwarna-warni dan lembaran-lembaran kertas yang digunakan Noah mencorat-coret entah apa.

Pria itu seakan tak punya lelah menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Atau itu hanyalah kesibukan yang disengajakan Noah agar mereka berdua tak saling bersapa? Naya mengusir perhatian berlebihnya terhadap Noah yang memenuhi otaknya. Meneguk jus dari gelas dari nampan di pangkuannya untuk mengakhiri makan malam.

"Kau sudah selesai?" Noah beranjak dari duduknya ketika melihat Naya meletakkan nampan di nakas.

"Kapan aku bisa pulang?" tanya Naya ketika Noah memeriksa nampan makan malam Naya dan tampak puas wanita itu menandaskan semua isinya. Naya hanya merasa kesal, pria itu selalu mengawasi dengan ketat makanan Naya. Memastikan porsi makannya lebih banyak dan memaksa Naya menandaskan isi piring dan gelasnya.

"Jika hasil labmu bagus, kau bisa pulang secepatnya."

"Bisakah aku pulang besok pagi? Aku merasa badanku lebih dari baik-baik saja hari ini." Naya sedikit menegaskan suaranya agar tidak terdengar seperti rengekan. Sungguh, menghabiskan tiga hari di ranjang rumah sakit tanpa melakukan apa pun membuat Naya bosan luar biasa. Hanya tidur, makan, minum obat, mengamati perawat yang mengganti kantong infus yang Naya rasa tak perlu, dan melihat pemandangan langit dari jendela. Satu-satunya pemandangan yang ia nikmati untuk melebur kebosanannya.

Aktifitas yang terus berulang dan membuat Naya tak tahan menghabiskan waktu lebih lama lagi di ruangan menyesakkan ini. Meskipun badannya memang terasa lebih kuat dan tak pusing lagi karena semua perawatan itu, Naya merasa canggung untuk berterima kasih pada Noah atas perhatian pria itu. Toh, Noah hanya mengkhawatirkan keberadaan janin di perutnya sebagai alat untuk mempertahankan dirinya, kan.

Dan yang membuat Naya semakin kesal adalah, Noah menyita ponselnya dan tak membiarkannya menghubungi Arfa. Mengatakan bahwa Arfa memberinya pengaruh buruk dan berniat membawanya pergi dari Noah. Naya pun tak membantah dengan tuduhan Noah. Karena bagi Arfa, kebahagiaannya adalah segala-galanya bagi Arfa. Termasuk jika lepas dari tali pernikahannya dengan Noah. Ditambah dengan keadaan rumah tangganya yang sudah hancur begini, tentu Arfa akan semakin bertekad membantunya lepas dari kungkungan Noah.

Saat ini, adiknya itu pasti sangat mengkhawatirkan dirinya dan kebingungan untuk bertemu dengannya. Apakah Arfa tahu bahwa ingatannya telah kembali? Naya harus memikirkan cara untuk bertemu dengan Arfa dan membuat adiknya itu tenang.

"Minum obatmu." Noah menyuapkan beberapa butir obat ke mulut Naya lalu mendekatkan segelas air putih setelah butiran-butiran itu mendarat di lidah istrinya.

Naya mendorong gelas yang dipegang Noah di tegukan ke tiga.

Noah meletakkan kembali gelas tersebut di nakas. Kemudian mendorong bahu Naya untuk berbaring dan menaikkan selimut hingga dada. "Tidurlah."

"Aku ingin menelpon, Arfa."

"Ini sudah malam. Kau harus beristirahat." Noah beralasan.

"Sampai kapan kau akan menghalangiku menghubungi adikku sendiri, Noah? Apa kau akan memutus hubungan persaudaraan kami hanya demi keegoisanmu?"

"Hanya sampai dia menerima dan bersikap hormat terhadap diriku sebagai kakak iparnya."

"Kau harus memaafkan sikap dinginnya, karena yang dia pedulikan hanyalah kebahagiaanku."

Noah mendesah dengan keras. "Kalau begitu, yakinkan dia bawa satu-satunya kebahagiaan yang kaumiliki adalah bersamaku. Bersama anak kita."

Naya tak tahu apa yang membuat tenggorokannya berhenti mengeluarkan kata-kata penyangkalan untuk Noah. Jika sebelumnya ia yakin, dirinya dan Noah akan bahagia dengan jalan masing-masing. Sekarang ia tak bisa menjaminkan hal itu. Tanpa Noah atau tidak, satu-satunya kebahagiaan yang Naya miliki saat ini adalah nyawa yang tengah bertumbuh di perutnya.

