Part 11
Noah & Naya
###
Part 11
###
Harusnya kemaren jadwalnya posting, tapi dari pagi sampe malem sibuk dan ga sempet buka si lappy buat up. Jadi, selamat membacaaa ....
###
Naya masih tertegun cukup lama menatap pintu lift yang sudah tertutup. Sambil mendekap jas dan tas kerja Noah, ia berbalik. Membuka pintu apartemen dan melewati ruang tamu menuju kamar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak henti-hentinya muncul di kepalanya.
Kenapa ia menandatangani surat perceraian? Pertengkaran apa yang ia dan Noah ributkan hingga ia memilih berpisah? Apakah masalah mereka sebesar itu hingga ia memutuskan untuk berpisah?
Ralia, wanita itu juga mengatakan tentang kecelakaannya dengan Noah? Apakah Noah juga ada di dalam mobil bersamanya? Lalu kenapa Noah menyembunyikan hal tersebut darinya? Haruskah ia menanyakan hal tersebut pada Noah? Meminta Noah menceritakan apa pun yang terjadi sebelum kecelakaan itu terjadi.
Tanpa sengaja, siku Naya menyenggol tas miliknya yang ia geletakkan di meja secara asal-asalan tadi pagi. Penutup tasnya itu terbuka dan lembaran-lembaran foto keluar dari dalam kantong tas hitam tersebut. Naya meletakkan jas Noah di meja, membungkuk memungut lembaran-lembaran tersebut.
Dua sosok yang saling bercumbu di antara keremangan, tapi Naya cukup jelas mengenali kedua tubuh yang saling menempel tersebut. Noah dan Ralia. Jantungnya seakan dicengkeraman dengan sangat keras dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
Naya menggelengkan kepalanya dengan keras. Napasnya saling berkejaran ketika gambar-gambar itu bukan hanya ada di matanya. Melainkan di ingatannya juga.
Apa ini?
Ingatan macam apa ini?
Foto itu jatuh berhamburan dilantai, kesalahan yang sangat fatal. Karena kini Naya merasa dikelilingi oleh pengkhianatan dengan tangkapan-tangkapan gambar itu yang memenuhi seluruh pandangannya.
Naya terhuyung mundur, kakinya menabrak pinggiran ranjang dan membuatnya tersungkur di lantai. Seluruh tubuhnya bergetar akan reaksi keterkejutan yang tak sanggup lagi ia tanggulangi. Wajahnya meringis, menahan rasa sakit yang datang hujaman demi hujaman. Ingatannya meronta hendak menumpahkan apa pun yang bisa dikeluarkan tanpa memedulikan ketidaksiapan Naya.
"Aku tahu apa yang terjadi padaku dan Noah tidak seharusnya terjadi. Tapi aku merasa lega kalian bisa mengatasi masalah kalian."
"Aku tak akan pernah meminta maaf padanya."
"Dialah yang seharusnya meminta maaf padamu. Pada kita."
Suara Ralia dan Noah saling bersahut-sahutan membelah kepalanya. Naya memegang kepalanya dengan kedua tangan. Keresahan mewarnai setiap adegan yang muncul di pikirannya. Kepedihan, pengkhianatan, dan kekecewaan. Berjumbal jadi satu membentuk teror dan menggantung di udara di atas kepalanya seperti kematian.
Kebencian mama Noah pada dirinya, bagaimana mama Noah memperlakukan dirinya seperti simpanan Noah, bagaimana mama Noah begitu mengagumi Ralia dan Noah yang saling bersanding di depan umum. Lalu, ingatannya melompat saat ia memberitahu kabar tentang kehamilannya dan sikap dingin Noah yang masih ia maklumi. Dengan dinginnya hubungan mereka, tentu kehadiran anak hanya akan membuat beban mereka semakin berat. Hingga puncaknya, ia tak lagi mampu memaafkan pengkhianatan Noah. Saat seseorang mengiriminya foto mesra Noah dan Ralia. Ia memutuskan mengikuti desakan mama Noah yang memang selalu diam-diam mengharapkan perceraiannya dan Noah di belakang Noah. Ia tak lagi sanggup berjuang sendirian dalam hubungan yang sudah berada di ujung tanduk.
Noahlah yang membuatnya bertahan menghadapi segala macam cobaan dalam rumah tangga mereka. Cinta Noahlah yang membuatnya bersabar menerima semua perlakuan buruk mama Noah. Namun, jika Noah sudah berpaling dari dirinya dan tidak ada lagi cinta yang ia miliki dari pria itu. Maka tidak ada lagi yang harus ia genggam dalam pernikahan mereka.
"Aku ingin bercerai."
