Part 13
Inseverable
Noah & Naya
###
Part 13
###
Selama dua hari keduanya tak pernah saling berkata. Sesekali bertatap muka dengan Naya yang lebih dulu membuang muka. Semakin hari wajah wanita itu semakin memucat meski pelayan memastikan Naya melahap makanan tepat pada waktunya. Naya jadi semakin kurus dan wajahnya semakin terlihat tirus. Membuat Noah khawatir, tapi ia tahu bahwa sedikit saja perhatian yang diberikan pada Naya hanya akan membuat keduanya berdebat hebat. Lalu membuat Naya semakin tersiksa. Jadi, Noah lebih memilih mendiamkan Naya. Pergi dan pulang bekerja tepat pada waktunya seperti biasa meski ia enggan melakukan aktifitasnya tersebut seolah tak terjadi apa-apa dalam pernikahannya.
"Ada apa denganmu, Noah," tegur Willy Samudra yang duduk di kepala meja bulat ruang meeting yang sudah sunyi meninggalkan ayah dan putra di dalam sana.
Noah hanya menggeleng. Sepanjang pertemuan, untuk pertama kalinya pikiran Noah terpecah ketika mengingat Naya di apartemen. Apa yang dilakukan wanita itu? Apakah masih enggan turun dari ranjang dan menghabiskan seluruh waktu di dalam kamar? Menangis? Melamun? Atau menatap kosong dinding kaca yang ada di kamar mereka?
"Apa kau baik-baik saja?"
Noah mendesah pelan. Melipat laptop di hadapannya sambil mengangguk singkat.
"Kau terlihat tidak baik-baik saja," ralat Willy. "Apa ada masalah dengan Naya?"
"Noah bisa mengurusnya."
"Apa ingatannya sudah kembali?"
Noah tak mengangguk atau menggeleng.
Willy menegakkan punggung. Menatap wajah putranya dengan iba. Lalu mengulurkan tangan untuk menepuk pundah Noah. "Kau butuh memahami pernikahan kalian lebih dalam lagi, Noah. Katakan apa yang kaurasakan dan dengarkan keinginannya. Kalian butuh komunikasi yang intens untuk melupakan masa lalu dan membahas masa depan yang lebih baik."
Noah masih terduduk sendirian di ruang meeting yang kosong. Menelaah kata-kata ayahnya puluhan kali tanpa menemukan solusi satu pun yang bisa menuntunnya. Satu-satunya keinginan Naya hanyalah lepas dari pernikahan mereka dan Noah tak bisa memberikan hal itu pada Naya. Tidak akan pernah.
Melupakan masa lalu? Ia bisa melupakan masa lalu Banyu dan Naya, pertemuan mereka yang menimbulkan imajinasi liar di kepalanya jika hal itu yang Naya inginkan. Akan tetapi, Noah tak yakin wanita itu bisa dengan mudah melupakan apa yang dia lakukan dengan Ralia. Kesetiaan yang selama ini ia pegang teguh hancur di mata Naya hanya karena pihak ketiga yang tak bertanggung jawab.
Getaran ringan di samping laptop mengalihkan lamunan Noah. Arfa sebagai pemanggil membuat Noah enggan untuk menjawab, tapi ia tahu adik iparnya itu tak akan menyerah bahkan setelah ribuan panggilan yang ia abaikan.
"Jadi, kau benar-benar menyekap kakakku?" Tanpa basa-basi, Arfa menyerang Noah dengan tuduhan.
Noah tahu akan mendapatkan cercaan itu dari Arfa. Sudah tentu pemuda itu telah mengunjungi gedung apartemen miliknya untuk bertemu dengan Naya dan disambut penolakan di lobi. "Semua tergantung keputusan Naya. Sementara, kau hanya perlu menunggu."
"Apa ingatan kakakku sudah kembali?"
"Ya, semua berkat ketololanmu. Meski aku juga tak merasa rugi apa pun. Terkadang, kebenaran memang terasa begitu melegakan meski sedikit mencubit dada."
"Sialan kau, Noah. Aku ingin bertemu kakakku!"
"Kau tahu kau tak bisa. Dengan ribuan rencana yang tersusun di kepalamu untuk membawa Naya dan anak kami pergi dari hidupku, keinginanmu jelas terdengar seperti omong kosong, Arfa."
"Anak?"Arfa terkesiap kaget. Suara derit kursi yang bergeser di lantai terdengar begitu nyaring di ujung sana. "Apa maksudmu?"