"Kau tak perlu merasa terkejut dengan sikap pemaksaku, Naya. Kupikir aku sudah sering kali melakukannya padamu sebelum-sebelumnya. Salah satunya ketika aku menikahimu. Kau tak pernah keberatan dan menerima semua caraku memilikimu dengan sukarela. Ingat?"

Naya masih tak membuka mulutnya. Semua kata-kata yang diucapkan Noah tak sekali pun ada yang tidak benar. Noah memang selalu menjadi pemandu dan pemimpin dalam hubungan mereka. Tak sekali pun Naya mengeluh atau membantah setiap cara yang dipakai Noah untuk mewujudkan keinginan tersebut. Naya pun selalu menerima semua perlakuan Noah dengan perasaan bahagia.

Baginya, kebahagiaan Noah adalah segala-galanya. Cintanya.

"Apa kau sudah tak mencintaiku lagi, Naya?"

Naya tak menjawab, tetapi ia menghindari tatapan menusuk Noah yang berdiri menjulang di samping ranjang.

Tangan Noah terangkat dan menyentuh perut Naya. Kehangatan dan kebahagiaan yang muncul ketika telapak tangannya bersentuhan dengan perut Naya -tempat darah dagingnya bertumbuh-, menjalar dan merambati hatinya hingga penuh. Dada Noah serasa terlonjak sejenak lalu perasaan berbunga mengembangkan dadanya. Sesaat kebahagiaan itu mengejutkannya. Ia belum terbiasa dengan kebahagiaan yang masih terasa seperti mimpi ini.

Mungkin Noah telah memanfaatkan janin dalam kandungan Naya, tetapi saat dokter mengonfirmasi kehamilan Naya. Noah benar-benar menerima kebahagiaan itu dengan sepenuh hati. Dengan segala ketulusan hati, Noah sungguh-sungguh mengharapkan kehadiran anak dalam kandungan Naya.

"Jangan khawatir, Naya. Perlahan, anak kita akan menumbuhkan kembali perasaan cintamu padaku. Dan semakin besar anak kita, cintamu padaku akan semakin menguat."

Naya masih terpaku. Noah tak perlu melakukan itu semua untuk memiliki cintanya. Cintanya pada Noah tak pernah berubah. Sedikit pun. Perasaan itu masih terukir dalam di hatinya. Saat Naya menandatangi surat perceraian itu, ia masih mencintai Noah. Saat meninggalkan Noah pun, Naya yakin ia masih sangat mencintai Noah. Tak pernah berubah hingga detik ini.

Menggugurkan kandungan? Bagaimana mungkin Naya melenyapkan satu-satunya perwujudan cinta yang masih tersisa dari Noah. Satu-satunya bagian dari Noah yang bisa ia bawa pergi meskipun ia tak memiliki cinta pria itu lagi.

Naya sadar, kemarahannya yang membludak ini adalah bentuk kecemburuan yang tak mampu ia tanggulangi sendiri. Ketidaksenangannya karena miliknya telah terebut oleh wanita lain. Rasa iri melihat wanita lain lebih beruntung karena berhasil mengalihkan rasa cinta Noah darinya. Sangat cemburu dan merasa dengki atas kebahagiaan yang tak mampu ia pertahankan.

Semakin besar rasa cemburu yang membakar hati Naya, hanya menunjukkan seberapa besar rasa cintanya terhadap Noah menguasai hatinya. Lemah terhadap Noah. Itulah yang membuat Naya membenci Noah saat ini. Pikiran dan hatinya telah dikuasai oleh Noah. Ia bahkan tak punya apa pun untuk mengasihani dirinya sendiri yang terlihat menyedihkan dan tak berdaya.

Noah membungkuk, menempelkan satu kecupan hangat dan lembut di bibir Naya. Wanita itu tak menolak. Entah karena mencoba bersikap ramah atau merasa bosan atas sikap dingin yang selalu Noah abaikan, ia tak peduli. Perlahan, kebekuan hati Naya akan mencair seiring berjalannya waktu. Dan mereka akan kembali seperti sedia kala. Kembali bersama-sama menggenggam kebahagiaan.

"Tidurlah," bisik Noah lirih sembari menegakkan punggung dan memperbaiki selimut Noah. "Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."