"Aku tidak tahan kau menatapku dengan kekecewaan seperti itu meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya."
"Lalu bagaimana dengan anak kita?" Suara Noah seperti ribuan jarum yang menusuk telinganya.
"Aku sudah menggugurkannya. Kau tak perlu merasa cemas dengan ikatan yang akan menjeratmu seumur hidupmu."
Anak?
Naya menyentuh perutnya. Tak ada lagi getaran hangat yang menjalari hatinya ketika ia menyentuh perutnya. Tak ada lagi kehidupan di dalam sana. Naya semakin terisak. Dadanya tak mampu lagi bernapas.
Kecelakaan itu, kecelakaan itu melenyapkan anaknya. Noahlah yang telah membunuh anaknya. Air mata jatuh berhamburan membasahi wajahnya. Hatinya hancur. Menenggelamkan dirinya dalam pengkhianatan. Noah telah mengkhianatinya untuk kedua kalinya, dan rasa sakit itu terasa mencabik-cabik hatinya hingga ia tak lagi sanggup menahannya.
***
Noah merasakan hawa yang menyesakkan dada berderak di udara ketika ia membuka pintu kamarnya yang sunyi. Kepalanya bergerak perlahan mengeliling sudut kamarnya dengan sikap was-was. Ia tahu ada yang berbeda. Dunia sudah berbalik menyerangnya.
Tatapan Noah berhenti pada tubuh ringkih yang meringkuk di pinggiran kasur. Dengan langkah sepelan mungkin, Noah mendekati Naya.
"Naya?" Noah tahu ingatan Naya sudah kembali saat melihat foto-foto sialannya dengan Ralia yang berceceran di lantai tak jauh dari mereka. Entah perbuatan mamanya atau Ralia, Noah akan mencari tahu nanti.
Wajah Naya tenggelam di lengan wanita itu yang terlipat. Bahu Naya yang bergetar pelan menunjukkan bahwa wanita itu tengah terisak pelan. Pedih dan menyayat hatinya juga.
"Apa yang terjadi?" Noah mengangkat tangannya hendak menyentuh pundak Naya. Merasa pertanyaan itu terdengar tolol di telinganya sendiri.
"Jangan menyentuhku." Desisan Naya pelan dan sangat dingin. Lalu dengan perlahan, ia mengangkat wajahnya yang basah. Maniknya berkilat penuh kebencian pada sosok yang ada di hadapannya saat ini.
Noah belum siap jika sewaktu-waktu ingatan Naya kembali, dan ia tak akan pernah siap. Baginya, selama Naya ada di sisinya, hidupnya akan baik-baik saja. Pernikahannya akan terselamatkan. Namun, ternyata Tuhan tidak semurah hati itu. Terutama untuk dosa-dosa yang telah ia lakukan. Ia tahu, sekaranglah saatnya ia membayar semua perbuatan buruknya pada Naya.
"Kau membohongiku!" Naya mendorong dada Noah hingga pria itu tersungkur di lantai. "Aku membencimu, Noah!" teriaknya begitu lantang.
Noah tak tahan mendengar ungkapan kebencian Naya yang menusuk hatinya dengan sangat keras. Tetapi, ia akan memaklumi, Naya masih dikuasai amarah, wanita itu masih kehilangan alur pikirannya. Masih terlalu bingunng menghubungkan benang kusut di kepala wanita itu dan belum menjernihkan perasaan cinta yang masih keruh. "Aku berusaha memperbaiki kesalahanku," lirih Noah penuh derita.
"Kau membohongiku dan membunuh anakku. Bagaimana bisa tanpa tahu malu kau membawaku kembali ke pernikahan yang sudah kauhancurkan?" Tangisan Naya bercampur amarahnya yang meluap tak terkendali.
Noah tercengang. Kata-kata Naya seperti lembaran dosa yang dihadapkan di depan matanya. Terpampang begitu jelas dan ia benci menghadapi fakta tersebut. Ia tak tahu bayi itu masih ada di perut Naya. Jika ia tahu, ia tak akan seceroboh itu menyetir saat ia dikendalikan oleh amarah.
'Katakan itu pada dirimu sendiri, berengsek!' Suara lantang seperti suaranya berdengung di telinganya. Ia bahkan meragukan apakah itu bayinya atau bayi dari laki-laki lain. Cintanya pada Naya membutakannya hingga sampai pada tahap ia tak bisa melihat ketulusan wanita itu lagi. Bagaimana mungkin ia membalas ketulusan Naya dengan sikap berengseknya.
"Kenapa kau membawaku ke neraka ini, Noah?" Naya menghapus air matanya dengan kasar dan menatap Noah penuh kebencian.
