Part 10
Noah Naya
###
Part 10
###
Kesenyapan itu benar-benar mencekik Noah. Setelah Lita membawa Ralia keluar dari ruangannya untuk dibawa ke pertugas kesehatan di lantai lima. Noah dan Naya duduk di set sofa. Berkas dan ponsel yang dibawa wanita itu masih tergeletak di lantai dekat ambang pintu. Dan pintu ruangannya tertutup rapat dengan kaca di sekitar yang diburamkan.
"Naya." Noah berhenti ketika tubuh Naya beringsut menjauh darinya. Apakah ia menakuti wanita itu. "Maafkan aku."
Naya tak bisa berkata-kata. Hubungan pekerjaan macam apa hingga Noah sampai hati hampir membunuh orang? "Bukan aku yang seharusnya mendapatkan permintamaafan tersebut, Noah."
"Kau tak tahu apa yang sudah dia lakukan ..."
"Apa pun itu, kau tak berhak bersikap sekejam itu. Pada seorang wanita."
Noah membungkam. Frustrasi dan menggusur rambut di kepala dengan jemarinya. "Aku tak akan pernah meminta maaf padanya," katanya keras kepala. "Dialah yang seharusnya meminta maaf padamu. Pada kita."
Naya tercengang. "Padaku?" ulangnya.
"Dia ..." Kata-kata Noah terhenti ketika matanya bertatapan dengan manik coklat bening milik Naya. Lalu menggeleng. "Lupakan."
"Ada apa, Noah?"
"Apa kau memercayaiku?"
Naya mengernyit heran. Tetapi tetap mengangguk dengan pelan.
"Kemarilah." Noah membentangkan kedua tangannya. Meminta agar Naya datang dalam pelukannya.
Naya masih terdiam.
"Aku tak akan menyakitimu, Naya. Percayalah padaku." Suara Noah syarat penuh permohonan. Hampir mengiba.
Naya menggeser tubuhnya. Noah menangkapnya dan memeluknya sangat erat.
Selain cinta Noah padanya yang sangat besar, Naya merasa ada keanehan dengan sikap Noah. Pemandangan ketika Noah mencekik leher Ralia, ia seolah tak lagi mengenali Noah. Noahnya tak pernah memperlakukan wanita sekasar dan sekejam itu, meski dengan karakter pria itu yang terlihat berbahaya.
Tindakan Noah selalu ada alasannya, dan alasan apa yang membuat Noah hingga berlaku sekasar itu pada seorang wanita? Apa yang dilakukan Ralia hingga Noah semarah itu? Baru semalam keduanya bergandengan tangan di pesta demi urusan pekerjaan. Bahkan Ralia meminta maaf karena membuatnya merasa tersisih. Ah, Ralia juga meminta maaf tentang sesuatu yang terjadi di antara wanita itu dan Noah. Pikiran Naya mulai bertanya-tanya. Lagi, semakin ia memikirkannya, rasa menusuk itu muncul lagi di kepalanya.
Kecelakaan itu, Ralia juga mengatakan Noah ada bersamanya saat kecelakaan. Lalu, kenapa Noah berbohong padanya? Apa yang terjadi sebelum kecelakaan itu. Tusukan di kepalanya semakin intens. Naya menyerah menggali lebih dalam ingatan di kepalanya. Menyerah pada rasa sakit yang semakin berdenyut.
"Apa kau baik-baik saja? Apa kepalamu sakit lagi?"
Ketukan di pintu mengalihkan perhatian keduanya. Lita muncul dan membuat Noah geram. Jika bukan karena ada Naya di sini, ia pasti sudah membentak sekretarisnya itu.
"Tuan Widjaja sudah menunggu di ruang meeting."
Naya mengurai pelukan dan membuat Noah merasa kehilangan. Menatap Naya dan tak memedulikan kata-kata sekretarisnya. Bukan Widjaja yang terpenting saat ini, tapi rumah tangganya dan Naya.
Naya mengangguk. "Pergilah."
"Tidak, kau tidak baik-baik saja."
"Aku akan menunggumu di sini dan beristirahat."
"Ta ...."
"Pergilah, Noah. Aku tak ingin kedatanganku mengganggu pekerjaanmu."