Membutuhkan usaha sangat keras bagi Naya untuk terlihat tenang dengan degupan sangat kencang di dada yang diakibatkan oleh kecupan Noah. Cintanya tak pernah berubah, begitupun reaksi sentuhan Noah terhadap tubuhnya. Beruntung Noah tak berlama-lama berdiri di sisi ranjangnya dan segera berpindah ke sofa di sudut ruangan bersama tumpukan pekerjaan pria itu.

Kecupan dan perhatian Noah yang baru pria itu berikan pada Naya. Bolehkah Naya berharap, bahwa cinta Noah perlahan telah kembali pada dirinya?

Pertanyaan itu masih menggantung menunggu jawaban di atas kepala Naya. Bersama secercah tunas harapan yang mulai tumbuh di hati Naya.

***

Pagi itu, Naya terbangun oleh ketukan pelan di pintu dan suara pelan Noah yang mempersilahkan siapa pun di balik pintu untuk masuk. Tanpa menggerakkan tubuhnya, Naya membuka mata. Melihat sekretaris Noah masuk dengan beberapa map berwarna biru di dada melintasi ruangan menuju meja.

Noah mengusap seluruh wajah dengan telapak tangan untuk meredakan kekakuan di wajah yang terlalu lama membaca. Melihat jam di dinding yang masih sangat pagi lalu menoleh ke arah Lita yang sudah berdiri di seberang meja dengan wajah was-was.

"Ada apa?" tanya Noah datar. Pekerjaannya saja belum selesai semua dan sepertinya Lita datang untuk memberinya kabar buruk mengingat wajah muram yang dipenuhi ketakutan tersebut. Terkadang, Noah bersyukur Lita memiliki mental baja. Meskipun wanita itu selalu ketakutan ketika Noah bersikap emosional, Lita selalu tahan dengan ucapan kasar dan sikap dinginnya.

"Sekretaris tuan Willy menghubungi saya pagi-pagi sekali. Mengatakan bahwa Anda harus menggantikan tuan Willy menemui klien di Kutacane."

"Kutacane?"

Lita mengangguk dengan kaku. Geraman tertahan yang melumuri suara tuannya membuatnya tanpa sadar menyentuh leher bagian belakangnya. Bersiap dengan amarah yang siap meluncur di ujung lidah sang tuan. "Kesehatan tuan Willy tiba-tiba menurun sejak semalam dan tak memungkinkan untuk melakukan perjalanan panjang. Dan saya ... saya sudah menyiapkan penerbangan jika ... memang ..."

"Kenapa kau baru memberitahuku?" geram Noah pada Lita yang menunduk dalam-dalam menahan gemetar di seluruh tubuhnya. Menahan suaranya lepas kendali agar tidak membangunkan istrinya. "Istriku sedang dirawat di rumah sakit dan kau mengatur jadwal penerbangan untuk menemui klien di ujung negara sana? Apa kau sudah gila?"

"Maafkan saya, Tuan. Saya juga tidak menyangka tiba-tiba harus memberitahukan hal ini pada Tuan sepagi ini."

"Kau tahu apa yang harus silakukan, Lita," putus Noah.

"Ta ... tapi, Tuan. Sekretaris tuan Willy mengatakan bahwa ini jadwal yang sudah dibuat satu bulan yang lalu dengan klien VVIP dari Singapore. Saat ini, tuan Benjamin sudah ada di Kutacane menunggu kedatangan tuan Willy dan besok beliau akan kembali ke Singapore."

Klien VVIP, huh? Noah menunduk. Menggusurkan kesepuluh jemarinya di helaian rambut di ujung kepala.

"Tuan Willy sudah menghubungi Tuan berkali-kali sejak semalam, dan saya pun sudah mencoba menghubungi Tuan untuk memberitahukan hal ini. Tetapi, ponsel Anda mati itulah sebabnya saya datang kemari sepagi ini."

Noah melirik ponsel yang tergeletak di samping mac. Semalam ia memang sempat melihat peringatan untuk segera mengisi daya, tapi ia terlupa ketika melihat Naya menyelesaikan makan malam dan memeriksa nampan istrinya.

Pintu kembali diketuk. Kali ini dokter dan dua perawat muncul. Noah berdiri dan terkejut melihat Naya yang sudah terbangun. Apa wanita itu mendengar semua pembicaraannya dengan Lita?

Noah menunggu di ujung ranjang pasien ketika dokter memeriksa tekanan darah dan selang IV Naya.