"Karena aku tidak bisa kehilanganmu." Noah menjawab dengan suara keringnya yang lantang dan kelemahan di manik matanya begitu kentara. Kepalanya menggeleng dengan keras. Menghentak benaknya dari rasa bersalah. Tidak, ia tak akan kehilangan Naya untuk kedua kalinya. "Aku tidak bisa, aku tidak ingin, dan aku tidak akan pernah kehilanganmu."
"Aku tidak sudi tinggal dalam satu atap dengan pembunuh!" teriak Naya lagi. Semakin dipenuhi kebencian dengan keegoisan Noah. Bagaimana Noah mengatakan tak ingin kehilangan dirinya setelah semua pengkhianatan yang telah pria itu lakukan dengan sangat pedih.
Noah terkesiap. Pernyataan Naya melukai hatinya, tapi ia akan memaafkan Naya. Ia selalu memaafkan Naya. Sebesar apa pun kesalahan wanita itu dan sebesar apa pun rasa sakit yang diberikan wanita itu untuknya. "Kau akan tinggal bersamaku, di rumah ini, di kamar ini. Selamanya."
Naya terperangah. Lalu menjadi panik ketika Noah beranjak dari hadapannya, berjalan mengelilingi ranjang, dan mengambil kunci kamar di laci nakas. Naya menggeleng, pandangannya mengkuti Noah yang berjalan keluar, dan memegang handle pintu. "Tidak!" Naya berdiri dan berlari mengikuti Noah, tapi terlambat. Noah sudah mengunci pintu dari luar sebelum ia sempat menyentuh gagang pintu tersebut.
Rasa takut mencekiknya dengan sangat kejam. Ia takut, hidupnya terenggut seketika Noah mengakhiri kalimat yang pria itu ucapkan. Kegilaan Noah tak pernah main-main jika itu berhubungan dengan perasaan cinta yang terlampau melebihi batas untuknya. Perasaan yang tergambar jelas di manik biru Noah hingga membutakan pria itu dan berada di luar nalar Naya.
Tubuh Naya merosot di lantai. Selamanya, ia akan terkurung di balik pintu ini. Seperti yang Noah titahkan.
"Buka pintunya, Noah!" Naya menggedor-gedor pintu dengan keras. Berteriak sekuat mungkin demi memastikan pria itu mendengar suaranya dari luar.
"Pastikan tidak ada yang membuka pintu ini kecuali aku." Noah memberitahu pengurus rumah tangga yang kebetulan akan mengantarkan kopinya ke kamar.
Pengurus rumah tangga itu mengangguk paham. "Kopinya, Tuan."
"Bawa kembali ke bawah." Noah berpaling dan berjalan ke arah ruang kerjanya. Malam ini ia tahu tak akan bisa tidur dan godaan minum alkohol hanya akan memperburuk pertengkarannya dengan Naya.
***
Pagi itu, setelah mandi di kamar tamu, Noah membawa nampan makan pagi untuk Naya ke kamar mereka sekaligus mengambil pakaian kerjanya. Suasana kamar masih sunyi, gorden di dinding masih tertutup rapat seperti tadi malam saat ia meninggalkan ruangan ini. Bahkan fotonya dan Ralia masih berserakan di lantai. Dan Naya, wanita itu berbaring di kasur, memunggunginya dengan selimut yang masih tertata rapi di bawah tubuh mungil itu.
Dress dengan bahan setipis itu dan AC ruangan, Naya pasti menahan rasa dingin semalama. Sekali lagi hati Noah terasa disayat habis-habisan dengan jejak-jejak air mata yang membekas di pipi dan pinggiran mata Naya.
Cukup lama, Noah berdiri di pinggiran ranjang mengamati wajah Naya tanpa berani mengulurkan tangan menyentuh tubuh itu meski memiliki keinginan yang sangat kuat. Lalu, Noah meletakkan nampan di genggamannya dan segera bergerak ke walk in closed untuk segera mengganti jubah mandinya dengan setelan kerjanya.
Saat ia sudah rapi, ia melihat Naya sudah terbangun dan duduk di pinngir ranjang. Seolah memang menunggu dirinya.
"Apa yang kauinginkan, Noah?" Suara lemah Naya terasa menyayat hati Noah. Noah menguatkan diri. Meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini untuk kebaikan mereka berdua.
Noah menjawab setelah diam sejenak, sambil melintasi tengah ruangan untuk duduk di sisi ranjang dan memakai kaos kaki serta sepatunya. "Kau tahu apa yang kuinginkan, Naya. Tetaplah di sisiku. Kita berjanji untuk saling memperjuangkan hubungan ini, bukan."