"Ya, inilah cara yang kumaksud untuk mempertahankan Naya. Terdengar gila dan sedikit licik memang? Tapi, kau tahu aku memang segila itu. Jadi, pikirkan kembali apa pun yang ada di kepalamu sebelum ikut campur urusan rumah tanggaku dengan Naya. Aku harus menjauhkan orang-orang yang tidak bisa bersikap bijak untuk memberikan solusi rumah tanggaku di sekitar Naya. Kau salah satunya." Noah menurunkan ponselnya dan menggeser tombol merah di layar sebelum membantingnya ke meja. Retakan baru muncul di sudut layar ponsel. Noah hanya menatapnya sekilas sambil mendesah keras.
Saat ia merasa telah memperbaiki retakan-retakan dalam pernikahannya, ia malah merasa memunculkan retakan baru yang lebih besar. Seakan semua jenis kesakitan yang menderanya bukanlah apa-apa dibandingkan ketakutan saat memikirkan Naya pergi dari hidupnya.
Getaran ringan dari arah meja membuat Noah mendesah bosan. Apa belum cukup Arfa membuatnya kesal hari ini? Namun, kekesalannya memudar ketika melihat nomor telpon salah satu pelayan yang ia tugaskan untuk memberikan laporan berkala tentang Naya sebagai pemanggilnya.
"Ada apa?"
"Tuan, nyonya Naya jatuh pingsan di kamar mandi."
Noah tersentak kaget. Bergegas melompat dari kursi dan berlari keluar ruangan.
***
"Kita akan ke rumah sakit." Noah menyingkap selimut yang menutupi bahu Naya. Wanita itu membuka mata, menarik kembali selimut dan tetap bergelung di ranjang. Kepalanya masih sedikit pusing dan butuh berbaring sedikit lebih lama untuk memulihkan tenaga sebelum berdebat dengan Noah.
"Bangunlah, Naya. Kita harus pergi ke rumah sakit agar dokter bisa memeriksamu."
"Tidak." Naya menepis tangan Noah yang terjulur hendak membantunya bangun. "Aku tidak mau."
"Aku tahu ini terlalu cepat, tapi kupikir kau perlu melakukan tes darah untuk memastikan kehamilanmu. Tubuhmu yang tiba-tiba lemah pasti ada alasannya."
"Aku tidak hamil!" bentak Naya ketus sambil bangkit terduduk. "Aku hanya merasa sedikit kurang sehat."
"Apa aku perlu menggendongmu ke mobil?" Noah sudah membungkuk dan mengulurkan kedua tangan ke arah punggung dan belakang lutut Naya.
"Hentikan, Noah!" Naya melipat kakinya dan beringsut mundur menjauh dari jangkauan Noah.
Noah tak terpengaruh. Dengan sigap, Noah membawa tubuh Naya yang mungil dan sangat ringan dalam gendongannya. Rontaan Naya yang dikerahkan wanita itu dengan sekuat tenaga, sedikit pun tak menggoyahkan keseimbangan tubuh Noah. Pria itu berjalan dengan langkah ringan keluar dari kamar menuju pintu apartemen dan lift.
***
Berkat nama Samudra yang mengikuti nama Noah, pria itu memiliki akses khusus untuk melakukan pemeriksaan terhadap Naya. Cek darah untuk memastikan kehamilan wanita itu keluar dua jam kemudian dengan hasil positif yang semakin menyudutkan posisi Naya. Noah, tentu saja merasa sangat puas karena semua berjalan seperti yang ia rencanakan. Kabar kehamilan itu datang seperti cahaya yang menerangi kegelapan rumah tangganya dengan Naya. Tekadnya untuk mempertahankan Naya tentu saja semakin menguat. Posisinya tak akan tergeserkan semudah penolakan Naya. Seakan keberadaan janin di perut Naya adalah tiang yang akan menegakkan kembali pernikahannya dengan Naya.
Naya menangis. Meski keberadaan janin di perutnya belum bisa dilihat oleh mesin usg karena usianya yang masih terlalu muda dan keberadaannya pun belum nampak di perut Naya yang rata. Naya bisa merasakan nyawa sangat kecil yang bersembunyi di kantung perutnya di dalam sana tanpa harus menyentuh atau melihatnya. Janin itu ada. Nyata. Darah dagingnya dan Noah. Tengah menggantungkan nyawa padanya.