"Kau tak pernah menggangguku, Naya." Noah menekan suaranya dengan tegas. Sudah cukup ia mengorbankan Naya demi pekerjaannya, kali ini ia tak akan mengulangi kesalahan tersebut untuk kedua kalinya.
"Kalau begitu aku akan pulang."
"Aku akan mengantarmu."
"Apa yang kauinginkan, Noah," desah Naya mulai putus asa. "Kau membuatku merasa bersalah, Noah."
Noah mengutuk dirinya sendiri. Perhatiannya yang berlebihan ternyata malah membuat Naya merasa tak nyaman. Akhirnya ia menunjuk pintu di sudut ruangannya dan berkata, "Beristirahatlah di dalam sana. Setelah urusanku selesai aku akan mengantarmu pulang. Oke?"
Naya pun mengangguk. "Dan jangan biarkan keberadaanku mengganggu konsentrasimu pada pekerjaan."
"Aku tak pernah mempermasalahkannya, Naya. Tapi, aku akan menuruti kata-katamu."
Seulas senyum manis Naya untuk Noah saat pria itu memberinya kecupan singkat di bibir sebelum beranjak keluar dari ruangannya. Pria itu juga berpesan untuk meminta pada sekretaris yang lain jika membutuhkan sesuatu.
Naya mendesah lega. Mengusir perasaan tak nyaman akan perhatian Noah yang ia rasa terlalu berlebihan. Meski Noah memang selalu seperhatian itu, sekarang semua terasa aneh dan asing. Kenapa?
***
Naya melambai ketika mobil Noah mulai melaju meninggalkan halaman gedung apartemen mereka. Tertegun mengamati bagian belakang mobil Noah menghilang di antara kepadatan kendaraan di jalan raya. Lalu ia menaiki beberapa anak tangga dan melintasi lobi menuju deretan pintu lift di bagian kiri bangunan.
"Kak Naya," panggil suara dari arah samping Naya.
Naya menoleh dan terkejut menemukan sosok tinggi, berdiri di antara deretan kursi tunggu. Dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru gelap yang terbuka seluruh kancingnya menampakkan kaos putih polos membungkus bagian atas tubuhnya. Penampilan yang sangat familiar. "Arfa?"
Arfa berjalan mendekati kakaknya dan langsung membawa tubuh mungil itu dalam pelukannya.
"Bukankah kau ...."
"Arfa khawatir karena nomor kakak tak bisa dihubungi. Arfa pikir terjadi sesuatu dengan kakak. Apa yang terjadi dengan kakak?"
Mata Naya melebar tak percaya. Adiknya datang jauh-jauh dari Australia hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja? Arfa tak pernah sekhawatir ini pada dirinya. "Kakak mengalami kecelakaan. Dan sebagian ingatan kakak menghilang. Itulah sebabnya kakak tak bisa menghubungimu. Ayo naik ke atas."
Arfa berjalan ke dekat kursi tunggu untuk mengambil tasnya. Lalu mengikuti Naya menuju deretan pintu lift di bagian kiri bangunan. Mengobrol ringan tentang perjalanan Arfa selama di dalam lift. Pembahasan berat yang hendak ia bicarakan dengan kakaknya membutuhkan tempat yang pribadi.
"Apa kak Noah bekerja?" tanya Arfa memastikan keberadaan kakak iparnya. Mengikuti langkah kakaknya sambil sesekali mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang penuh kemewahan. Tak diragukan lagi dengan lift khusus yang mereka naiki baru saja. Bahkan Arfa yakin gedung ini juga salah satu properti milik Noah Samudra.
"Ya, dia baru saja mengantar kakak. Duduklah." Naya menunjuk kursi di meja pantri. "Kau ingin minum apa?"
"Apa pun." Arfa meletakkan tasnya di meja dan duduk mengamati kakaknya yang mulai membuka pintu kulkas.
"Jus?" tawar Naya memeriksa isi kulkas.
"Ya."
Naya mengambil kotak jus jeruk, gelas, dan berdiri di seberang Arfa. Menuangkan segelas penuh untuk adiknya. "Apa kau bertemu dengan mama dan kak Meisya?"