"Hasil labnya sudah keluar dan kadar Hb nyonya sudah kembali normal," ucap dokter tersebut sambil membaca map yang diberikan perawat.

"Jadi, kapan istriku boleh pulang?" tanya Noah.

"Mungkin nanti siang atau sore. Saya akan meresepkan beberapa vitamin tambahan."

"Kalau sekarang?" Naya menyela pembicaraan Noah dan dokter tersebut.

Sejenak dokter itu menatap wajah Naya lalu berpindah ke Noah. "Jika tidak ada keluhan apa pun dan Nyonya merasa baik-baik ..."

"Aku merasa lebih baik dan ingin segera pulang secepat mungkin," potong Naya.

Dokter itu pun mengangguk setelah sejenak mempertimbangkan reaksi Noah. Karena sang Tuan tampak tenang dan tak melemparkan ancamannya, ia berpikir Noah akan setuju dengan keputusan yang diambil di hadapan si Nyonya.

"Jam berapa jadwal penerbanganku?" tanya Noah pada Lita setelah dokter dan perawat yang memeriksa Naya keluar.

"Jam sembilan."

Noah melirik jam tangannya. Masih dua jam lagi. Tiga puluh menit bersiap pulang, satu jam mengantar Naya ke apartemen, dan tiga puluh menit perjalanan ke bandara. Noah mendesah keras sambil mengusap wajahnya. Semalaman ia hanya tidur beberapa jam untuk sedikit meredakan kantuk beratnya. Masih ada beberapa berkas yang perlu ia periksa dan terpaksa harus ia singkirkan dulu untuk menyelesaikan masalah mendadak ini dan mengurus urusan istrinya.

"Suruh seseorang menyiapkan makan pagiku dan istriku," perintah Noah pada Lita. Wanita muda itu pun bergegas meletakkan berkas di pelukannya ke meja dan berjalan keluar. Kemudian Noah menoleh ke arah Naya yang kini sudah turun berdiri di samping ranjang mengenakan sandal jepit.

"Bersiaplah, kita pulang setengah jam lagi." Noah mengambil kantong besar berwarna orange yang tergeletak di kaki ranjang. Pakaian ganti milik Naya yang diantar oleh salah satu pengawalnya tadi malam. Semalam ia sudah berbicara dengan dokter tentang kepulangan Naya. Kesehatan Naya yang berangsur membaik dengan cepat memungkinan kepulangan istrinya hari ini. Itulah sebabnya Noah memerintahkan salah satu pengawal untuk membawakan Naya pakaian dari rumah.

"Apa kau perlu bantuan di kamar mandi?"

Naya menggeleng dengan cepat setelah menerima kantung yang disodorkan Noah. Wajahnya memerah dengan pertanyaan yang diajukan Noah. Memangnya bantuan macam apa yang perlu pria itu tawarkan padanya di kamar mandi? Membasuh tubuhnya yang lengket? Mengganti pakaian? Naya segera mengenyahkan pikiran kotor dan panas yang muncul di kepalanya. Cepat-cepat berjalan ke kamar mandi dengan langkah besar-besar demi menghindari kecanggungan yang sepertinya hanya miliknya, karena Noah tampak terlihat begitu santai dan tenang seolah tawaran yang diajukan pria itu hanyalah tawaran makan siang.

"Pelan-pelan, Naya," gertak Noah menangkap lengan atas Naya, menahan wanita itu sebelum mencapai pintu kamar mandi. "Kau bisa terpeleset."

Naya tercekat sesaat. Melepas cekalan tangan Noah dan melanjutkan jalannya dengan langkah lebih lambat dari sebelumnya. Sepuluh menit kemudian, ketika Naya keluar dari kamar mandi dengan dress selutut dan lengan panjang berwarna orange, meja sudah bersih dari tumpukan map dan diganti beberapa menu makanan pagi.

"Duduklah." Noah menepuk tempat di sampingnya, tetapi Naya malah duduk di sofa tunggal di seberang meja.

Roti gandum dengan telur dan irisan alpukat menjadi menu makan pagi mereka. Menu sama yang akan mereka makan melihat dua porsi sudah tersiap di meja. Meski itu satu-satunya makanan yang Naya rasa layak untuk masuk ke perutnya setelah tiga hari ia hanya makan makanan berupa nasi halus yang cair, Naya tetap merasa enggan melahap makanan itu.

"Makanlah." Noah memindahkan piring untuk Naya dan segelas smoothies sayuran ke hadapan wanita itu. Lalu mulai melahap sarapan miliknya sendiri.