Kebahagiaan dan kepedihan teraduk memenuhi dadanya hingga ia kebingungan manakah perasaan yang lebih ingin ia rasakan. Sungguh ia bahagia dengan kehadiran janin dalam kandungannya. Kehangatan itu muncul menghangatkan hatinya yang dipenuhi kekosongan. Namun, ia tak yakin akan mampu membahagiakan anaknya di masa depan dengan pernikahan yang terombang-ambing. Ia pernah mengalami kehancuran keluarganya dan deretan penderitaan yang mengitari. Kehilangan kasih sayang ayah dan ibunya. Dan sekarang haruskah ia menurunkan penderitaan itu pada anaknya?
"Kenapa kau tega melakukan ini pada kami, Noah?"
"Apa sebegitu menderitanya kau dengan kehadiran anak kita, Naya?" Meski Noah tahu kasih sayang seorang ibu yang dimiliki Naya terhadap janin di perut wanita itu sedikit banyak memberikan kebahagiaan yang sengaja Naya tenggelamkan di hadapannya, Noah tetap saja merasa begitu sakit hati dengan raut sedih yang ditampilkan Naya karena kabar gembira tersebut.
"Kau tidak bersungguh-sungguh menginginkan keberadaannya. Itulah yang membuatku merasa sedih."
Noah terbungkam. Untuk kedua kalinya, mereka berada di posisi dan keadaan yang sama seperti satu bulan yang lalu sebelum kecelakaan itu. Ketika Naya memberitahunya kabar kehamilan yang membuat dunianya jungkir balik karena pikiran liar dan prasangka buruk yang bertebaran menutupi akal sehatnya. Menutupi kebahagiaan yang muncul karena akhirnya anak yang ia harapkan muncul juga kehadirannya di mata Naya.
"Kau menginginkannya karena keras kepalamu yang memaksaku tetap menjadi milikmu, Noah."
"Ya, aku tahu," jawab Noah mantap. "Aku sangat tahu itu. Memangnya kenapa? Apa aku salah tetap memperjuangkan pernikahan kita apa pun yang terjadi? Aku memperjuangkan janjiku padamu untuk mempertahankan dirimu."
"Ya, mungkin kehamilan pertama adalah alasanmu untuk lepas dari pernikahan ini. Kau bersikap egois dengan dalih anak kita akan menjadi beban kebahagiaanku. Baiklah, kau sudah melakukan itu sesuka hatimu. Tetapi kehamilan kali ini, aku sengaja bersikap egois dengan dalih menahanmu di sisiku. Kita impas. Jadi, jangan pernah berpikir kau bisa meninggalkanku, Naya."
Naya merasa heran dengan jumlah melimpah air mata yang diproduksi kelenjar matanya. Buliran bening itu tiada hentinya mengalir membasahi wajahnya selama beberapa hari ini. Saat ia mengira air mata itu habis dan mungkin ia tak akan menangis lagi. Lagi dan lagi ia tetap menangis. Wajahnya tetap dihujani oleh air mata yang sama.
"Apa pun akan kulakukan untuk mempertahankan pernikahan kita, Naya." Jika Naya saja tak tega menggugurkan darah dagingnya, tentu wanita itu tak akan berpikir dua kali untuk menderita demi bersama anak mereka, bukan. Tak peduli jika Naya berpikir dirinya licik karena memanfaatkan kasih sayang Naya pada buah hati mereka. "Jadi, menyerahlah pada pikiran yang menuntunmu ke arah sebaliknya."
Noah berdiri dari kursi di sebelah ranjang pasien yang memang diperuntukkan bagi pengunjung pasien. Karena tak hanya menampakkan hasil kehamilan Naya, ternyata dari hasil tes darah, kondisi Naya jauh dari kata sehat dan normal.
Wanita itu mengalami dehidrasi dan anemia berat karena kadar Hb yang menunjukkan 7 gr/dl, sehingga perlu perawatan dokter. Bahkan berat badan Naya berkurang dua kilogram dari saat terakhir mereka pergi ke rumah sakit dua minggu yang lalu.
Noah menyandarkan kepala di balik pintu ruang perawatan Naya. Menghembuskan napasnya dengan keras dan mata terpejam. Meski hati Noah tak yakin ini adalah pilihan yang benar, darah dagingnya sudah terlanjur hadir karena keputusannya yang sembrono dan sangat licik serta dibungkus kebohongan yang menipu Naya mentah-mentah. Jadi, ia hanya perlu meyakinkan dirinya sendiri dan Naya bahwa apa pun yang tengah mereka pertahankan adalah kebahagiaan mereka. Meyakinkan dirinya sendiri dan Naya bahwa mereka berhak berbahagia.
Ya, setelah apa yang terjadi pada rumah tangga mereka, ia dan Naya harus bahagia. Meski jalan kebahagiaan itu terasa lebih sulit dari pada saat ini.
***
Friday, 12 June 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top