Arfa menggeleng. Ia bahkan berharap tak akan bertemu dengan dua wanita itu seumur hidupnya. "Apa kakak baik-baik saja?"
"Ya, kakak baik-baik saja."
"Apa mereka masih mengganggu kakak?"
Naya menggeleng. "Kakak hanya berharap mereka baik-baik saja."
Arfa sama sekali tak mengamini harapan Naya.
"Apa kau ke sini karena khawatir mama dan kak Meisya akan mengganggu kakak lagi?"
"Bukan. Ada hal lainnya yang membuat Arfa tak tenang."
Kening Naya berkerut. "Apa?"
Arfa meneguk minumannya sebentar. Dia sudah ada di negara ini dua hari yang lalu, tapi tak bisa menemukan di mana kakaknya tinggal. Hingga tadi pagi Banyu menghubungi dan memberitahu di mana apartemen Noah. Ia tak akan menunggu lebih lama lagi untuk menemui kakaknya secara langsung dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Hari itu kakak menelpon Arfa. Mengatakan akan menyusul Arfa di Australia."
"Benarkah?" Naya menyentuh dadanya tak percaya. "Maaf, apa kau kesal karena kakak tidak datang mengunjungimu?"
Arfa menggeleng. "Bukan mengunjungi. Kakak bilang akan tinggal di sana. Sepertinya kakak sedang bertengkar dengan kak Noah. Dan sementara tinggal di apartemen kak Banyu."
Kali ini Naya tercengang selama beberapa saat mencerna kalimat Arfa lebih dalam, tapi tetap bertanya lebih lanjut dengan suaranya yang kering. "Bertengkar? Tinggal di apartemen Banyu?" Kelebatan kata-kata Banyu tadi pagi di restoran kembali muncul di ingatan Naya. Jadi, ia bertengkar dengan Noah dan membawa barang-barangnya ke apartmen Banyu. Apakah pertengkarannya dan Noah sangat hebat hingga ia meningalkan apartemen?
Arfa mengangguk mantap. "Waktu itu Arfa juga sempat berbincang dengan kak Banyu untuk membujuk Kakak membatalkan niat pindah ke sana. Kakak bersikeras tak ingin merepotkan kak Banyu."
"Kenapa kakak ingin pindah ke sana?"
Arfa mengangkat bahunya. Ia ingat kakaknya yang menangis ketika menelponnya tapi tak mengatakan apa pun kecuali bahwa Naya begitu merindukannya dan. "Kakak juga sempat menyinggung soal surat perceraian yang sudah kakak tanda tangani."
Naya semakin dibuat terpaku. Hatinya mencelos tak percaya. "Surat perceraian? Aku?"
Arfa mengangguk. "Apa kakak sudah menyelesaikan masalah kalian?" Arfa sedikit berbasa-basi. Kakaknya tak akan mengambil keputusan sebesar itu tanpa alasan yang kuat. Dan apa pun yang dilakukan Noah pada kakaknya, pria berengsek itu pasti telah memanipulasi ingatan kakaknya dengan cara curang.
Naya masih begitu terpukul. Pertanyaan Arfa memberi Naya tekanan di dada dan kepalanya di saat yang bersamaan. Lagi, Naya berusaha mengingat, menggali lebih dalam apa pun yang terkubur di kepalanya.
"Kak?" Arfa tertegun dengan reaksi kakaknya. Bahkan kakaknya tampak menahan rasa sakit. "Apa Kakak baik-baik saja?"
Naya menggoyang kepalanya, mengusir keresahan yang datang. "Ya, kakak baik-baik saja. Ingatan kakak belum kembali, jadi kakak tidak bisa mengingat semuanya dengan benar."
"Maaf, Arfa tak bermaksud membuat kakak kesakitan."
"Tidak, mungkin karena ini Noah belum menceritakan semuanya pada kakak. Karena takut kakak akan kesakitan seperti ini." Pemikiran semacam itu terasa meringankan beban yang menghimpit dada Naya. Noah pasti punya alasan tidak menceritakan semua permasalahan mereka. Ia baru saja kecelakaan, Noah takut akan melukai dirinya. Benar, kan? Naya berusaha menutup segala keraguan yang mulai menggerogoti hatinya.
"Apa kauingin makan?"