"Kau membohongiku."
Noah tak menjawab hingga ia enar-benar selesai memasukkan kedua kakinya ke dalam sepatu. "Aku memperjuangkan dirimu."
"Dengan cara kotor seperti ini?"
"Apa pun akan kulakukan demi kita berdua."
"Kau mengkhianatiku, Noah. Tidak ada apa pun yang tersisa dalam pernikahan kita."
"Foto itu bukan yang sebenarnya terjadi." Noah menunjuk ke arah meja rias.
Naya tertawa. Menertawakan dirinya sendiri jika ia percaya bualan Noah.
"Aku sedang mabuk. Saat itu, aku begitu marah pada kata-kata mamaku dan sikap diammu semakin membuatku frustrasi."
"Kau memang selalu marah dan bersikap dingin padaku. Ingat?" sengit Naya dengan kejam. Bahkan hatinya masih berdenyut mengingat kembali sikap Noah padanya.
"Aku punya alasanku. Dan sungguh aku menyesal tak pernah menyaring semua cerita yang disampaikan padaku tanpa bertanya padamu."
"Jangan katakan apa pun lagi, Noah!" potong Naya dengan keras. "Bagiku semua itu terdengar seperti omong kosong."
Noah berang. Omong kosong wanita itu bilang? Dengan lengkah besar-besarnya, Noah mendekati Naya dan berdiri menjulang di hadapan wanita itu. "Kau berpikir, akulah yang berbohong? Kau pun sama sekali tak mengkonfirmasi tuduhan-tuduhan yang ada di kepalaku. Kau memilih diam dan membiarkan pernikahan kita hancur dengan perlahan-lahan. Bukan aku saja yang menghancurkan pernikahan kita, Naya. Kau pun ikut andil dalam kerusakan ini."
"Apa sekarang kau menyalahkanku?" tanya Naya semakin tak percaya atas tuduhan yang dilemparkan Noah.
"Kau merasa bahwa dirimulah yang paling berjuang untuk pernikahan ini? Apa kau juga tahu apa yang telah kuperjuangkan untuk tetap mempertahankan pernikahan ini?"
"Hentikan, Noah!" Naya berteriak. Menutup kedua telinganya dan terduduk di sisi ranjang. Wajahnya tertunduk dan ia benar-benar merasa muak. Pada Noah, pada masa lalu mereka.
Noah mengatur napasnya. Ia masih ingin membeber kesalahan Naya lebih jauh lagi, tapi keterpurukan Naya membuatnya berhenti. Ia tak akan menyakiti Naya lebih jauh lagi. Ia akan memaafkan semua kesalahan Naya, tapi dengan bayaran bahwa wanita itu akan tetap berada di sisinya. "Aku harus pergi ke kantor."
Naya menurunkan tangan dan mengangkat kepalanya dengan cepat. Berlari mengejar Noah yang berjalan menuju pintu kamar dengan buliran air mata. Menangkap lengan Noah dan menghentikan langkah pria itu tepat di depan pintu. "Kau tidak bisa mengurungku di kamar ini, Noah!"
Noah berhenti. "Kau bisa keluar kamar, tapi kau tidak akan keluar apartemen atau bertemu dengan adikmu."
Naya menghempaskan lengan Noah. Marah, muak, dan putus asa, lalu memukul lengan Noah dengan kepalan tangannya. "Kenapa kau lakukan ini padaku?!"
Noah menangkap kedua tangan Naya dengan keras. Menahan rontaan wanita itu dengan mudah. "Aku mungkin akan membiarkanmu keluar jika dokter sudah mengkonfirmasi kehamilanmu. Tapi bercerai, sebaiknya buang jauh-jauh harapan konyolmu itu."
Seketika rontaaan Naya berhenti. Wajahnya yang sepucat mayat semakin memucat. "Aa ... apa maksudmu?"
Senyuman sinis tergaris di bibir Noah. "Ya, mungkin ini terdengar gila, tapi aku memang segila ini jika untuk membuatmu tetap di sisiku."
Naya masih tercekat dengan kata-kata Noah, tubuhnya masih mematung bahkan setelah Noah keluar dari kamar. Bertanya-tanya tentang mengonfirmasi kehamilan yang dimaksud Noah.
Apa pria itu sudah gila? Tidak cukupkah satu luka untuk menghancurkan dirinya. Noah malah berniat mencabik-cabik hatinya demi mempertahankan kehancuran yang tengah mereka genggam dalam cincin pernikahan.
Naya melepas cincin yang melingkari jari manisnya dan melemparkanya ke lantai sebelum tubuhnya ambruk dan menangis tersedu lagi.
***
Wednesday, 20 May 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top