Jika tadi Naya hanya merasa enggan untuk melahap makanan itu, kali ini ia benar-benar tak berselera pada makanan itu setelah mencoba memasukkan sepotong roti tersebut ke mulutnya. Menelannya dengan sangat terpaksa meski perutnya terasa kosong dan melilit kelaparan. Sejak mengetahui dirinya hamil dan terlalu banyak berbaring di rumah sakit, rasa laparlah satu-satunya hal yang sering ia pikirkan.

"Ada apa? Apa kau ingin makanan yang lain?" tanya Noah mendongakkan kepala melihat Naya yang berhenti menyentuh dan menjauh dari piring.

"Aku ingin makan di luar."

Noah tahu itu hanya alasan Naya. Dan bukan waktu yang tepat untuk menuruti keinginan Naya dengan mobil yang sudah menunggu di basement rumah sakit untuk mengantarnya mereka pulang sebelum berlanjut ke bandara. "Aku harus ke bandara. Aku akan mengantarmu makan di luar besok."

"Aku ingin sekarang," desak Naya meski ia sama sekali tak mempunyai niat untuk mementingkan keinginannya pada Noah.

"Kau ingin makan apa?" Noah masih bersabar meski tidak mudah. Naya memang sengaja membuatnya kesal dan ia akan merasa kalah jika hal itu benar-benar memengaruhi dirinya.

Naya terkejut sesaat dengan pertanyaan Noah yang terdengar tenang. Ia pun mulai berpikir dan menjawab, "Aku ingin makan ayam di warung yang ..."

"Jangan coba-coba makan makanan yang tidak higienis, Naya. Aku tak akan mengambil resiko untuk anak kita. Kau bahkan belum keluar dari rumah sakit dan kau berpikir bisa bersikap cerobo terhadap tubuh dan anakku?"

Naya terpaku dengan perubahan mendadak ekspresi wajah Noah. Baru beberapa detik yang lalu pria itu terlihat penuh kesabaran dan tiba-tiba menggeram marah dengan mata melebar. Dan apa pria itu bilang? Tidak higienis? Apakah kalimat Noah tadi sebuah ejekan? Apa pria itu memperolok keinginannya? Merasa tersinggung, Naya pun mengangkat sedikit dagunya dengan suara sedikit lebih keras dia berkata, "Tidak ada yang salah dengan makan makanan di warung pinggiran jalan. Kita dulu sering memakannya dan sampai sekarang kau masih hidup, sehat, dan seingatku kau lebih bahagia makan di sana dari pada ekspresi wajahmu sekarang ini."

Kalimat terakhir Naya cukup mengena di hati Noah. "Apa kau tahu, kau menderita kurang gizi di kehamilan pertamamu? Itu juga salah satu penyebab lemahnya kandungan pertamamu. Kau pun mengalami hal itu di kehamilanmu saat ini, itulah sebabnya kau dirawat di rumah sakit selama tiga hari ini. Apa kau masih tak memahami situasimu, Naya?"

Seketika mulut Naya terbungkam. Tercenung selama beberapa saat meresapi ucapan Noah. Kekurangan gizi? Ya, ia ingat selera makannya berkurang setelah dokter menyatakannya kehamilan pertamanya. Ia terlalu sibuk dengan goncangan dalam rumah tangga. Memikirkan perceraian dan menyiapkan diri untuk menjadi single parent memang membutuhkan mental yang kuat. Hingga tanpa sadar tak menjaga asupan gizi untuk memenuhi kebutuhan gizi lebih banyak dibanding sebelum hamil.

Apakah kondisinya separah itu? Hingga membahayakan janin dalam kandungannya. Pantas saja Noah begitu memperhatikan makanannya dengan sangat teliti selama di rumah sakit. Memastikan piringnya dan gelasnya kosong.

Noah yang merasa tak tega melihat raut terpukul Naya mulai mengendorkan otot di wajah dan sekujur tubuhnya. Mengubur kembali kemarahan yang sempat meluap. "Aku akan menurunkanmu di restoran yang kupilihkan. Karena aku tidak bisa mengawasimu dan harus cepat ke bandara, beberapa pengawal akan menunggumu. Kau bebas memilih makanan di sana," putus Noah mengakhiri perdebatan mereka. "Dan aku akan tahu jika kau tidak menghabiskan makananmu."

***


Wednesday, 17 June 2020



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top