Arfa mengangguk setelah beberapa saat. Ia tak lapar, tapi menyibukkan kakaknya dengan membuat makanan mungkin akan sedikit meredakan sakit dikepala kakaknya. Ia sudah mengatakan apa yang ingin ia katakan setelah Noah memutus kontaknya dengan kakaknya.
Apa pun, akan ia lakukan untuk membuat kakaknya bahagia. Termasuk jika berpisah dengan Noah.
***
Malam itu, Noah pulang tepat jam enam seperti biasanya. Mengabaikan berkas yang menumpuk di meja hanya karena khawatir dengan keadaan Naya setelah kejadian tadi pagi. Berharap keberadaan dan kedekatannya dengan Naya akan mampu melunturkan segala prasangka buruk yang membuat kepala Naya bertanya-tanya dan menelisik masa lalu mereka. Namun, semua usaha dan harapan itu sia-sia. Ketika Noah membuka pintu apartemennya dan seluruh tubuhnya menegang, melihat satu-satunya sosok yang ia hindari dan tak seharusnya berada di sini. Di sekitar Nayanya. Bersantai di sofa ruang tengahnya dengan layar televisi yang mempertontonkan salah satu reality show. Tertawa dengan istrinya sambil sesekali melahap camilan ringan di meja.
"Arfa?" Noah berkedip sekali, masih tak memercayai pemandangan di depannya. Ia dan Naya baru saja mendapatkan masalah karena Ralia, butuh waktu lebih lama sebelum masalah satu ini datang dan menyerangnya di saat yang bersamaan.
"Noah, kau sudah pulang," sambut Naya. Bangkit mendekati Noah dengan senyum manisnya. "Arfa datang tadi siang," beritahunya.
Noah merangkul pundak Naya dan mendaratkan kecupan singkat di dahi Naya tanpa mengalihkan sedikit pun tatapannya dari Arfa.
Arfa menyadari keberadaan dirinya yang begitu mengusik Noah. Dengan seringai tipisnya, ia menarik tas di sampingnya. "Hai, kak Noah."
Noah memaksa satu senyuman tipis dan datar melengkung untuk Arfa.
"Sepertinya Arfa harus kembali." Arfa menyangkutkan tali tasnya di pundak dan beranjak. Melangkah mendekati Naya dan Noah.
"Ke mana?" tanya Naya dengan heran. Sejak kedatangan Arfa, adiknya itu memang tak mengatakan apa pun tentang tempat bermalam. Tadinya, Naya pikir adiknya akan bermalam di apartemen ini dan menunggu Noah untuk meminta ijin lebih dulu.
"Arfa sudah menyewa tempat. Tak jauh dari sini."
"Kau bisa menginap di salah satu kamar kami. Benar, kan, Noah?"
"Ya," jawaban Noah singkat dan terdengar penuh kebohongan di telinganya. Keberadaan Arfa tak baik untuk ingatan-ingatan yang berusaha Noah kubur dalam-dalam.
Arfa memasang raut bersalah. Tawaran yang menarik, tapi ia tak ingin diawasi oleh Noah. "Arfa punya beberapa urusan dengan seorang teman." Arfa beralasan.
"Aku akan mengantarmu." Suara Noah dalam, memaksa, dan mengunci tatapan Arfa.
Arfa mengangguk. "Baiklah."
Noah mengurai rangkulannya. Melepaskan jas dan memberikannya pada Naya beserta tasnya. Menunduk sedikit dan mendaratkan kecupan ringan di bibir Naya lalu berjalan ke arah pintu lift.
"Sampai jumpa, Kak." Arfa menunduk, mengecup pipi Naya dan berjalan mengikuti Noah.
Noah menahan kepalan tangannya hingga lift membuka. Keduanya menampilkan senyum palsu untuk Naya yang melambai pada mereka dari pintu apartemen. Hingga pintu lift tertutup, senyum itu lenyap tak berbekas.
"Jadi, kau memanipulasi ingatan kakakku?" dengus Arfa merasa kemenangan telah berada dalam genggaman tangannya. Noah tampak begitu resah dan tertekan dengan keberadaannya, sudah jelas pria itu ingin menyingkirkan dirinya dari hidup kakaknya.
"Apa yang kaukatakan pada Naya?" desis Noah tajam.
"Kenapa? Apa kau takut dia mengetahui sesuatu yang kau sembunyikan di balik ingatannya yang menghilang?"
"Kami bahagia seperti ini. Jangan coba-coba ikut campur dalam permasalahan kami."
"Bahagia?" cibir Arfa. "Kebahagiaan macam apa yang kauberikan padanya, Noah? Saat ingatan kakakku kembali, aku yakin satu-satunya hal yang ingin ia lakukan adalah pergi dari sisimu."
Noah pasti sudah menyarangkan satu tinjunya ke wajah Arfa jika tak mengingat siapa pemuda ini bagi Naya. Naya akan bertanya-tanya siapa yang telah membuat wajah Arfa hancur dan menemukan dirinya sebagai pelaku di mata Naya akan membuat wanita itu terluka dan membenci dirinya. Sudah cukup Naya membencinya atas kesalahan di masa lalu. Ia tak ingin melakukan sesuatu pun yang akan membuat Naya semakin membencinya. "Aku tak akan membiarkannya pergi."
"Lalu, kauingin menyekap kakakku di apartemen mewahmu?"
'Bila perlu', jawab Noah dalam batinnya.
"Aku tahu apa yang kausembunyikan, Noah. Kau mengkhianati kakakku, bukan?"
Noah memastikan tak ada segurat ekspresi pun melintasi wajahnya.
Arfa menyeringai. Ia hanya menduga, tak mengira dugaannya akan setepat itu. Hari itu, kakaknya menangis dengan pedih. Tentu saja satu-satunya hal yang bisa membuat seorang wanita begitu terluka adalah pengkhianatan. "Kau benar-benar tak termaafkan, Noah. Aku tak akan membiarkan kakakku kembali ke neraka bersama iblis sepertimu."
"Dia mencintaiku." Bibir Noah menipis.
"Katakan itu pada dirimu sendiri."
"Ancamanmu tak akan membuat langkahku mundur sedikit pun."
"Lalu, bagaimana jika aku mengatakan pada kak Naya bahwa kaulah yang membuatnya hilang ingatan? Kecelakaan itu, kaulah yang membawa mobil itu, bukan? Atau bahkan kau memang berniat bunuh diri dengan membawa kakakku?"
"Jaga ucapanmu!"
"Kau menyeretnya dengan paksa keluar dari apartemen kak Banyu. Menurutmu, apa yang akan dilakukan kakak tentang hal ini meski ingatannya belum kembali?"
"Maka pikirkan apa yang akan kulakukan pada Naya sebelum kau melakukan niatmu, Arfa."
Mata Arfa melebar.
Seringai licik Noah mengejek kepercayaan diri Arfa. "Kau tahu, dengan kekuasaanku, kaupikir apa saja yang bisa kulakukan terhadap kau dan Naya hanya dengan jentikan jariku. Bahkan aku bisa membunuhmu sekarang juga dan mengatakan pada Naya bahwa itu hanya kecelakaan. Beberapa jam lalu, aku hampir membunuh seorang wanita karena tak bisa menjaga lidahnya di depan Naya. Jangan mengusikku lebih jauh lagi."
Rahang Arfa mengeras menyembunyikan kepalan tangannya di sisi tubuhnya. Ia tak bisa bertindak gegabah atau Noah akan membuatnya tak bisa bertemu dengan kak Naya lagi. Noah yang dulu berbeda dengan Noah yang sekarang. Kekuasaan pria itu hampir meliputi seluruh kota. Apa pun yang berdiri di belakang Noah bukan hanya sekedar nama besar.
Tinggg ...
Pintu lift terbuka. Arfa dan Noah masih saling pandang dengan ketegangan yang semakin meningkat.
"Kembalilah ke atas. Aku bisa mengurus urusanku sendiri." Arfa keluar lift.
Noah tak mendengar. Mengikuti Arfa keluar dari lift dan bahkan merangkulkan satu lengannya di pundak Arfa. "Aku sudah berjanji pada Naya untuk mengantarmu, adik ipar."
***
Baek bener Noah ama adek iparnya. Wkwkwk
Tuesday, 12 May 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top